Articles by "Artikel Anda"

Buah hitam, entah dalam bahasa latin atau penyebutan lain seperti apa namun orang Yaur menyebutnya buah hitam (idiha'ere). Suku Yaur berada dikampung Yaur sisi barat kabupaten Nabire-Papua.

Orang Yaur merupakan salah satu dari enam suku pribumi Nabire pesisir yang memiliki kearifan lokal (Lokal Wisdom) secara turun temurun dijaga sebagai kekayaan budaya.

Dalam tradisi buah ini bagi orang Yaur dianggap sebagai buah adat. Dalam tradisi Suku Yaur ketika pohon ini mulai berbunga harus dijaga dengan baik dan ada orang tertentu yang menjaganya hingga pada saat masa panen tiba.

Dilarang keras bagi kaum wanita yang saat masa subur melewati pohon tersebut. Berlaku juga bagi mereka yang misalnya melanggar hukum adat (sina,pencuri dll).

Jika orang-orang tadi dengan sengaja melewati pohon tersebut maka bunga/buah dari pohon buah hitam akan gugur, hal itu menyatakan orang tersebut ada buat kesalahan atau melanggar hukum adat sehingga dengan sendirinya secara alamia perbuatan mereka dinyatakan.

Pada saat masa panen semua warga secara kolektif bersama-sama melakukan panen tersebut. Persiapan dimulai dengan pembagian tugas ada yang harus mencari ikan di laut, berburu binatang di hutan dan mencari sayur dan sebagainya.

Lalu rombongan panen biasanya akan dipimpin oleh orang yang dituakan, dia yang akan mulai melakukan panen perdana secara simbolis menandakan panen tersebut dimulai. Lalu selanjutnya yang bertugas memanen atau memanjat dilakukan oleh anak-anak mantu lelaki dari suku Yaur.

Cara pengelolaan buah hitam untuk menjadi makanan akan dicampur dengan sagu yang selanjutnya dibungkus dan dipanggang/asar hingga kering.

Saat buah diramu hingga proses panggang atau asar harus mengikuti aturan-aturan adat, misalnya seperti yang telah disebutkan diatas bahwa dilarang wanita yang sedang masa subur, atau orang-orang yang mungkin berbuat kesalahan adat tidak boleh mendekat wilayah pembakaran/tempat diolahnya sagu bungkus tersebut.

Jika itu terjadi maka sagu tersebut akan mentah atau tidak matang dan hal itu dipercaya akan terjadi. Setelah proses ini semua dilakukan lalu sagu itu akan dibagi rata ke semua warga utuk makan bersama.

Pada saat makan, semua lauk pauk dikumpulkan baik sagu dan hasil tangkapan ikan dan dagin. Lalu proses makan/pesta makan bersama dilaksanakan dan semua makanan harus dibagi kepada semua warga tanpa terkecuali. Dan pesta ini merupakan pesta tahunan.

Akhirnya dalam waktu yang panjang saya baru menemukan satu tradisi Identitas yang menunjukan suku Yaur menganut sistim komunal. Trimah kasih Tuhan. (Hegure 22/01/2019)

Oleh. Sambena Inggeruhi
(Anggota DPRD Nabire)

Judul diatas adalah sebuah pertanyaan yang masih menjadi perdebatan hingga detik ini. Jika di tela'ah dalam relung-relung filosofi , pertanyaan ini sebenarnya merupakan kekeliruan. Sebab, dalam hal penglihatan manusia—yaitu penglihatan optik secara fisik—hanya mensyaratkan dua hal mendasar, yaitu: (1) Adanya alat yang digunakan untuk melihat (jika di dunia ini berarti mata); dan (2) Adanya alat bantu untuk menerangi obyek yang dilihat, yaitu cahaya. 

Manusia tidak dapat melihat suatu obyek jika ia berada dalam kegelapan. Kedua syarat di atas haruslah terpenuhi. Sehingga, jika Tuhan dapat dilihat, maka berarti Dia terikat terhadap obyek lain—yaitu mata dan cahaya—dalam menampakkan diri-Nya. Tuhan tidak mungkin terikat oleh apapun. Jika Tuhan terikat oleh sesuatu di luar diri-Nya, maka sudah pasti dia bukan Tuhan. 

Sesuai dengan hukum akal, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah. Akan tetapi, Tuhan dapat disaksikan dan dilihat dengan mata hati (perasaan). Jadi, hati seukuran kapasitas eksistensialnya, dapat menyaksikan serta dapat melihat Tuhan. 

Namun, apabila yang dimaksudkan dengan melihat itu adalah melihat secara lahiriah dan kasat mata, maka tidak seorang pun yang dapat menyaksikan dan melihat Tuhan. Hal ini sesuai dengan hukum akal juga dengan penjelasan syariat.

Berkenaan mustahilnya Tuhan dapat dilihat dengan hukum akal, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: Aktivitas melihat dan menyaksikan itu dilakukan atau didapatkan melalui berhadap-hadapannya seseorang dengan sesuatu yang ada di luar dengan mata dan getaran cahaya yang merupakan kiriman dan refleksi gelombang cahaya. 

Artinya bahwa, pertama, yang disaksikan itu adalah sesuatu bendawi yang ada di dunia luar, kedua, mata berhadapan dengan benda yang ada di hadapannya. Karena itu, mata manusia tidak akan dapat melihat sesuatu yang berada di balik itu, sementara Tuhan bukan benda (jism) juga tidak memiliki tipologi dan karakteristik benda (seperti yang dihadapan mata).

Karena itu, Tuhan sekali-kali tidak dapat dilihat dengan menggunakan mata lahiriah. Harus dipahami bahwa, hakikat Tuhan (Allah) adalah Roh, dan manusia di bumi ini berada dalam tubuh fana. Inilah yang membuat manusia secara kasat mata tidak bisa melihat-Nya. Konsep ini melanjutkan konsep yang sudah diajarkan Musa dalam kitab Perjanjian Lama, bahwa ia tidak mampu memandang wajah Allah, dan itulah sebabnya, Allah memberikan pengalaman iman kepada Musa bahwa ia hanya bisa memandang dari belakang, sementara kemuliaan Allah itu menerangi tempat dimana dia ada dan menyebabkan wajah Musa bercahaya (Keluaran 34:29, 30, 35)—hal ini kembali menegaskan apa yang diuraikan dalam kitab Keluaran 33:20 bahwa: "T
idak ada seorangpun dapat melihat Allah dan terus hidup" (Keluaran 33:20).

Dalam Kitab Perjanjian Lama (PL), Tuhan Allah saat menampakkan diri-Nya, adalah dalam perwujutan tertentu. Misalkan dalam kitab Keluaran pasal 3 dengan perwujuan api dalam semak duri, demikian juga dalam kitab Ulangan 31:15, dimana penampakkan Tuhan dalam bentuk tiang awan & tiang api, ataupun dalam kitab Kejadian 32:30 yang berwujud manusia, dan lain-lainnya. Penampakkan inilah yang dapat dilihat oleh manusia. Tetapi wujud Allah yang sesungguhnya adalah dalam Roh, yang tidak pernah bisa di lihat manusia.

Sebagai perbandingannya, bahwa dalam Al-Qur’an pun mencatat tentang penampakkan Tuhan dalam perwujudan kayu, seperti dalam QS 28: 30: Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, "di serulah" Dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari "Sebatang Pohon kayu", yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam”.

Dalam kitab Penjanjian Lama (PL), sering diungkapkan bahwa orang penah melihat Allah (seperti kisah Musa dalam Keluaran 33:18-23), yaitu dengan pengertian bahwa Allah bisa menampakkan wujudnya dengan berbagai cara dan kadar penglihatan menurut keperluan-Nya. Bisa ditampakkan melalui semak duri yang terbakar, atau seperti dalam awan, dan menampakkan bagian-bagian tubuh-Nya, atau wujud diri yang dikenakan-Nya sementara waktu dalam penampakan itu, atau lewat mimpi, vision, dll. 

Namun tidak satupun yang betul-betul melihat sebagaimana hakekat atau Zat diri Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada orang yang tahan memandang wajah Allah (dalam hakekatNya) dan tetap hidup, kecuali Yesus (Keluaran 33:20; Yohanes 6:46). 

Untuk konteks kini, Yesus sendiri telah menyatakan "rupa" Allah kepada setiap manusia. Walau demikian, banyak orang tetap tidak mampu melihat "rupa" yang satu ini, yaitu "Yang ada dipangkuan Bapa", yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kalimat: "in the bosom of the Father". Maksudnya adalah "yang ada bersama-sama Bapa". Hal ini merupakan penggambaran atau ilustrasi dalam menyatakan kedekatan, keintiman pribadi yang tak terpisahkan dalam kesamaan hakikat Bapa, seperti yang dinyatakan dalam Injil Yohanes 1:1. 

Dalam Alkitab Ibrani, wajah Allah adalah ungkapan khusus untuk kehadiran atau hadirat Allah sendiri. Melihat Allah hanya dimungkinkan melalui penyingkapan oleh diri-Nya sendiri. Di sini kehadiran Allah tidak pernah merupakan perasaan belaka akan sesuatu yang menakutkan, melainkan selalu merupakan kehadiran Allah yang dikenal, yang pribadi, dan yang tersendiri. 

Dalam konteks Musa, diketahui bahwa ia mendapat kesempatan memandang belakang Allah yang merupakan bukti keterbatasan dan sekaligus bukti keakraban Musa dengan Allah. 

Namun dengan jelas Allah menyatakan bahwa Musa tidak akan tahan melihat wajah-Nya, sebab Musa akan mati jika melihat wajah-Nya (ayat 20). 

Selanjutnya, jika kita kaji kalimat yang tertulis pada Keluaran 24:10, dimana dikatakan: "Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah”, maka hal ini dikenal dengan istilah Theofani, yaitu kehadiran kemuliaan Allah, yang artinya pernyataan secara kelihatan dan secara supra alamiah dari keagungan Allah yang tertinggi dan yang tiada taranya.

Penampakan Allah atau Theofani yang terjadi di era Perjanjian Lama, senantiasa terjadi dalam bentuk manusiawi atau malaikat, atau juga dalam wujud gejala-gejala kosmis. Seperti dalam kitab Yesaya 6:1 versi LAI TB, dikatakan bahwa: "Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci”. 

Dalam versi KJV berbunyi: "In the year that king Uzziah died I saw also the Lord sitting upon a throne, high and lifted up, and his train filled the temple". 

Nah, pada konteks ayat yang dipaparkan di atas, Nabi Yesaya mendapatkan penglihatan; bandingkan dengan penglihatan Yohanes di pulau Patmos yang ditulis di dalam kitab Wahyu. 

Demikian juga pada Yeremia 31:3 yang menyatakan: "Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu" (Sarapan Pagi Biblika, 2006).

Oleh. Abdy Busthan

Apabila pendidikan di ibaratkan dengan sebuah mesin, maka makna apakah yang hendak dikandung oleh sebuah kebebasan? Jika, dunia pendidikan merupakan tempat bagi para pelaku-pelaku kebebasan, akankah ada suatu perubahan perilaku bagi seluruh oknum yang terlibat di dalamnya? 

Satu hal yang pasti, bahwa jika pendidikan itu merupakan sebuah hasil dari kumpulan kekuatan-kekuatan kapitalisme, atau sebuah hasil produksi industri modern sebagaimana yang dikatakan oleh para penganut marxisme, maka kebebasan dalam dunia pendidikan itu akan kehilangan arti pentingnya.

Francis Fukuyama dalam sebuah ramalannya, yang di tuangkan ke dalam buku yang sangat kontroversial, “The End Of History and The Las Man” (2004), menyatakan bahwa kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai sebuah ideologi dunia, semakin mengkokohkan kapitalisme atas dominasinya, termasuk dalam dunia pendidikan yang terjadi dewasa ini. 


