Articles by "Pendidikan dan Teknologi"

SUARA.NABIRE - Rektor Universitas Satya Wiyata Mandala, Dr. Drs. Petrus Izaach Suripatty, M.Si., menghadiri Acara dialog interaktif dengan thema: 4 Pilar Kebangsaan, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) kabupaten Nabire, pada Kamis (24/02/2022)

Hadir dalam dialog tersebut Bupati kabupaten Nabire, Mesak Magai, S,Sos., M.Si., yang didampingi oleh Sekda kabupaten Nabire, Daniel Maipon S.STP., beserta sejumlah unsur Forkopimda kabupaten Nabire

Dalam ulasannya, Rektor Suripatty membeberkan bahwa 4 pilar kebangsaaan yang terdiri dari: Pancasila, UUD NKRI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini

"Kami di kampus Uswim, sejak awal mahasiswa masuk, nilai-nilai yang terkandung di dalam empat pilar kebangsaan tersebut sudah kami tanamkan kepada para mahasiswa," ungkap Suripatty dalam dialog tersebut

Dikatakan Suripatty bahwa disetiap tahunnya para mahasiswa Uswim diwajibkan untuk mengikuti kegiatan gerakan cinta kampus atau orientasi program studi dan pengenalan kampus, dimana kegiatan tersebut sudah terjadwalkan

"Bahwa di dalam kegiatan tersebut kita memberikan kesempatan kepada unsur Forkopimda, baik itu Bupati, Kapolres, Dandim, dan Kajari untuk memberikan materi-materi kepada mahasiswa terkait thema kebangsaan, dan ini rutin kami laksanakan," jelas Suripatty

Disamping itu, tambah Suripatty, dalam kurikulum yang diterapkan di kampus Uswim, para mahasiswa juga diwajibkan untuk mengambil Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan,

"Hal-hal tersebut merupakan bentuk dan wujud nyata dari upaya kami pihak Perguruan Tinggi, khususnya Uswim, dalam memberikan pemahaman kepada mahasiswa terkait 4 pilar kebangsaan itu," demikian dibeberkan orang nomor satu di kampus Uswim ini.

Acara dialog interaktif tersebut sekaligus ditandai dengan kehadiran Kepala RRI Kabupaten Nabire yang baru atas nama: Lee Maury, SE.,M.Med.Kom. (Red)

Redaktur: Yubelince Pekey

SUARA.NABIRE - Mahasiswa Universitas Satya Wiyata Mandala (Uswim) di Nabire, menggelar pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tahun Akademik 2021-2022 secara serentak di masing-masing Fakultas pada kampus Uswim yang terletak di jalan Sutamsu SH, Kelurahan Kalibobo, Kabupaten Nabire, Jumat (24/09/21).

Adapun pemilihan BEM tersebut diikuti dua kandidat yang masing-masing adalah Pasangan nomor 01: Jefri Degei (Calon Ketua) dan Alvon Didipa (Calon Wakil Ketua) dan pasangan nomor 02: Abetnego Pekei (Calon Ketua) dan Hengki Makai (Calon Wakil Ketua).

Setelah dilakukan pemilihan secara demokratis oleh seluruh mahasiswa/i Uswim, maka Pasangan nomor 02 yaitu Abetnego Pekei dan Hengki Makai akhirnya terpilih menjadi Ketua dan Wakil BEM Uswim Nabire Tahun 2021/2022 setelah memperoleh 534 suara. Sementara lawannya, pasangan nomor 01: Jefri Degei dan Alvon Didipa hanya memperoleh 277 suara.

Pantauan awak media, sebelum dilaksanakannya pemungutan suara, masing-masing calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) melakukan Pemaparan Visi, Misi dan Program Kerja ke depannya dihadapan seluruh mahasiswa/i.

Wakil Rektor III, Petrus Tekege, SH., MH., ketika ditemui awak media di gedung Rektorat Uswim, berharap agar Ketua dan Wakil Ketua BEM yang terpilih nantinya dapat menciptakan program-program yang bisa mendukung kemajuan Uswim ke arah yang lebih baik.

"Pemilihan BEM merupakan suatu keharusan sebagaimana pembentukan organisasi kemahasiswaan ini jelas termuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Pasal 6 dan dilanjutkan pada Pasal 77, yang mengatur tentang adanya Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa). Jadi, ini adalah keharusan. Bukan kewajiban," demikian jelas Tekege.

Tekege juga menegaskan bahwa Pemilihan BEM tersebut telah dilandasi dengan tahapan seleksi berkas administrasi secara ketat.