Dan menjadi sesuatu yang ironis, bahwa negara Indonesia sebagai bagian dunia ketiga pun tak luput dalam praktek kegilaan ideologi ini. Ya, dalam banyak hal pendidikan di republik saat ini masih sering di desain ke dalam model pendidikan yang lebih pada penekanan dimensi pengetahuan atau knowledge saja. Khususnya lagi pada aspek pengetahuan teoretik atau konseptual semata. 

Sehingga nampak bahwa dimensi praksis yang membuat pendidikan dapat menjadi out put yang memiliki seperangkat keterampilan praksis, masih jauh dari harapan. Ibarat pepatah klasik “Jauhlah panggang dari apinya”.

Jika dalam suatu negara, para penguasa dan sekumpulan pengusaha bersatu dalam kekuatan yang liar, maka faktanya adalah, terjadi dominasi ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang akan berdampak pada sistem pendidikan. Dan hal ini akan menjadi seperti gurita yang menggerogoti hakikat utama dari tujuan pendidikan itu sendiri. Kondisi seperti ini juga dapat menimbulkan pemasungan terhadap adanya integritas manusia, seperti ‘siswa’ sebagai manusia yang memiliki fitrah (pikiran, budi, kehendak, emosi, bakat talenta, kreatifitas dan bebas mengembangkan diri).

Dan akhirnya, lembaga pendidikan tempat belajar, semakin mengabdi dan menghambakan dirinya pada arus materialistik kapitalisme. Pemasungan terhadap adanya keutuhan manusia sebagai dampak industrialisasi dan nilai yang dijual-belikan melalui proses modernism dewasa ini, dapat dilihat dengan adanya pendidikan yang diarahkan hanya untuk memenuhi lapangan kerja (manusia dipandang hanya dari dimensi kerja, sehingga hubungan dengan sesamanya hanya ditentukan oleh relasi ini).

Pada akhirnya, terjadi pemasungan yang menghilangkan dimensi lain yang di miliki, serta merampas kebebasan memilih dan hal ini cenderung memasung imajinasi sebagai potensi daya kreasi manusia.

Pendidikan kaum tertindas, demikian filsafat pendidikan seorang Paolo Freire (2011), yang merupakan teori filsafat sekaligus praktek yang menuntut komitmen dan motivasi untuk mencoba memberikan asas-asas atau jawaban atas permasalahan sosial. Penindasan baginya, adalah sebuah perilaku tidak manusiawi dalam alasan apapun, yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Mungkin saja, bagi mayoritas kaum tertindas, akan menjadi tidak manusiawi. Karena hak-hak asasi mereka dinistakan. Mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam ‘kebudayaan bisu’ (submerged in the culture of silence). Seharusnya, struktur dan mekanisme sistem dari lembaga-lembaga penindasan di tolak, demi untuk melawan ‘pembungkaman’ yang semakin menghujam sistim pendidikan yang ada.

Dari filsafat pendidikan yang di usung Freire di atas, dipahami bahwa pendidikan yang berguna adalah pendidikan yang menyadarkan sikap kritis terhadap dunia, dan mengarahkannya pada perubahan yang sifatnya aktif dan produktif.

Karena yang dibutuhkan pada konsepsi pembebasan dalam dunia pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang menjadikan manusia sebagai sentral bagi perubahan dalam keseluruhan aspek kehidupan, guna bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Sebab pendidikan bukan hanya persoalan-persoalan tentang kemampuan retorika yang bersifat verbal dan sejenisnya. Akan tetapi lebih mengarah kepada keseluruhan aspek kelakuan yang bertumpu pada kemampuan profesional dari para pelaku-pelakunya. Oleh sebab itu, kemampuan-kemampuan ini harus pula di rangsang melalui sikap kritis terhadap kenyataan-kenyataan sekeliling yang di hadapinya. Sehingga sikap kritis itu mampu untuk mengubah self empowerment menjadi social empowerment.

Mungkin benar apa yang ditegaskan oleh Ivan Illich melalui konsepnya “deschooling society” (1974) yang timbul sebagai reaksi atas model pendidikan kapitalistik—dimana saat itu terjadi kecenderungan untuk mengedepankan kekayaan wawasan pengetahuan daripada menyentuh dimensi keterampilan atau kemampuan praktis—bahwa pendidikan yang lebih mengedepankan wawasan pengetahuan saja, tanpa perilaku atau keterampilan, hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang siap menjadi obyek perubahan sosial dari pada subyek perubahan sosial.

Karena itu, pendidikan seharusnya menjadi instrumen bagi self empoverment, yang bertujuan membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan pengibirian manusia atas manusia lainnya secara berkesinambungan. Dalam artian bahwa manusia yang memiliki ‘kebebasan’ seharusnya juga memiliki kemampuan dalam dirinya untuk memaksimalkan potensi diri terhadap kehidupan yang akan di jalaninya. Sehingga out come dari dunia pendidikan tidak lagi menghasilkan generasi dan re-generasi yang memiliki sikap ketergantungan yang tidak mandiri. Sebagaimana ketergantungan itu, salah satunya dijembatani oleh pendidikan model kapitalistik yang sangat merugikan proses pemberdayaan diri dalam diri siswa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.

Tujuan Pendidikan Yang Membebaskan

Menurut Illich, sistem pendidikan yang baik dan yang membebaskan, seharusnya mempunyai tujuan yang membebaskan pula, sebagaimana 3 (tiga) tujuan yang di rumuskannya berikut ini :
1) Pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat; 2) Pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.; 3) Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.

Dari tiga tujuan yang di gagas Illich di atas, dapat di tarik pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk terjaminnya kebebasan seseorang dalam hal ‘memberikan’ dan ‘mendapatkan’ Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan mendapatkan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara kapan saja dan dimana saja.

Dalam kesempatan lainnya, Erich From juga mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah bagaimana membebaskan semua anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari anggapannya yang sudah mapan. 

Sebagaimana yang diungkapkannya:..
“The importance of his thoughts... lies in the fact that they have a liberating effect on the mind by showing new possibilities; they make the reader more alive because they open the door that leads out of the prison of routinized, sterile, preconceived notions”.(lihat: http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm/last updated: Januari 15, 2014)

Menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang ide-ide ‘pembebasan’ dari Illich yang ditujukan pada sasaran-sasarannya sebagai berikut:

1) Untuk membebaskan akses pada barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang atau lembaga atas nilai-nilai pendidikan mereka.

2) Untuk membebaskan usaha membagikan keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan ketrampilan itu menurut permintaan.

3) Untuk membebaskan sumber-sumber daya yang kritis, dan kreatif yang dimiliki rakyat dengan mengembalikan kepada masing-masing orang, kemampuannya dalam mengumpulkan orang dan mengadakan pertemuan. Suatu kemampuan yang kini makin dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang menganggap diri berbicara atas nama rakyat.

4) Untuk membebaskan individu dari kewajiban menggantungkan harapan-harapan pada jasa-jasa yang diberikan oleh profesi mapan manapun seperti sekolah, dengan memberikan kesempatan belajar dari pengalaman teman sebayanya dan mempercayakannya kepada guru, pembimbing, penasehat yang dipilihnya sendiri. Upaya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang ini

Dari beberapa poin di atas, dapat dipahami bahwa dalam konsepnya tentang pendidikan untuk pembebesan, Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapan tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Sebab ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh hanya dari sekolah saja, akan tetapi dapat di peroleh juga dari dunia luar sekolah, seperti lingkungan sekitar dan alam. Sebab jika tidak, maka pada akhirnya nanti seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah di jajakan oleh sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa ia harus tahu dari mana dan bagimana ilmu pengetahuan tersebut.

Sebab dengan bersikap ‘menuruti’ apa kata orang lain tanpa di dasari akan pemahaman yang mendalam dari apa kata orang tersebut—pengetahuan yang memadai—sesungguhnya akan menempatkan seseorang pada wilayah yang terbelenggu oleh batas-batas pikiran orang lain, dan akan melahirkan suatu fenomena sikap hidup yang kurang, dan jauh dari sikap hidup kreatif dan inovatif tetapi juga produktif dalam segala bidang kehidupan yang nantinya akan di jalaninya sebagai insan pendidikan yang bebas—membebaskannya.

Konteks Indonesia
Demikian halnya dalam konteks pendidikan di Indonesia, bahwa ‘mental pesuruh’, setidaknya dapat menggambarkan sosok manusia Indonesia yang telah di kondisikan oleh sistem pendidikan nasionalnya sendiri, dengan hanya bekerja apabila terdapat ‘juklak’ dan ‘juknis’.

Sehingga tak bisa di pungkiri lagi, bahwa sistem pendidikan nasional hanya mampu melahirkan robot-robot yang bekerja hanya jika terdapat undang-undang yang memayunginya. Sehingga realitas yang ada, menunjukkan fenomena dimana orang menjadi segan dan tidak mau berbuat sesuatu, jika tidak ada petunjuk dari atas (Tilaar, H, A, R, 2012:334-335).

Bahwa dalam sistem pendidikan nasional, tidak dikembangkan sebuah sikap ‘entrepreneur’ yang mampu untuk menembus hingga kawasan status quo. Sehingga tidak mengherankan lagi jika isi pendidikan nasional yang ada, hanyalah terfokus pada pengembangan otak kiri semata-mata dan tidak mengembangkan otak kanan, seperti misalnya dalam bidang bisnis dan bidang-bidang kehidupan lainnya.

Dengan melihat kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa intelektualisme sistem pendidikan nasional sudah semakin jauh dari dunianya yang riil—realitas yang nyata. Padahal seharusnya kreativitas dan inovasi di dalam berbagai sektor kehidupan haruslah menjadi agenda yang tidak bisa di tunda lagi untuk dihadirkan kembali ke panggung pendidikan sebagai suatu upaya untuk membebaskan siswa dalam keseluruhan kegiatan dan perilaku belajar. Sebab dunia pendidikan bukanlah kegiatan tour dalam hal belajar—mengajar, dan bukan pula pembahasan dalam persoalan tapal batas, yang selalu dibatasi oleh dinding atau tembok pemisah, serta bangunan-bangunan megah dan lain sebagainya.

Renungan Bersama

Memang tidak selamanya kondisi kehidupan manusia berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dan mungkin saja insan kehidupan—manusia, tidak mengetahui alasan mengapa ia akan berbuat sesuatu.

Namun seharusnya hal yang berkaitan dengan tingkat kesadaran seseorang, seyogyanya memampukan dan menjadikan para pengajar seperti guru atau dosen, sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik untuk memformat pola pendidikan dalam belajar dan pembelajaran, sebagai upaya untuk membawa kesadaran insan pendidikan pada tingkatan yang lebih proporsional.

Sebab pendidikan dalam perjalanannya, selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia seutuh-utuhnya. Sebagaimana dalam perjalanannya, banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahamannya masing-masing mengenai pendidikan, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.

Singkatnya, pendidikan dalam dunianya adalah suatu proses “pembebasan” dimana manusia itu secara sadar bisa menangkap kemudian menyerap, sehingga menghayati dan mengimplementasikannya dalam hidup dan kehidupannya, yang merupakan peristiwa-peristiwa belajar sepanjang kehidupannya, hingga pada hari Maranatha.

Oleh Abdy Busthan

Apakah Pancasila tetap sakti? Apakah kesaktian Pancasila masih dapat diandalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini? Teolog Kristen Protestan, Yonky Karman (2010:115), mengatakan bahwa sejak kelahiran Pancasila sebagai dasar negara Indonesia hingga enam dekade kemudian, bangsa Indonesia tak pernah beranjak menjadi lebih sejahterah dan bermartabat.