Rektor Uswim, Dr. Drs. Petrus Izaach Suripatty, M.Si., pada kesempatan itu mengucapkan selamat kepada Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Satya Wiyata Mandala Tahun Akademik 2021/2022 yang terpilih, dan berpesan agar semua civitas akademika bisa bahu membahu dalam memajukan kampus Uswim ke arah yang lebih baik

"Mari bersama-sama kita bersirnergi untuk memajukan kampus Uswim tercinta ini, khususnya dalam peningkatan prestasi kegiatan akademik dan non akademik mahasiswa di tingkat lokal, nasional maupun internasional," demikian tutup Suripatty selaku orang nomor satu di kampus Uswim. (Red)

Redaktur: Nona Mandobar

Pernyataan Wakil Rektor III USWIM
(Petrus Tekege, SH., MH):

SUARA.NABIRE - Dengan menerapkan Protokol Kesehatan, SD Negeri Inpres Kalibobo Nabire, menggelar Ujian Tengah Semester (UTS) pada hari Selasa, (6/04/2021).

Kepala Sekolah SD Negeri Inpres Kalibobo Nabire,Yesaya Waroi, S.Pd., dalam keterangan kepada awak media ini menjelaskan bahwa Ulangan Tengah Semester merupakan Agenda dalam rangka melihat perkembangan dan sejauh mana kesigapan siswa menghadapi proses belajar mengajar di era Covid-19 yang melanda akhir akhir ini

"Dengan demikian, sesungguhnya kita bisa tahu dan mengikuti perkembangan anak ini ke depan seperti apa," tutur Waroi.



Yesaya Waroi, S.Pd (Kepsek SD Inpres Kalibobo Nabire)

Ditambahkan Waroi bahwa kegitan UTS tersebut juga sebuah evaluasi yang dilakukan oleh pihak sekolah agar dapat melihat sejauh mana kesigapan seorang guru dalam memberikan materi pembelajaran terhadap anak didiknya di kelas tersebut.

"Agenda kegiatan Ulangan Tengah Semester ini adalah sebuah agenda yang di teruskan oleh Dinas pendidikan Propinsi Papua kepada Dinas Pendidikan yang ada di setiap Kabupaten, khususnya kami yang ada di Nabire", demikian dijelaskan Kepala Sekolah SD Negeri Inpres Kalibobo Nabire,Yesaya Waroi, S.Pd. (Red)

Redaktur: Tonchi Numberi

SUARA.NABIRE - Ikatan Pelajar Mahasiswa/i Paniai (IPMAPAN) kota studi Yogyakarta dan Solo, menggelar seminar dan diskusi dengan tema “Kerusakan Lingkungan di Meeuwomakida dan Mitigasinya”, yang berlangsung di Asrama Ipmanapandode Paniai ASPAN, pada hari Sabtu (05/04/21).

Demianus Nawipa, S.T., selaku pemateri dalam seminar tersebut, menjelaskan tentang situasi lingkungan yang sedang terjadi di Papua, khususnya di wilayah Meepago Meuwomakida.

Pada kesempatan itu Demianus menjelaskan tentang dampak pembuangan limbah industri oleh tiap perusahan ilegal yang masuk mengambil kekayaan alam serta terjadinya krisis hak ulayat tanah atas hasil alam bagi Orang Asli Papua (OAP) dalam kehidupan turun temurun.

"Regenerasi selanjutnya harus mampu memanfaatkan dan memfungsikan hasil kelolahan yang dimiliki nenek moyang untuk masa depan generasi mendatang. Karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam," demikian dijelaskan Demianus yang juga merupakan senioritas IPMAPAN

Penjelasan Nawipa terkait dampak lingkungan yang sedang terjadi di Meeuwodide dipahami seluruh anggota yang hadir dan dilanjutkan dengan diskusi bersama tentang dampak lingkungan di Meeuwomakida.

Nawipa dalam penjelasannya juga menyarankan agar seluruh peserta yang hadir menolak semua perusahaan ilegal yang masuk ke wilayah Meepago, serta harus menjaga hasil kekayaan alam demi masa depan generasi penerus yang akan datang.

Salah satu anggota seminar, Yesaya Boma, dalam diskusi mengatakan bahwa baru-baru ini dirinya mendapatkan kabar dari kedua sahabatnya tentang musibah banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Deiyai, Papua, khususnya di wilayah Meepago, dimana bencana tersebut sangat mempengaruhi rama lingkungan masyarakat setempat.

Dengan peristiwa tersebut, Boma meminta agar Ruku-Ruku dan Kios yang berada di pinggir sungai untuk tidak membuang sampah ke sungai mengingat dampaknya pernah terjadi bencana banjir pada beberapa bulan lalu.

Bahkan Boma menambahkan bahwa perlu diwaspadai beberapa perusahan yang telah berdiri di Pemkab Nabire, salah satunya adalah tambang emas ilegal di Siriwo

"Ada juga PT kelapa sawid dan PT Nabire Baru yang baru saja masuk di wilayah Meeuwodide, yang mana beberapa perusahan yang telah masuk akan mengancam lingkungan masyarakat setempat melalui pembuangan limbah maupun pengambilan hasil kelolahan," ungkapnya

Ditempat yang sama, Paulus Tekege, menjelaskan bawah kehadiran perusahan-perusahan tersebut harus melalui dan atas persetujuan OAP sendiri, dan bukan melalui non OAP. Karenanya Tekege meminta tiap ulayat tanah setempat harus tegas dan menolak perusahan non-papua di wilayah Meepago

Usai seminar dan diskusi, Yosia Tebay, selaku biro pendidikan menyampaikan salut kepada seluruh anggota yang terlibat dan memberikan kontribusi dalam seminar dan diskusi yang telah dilaksanakan bersama.

"Kami selaku biro pendidikan sesuai jadwal kami akan terus mengadakan pelatihan serta seminar diskusi dalam internal maupun eksternal," beber Tebay

Selaku Badan Pengurus IPMAPAN, Yokobin Pigome, mengapresiasi biro pendidikan yang telah mengadakan seminar dan diskusi, dan selanjutnya pada kesempatan itu diberikan plakat pada pembawa materi oleh salah satu anggota aktif

Badan pengurus IPMAPAN sangat berterima kasih kepada pemateri maupun seluruh anggota yang hadir dalam seminar ini," demikian tutup Yokobin Pigome. (Red)

Editor: Yubelince Pekey

SUARA.NABIRE - Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPPAD) Provinsi Papua, Christian Sohilait, mengatakan bahwa berdasarkan data pelaksanaan di Tahun 2020 hanya 18 persen Pelajar di Papua yang menerima Bantuan Kuota Internet dari Kemendikbud.

"Saat pandemi, pemerintah pusat sudah memberi perhatian luar biasa, tetapi dari data yang kami punya ternyata hanya 277.000 siswa yang dapat kuota internet, padahal jumlah anak sekolah dari SD sampai SMA itu ada 640.000 siswa, guru 22.000, kemudian dosen sekitar 4.000-an, mahasiswa sekitar 50.000-an, itu berarti hanya 18 persen yang terima kuota internet," demikian beber Kadis PPAD, Christian, sebagaimana dilansir dari Kompas.com, pada Rabu (31/3/2021).

Diketahui bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebelumnya telah memberikan bantuan kuota internet bagi pelajar di seluruh Indonesia. Namun khusus di Papua, bantuan tersebut hanya terealisasi kepada sebagian kecil siswa.

Christian menambahkan bahwa untuk tahun 2021 pihaknya belum mengetahui berapa jumlah pelajar di Papua yang akan menerima bantuan tersebut. Namun,dirinya menilai jumlah penerima bantuan tidak akan bertambah.

Dengan demikian menurut Christian, tentu akan ada upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi Papua untuk memfasilitasi pelajar yang tidak menerima bantuan kuota internet.

"Kalau sebanyak itu yang dapat berarti lebih banyak yang tidak dapat, tetapi kami terus berusaha perbanyak kegiatan cetak buku, lalu daerah-daerah yang masuk dalam zona hijau sudah melakukan tatap muka," tuturnya

Untuk program vaksinasi Covid-19 yang sedang berjalan Christian berharap bisa dipercepat agar rencana penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka bisa direalisasikan di seluruh daerah.

Ketika dikonfirmasi terkait jumlah sekolah yang sudah melaksanakan tatap muka, untuk saat ini Christian belum bisa menyebutkan angka pasti berapa kabupaten yang sudah membuka sekolah. "Daerah pegunungan sudah buka sekolah semua walau belum optimal, yang jadi masalah adalah ada guru-guru yang belum ada di tempat," ungkap Christian.