Lebih lanjut dikatakan Karman, China dan India tanpa Pancasila, tetapi sebagai penyandang julukan dua negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, mereka bisa bangkit dari ketertinggalan, melesat maju mengubah peta kekuatan ekonomi dunia.

Pancasila adalah mutlak ideologi bangsa! Sekaligus dasar dan pedoman dalam menyelenggarakan pemerintahan negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya penataan jalannya hukum negara. Hal yang perlu dipahami bahwa, sejak disahkan secara yuridis konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia

Pancasila telah berakar penuh pada nilai-nilai budaya luhur bangsa, yang berasal dari kehidupan rakyat yang telah berabad-abad lamanya di bumi Indonesia, semenjak zaman Nusantara. Sebab itu, seyogyanya Pancasila mempersatukan kebhinekaan suku, kelompok, agama dan bahasa dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Melalui perbedaan-perbedaan yang ada, terbentuklah kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wujud Bhineka Tunggal Ika: berbeda-beda namun tetap satu juga. Artinya, bahwa meskipun berbeda-beda, tetapi di dalam dan melalui ideologi Pancasila, kita semua menjadi dipersatukan. Demikianlah semboyan manis dan indah ini.

Profesor filsafat, Armada Riyanto (2011) mengingatkan bahwa Pancasila juga sangat identik dengan filsafat emansipatoris (yang membebaskan) manusia-manusia Indonesia dalam konteks kulturalitas dan religiusitas yang luar biasa plural. Itu sebabnya, Pancasila adalah fondasi tata hidup bersama yang menginspirasi pembebasan dari alienasi satu sama lain dalam lautan keanekaragaman suku, budaya, tradisi dan agama yang kaya.

Mari kita kembali lagi pada pertanyaan awal di atas, masihkah kesaktian Pancasila diandalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini?

Jawaban dari pertanyaan di atas dapat kita lihat pada judul utama bagian ini: “Pancasila Kian Utopis”. Ya, Pancasila semakin terlihat utopis; ia ibarat sebuah lukisan yang indah namun sulit diwujudkan.

Konstruksi luhur dalam berbhineka tunggal ika yang terkandung dalam kesaktian ideologi Pancasila, justru kian babak belur dan terasa luntur. Pancasila bahkan sudah mencapai titik ‘lemah syahwat’ di negeri ini! Pelanggaran hak-hak asasi manusia, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi agama, hingga berujung pada pengkotak-kotakkan status sosial, suku, budaya dan etnis tertentu, kian menjadikan Pancasila jauh berjalan dari tempat asalnya.

Kekerasan bangkit melawan kekerasan, dan dengan sangat beringasnya melenyapkan kaum-kaum lemah. Bahkan ironisnya, “kekerasan” semakin menjadi produk multimedia yang terus-menerus tersohor dimana-mana.

Dan pada akhirnya, kekerasan pada level ini menjelma menjadi semacam tontonan pornografi yang amat mengasikkan, tetapi juga menggiurkan. Sehingga pada kondisi seperti ini, kekerasan sangat "doyan" dinikmati semua kalangan secara diam-diam.

Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi negara. Ketika Pancasila menjadi ideologi, maka ia adalah kumpulan nilai-nilai atau norma yang berdasarkan sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.

Itu sebabnya, hukum dan segala doktrin agama apapun, tidak mungkin dapat disejajarkan ke dalam lima sila yang sudah tercantum di dalamnya. Sebab, agama dan ideologi adalah dua hal yang sangat berbeda.

Meminjam Yewangoe (2011), bahwa dari sekian banyak kemungkinan yang terjadi dengan agama-agama adalah bahwa agama tersebut dapat diturunkan derajatnya menjadi ideologi. Menyambung pendapat ini, maka ketika ajaran sebuah agama menjadi ideologi Pancasila, dapat dipastikan beberapa elemen bangsa akan tertekan dan tidak akan sanggup menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila secara jujur dan objektif.

Bahkan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan terkubur dalam ideologi kapitalisme (transnasional) yang konon memang dirancang untuk diberlakukan sebagai satu-satunya nilai yang mumpuni dalam mempersatukan umat manusia.

Dimana ideologi kapitalisme ini secara operasional berwujud demokratisasi, HAM dan pasar bebas yang lebih banyaknya bersandar pada individualisme dan mulai populer disemua kalangan dunia internasional saat ini.

Paradoks Berbangsa
Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa memang sesudah Konstituante, Pancasila lebih banyaknya di giring masuk ke dalam karakter kekuasaan yang totaliter.

Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga periode Reformasi, totaliter setidaknya bukan hanya milik karakter penguasa saja, tetapi ia kemudian menjangkiti kelompok-kelompok elit daerah, kelompok massa, dan kelompok agama yang cenderung melakukan deviasi terhadap Pancasila.

Meminjam Dwikarya, bahwa memang telah terjadi deviasi Pancasila dasar negara dalam dua kategori: tematis dan operatif. Deviasi tematif adalah seperti pengurangan, penambahan, substitusi, dan kontradiksi substansi Pancasila. Sedangkan deviasi operatif adalah yang berbentuk kontradiksi terhadap sikap-sikap permanen yang dituntut Pancasila.

Hingga memasuki 17 tahun setelah reformasi tahun 1998, berbagai bentuk kekerasan mulai terus bergulir ibarat bola panas. Hantu-hantu penguasa Orde Baru yang konon militeristik pun masih bergentayangan di era sekarang ini. Bahkan dalam kekerasan terstruktur, masih saja negara terjerumus dalam sistem dan legitimasi yang kian utopis.

Atas nama ajaran agama mayoritas, moral yang sejatinya sebuah wilayah yang sangat privat, kemudian ditelanjangi dengan sangat sempurna. Bahkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan peistis, semakin bersemayam abadi ke dalam sangkar emas logika hukum mayoritanisme.

Memang, pada masa Orde Baru, bangsa Indonesia cenderung menganut sistem unifikasi hukum yang lebih berporos pada kesatuan dan keseragaman (baca:kesamaan), sehingga ketika memasuki masa reformasi, masyarakat bangsa ini kemudian sedikit terjebak dalam suatu babak baru tentang pluralisme asas hukum.

Hal ini ditandai dengan mencuatnya keinginan kuat dari masyarakat agama untuk menasioanalisasikan hukum agamanya, serta masyarakat adat yang juga berupaya semaksimal mungkin menerapkan hukum adatnya.

Bahkan ironisnya, pluralisme dalam era reformasi ini justru lebih mematikan dari pluralisme di zaman kolonial. Sebab semua kelompok yang ada, menginginkan agar pahamnya yang harus diterapkan secara universal.

Memang paradoks, jika Pancasila yang sejatinya harus mempersatukan setiap keragaman yang ada dalam ke-lima silanya, justru diseragamkan oleh paham kelompok-kelompok tertentu. Apalagi jika hal ini juga melibatkan para penguasa sebagai bagian dari oligarki politik.

Dan lebih meresahkan lagi, jika ruang-ruang privat keagamaan dan kepercayaan, juga semakin tidak luput dari tirani penguasa yang semakin membabi buta ini.

Oleh karenanya, semua harus kembali kepada falsafah hidup bersama, yaitu dengan meluhurkan Pancasila sebagai ekakarsa yang menyatukan segenap komponen bangsa dan negara ini.

Sebab mau di giring kemana negeri ini? Jika Pancasila sudah tidak lagi bisa mempersatukan kita di bawah pohon toleransi dan sungai keharmonisan? Sudah saatnya semua warga negara (tanpa terkecuali) sebagai elemen bangsa, untuk lebih memahami survival Pancasila dengan tepat.

Harus dipahami bahwa, Pancasila tidak bisa dijadikan produk kompromi organisasi atau kelompok apapun di negara ini.

Memang, pengimplementasian Pancasila memiliki panorama tantangan peradaban zaman yang silih berganti, namun Pancasila sejak kelahirannya, tak pernah berubah sedikit pun.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan Kerakyatan serta Keadilan Sosial, tetap akan selalu bergantung pada seberapa jauh Pancasila bisa kita jadikan sebagai sebuah bangunan ideologi yang kokoh, nyata dan hidup, serta terinternalisasi dalam segenap perilaku pemerintahan dan warga negaranya.

Oleh: Abdy Busthan
*******
Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan
ISBN: 978-602-6487-05-6
Tahun terbit: 2018
Penerbit: Desna Life Ministry
Alamat Penerbit: Kupang

Pengertian hukum yang paling sederhana adalah aturan (sifatnya mengatur). Ketika hukum harus mengatur, maka ia dilaksanakan dengan seperangkat aturannya yang mengatur. Siapapun yang berada dalam wilayah ketika hukum tersebut diberlakukan, ia harus taat dan tunduk terhadap aturan yang tercantum dalam hukum tersebut.

Tujuannya adalah menghadirkan keadilan. Sebab hukum yang baik adalah hukum yang mampu menghadirkan keadilan bagi semua individu yang diaturnya.

Murid Socrates, Plato, pernah menegaskan dalam karyanya “Republik”, bahwa, konsep “adil” adalah menyangkut relasi manusia dengan yang lain. Memberikan keadilan bagi orang lain, berarti mengatakan kebenaran.

Karna itu, lanjut Plato, tempat terbaik untuk melihat keadilan adalah dalam skala besar, yaitu di dalam kota yang adil. Dalam “Kota Adil”, apa yang benar pada orang tertentu, seharusnya memberikan kebenaran bagi orang lain. Sebab manusia bukanlah makhluk yang cukup pada dirinya (Plato, 1992).

Plato benar. Hukum setidaknya diberlakukan atas dasar ideologi kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, yang tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka, tetapi yang memperhatikan keadilan sosial dengan mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam Konstitusi UUD 1945.

Hukum harus benar-benar diciptakan melalui proses yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mengacu pada kepentingan semua orang dan keadilan sosial. Tanpa adanya hukum yang berkeadilan, baik yang dibuat oleh badan legislatif, eksekutif maupun yudisial, akan sulit di terima dan dijadikan panutan bersama.

Setidaknya dapat dipahami bahwa, hukum adalah sesuatu yang rasional dan dapat dijangkau semua kalangan yang hidup dalam masyarakat secara sadar. Hukum tidak dapat diberikan sembarang arti, atau diberikan arti sesuai selera oleh sembarang orang, terlebih jika disalahgunakan.

Jadi, hukum dan keadilan tetap merupakan dua sejoli yang paling romantis dalam sebuah altar kehidupan bangsa dan negara yang berasaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Tanpa keadilan, hukum akan berjalan tanpa arah dan tujuannya. Tanpa keadilan, hukum adalah sebuah keraguan terdalam. Tanpa keadilan, hukum berlaku seperti sebuah sarang laba-laba, sebagaimana dikatakan Anarchasis di zaman Romawi enam ratus tahun sebelum masehi. Atau, seperti yang juga dinyanyikan kaum Sofist, bahwa “Justice in the interst of the Stronger" (Hukum merupakan hak penguasa).