Adapun dari 29 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua, 15 kabupaten berada di kawasan pegunungan. Saat ini ada 6 kabupaten di pegunungan yang tidak tergolong dalam zona hijau, yaitu Mimika (377 pasien), Jayawijaya (95 pasien), Paniai (11 pasien), Tolikara (7 pasien), Pegunungan Bintang (2 pasien) dan Puncak Jaya (1) pasien). (Red)

SUARA.NABIRE - Tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Nabire yang memiliki jususan konstruksi mengikuti kegiatan Fasilitasi dan Uji Sertifikasi Tenaga Konstruksi yang digelar selama seminggu di kota Nabire, dimulai sejak Jumat (19/03/2021).

Udin Kalla mewakili pihak penyelenggara dari Balai Jasa Konstruksi Wilayah VII Jayapura, ketika ditemui awak media ini mengatakan bahwa ketiga SMK yang ikut dalam kegiatan tersebut adalah SMK Negeri 2 Nabire, SMK Menara Ilmu dan SMK Asafiyah Nabire

Dikatakan Udin bahwa kegiatan yang di lakukan selama seminggu itu berlangsung di beberapa tempat diantaranya, SMK Negri 2 Nabire, Hotel Anggrek, dan hari ini di Aula PU Nabire.

"Kegiatan ini adalah kegiatan uji kompetensi bagi tenaga kerja di seluruh Indonesia sesuai dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2017, bahwa setiap tenaga kerja di Indonesia wajib memiliki sertifikat," demikian ungkap Udin kepada awak media ini pada Kamis (25/03/21).

Ditambahkan Udin, untuk itulah salah satu keberpihakan pemerintah pusat kepada daerah maka dengan ini pihaknya melakukan uji kompetensi bagi tenaga kerja yang ada di Kabupaten Nabire. "Karena Nabire juga mendapat jatah untuk kita sertifikasi tenaga kerjanya khusus kontruksi," tutur Udin

Terkait dengan jumlah peserta, Udin mengatakan bahwa peserta yang mengikuti kegiatan tersebut cukup banyak. "Di Aula ini sendiri aja sekitar 120 orang peserta, dimana untuk SMK ada sekitar 49 peserta, dan dari Gapeknas sendiri sekitar 30 peserta," bebernya.

Dijelaskan Udin bahwa ada beberapa manfaat bagi mereka yang mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi. "Ibarat kita menaiki motor kita harus punya SIM, karena undang undang menyatakan setiap tenaga kerja konstruksi wajib memiliki sertifikat, serta legalitas untuk bekerja apalagi bidang konstruksi," jelas Udin

Selain itu menurut Udin, sertifikasi itu juga bisa digunakan di bidang usaha konstruksi dalam membuat CV atau PT, dan sertifikat bisa juga digunakan dalam pelelangan proyek, jalan, jembatan, irigasi dan lainnya khususnya konstruksi.

"Sertifikat ini nantinya juga menjamin tenaga kerja konstruksi bisa mendapatkan pembayaran atau gaji yang layak sesuai dengan sertifikat yang didapatkan oleh tenaga kerja itu sendiri," ungkapnya.

Ditempat yang sama, Ibu Penina Analisa Auparay, yang merupakan salah satu peserta, mengatakan bahwa kegiatan yang baru pertama kali diikutinya dirasakan sangat bermanfaat, khususnya bagi mereka pengusaha-pengusaha yang kebetulan bergerak dalam bidang konstruksi.

"Serta hal ini membuka peluang bagi pengusaha-pengusaha muda Papua untuk bisa mengembangkan sayap lagi dalam jasa konstruksi. Kalau bisa kegiatan seperti ini dilakukan setiap tahun kepada anak-anak muda Papua," demikian ucap Ibu Penina

Sehingga ke depannya, lanjut ibu Penina, mereka anak-anak muda itu juga bisa bekerja dan bersaing dengan saudara-saudara kita yang dari luar Papua. (Red)

Editor: T Numberi

SUARA.NABIRE - Dengan menerapkan protokol kesehatan, Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M), menggelelar Pembekalan dan Pelepasan Mahasiswa KKN Angkatan XXXII, TA. 2020/2021, pada hari Selasa (9/02/21).

Turut hadir dalam acara tersebut, Ketua Yayasan Wiyata Cenderawasih, Rektor Uswim dan Pembantu Rektor, para Dekan dan Dosen, beserta seluruh Mahasiswa peserta KKN Uswim Angkatan ke-32 Tahun Ajaran 2020/2021

Dalam sambutannya, Rektor Uswim, Drs. Petrus I Suripatty, M.Si., mengatakan bahwa Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada Angkatan ke-32 di Uswim Nabire akan berlangsung selama 1 bulan sebagai Mata Kuliah yang terprogram oleh Uswim Nabire, dan klasifikasinya wajib diikuti oleh semua mahasiswa yang sudah memenuhi persyaratan akademik yang ditetapkan.