Oleh: Abdy Busthan

Dalam bentuk kajian apapun, hukum Syariat tetap tidak bisa diperkenankan untuk diberlakukan dalam tatanan kehidupan bangsa yang menjunjung prinsip Demokrasi-Konstitusional (Constitutional Democracy). Apalagi jika hukum agama tersebut harus dipaksakan untuk mengatur moral setiap individu melalui negara. Moral adalah urusan agama dari masing-masing individu. Negara sama sekali tidak berhak mengatur moral seseorang. Itu sebabnya, hukum negara dan hukum agama, mutlak tidak dapat digabungkan. Hukum agama bersifat absolut, sedangkan hukum negara bersifat dinamis-relatif yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Syariat dan Halakha dalam konteks Kristen
Umat Kristen sedikitnya memiliki sikap yang sangat ambivalen terhadap apa yang di sebutkan dengan “Hukum”. Dalam generasi Kristen pertama, yang hidup diantara orang Yahudi, yang mereka akui sebagai hukum adalah hukum Taurat yang dibawa oleh Musa. Hukum Taurat terbagi menjadi dua, yaitu Taurat tertulis yang adalah “Tanakh” dan Taurat lisan yaitu “Halakha” (Busthan Abdy, 2017)

Taurat tertulis adalah apa yang disebutkan dalam kalangan Kristen sebagai Perjanjian Lama, yang terdiri dari Hukum, Para Nabi, dan Kitab-Kitab. Sementara hukum tak tertulis yaitu Halakha, adalah hukum yang dijalankan tetapi menjadi perdebatan panjang diantara para ulama Yahudi. Tetapi hukum Halakha sedikitnya memiliki wibawa tersendiri sebab ada anggapan pula yang mengatakan bahwa hukum ini juga dibawa oleh Musa.

Namun ketika di zaman Yesus, kritik-kritik yang sering dilontarkan Yesus lebih diarahkan terhadap Taurat lisan ini dan para ulamanya (ahli Taurat dan kaum Farisi). Sebab mereka membuat rumit dan memberatkan Taurat bagi umat, sehingga hal ini menjadi beban yang paling berat. Misalnya, kritik Yesus terhadap pemahaman yang keliru tentang fungsi hari Sabat: apakah hari Sabat dibuat untuk manusia ataukah manusia dibuat untuk Sabat?

Syariat lebih mirip dengan Taurat lisan yang di sebut dengan Halakha yang juga sudah dibukukan ke dalam Talmud. Kata Halakha dan Syariat memiliki pengertian yang sama, yakni “jalan menuju Allah sebagai sumber kehidupan”.

Olaf Schumann (2011), seorang Teolog lintas agama asal Jerman, mengatakan bahwa, apa yang semula dipahami sebagai pengarahan, bimbingan atau hidayah, dan hikmat dengan akar katanya sama dengan hukum, oleh para ulama, dijadikan seperti sebuah “kereta” yang digerakkan di jalan keselamatan. Namun yang dibawa menuju keselamatan hanyalah para penumpang kereta itu, di mana pemiliknya adalah para ulama. Sebaliknya, orang lain yang bergerak di jalan yang sama, seolah-olah dihalangi mencapai ujungnya kepada Allah.

Berbeda halnya dengan Yesus, yang justru datang membongkar kereta yang menjadi tumpangan orang-orang tersebut. Sehingga jalan itu tetap ada. Artinya bahwa mereka yang mengikuti Yesus akan berjalan dengan kakinya sendiri untuk berjalan bersama-sama dengan Yesus, dan bukan menjadi hanya sekedar penumpang suatu kendaraan yang dikemudikan dan diarahkan ke ujung jalan. Dan pada akhirnya, Yesus menyebutkan diri-Nya sebagai “Jalan” (Yohanes 14:6), yang bukan sebagai kereta atau jenis kendaraan yang lain.

Syariat Sebuah Xenofobia?

Jika Syariat Islam diberlakukan dalam masyarakat yang mengandung pluralisme agama, seperti di Indonesia, maka ia tentu akan menekan mereka-mereka yang non-Muslim. Mengapa? Tentu saja hak-hak beragama mereka akan mengalami diskriminasi dalam bentuk tekanan dan berakhir dengan munculnya xenofobia (ketakutan, was-was) terhadap kehidupan yang mereka jalani. Akibatnya, agama bukan lagi menjadi bagian yang menyejukkan hati, tetapi cenderung menjadi tempat yang nyaris menakutkan.

Semenjak Syariat Islam dideklarasikan sampai hari ini, pelaksanaannya masih menyimpan sejumlah masalah yang selalu dicarikankan solusinya. Seluruh lini masih menyisakan berbagai polemik yang melahirkan berbagai macam persepsi tentang syariat Islam itu sendiri. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan lain yang timbul dan ikut menghadang pemberlakuan Syariat Islam ini secara kaffah. Misalnya saja, pemberlakuan Syariat di Nanggroe Aceh Darussalam.

Sebagaimana diketahui bersama, Syariat Islam telah lama berkembang di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya hukum-hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang kemudian di salin dalam “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As-Salam” atau lebih dikenal dengan “Adat Meukuta Alam”.

Dengan peraturan inilah, Po Teumeuruhom menjalankan syariat Islam saat itu, dengan dibantu fatwa-fatwa dari ulama kenamaan, Abdurrauf As-Singkily (Syiah Kuala) yang ketika itu berperan menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Maka akhirnya, ajaran Islam pun menjadi menyatu di dalam kehidupan dan keseharian masyarakat, baik dalam hal peribadatan, adat, hukum, sosial, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya. Hal ini tercermin dari beberapa petuah bijak Aceh seperti,”Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut.” Atau “Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala. Gadeh aneuk meupat jeurat gadeh adat ho ta mita”.

Pada masa pemerintahan Soekarno, pergolakan Aceh dibawah komando Tgk. Muhammad Daud Beureuah terjadi. Soekarno yang pernah menjanjikan penerapan Syariat Islam di Aceh tak pernah merealisasikannya.

Salah satu solusi yang diberikan untuk menghentikan pergolakan tersebut adalah dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang ditandatangani oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri I/Ketua Misi Pemerintah ke Aceh pada tanggal 26 Mei 1959). Keputusan tersebut terkenal dengan sebutan “Missi Hardi”.

Keputusan ini memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang sekaligus: agama, pendidikan dan peradatan. Sehingga akhirnya Aceh menyandang gelar Daerah Istimewa (DI). Janji ini menurut Al Yasa’ Abu Bakar, layak diberikan karena perjuangan rakyat Aceh sejak awal peperangan melawan Belanda antara lain didorong untuk melaksanakan Syariat Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Bahkan tuntutan agar Aceh menjadi sebuah Provinsi terpisah, merdeka katakanlah, juga karena keinginan melaksanakan Syariat Islam di seluruh wilayah Aceh ini.

Memasuki masa pemerintahan Orde Baru, Undang Undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini, nasib penegakan Syariat yaitu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh tidak disinggung lagi.

Kendati pemerintah telah melupakan Daerah Istimewa (DI) dengan keistimewaan agama didalamnya, pemerintah daerah Aceh tetap berupaya menjalankan keistimewaan tersebut. Ini dibuktikan dengan dikeluarkan beberapa peraturan daerah yang berkenaan dengan penerapan Syariat Islam.

Waktupun bergulir hingga masa Reformasi. Pada akhirnya Presiden Habibie yang menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan.

Tentang keistimewaannya, maka bidang agama didefinisikan dengan penerapan Syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Undang-undang ini sedikit meredam kekecewaaan masyarakat Aceh.

Berlanjut hingga masa pemerintahan ibu Megawati, lahirlah Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang lebih dikenal dengan Undang undang Otonomi Khusus. Undang-undang ini membenarkan pembentukan Mahkamah Syariat, baik di tingkat rendah ataupun tingkat tinggi. Wewenangnya meliputi seluruh bidang Syariat yang berkaitan dengan peradilan, dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum.

Akhirnya, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ini, maka menandai momentum penerapan Syariat Islam secara kaffah di bumi bersyariat Aceh, dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh, di mana pada 1 Muharram 1423 H dinyatakan sebagai awal penerapan Syariat Islam secara kaffah. Mengaktualisasi penerapan Syariat Islam secara kaffah, maka lahirlah beberapa qanun yang dijadikan pegangan secara yuridis formal dalam penegakan Syariat di Aceh.

Awal diterapkannya Syariat Islam di Aceh setelah disahkannya UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, memang berdampak positif. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya kegiatan-kegiatan religius. Namun dengan berjalannya sang waktu, penerapan Syariat Islam kemudian menghasilkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat Muslim.

Ketika Syariat Islam dibicarakan, mereka akan segera membayangkan sesuatu sangat menakutkan, seperti: hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan beragam hukuman lainnya. Sekiranya mau meneliti hukum Islam lebih dalam, bentuk hukuman-hukuman ini bukanlah hal pertama yang perlu disosialisasi dan bukan pula asas dari Syariat Islam itu sendiri. Karena hal-hal itu hanyalah suatu bagian dari cabang di dalam fiqh Islam.

Sebagaimana dikisahkan Liza Fathia (2009), seorang dokter yang bertugas di kota Banda Aceh, bahwa terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah dampak meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh.

Atas nama Syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan yang tidak manusiawi, berupa penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, di arak-arak keliling oleh masa dengan tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya: kasus pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh para oknum Polisi Syariat). Lebih jauh lagi ditegaskan Liza, bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai kaum Islam yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi harus menjadikan Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin.

Apa yang ditakutkan Lisa ini dapat dibenarkan. Sebab bukan tidak mungkin konsekuensi akibat penerapan hukum Syariat di kemudian hari, banyak menimbulkan kecemasan tersendiri dalam masyarakat. Akhirnya masyarakat bukannya takut akan hukuman Tuhan, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang sangat merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Sehingga fenomena ini akan menimbulkan kondisi “xenofobia” yang sangat berkepanjangan dalam diri setiap masyarakat terhadap dirinya sendiri, tetapi juga terhadap sesamanya manusia.

Refleksi Bersama
Hukum Islam terutama terkait dengan perihal aturan dalam perundang-undangan Indonesia, tidak sepenuhnya memiliki muatan-muatan dasar Islam. Namun dengan sangat getolnya, beberapa dari kalangan ulama kemudian menarik makna substantif dan mencoba mengintegrasikan hukum Positif Nasional dengan hukum Syariat ini. Sehingga terkesan tidak terdapat masalah yang kontras antara keduanya. Namun sesungguhnya hal ini adalah sebuah pembodohan dalam konteks beragama.

Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa memang banyak hal kontras yang terjadi antara hukum Syariat dan hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Misalnya dalam kasus pencurian. Menurut Syariat, hukumannya adalah potong tangan, sedangkan KUHP tidak mengakuinya. Syariat Islam dan khilafah, cenderung mengarah pada gerakan penerapan kembali ‘Piagam Jakarta’, atau Hizbut Tahrir DI/TII dan lain sebagainya.

Ada perbedaan substantif antara hukum Syariat dan hukum Positif. Sebagai contoh, di awal abad ke-21, Panglima Laskar Jihad, bernama Ja’far Umar Thalib, pernah memberlakukan hukuman rajam hingga mati terhadap Abdullah yang mengaku sudah memperkosa seorang wanita. Tidak jelas betul proses dan prosedur yang ditempuh, tapi pelaksanaan hukuman rajam itu melanggar hukum Positif.

Menurut hukum Positif, pemberlakuan hukuman rajam sama halnya dengan pembunuhan, karena itu Ja’far melanggar pasal 359 KUHP tentang penganiayaan sampai meninggal dan pasal 156 KUHP tentang penyebaran rasa permusuhan. Fenomena ini menunjukkan adanya “konflik hukum” antara hukum Positif nasional dan hukum Islam, karena pelaksanaan hukuman ini atas pemahaman yang tidak integratif antar hukum positif nasional.

Dari fenomena penerapannya yang sudah dibahas di atas, sebagaimana yang sudah terjadi di daerah Aceh, tentu mengindikasikan bahwa ternyata penerapan Syariat Islam di negara Indonesia, bukanlah masalah sederhana. Jika pada beberapa percobaan sebagaimana dijelaskan di atas tidak bisa diterapkan secara menyeluruh, maka untuk mengkaji kembali kemungkinan keberhasilannya pada masa sekarang, dengan konteks yang jauh lebih rumit dan sangat kompleks, maka akan sangat lebih sulit lagi, bahkan tidak mungkin.