"Dengan demikian, kegiatan KKN ini sangat penting dan saya harapkan agar diikuti dengan sungguh-sungguh oleh semua peserta agar bisa mendapatkan sertifikat yang memiliki Barcodenya, sehingga sah dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis," demikian tegas Suripatty.



Drs. Petrus I Suripatty., M.Si (Rektor Uswim)

Walaupun dalam suasana yang sederhana, Suripatty berharap kegiatan KKN yang merupakan perpaduan 10 progdi di Uswim tersebut dapat berkolaborasi dan mengedepankan hal-hal yang bermanfaat secara akademis.

"Selamat melaksanakan kegiatan KKN ke-32. Saya yakin bahwa kebersamaan Anda bersama lembaga ini akan memberi kekuatan kepada kampus Uswim untuk tetap maju sebanding dengan kampus lain dalam wilayah kopertis 14 wilayah Papua dan Papua Barat," demikian ungkap Suripatty menutup sambutannya

Pada tempat yang sama, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Uswim Nabire, Dr. CH. M Lewerissa, S.Sos., S.Pd., M.Si., dalam laporannya mengatakan bahwa KKN Uswim Angkatan ke-32 diselenggarakan masih dalam kondisi Pandemi Covid-19, sehingga lokus pelaksanaannya hanya di Kampus Uswim dengan menerapkan protokol kesehatan.

"Program KKN berlangsung sejak hari ini tanggal 9 Februari 2021 samapai dengan 9 Maret 2021, setiap hari Senin sampai Jumat, pada Pukul 07.30 - 13.00 WIT. Dan kali ini terfokus pada pembersihan dan penataan ruang kuliah dan halaman kampus," ungkap Lewerissa dalam laporannya



Dr. CH. M Lewerissa, S.Sos., S.Pd., M.Si (Kepala LP2M Uswim Nabire)

Lewerissa mengatakan bahwa jumlah peserta KKN sebanyak 71 Mahasiswa yang terdiri dari: 30 peserta dari Program Studi Bisnis, 2 peserta dari Program Studi Administrasi Negara, 4 peserta dari Ilmu Pemerintahan, 15 peserta dari Program Studi Matematika, 9 peserta dari Program Studi Bahasa Inggris, 5 peserta dari Program Studi Informatika, 2 peserta dari Program Studi Industri, 2 peserta dari Program Studi MSP, 2 peserta dari Program Studi Aroteknologi, dan 1 orang peserta dari Progdi peternakan.

"Seluruh peserta terdistribusi ke dalam 2 kelompok besar, yang mana rata-rata per kelompok terdiri dari 35 orang dan setiap kelompok didampingi oleh 2 Dosen Pendamping Lapangan (DPL), sehingga total DPL berjumlah 4 Dosen," demikian jelas Lewerissa dalam laporannya. (Red)

GALERI:







SUARA.NABIRE - Universitas Satya Wiyata Mandala (Uswim) Nabire, siap bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran Bandung untuk membuka program Pascarjana dengan konsentrasi Ilmu Pemerintahan.

Rencana kerjasama tersebut dikatakan oleh Rektor Uswim, Drs. Petrus I Suripatty. M.Si., ketika ditemui awak media ini di ruang kerjanya pada hari Selasa (25/08/20), sekitar Pukul 13.15 Wit.

"Ya, rencana kerjasama dengan Universitas Padjajaran untuk pembukaan program Magister ilmu Pemerintahan ini sudah masuk dalam tahap pembicaraan. Awalnya kami menugaskan Dr. Lewerissa untuk melobi, dan itu sudah ada kata sepakat dari pihak Universitas Padjajaran," ungkap Suripatty

Suripatty menambahkan bahwa ke depan pihaknya akan menindaklanjuti ke tahap selanjutnya agar lebih mengokohkan dan memperjelas kerjasama tersebut dengan pihak Universitas Padjajaran.