Kasus pemberlakuan Syariat Islam di Aceh misalnya, mencerminkan seperangkat komplikasi-komplikasi di antara berbagai kerangka yang sangat rumit di dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia. Oleh karena itu, meminjam Munawir Sjadzali (Menteri Agama RI ke-13), penerapan hukum Syariat Islam dalam negara Indonesia, memerlukan rekonstruksi Syariat itu sendiri. Tanpa itu, maka seruan untuk penerapan hukum Islam, hanyalah respon kultural defensif belaka terhadap perubahan struktural yang terus terjadi di kalangan masyarakat

Referensi
  1. Busthan Abdy (2017). Negara Bukan Agama! Agama Bukan Negara!. Kupang: Desna Life Ministry
  2. Fathia Liza. (2009). Syariat Islam: Solusi atau Polemik? http://liza-fathia.com/syariat-islam-solusi-atau-polemik/diakses tanggal 6 Februari 2017, pukul 18.16
  3. Olaf H Schumann. (2011). Agama-Agama: Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Sesungguhnya dalam konstitusi Indonesia, hanya ada satu nomenklatur yang digunakan untuk menyatakan kesamaan dan kesetaraan, yaitu “warga negara” Indonesia. Artinya bahwa apapun bentuk status dan kedudukan sosial serta latarbelakang suku, agama, ras dan lain sebagainya, yang dimiliki oleh seseorang, maka kedudukannya sebagai warga negara juga “setara” dengan kedudukan orang-orang lain yang berada disekitarnya.

Fakta ini ingin menegaskan bahwa konstitusi negara kita tidak mengakui adanya penempatan atau pengelompokan perbedaan ukuran dalam jumlah takaran-takaran seperti: besar-kecil, tinggi-pendek, hitam-putih, bahkan mayoritas-minoritas.

Namun pemahaman akan kesetaraan warga negara ini, sepertinya selalu menjadi jajanan menggiurkan bagi segelintir elit politik dalam gelaran pesta demokrasi di republik kita tercinta. Sebut saja jargon-jargon kampanye yang berbunyi “larangan” memilih pemimpin dari kalangan agama minoritas, atau dari suku di luar daerah tertentu, dan lain sebagainya. Tentunya fenomena “mayoritas-minoritas” ini sudah menjadi konsumsi melezatkan yang sejak lama selalu mewarnai semua jalannya pesta demokrasi di negara tercinta kita, Indonesia.

Karenanya maka jika harus mengatakan secara jujur dan apa adanya, istilah mayoritas-minoritas ini adalah sebuah pemahaman politik. Hal ini hanya bisa ditemukan melalui Pemilu dalam pesta demokrasi. Misalnya, sekarang ini PDI-P adalah mayoritas. Tetapi di lain waktu bisa saja partai lain yang menjadi mayoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Dikotomi
Dengan terus-menerus menonjolkan dikotomi dari istilah mayoritas-minoritas, maka secara tidak langsung, penduduk di sekat-sekat menurut ras, suku, agama, dll. Ini adalah sesuatu yang apartheid, dan karena itu tidak sehat dalam interaksi sebagai warga negara.

Kita semua dilindungi oleh konstitusi. Bukan yang mayoritas melindungi yang disebut minoritas. Sudah tentu jika kita makin dewasa di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita semua akan tenggang rasa satu sama lain.

Tetapi tenggang rasa saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan sosial. Hal utama yang seharusnya dipahami adalah, bahwa pengertian minoritas-mayoritas itu relatif-subjektif. Misalnya saja di daerah A kelompok Anda bisa mayoritas, tetapi di daerah B bisa saja kelompok Anda menjadi minoritas.

Itulah persisnya konstelasi Indonesia. Seseorang yang beragama Kristiani sudah tentu menjadi mayoritas di Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi ia tentu akan menjadi kelompok minoritas di pulau Jawa. Sebaliknya, mereka yang beragama Islam akan menjadi mayoritas di Jawa, tetapi di NTT dan Papua mereka akan menjadi minoritas.

Hal lainnya bahwa pemahaman minoritas-mayoritas tidak hanya bisa terpaku pada jumlah penduduk saja, melainkan juga pada luas wilayah dan sumbangannya bagi bangsa ini dari segi hasil bumi dan kekayaan. Maka dalam hal ini Papua adalah mayoritas, sedangkan Jawa bisa saja minoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Negara
Berbicara soal “mayoritas” dan “minoritas”, hanya terdapat satu pertanyaan menggelitik yang dapat dijadikan rujukan untuk lebih dalam memahami hubungan dari keduanya.

Pertanyaannya, bagaimana memadukan antara kepentingan mayoritas yang sekaligus juga dapat melindungi hak-hak minoritas? Atau dengan meminjam istilah teoriawan politik dan sosial asal Norwegia, Jon Elster (1993), bahwa bagaimana kita membangun keseimbangan antara majority rule dan individual rights?

Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah. Persoalan relasi mayoritas dan minoritas tidak cukup hanya berkutat pada salah satu diantara keduanya saja. Ia melibatkan dua hal penting, yaitu kesiapan kultur mayoritas sebagai subyek utama dan konstitusi negara.

Dalam negara demokrasi, istilah mayoritas dan minoritas seharusnya tidak ada. Namun antara ada dan tiada, maka ia selalu ada sebagaimana adanya!

Ya, hampir setiap hari di medan merdeka ini, selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas ini. Esensinya adalah agar mayoritas melakukan toleransi dan perlindungan terhadap minoritas, atau seruan bernada propokatif seperti pemusnahan dan pengkerdilan hak-hak kaum minoritas, dll.

Mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua bentuk. Ada mayoritas dan minoritas yang di lihat dari jumlah, ada mayoritas dan minoritas dari segi potensi dan peranan di Indonesia.

Biasanya jika menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi, maka artinya adalah pribumi. Sedangkan ditinjau dari segi keagamaan, maka yang dimaksudkan adalah umat Islam. Dan selebihnya dari itu disebut minoritas.

Sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan adat istiadat, ragam kelompok minoritas di Indonesia dengan sendirinya juga beragam. Ada minoritas etnis, minoritas ras, minoritas agama, dsb. Bahkan di dalam kelompok agama sendiri, ada minoritas aliran atau madzhab, minoritas penganut kepercayaan, dan lain-lain.

Dari sekian banyaknya kelompok minoritas seperti disebutkan sebelumnya, keberadaan jenis minoritas agama adalah yang paling problematik, terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan keyakinan. masing-masing.

Dalam bentangan lingkaran sejarah bangsa dan negara Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok minoritas sering mendapat perlakuan diskriminasi yang tidak adil. Meskipun secara konstitusional negara Indonesia memberi jaminan terhadap keberadaan kelompok minoritas. Tapi faktanya banyak kelompok yang tidak bebas dan bisa leluasa mengamalkan dan mengembangkan asas-asas agama dan keyakinan yang diyakininya.

Hingga hari ini, sejumlah tindakan penindasan dan kekerasan terhadap aktivitas beragama masih terus saja menghiasi wajah bopeng akibat benturan kaum mayoritas dan minoritas di medan merdeka ini. Ironisnya, munculnya perlakuan diskriminatif ini justru digerakkan oleh para Pemuka Agama yang notabene merupakan figura yang harus diguguhi dan diteladani. Tapi malah justru mendakwah kepada segelintir kelompok-kelompok mayoritas untuk memusuhi dan meminggirkan kelompok minoritas.

Perlakuan seperti ini terjadi dalam beberapa wujud seperti: klaim penyesatan dengan sebutan "kafir" terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan lain, penutupan tempat-tempat ibadah, larangan mengembangkan dan mendakwahkan keyakinan, hingga pembatasan hak-hak politik dan akses ekonomi, dan lain sebagainya.

Salah satu kelompok minoritas yang akhir-akhir ini sering mengalami perlakuan diskriminatif dan kerap menjadi sasaran amuk masa kaum mayoritas adalah umat Kristiani. Di berbagai titik di Indonesia, keberadaan umat Kristiani memang terus terancam. Bukan hanya tidak bisa mengamalkan keyakinannya, umat Kristen tak sedikit yang terpaksa kehilangan harta, tempat tinggal dan sarana ibadah, bahkan nyawanya.

Harus dipahami, bahwa negara Indonesia bukan negara agama mayoritas, negara tidak mengakui salah satu agama mayoritas sebagai satu-satunya negara resmi. Indonesia juga bukanlah sebuah negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada falsafah Pancasila.

Semua ajaran agama dengan masing-masing pemeluknya, harus diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan dan diutamakan di republik ini. Karena itu, pemisahan urusan negara dengan urusan agama tidak otomatis akan menjadikan negara sebagai negara sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara dalam mengurus agama, juga tidak otomatis menjadikan negara sebagai sebuah negara agama.

Diskriminasi Oleh Mayoritas
Kehidupan berbangsa saat ini memang teramat sulit memaknai “kerukunan” dalam artinya yang sebenarnya. Seharusnya hidup dalam kerukunan dengan aneka macam perbedaan suku, budaya dan agama, adalah sesuatu yang indah. Sebab antara mayoritas dan minoritas bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Meminjam Yewangoe (2011:32) bahwa, kerukunan tentu saja bukan masalah praksis semata-mata. Ia juga merupakan ungkapan dari keyakinan dan iman seseorang. Artinya, dengan mengimani dasar agamanya masing-masing, maka dalam praktik hidup berbangsa, kaum mayoritas dan kaum minoritas bisa saling menghargai, dan jauh dari kecurigaan dan diskriminasi yang berkepanjangan, sehingga terbentuklah kerukunan.

Namun sangat disayangkan, perlakuan diskriminatif sering dirasakan pemeluk agama minoritas (agama Kristen) di republik tercinta ini. Ini ditandai dengan maraknya perlakuan-perlakuan diskriminasi yang tentunya dilakukan agama mayoritas.

Beberapa diantaranya seperti disebutkan sebelumnya bahwa munculnya pemuka agama yang mendiskriminasi pemeluk agama lain dengan sebutan kafir, pembubaran ibadah umat, juga tragedi pemboman tempat-tempat ibadah, serta tindakan pelarangan dan pendirian, sekaligus penutupan rumah-rumah ibadah. Seperti nyata terlihat dalam kasus-kasus pemboman Gereja di Samarinda, pembubaran Ibadah di Sabuga Bandung pada tahun 2016 misalnya.

Tempat beribadah, memang salah satu tempat favorit yang menjadi sasaran amarah mayoritas. Dalam banyak kasus penutupan serta kasus penyegelan tempat ibadah, terkadang merembet pula kepada fasilitas lainnya, misalnya sekolah, sekretariat yayasan yang dianggap memiliki afiliasi terhadap agama tertentu, dll.

Tempat beribadah umat minoritas Kristen adalah yang paling sering mendapatkan perlakuan semacam ini. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mulai dari alasan izin pendirian tempat ibadah yang dinilai belum lengkap, ketiadaan persetujuan warga sekitar atas keberadaan tempat tersebut, hingga alasan lain seperti menganggu ketertiban umum. Alasan-alasan seperti ini justru tidak beralasan.

Munculnya ketegangan relasi antara mayoritas dan minoritas, sebenarnya terkait dengan pergeseran orientasi masyarakat dalam menyikapi perbedaan saja. Perbedaan masih dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Hal ini sebetulnya tidak lepas dari “politik penyeragaman” atau “politik homogenisasi” yang efektif dijalankan pada rezim Orde Baru (Orba), yaitu dengan sebisanya aneka perbedaan ditekan seminimal mungkin, dan dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan lagi.

Politik SARA, adalah politik Orde Baru yang sangat efektif dalam menutup rapat perbincangan mengenai ‘perbedaan’ di masyarakat. Maka ketika rezim yang berkuasa tumbang, akhirnya masyarakat pun kurang siap mendialogkan dan mengelola perbedaan tersebut. Akibatnya, di sana-sini muncul keterkejutan berjamaah atas keragaman yang sejatinya telah ada sejak lama di sekitar mereka.

Mayoritas Islamisme
Munculnya penguatan identitas keagamaan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini, juga menandai bangkitnya apa yang oleh Oliver Roy (1996, 2004) sebutkan sebagai “Islamisme”, yaitu sebuah gerakan yang kembali menguat terutama di daerah Timur Tengah dan yang segera meluas ke seluruh penjuru wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Ada dua jenis atau tipe Islamisme: moderat dan liberal. Kelompok pertama, mengupayakan dan membela posisi Islam politik yang reformis. Sementara yang kedua, getol menggunakan cara-cara revolusioner untuk bisa menggulingkan rezim yang berkuasa dan menggantikan ideologi negara dengan ideologi Islam.

Bagi kelompok Islamis, lewat jalur aksi sosial dan politik secara bersamaan, masyarakat dapat diislamkan. Di negara Indonesia, jumlah kelompok ini terbilang kecil dibandingkan kelompok Muslim kultural. Tetapi militansi dan kreativitas dari aktivisnya dalam mengemas program serta kekuatan jaringan yang dimiliki, menjadikan kelompok Islamis sebagai sebuah kelompok gerakan keagamaan yang tak bisa diremehkan.

Sementara organisasi keagamaan yang tergolong lebih moderat, seperti misalnya NU dan Muhammadiyah, terkadang disibukkan pula oleh urusan internal organisasi dan kurang menawarkan inovasi-inovasi baru dalam dakwah. Keberadaan kelompok-kelompok Islamis ini akan semakin menguat ketika bergandengan tangan dengan para politisi yang ingin memanfaatkan isu-isu agama sebagai bagian dari upaya mendongkrak kepentingan partai politik.

Dalam pertarungan perpolitikan di tanah air, memang para politisi kerapkali menyeret agama untuk kepentingan mendulang suara. Dengan populasi lebih dari 80%, umat Islam merupakan massa riil yang diperebutkan oleh banyak partai-partai. Dan untuk meraih simpati, sentimen agama dan penggunaan isu-isu keagamaan menjadi daya pikat bagi para pemilih terutama pemilih pemula. Fenomena seperti ini dapat dengan mudah dijumpai pada maraknya kontestasi simbol-simbol agama di ruang publik.

Memang bukan suatu rahasia umum lagi, ketika para politikus doyan mengusung simbol-simbol agama. Seolah hal ini menjadi trend para politisi lokal maupun nasional dalam meraih simpatisan massa. Dalam kasus pemilihan kepala daerah misalnya, banyak sekali kandidat dan tim sukses yang mengusung simbol-simbol agama dalam kampanye mereka. Di sinilah problem minoritas kerap kali muncul. Karena secara kuantitas kecil, maka suara kelompok minoritas ini tidak diperhitungkan sama sekali.

Identitas Mayoritas Kedaerahan
Kontestasi simbol agama memang bukan hanya berkutat pada karakteristik Islam semata. Hal ini juga sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Pada daerah-daerah dimana agama Islam sebagai mayoritas, maka isu-isu keislaman akan banyak ditonjolkan. Sementara pada daerah-daerah minoritas seperti di wilayah NTT atau Papua, di mana warga Kristen yang lebih dominan, maka identitas Kristen yang menonjol.

Demikian halnya ketika di Bali, maka simbol kehinduan yang mengemuka. Penguatan identitas keagamaan seperti ini terkadang bersaing dengan identitas etnis, isu pribumi (warga asli) dan non-pri (warga pendatang). Isu minoritas pendatang yang sukses dengan mayoritas pribumi yang tertindas juga kerap mengemuka pada momen-momen politik di daerah. Salah satu yang hangat akhir-akhir ini adalah upaya pencekalan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terindikasi sebagai warga pendatang dan berasal dari agama minoritas.

Narasi-narasi masa lalu, baik yang berupa kejayaan pribumi maupun ketertindasan (grievances), selanjutnya sengaja dibangkitkan untuk mendukung dan menyatukan jumlah massa mayoritas yang sudah lama mengambang. Biasanya pemisahan masyarakat semacam ini, lebih efektif untuk bisa mengantarkan salah satu calon menuju puncak pimpinan. Perkembangan selanjutnya bisa di duga, tetap saja kelompok mayoritas akan menguasai, sementara minoritas hanya selalu tersubordinasi.


Oleh: Abdy Busthan
Tulisan ini diambil dari buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"

Yang berminat, kontak 081333343222 (WA)

Ada ungkapan seperti ini: “dia itu orang kafir" ; "orang kafir itu tidak pantas menjadi pemimpin" ; "orang-orang kafir itu tidak akan masuk syurrga”... dan bla..bla...bla...lainnya

Dalam konteks bernegara, kalimat-kalimat di atas sesungguhnya merupakan sebuah kecurigaan mendalam terhadap kelompok lain. Lebih tepatnya kata ini adalah “penistaan” terhadap agama lain.

Akhir-akhir ini, memang istilah “kafir” atau mengafirkan orang, mulai mewabah lagi di medan merdeka ini. Beberapa Pemuka Agama yang justru menjadi panutan umat, muncul bersama klaim-klaim arogansinya, seraya menuduh orang yang tidak sepaham dengan sebutan “orang kafir”.

Mereka muncul mendakwahkan kebenaran namun seakan-akan menganggap dirinya sendiri paling benar, tersuci dan paling tak berdosa dibanding dengan orang lain, sekaligus dari ajaran yang ia dakwahkan tersebut! Dan celakanya lagi, mereka tidak menyadari bahwa dengan melakukan hal seperti itu, sesungguhnya mereka sudah menurunkan derajad kesucian Allah SWT.

Makna "Kafir" Yang Sesungguhnya
Jika berkenan, mari kita sejenak mendalami makna dari istilah 'kafir' ini secara cermat dan tidak membabibuta. Mungkin kata ini sejak kecil sudah melekat pada kita. Dan makna yang tidak tepat ini turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi, yang pada akhirnya kita menerimanya dengan taken for granted saja, tanpa harus memeriksa lagi kebenaran makna yang sesungguhnya terkandung di dalamnya.

Dan seandainya mereka-mereka yang sering dengan sombongnya menggunakan kata ini untuk menjustifikasi orang lain, mau sedikit menjadi cerdas dengan membuka Al-Quran, maka tentu mereka akan menemukan makna qur’aniyah dari kata ‘kafir’ ini yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan agama secara langsung.

Ya, makna qur’aniyyah dari istilah ‘orang kafir’ bisa kita temukan di dalam surat Al-Kahfi ayat 100 dan 101, sebagai berikut:



Q.S. 18:100, “dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.”

Q.S. 18:101, “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (diterjemahkan di terjemahan qur’an bahasa Indonesia dengan kata ‘memperhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”

Dari dua ayat di atas, kita bisa menemukan definisi qur’aniyyah dari kata ‘kafir’ secara jelas, bahwa Al-Kafiriin atau orang-orang kafir adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar.

Maka demikian, apakah orang yang kebetulan ketika lanjut usia ia menjadi tuli atau menjadi buta karena usia tua, apakah ia berarti ditakdirkan akan mati dalam keadaan kafir? Atau, jika seseorang kebetulan ditakdirkan tuli atau buta sejak lahir, apakah artinya ia ditakdirkan untuk hidup sebagai orang kafir? Sebab sama sekali bukan keinginannya untuk dilahirkan sebagai orang buta atau tuli. Apakah Allah menakdrkannya kafir karena kebetulan lahir sebagai orang tuli atau buta?

Jawabannya adalah tidak! Semua orang, termasuk mereka yang buta atau tuli, diberikan Tuhan kesempatan untuk mati kelak dalam keadaan diridhoi-Nya. Jika demikian, mata dan telinga mana yang tertutup? Jawabannya bisa kita dapatkan pada Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46.


Q.S. 22:46, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”

Dari definisi Qur’an di atas maka jelaslah bahwa yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama, tetapi mereka yang mata dan telinga qalb di dalam dadanya tidak berfungsi. Asal kata ‘kafir’ dan ‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’ artinya penutup). Artinya bahwa ‘kafir’ adalah orang yang masih tertutup dari ‘Al-Haqq’ (kebenaran mutlak).

Mata dan telinga yang di dalam dada, maksudnya adalah mata dan telinga yang adanya bukan pada level jasad kita, tapi lebih dalam lagi. Mata dan telinga yang dimaksud adalah mata dan telinga yang ada dalam qalb kita, dalam dada/shuduur, yang ada pada level jiwa (nafs). Shuduur artinya ‘dada spiritual’, sebagaimana hati yang biasa kita kenal bukanlah liver maupun jantung, tapi lebih kepada aspek afektif manusia yaitu hati nurani (‘hati spiritual’).

Nah pertanyaannya, jiwa atau nafs yang mana? Tentu kita mengetahui bahwa ada tiga unsur yang dipersatukan dalam membentuk kesatuan manusia yang hidup, yaitu Ruh, Nafs (jiwa), dan Jasad. Jiwa inilah, yang di dalam ajaran Muslim diabadikan dalam Q.S. 7:172, yang dahulu sekali di sumpah di hadapan Allah untuk menjadi saksi (syahid, perhatikan kata bahasa arabnya: syahidna, kami bersaksi) mengenai siapakah Rabb mereka.

Selanjutya, Fahmi Huwaidi (1999) dalam bukunya "Muwathinun La Dzimmiyyun" menyatakan bahwa sebenarnya istilah “kafir dzimmy” bukanlah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Islam. Ia sudah ada sejak kabilah-kabilah Arab mulai bersekutu satu dengan yang lainnya. Islam hanya melanjutkan apa yang sudah berlaku saja. Begitu pula dengan istilah “jizyah”, yang sudah dikenal bahkan sejak masa Kisra di daerah Persia. Islam, lagi-lagi hanya meneruskan sistem tersebut.

Maka dengan demikian, upaya penyesuaian sistem tersebut di masa sekarang sangat dimungkinkan. Fahmi menghadirkan 4 (empat) argumen untuk menguatkan ide tersebut:

Pertama, prinsip umum bahwa umat manusia (apapun agamanya) telah dimuliakan oleh Allah (Al-Isra’: 70). 

Kedua, Al Qur’an mendorong umat Islam agar berlaku baik dan adil bagi non-Muslim yang tidak memerangi mereka (Al-Mumtahinah: 8). Diantara sikap adil tersebut adalah memberi hak dan kewajiban yang sama. 

Ketiga, esensi dari perlindungan Rasulullah Saw pada kafir dzimmy. Rasul dalam hal ini ‘pasang badan’ untuk golongan ini. Menunjukkan mereka memiliki kehormatan yang sama. 

Keempat, Piagam Madinah yang secara tersurat dan tersirat menempatkan Yahudi-Nasrani sebagai warga “negara” Madinah.