"Kami akan lebih mengokohkan rencana ini dengan pihak Universitas Padjajaran, jika tidak bisa pertemuan secara langsung mengingat pandemi covid-19 masih berlanjut, maka pertemuan akan digelar melalui Video Conference (Vicon) dengan Rektor atau Dekan Universitas Padjajaran," terang Suripatty

Jadi pada prinsipnya, lanjutnya, rencana pembukaan program Magister ilmu Pemerintahan ini sudah oke, yang dalam hal ini kedua pihak sudah sepakati bersama sehingga direncanakan akan segera di buka pada awal tahun 2021.

"Karena rencana ini sudah disepakati bersama dan prosesnya sudah dimulai, maka untuk Magister ilmu Pemerintahan ini direncanakan sudah bisa dibuka awal tahun 2021. Jadi, setelah segala sesuatunya dipersiapkan sesuai aturan, maka kami akan segera buka penerimaan mahasiswa," tandas Suripatty

Adapun sistem pembelajaran yang akan digunakan menurut Suripatty, adalah dengan tetap menerapkan sistem Daring namun pada saat-saat tertentu dosen Universitas Padjajaran akan diundang untuk memberikan kuliah langsung di kampus Uswim Nabire.

Suripatty mengatakan pula bahwa selama ini animo masyarakat kabupaten Nabire dan Meepago untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua cukup tinggi. Sehingga dengan keterbatasan yang ada, Uswim Nabire tetap berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat dengan mencoba menjalin kerjasama melalui beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang berkualitas.

"Kami melihat sejauh ini animo masyarakat kabupaten Nabire dan Meepago, termasuk para PNS dan wiraswasta, memang cukup tinggi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua," tegasnya

"Tentu upaya ini merupakan bagian dari kepedulian kami dalam meningkatkan SDM di Tanah Papua, khusus di kabupaten Nabire tercinta," demikian tegas Suripatty

Menurutnya, sejauh ini pihak Uswim sudah merencanakan pembukaan beberapa jurusan pada program Pascasarjana di Uswim dengan mencoba bekerjasama melalui beberapa Universitas, seperti: Universitas Papua (Unipa) di Manokwari khusus untuk Magister Pertanian, Peternakan, Ilmu Lingkungan, Kehutanan, Sumberdaya Akuatik, dan Biologi, dengan Universitas Cenderawsih (Uncen) di Jayapura khusus untuk Magister Pendidikan, dan Universitas Padjajaran Bandung khusus untuk Magister Ilmu Pemerintahan. (Red)

Jika peserta didik ditinjau melalui hukum "pertumbuhan" dan "perkembangan", maka menarik untuk melihat bagaimana rumusan yang diungkapkan Kitab Suci (Alkitab) Perjanjian Baru (PB).

Dalam hal ini, penulis injil Lukas, sudah terlebih dahulu menuliskan hal yang mendalam untuk memahami perkembangan dan pertumbuhan peserta didik ini—yaitu dengan menggambarkan pertumbuhan Yesus Kristus dari sisi kemanusiaan-Nya yang sempurna—psikis dan fisik.

Sebagaimana dituliskan...

“Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. (Lukas 2: 52).
Terdapat kurang lebihnya 4 (empat) aspek penting yang terkandung dalam hukum perkembangan dan pertumbuhan melalui ayat di atas, yaitu sebagai berikut:

1. Dia bertambah "besar" (pertumbuhan Psikomotorik-fisik)
2. Dia bertambah "hikmat"-Nya (pertumbuhan Kognitif-intelektual)
3. Dia makin "dikasihi Allah" (pertumbuhan Afektif-moral rohani)
4. Dia makin "dikasihi manusia" (pertumbuhan Bahasa, Sosial)

Berdasarkan ayat di atas, hukum perkembangan peserta didik dapat diklasifikasikan lagi menjadi 5 (lima) kategori besar, yaitu: (1) perkembangan Psikomotorik, 2) perkembangan Kognitif, (3) perkembangan Afektif, (4) perkembangan Bahasa, serta (5) perkembangan Sosial

Menurut Hendricks G Howard (2011) dalam Busthan Abdy (2017:29), pertumbuhan rohani dalam hal ini afektif, hanyalah satu bagian dari keadaan yang lebih menyeluruh. Pertumbuhan rohani tidak boleh menjadi satu-satunya pertumbuhan yang diperhatikan. Sebab pertumbuhan rohani tidak dapat dikotakkan tersendiri, tetapi haruslah menyatu dengan semua aspek kehidupan lainnya. Disinilah kerapkali terjadi kekeliruan pemahaman, yang nantinya berdampak pada perdebatan panjang tanpa henti.

Harus dipahami, bahwa peserta didik tidak akan bisa bertumbuh sepenuhnya secara "