Empat argumen Fahmi di atas merupakan bentuk “ijtihad”, dalam artian bahwa pintu ijtihad tidaklah tertutup. Sebagaimana kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman) yang berada pada kekhalifahan terakhir pada tahun 1876 sudah menghapus istilah ‘dzimmy’ ini menjadi “muwathin” (warga negara), yang meskipun penghapusan ini termasuk ijtihad politik, namun substansi utamanya adalah agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Nah, bagaimana dengan konteks sekarang? Kekhalifahan Islam sudah tidak ada lagi di muka bumi. Negara-negara Islam sudah berdiri sendiri-sendiri. Dalam artian mereka tidak lagi terikat dengan kekhalifahan. Maka dengan sendirinya istilah “kafir dzimmy” bersama dengan segala aturan-aturan tentangnya, secara otomatis gugur bersamaan dengan hilangnya sistem kekhalifahan. Kendatipun istilah “kafir dzimmy” dapat di ubah menjadi "muwathin" (warga negara) pada sistem pemerintahan Islam.

'Kafir' dalam Konteks Indonesia
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana konsep “kafir” dalam konteksnya dengan negara Indonesia? Tentu saja di negara yang menganut sistem demokrasi, istilah kafir sangat-sangat tidak relevan. Indonesia tidak diperuntukkan untuk dikelola oleh kaum mayoritas Muslim saja. Sebab demokrasi di Indonesia memungkinkan siapa saja berhak mengambil peran politik.

Untuk itu, penggunaan kata “kafir” tidak dapat dibenarkan sama sekali di ruang publik Pancasilais. Sebab jika kata ini digunakan dengan harbabiruk (boleh di baca: “seenaknya”), maka bangsa Indonesia akan semakin berada di dalam krisis, di mana Agama akan dianggap sebagai stasiun akhir dari sebuah kultus yang harus dipaksakan kepada siapa saja, kapan sajam dan di mana saja, serta dengan cara apa saja. Dan ini sangat berbahaya.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam iklim demokrasi Indonesia sangatlah dimungkinkan bagi kelompok-kelompok agama mendukung satu sosok atau figur yang hanya mewakili agamanya saja. Hal ini lumrah dan sah-sah saja. Namun sekali lagi, penggunaan kata “kafir” atau kata “musyrik” misalnya, haruslah terbatas pada mimbar keagamaan saja (wilayah privat).

Istilah apapun yang digunakan untuk menyebutkan kelompok lain di luar agama yang kita anut, terbatas pada ranah agama itu sendiri. Sebab sekali lagi, dalam demokrasi tidak ada istilah kafir dan yang sejenis. Sebagaimana dalam konteks perpolitikan global, tidak kurang banyaknya pemimpin negara-bangsa yang juga beragama Muslim. Tapi pada kenyataannya, jauh panggang dari apinya. Muslim ataukah non-Muslim, sama sekali tidak menjamin kualitas kepemimpinan.

Tanpa tasbih, sorban, jubah, Presiden Soekarno dan Muhamad Hatta, misalnya, berhasil mengobarkan perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan NKRI. Mandela yang bukan Muslim, berjaya dan dihormati di Afrika. Gandhi yang Hindu, juga menjadi kecintaan di negara India. Bahkan Chavez yang Katolik, dipuja-puji di Venezuela, dll.

Agama dan ajarannya tidak bisa dijadikan sandaran pengelolaan kehidupan bernegara yang di dalamnya terdiri dari berbagai etnis, budaya dan agama. Tetapi bukan berarti para pemeluknya harus kehilangan kewarasan berpikir, dan kejernihan hati dalam memahami doktrinnya masing-masing.

Kita perlu melihat ke belakang karena kehancuran sebuah bangsa di masa lalu, cenderung terjadi akibat agama-agama yang selalu ditunggangi para pegiat politik dengan seperangkat ambisinya untuk berkuasa. Dan nyaris semua agama dunia pada era sekarang ini—termasuk NKRI—memiliki seperangkat riwayat kelam akibat kolaborasi ‘penguasa’ melalui lembaga agama ini.

Semua ayat suci yang sejatinya diturunkan Tuhan ke muka bumi, tak cukup hanya dijadikan korpus semata. Ia harus dipahami dengan arif dan bijaksana. Ya, keniscayaan seperti inilah yang selanjutnya menyita habis kehidupan para pembawa kebaikan dan pembawa keadilan untuk mengasihi dan menyayangi sesamanya pada setiap zaman ke zaman. Jauh di lubuk hati, mereka sadar dan paham betul, waktu pasti akan melindas. Maka tak ada pilihan lain kecuali hidup saling mengasihi bersama waktu yang berawal tapi tak berakhir. Jalan terbaik mewujudkan itu adalah, menjadi agen kebaikan dari waktu ke waktu untuk manusia dan makhluk Tuhan lainnya, demi menghadirkan kebaikan dan keadilan. Sebab dengan berbuat kebaikan itulah maka nama mereka dapat dikenang dan harum sepanjang masa. Hidup mereka pun abadi dalam sejarah manusia.

Mugkin kita masih ingat sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (24 Januari 2017) pernah mengajukan keberatan atas sebutan “kafir” kepadanya. Ahok saat itu sempat mengatakan: "Saya keberatan saya disebut kafir. Saya percaya Yesus Tuhan saya bukan kafir. Saya berhak menjadi apa saja di negeri ini."

Ya, sesungguhnya kafir-mengkafirkan seseorang di alam demokrasi ini, adalah suatu kebodohan, sekaligus kedangkalan dalam berbangsa dan bernegara. Ini sebuah patologi! Tepatnya, penyakit di alam demokrasi.

Profesor Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals Arab Saudi, Sumanto al Qurtuby (2016), dalam artikelnya menyatakan bahwa, sesungguhnya status “kafir-sesat” sangat relatif-subyektif.

Kita bisa saja memandang sesat atas praktik keagamaan orang lain. Tetapi sadarkah kita bahwa orang lain itu juga bisa jadi memandang sesat terhadap praktik keagamaan yang kita lakukan. Jadi tidak ada label “kafir-sesat” yang bersifat “obyektif” dan “inheren”, karena faktanya apa yang kita anggap “benar” dan “legitimate” itu belum tentu dianggap “benar” dan “legitimate” di mata orang lain.

Sebagaimana sudah di bahas sebelumnya bahwa sesungguhnya makna kata “kafir” adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Nah, jika saja kata ini muncul di depan publik Pancasilais yang menjunjung tinggi kesamaan hak dan kewajiban, lalu kemudian dilontarkan kepada umat Nasrani, maka sesungguhnya hal itu adalah sebuah penghinaan terhadap agama Kristen, yang harus diberikan sangsi tegas melalui ranah hukum yang berlaku di Republik tercinta ini. Pada saat yang sama juga merupakan arogansi yang mendahului penghakiman Tuhan.

Kristen bukan kafir! Sebab agama Kristen percaya kepada Allah YAHWEH, yakni Allah Abraham, Isak dan Yakub, bahkan Allah Ismail! Sebagaimana kitab Mazmur 33:12 menuliskan, “Berbahagialah bangsa yang Tuhannya adalah YAHWEH”.

Perlu ditegaskan bahwa Tuhan Alkitabiah bukan merupakan hasil suatu deskripsi manusia. Dia menyatakan Diri-Nya sendiri kepada Abraham, Yakub, Musa dan para Nabi, dan Dia turun ke dunia untuk memanifestasikan Diri-Nya sendiri secara badaniah dalam wujud pribadi Yesus dari Nazaret. Dimana Yesus berkata: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9).

Jadi pada titik ini umat Kristen tidak menyusun konsep Tuhan Alkitabiah. Tuhan yang sendiri menyatakan DiriNya, yaitu HakikatNya, NamaNYa, KemuliaanNya, Hukum-hukumNya, PengadilanNya, KasihNya, dan KesucianNya. Jika semuanya itu disingkirkan melalui klaim-klaim sesat yang tidak terukur kebenarannya, maka berarti tidak ada maujud yang dinamakan Kristen!

Inilah yang harus dipahami agar kita tidak mengatakan kata “kafir” pada agama lain dengan seenaknya, sehingga tidak terperosok dalam klaim benar-salah.

Refleksi Bersama
Sebagaimana sudah ditekankan sebelumnya bahwa akhir-akhir ini kita kerapkali mendengarkan kata “kafir” yang keluar dari para Tokoh Agama dan pemeluk Islam radikal, baik di media sosial, melalui tulisan teks, maupun melalui video, dll. Pertanyaannya, siapakah manusia yang layak mengkafirkan orang lain di negara Pancasila ini?

Menurut UU No 40 tahun 2008, telah dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara dengan keberagaman. Tidak ada orang, kelompok, institusi yang berhak berlaku SARA, mengelompokkan orang hanya karena, suku, etnis, agama.

Berdasarkan UU di atas, jelaslah bahwa eksklusivitas dari satu kelompok agama tertentu, adalah melawan hukum di Indonesia. Indonesia negara besar yang akan hancur jika semua pihak merasa paling benar, sementara golongan kelompok lainnya merasa paling minoritas serta dirugikan. Harus ada “warning” dalam tatanan hidup bersama.

Jika tidak, maka bukan tidak mungkin bangsa ini akan mengalami kehancuran yang sama seperti terjadi di negara-negara timur tengah yang hancur bukan karena kelaparan, atau soal ekonomi. Namun karena piciknya para pemimpin agamanya bermain politik demi kekuasaan duniawi.

Sungguh sangat tidak elok rasanya, jika semua pihak menganggap sesamanya adalah ‘kafir’ dan harus beragama a, b, c, dengan pemaksaan. Kita semua harus mengenal arti kata “dakwah” itu sendiri, sebab konsep dakwah yang sejati adalah dakwah yang mengagungkan keberagaman tanpa paksaan. Untuk itu, marilah kita sebagai elemen berbangsa, kita sama-sama menjaga tatanan hidup dengan menghindari segala bentuk kebutuhan untuk memastikan ekslusivitas, namun menjadi masyarakat yang saling berangkulan satu dengan lainnya dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika).

Oleh: Abdy Busthan
***
Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan
ISBN: 978-602-6487-05-6

Ada pertanyaan sederhana, apakah keyakinan kita terhadap sesuatu bisa menjawab segala hal yg tidak kita ketahui terlebih dahulu?

Pengetahuan kita akan sesuatu dimulai dengan keyakinan kita terhadap sesuatu itu sendiri. Jika kita tidak meyakini sesuatu, maka kita tdk mungkin mengetahui sesuatu.

Semua penelitian dan pengajuan ilmiah dalam bentuk apapun, akan selalu didasarkan pada "keyakinan". Sebelum ilmuwan menyelediki ilmu apapun yang ada di alam ini, maka ia akan memiliki satu set praanggapan yang didasarkan pada keyakinan terdalam.

Ketika seseorang menyelidiki suatu hal, maka terlebih dahulu ia yakin dan memiliki kepercayaan bahwa nantinya ia pun dapat mengetahui. Sehingga dengan dorongan itu, maka ia mulai menyelediki sesuatu. Pada titik ini, maka keyakinan mendahului pengetahuan.

Setiap siapa saja yang melakukan studi dan kajian ilmu (baik itu para ilmuwan, peneliti, filsuf, dan kaum terpelajar, tanpa terkecuali), entah ia menggunakan metode ilmiah apa saja, seperti metode induksi maupun deduksi, maka tanpa ia sadari, ia pun akan masuk pada hakikat dasar (yang terdalam) yaitu "keyakinan-nya" terhadap sesuatu. Artinya bahwa di dalam melakukan penyelidikan, seseorang pasti akan menginginkan bukti.

Tetapi ingat bahwa sebelum bukti itu muncul, orang tersebut telah memulainya dengan suatu praanggapan yaitu keyakinan (meyakini).

Misalnya metode deduksi dan silogisme dari filsuf Aristoteles yang menggunakan 3 (tiga) tahap silogisme dalam hal menemukan kebenaran dengan rasio: yang pertama, disebutkan sebagai "premis mayor", kedua "premis minor" dan ketiga adalah "kesimpulan".

Sebagai contohnya:
Semua manusia bisa mati (premis mayor)
Budi adalah manusia (premis minor)
Maka Budi bisa mati (kesimpulan)

Premis minor dalam silogisme seperti kalimat di atas, sebenarnya telah dimulai dengan suatu keyakinan. Kalimat yang menyatakan "semua manusia bisa mati", adalah keyakinan yang belum pernah dibuktikan.

Ketika seseorang mengatakan bahwa, "Saya melihat memang semua manusia akhirnya mati", maka kalimat ini bukanlah suatu kebenaran, karena yang melihat sendiri belum mati. Berarti, belum "semua" manusia mati. Jika diri yang melihat sudah mati, maka sebenarnya ia sendiri tidak akan dapat membuktikan apa-apa, sebab ia sudah mati.

Jadi, jika seseorang melihat semua orang yang sudah mati, tetapi ia belum pernah melihat kematian orang yang sesudah ia mati, maka teori ini belum dapat terbukti dengan benar!

Maka dalam hal ini premis mayor (semua manusia bisa mati) yang dijadikan dasar untuk rasio berpijak untuk dapat mencari suatu pembenaran, belum dapat dibuktikan sama sekali, maka hal ini bukan bukti, tetapi sebuah "keyakinan". Maka dapatlah dipahami bahwa apapun bentuk ilmu pengetahuan dan rasio, maka ia tidak akan bisa terlepas dari "keyakinan".

Misalnya kalimat yang mengatakan: "Buktikan baru saya percaya", adalah kalimat yang juga sebenarnya menunjukkan "keyakinan" itu sendiri. Jika terbukti baru dapat dipercaya, adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu, maka ini adalah Keyakinan.

Jadi, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah, bahwa keyakinan kita terhadap sesuatu tentu akan menjawab segala hal yg tidak perlu kita ketahui terlebih dahulu....

Salam Wassalam.. Hormat di bri.
(Ditulis oleh: Abdy Busthan)

Secara sederhana, ranah pendidikan adalah berbagai perilaku pendidikan dalam diri manusia sebagai gambaran insan pendidikan. Sebagai perilaku manusia, maka ranah pendidikan ini dapat dikelompokkan menjadi 3 ranah, yakni: Afektif, Psikomotorik dan Kognitif.

Ranah Afektif, adalah suatu ranah perilaku manusia yang berhubungan dengan hati dan perasaan. Ranah ini biasanya terwujud dalam karakter dan moral seseorang.

Hati dan perasaan, merupakan pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik, yang berwujud suatu tingkah laku yang tampak.

Karenanya, emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku manusia. Dalam diri manusia, semua aktifitas bermuara di sini. Mungkinkah kita melakukan dan mengambil sesuatu, jika hati dan perasaan kita tidak menginginkannya?

Ranah Psikomotorik, adalah ranah perilaku manusia yang berhubungan dengan ‘kerja otot’ yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang sederhana seperti gerakan-gerakan halus, sampai gerakan-gerakan yang kompleks.

Ranah psikomotorik menyangkut dengan gerakan tubuh, misalnya gerakan tangan, seperti jenis genggaman, gerakan menjepit (pincer); serta koordinasi antara gerakan berbagai anggota tubuh pada olahragawan, penari atau pemain alat musik, pengendalian gerakan motorik.

Ranah Kognitif, merupakan ranah perilaku manusia yang berhubungan dengan pikiran (kognisi), intelektual atau proses berpikir. Biasanya ranah ini identik dengan kecerdasan berpikir, yang ukurannya adalah tingkat IQ seseorang.

Semakin tinggi IQ, maka akan semakin cerdas seseorang berpikir. Menurut Eggen Paul & Kauchak Don (2012:8), istilah kognitif lebih merujuk pada aktivitas berpikir dalam berbagai bentuk. Pemikiran ini bisa dimulai dengan hal sederhana hingga hal yang kompleks, seperti mengingat nomor telepon, hingga hal yang kompleks seperti pemecahan masalah rumit dalam bidang apapun.

Ranah Afektif Paling Utama
Ketiga ranah di atas, masing-masing memiliki peranan yang sangat penting dalam perilaku pendidikan setiap individu. Namun, ada pertanyaan penting yang perlu di bahas lebih dalam lagi tentang ketiga ranah ini.

Pertanyaannya, manakah dari antara ketiga ranah ini (afektif, psikomotorik dan kognitif) yang paling di utama dan pertama dalam kehidupan?

Jawabannya adalah ranah afektif! Mengapa? Sebab tidak ada satu penemuan apapun di dalam bidang ilmu apapun, yang tidak didasarkan pada pra anggapan dari keyakinan hati dan “perasaan” yang terdalam (afektif).

Ranah afektif dalam hal ini lebih utama dan pertama dari kognitif. Ketika seseorang menyelidiki sesuatu hal misalnya, maka terlebih dahulu ia yakin dalam hatinya dan memiliki kepercayaan dalam hatinya bahwa nantinya ia dapat mengetahui, sehingga dengan dorongan keyakinan itu, maka ia mulai menyelediki sesuatu. Maka pada titik ini, keyakinan dalam hati dan perasaan pun mendahului pengetahuannya.

Ada banyak pendapat ahli yang mengatakan bahwa yang paling utama dan utama adalah kognitif. Pendapat semacam ini sangat keliru, sebab sudah banyak bukti orang yang hanya cerdas intelektualnya saja, justru seringkali menemukan kegagalan dalam hidup karena melakukan hal-hal yang jauh dari prinsip-prinsip pedagogik (didikan).

Memang secara intelektual, mereka bisa dikatakan pintar dan jenius, namun jika kepintaran yang mereka miliki hanya digunakan untuk hal-hal yang merusak sesama manusia dan diri sendiri, maka sudah dapat dipastikan mereka pasti akan menemukan kegagalan dalam hidup.

Jadi, hal terpenting dan utama dalam setiap aspek kehidupan apa saja adalah “ranah afektif”. Semua pendidikan, akan dimulai dari tingkatan hati dan perasaan. Sementara perasaan seseorang tidak terletak di dalam otaknya, melainkan dalam hatinya.

Setiap orang akan menerima apa yang mereka rasa harus diterima, dan menolak apa yang mereka rasa untuk di tolak. Jika sikap mereka positif, mereka cenderung menerima yang mereka dengar. Jika sikap mereka negatif, maka mereka cenderung menolak.

Jika saya memiliki perasaan negatif terhadap Anda, saya pasti akan menolak apa yang Anda katakan, karena saya menolak Anda (Hedricks G Howard 1987). Itulah sebabnya, tangan seseorang tidak mungkin meraih sesuatu, jika hatinya tidak menginginkan. Bahkan kemampuan berpikir dalam berpikir tidak akan mungkin dapat dilakukan, jika hati tidak menggerakkannya.

Karena itu, anggapan bahwa jika perilaku kognitif bekerja, maka perilaku afektif seseorang tidak diperlukan, adalah anggapan yang sangat konyol! Bahkan dalam kajian bidang ilmu apapun, anggapan seperti ini sangat antagonistik dengan kebenaran alias tidak benar dan tidak mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sebab semua penelitian dan pengajuan ilmiah dalam bentuk apapun, akan selalu didasarkan pada satu set "keyakinan". Sebelum para ilmuwan menyelediki ilmu apapun yang ada di alam ini, maka ia akan selalu memiliki satu set praanggapan yang didasarkan pada keyakinan di dalam hati dan perasaannya.

Setiap siapa saja yang melakukan studi dan kajian ilmu—baik itu para ilmuwan, peneliti, filsuf, dan semua kaum terpelajar, tanpa terkecuali—baik ia menggunakan metode ilmiah apa saja seperti metode induksi maupun deduksi, maka tanpa sadar, ia akan masuk pada hakikat dasar dan terdalam yaitu 'keyakinan' hatinya.

Artinya bahwa di dalam melakukan penyelidikan, seseorang pasti akan menginginkan bukti. Tetapi ingat bahwa, sebelum bukti itu muncul, orang tersebut telah memulainya dengan suatu praanggapan yang bersifat imaniah melalui hati dan perasaannya.

Untuk itu, maka apapun bentuknya, semua ilmu pengetahuan dan rasio, tidak akan bisa terlepas dari keyakinan dalam hati dan jiwa (ranah afektif).

Misalnya kalimat yang mengatakan “Buktikan baru saya percaya”, adalah kalimat yang menunjukkan keyakinan itu sendiri. Jika terbukti baru dapat dipercaya, adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu, maka ini adalah keyakinan dalam hati.

Bayangkan saja, jika terdapat seseorang yang memiliki IQ (intelektual) yang tinggi, tetapi tidak didasarkan dengan EQ (hati) yang bagus? Maka orang tersebut dapat disejajarkan dengan setan yang paling jenius.

Sebagai bukti nyata adalah kehidupan William James Sidis yaitu manusia yang memiliki tingkatan IQ tertinggi di dunia. Dengan pencapaian IQ lebih dari 250, Sidis merupakan orang yang paling cerdas di dunia. Namun kecerdasan yang dimilikinya itu tidak seimbang dengan penderitaan kehidupan yang dialaminya, dimana akhir kehidupannya, ia justru hidup ditempat pengasingan, bahkan kehidupannya berakhir dengan tragis (Busthan Abdy, 2016:27).

Karena itu, seseorang dapat dikatakan cerdas dan bijaksana, ketika ranah afektifnya terbentuk dengan baik.

Coba kita lihat dasar ranah pendidikan yang diajarkan oleh Yesus Kristus dalam kutipan pada Injil Lukas 10: 27:

" Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri".
Kutipan ayat di atas tidak dapat kita bolak-balik. Jelas susunan yang utama dan pertama adalah "segenap hati" dan "segenap jiwa" yang merupakan wilayah afektif. Kemudian yang kedua adalah "segenap kekuatan" yang merupakan ranah psikomotorik, dan diakhiri oleh ranah kognitif, yaitu "segenap akal budi".

Dasar hierarki pendidikan yang sesungguhnya haruslah berpatokan pada ayat di atas! Sebab ingat bahwa: “Pembelajaran yang paling berdampak adalah bukan dari tangan ke tangan, bukan dari kepala ke kepala, dan bukan pula dari kaki ke kaki, tapi dari hati ke hati”.

Ya, ungkapan di atas haruslah menjadi acuan untuk mendidik anak-anak kita. Dengan hati, kita mampu memaafkan kesalahan terbesar orang lain terhadap kita. Rasio, bahkan kekuatan Anda tidak akan pernah mampu untuk memaafkan! Hanya hati yang mengasihilah yang mampu melakukan itu!

Dalam pendidikan, kita akan mampu mengasihi siswa/i hanya dengan segenap hati. Dan dengan hati kita pun bisa mengerti kekurangan bahkan kelebihan dari siswa/i kita. Dengan hati kita juga mampu membimbing dan menyatu dengan dunia anak-anak!

Ingat bahwa kebijaksanaan sejati hanya berlandaskan pada "segenap hati" dan "segenap jiwa". Kita tidak mungkin mampu memecahkan persoalan-persoalan seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Salomo, tanpa kita menggunakan hikmat yang bertumpu dari hati nurani kita.

Oleh: Abdy Busthan

*****
Tulisan di atas di kutip dari buku:
"Pengantar Pendidikan: Konsep & Dasar Pelaksanaan Pendidikan" (Hal 42-45)
Penulis: Abdy Busthan
Penerbit: Desna Life Ministry
Tahun Terbit: 2016
Alamat Penerbit: Kupang

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget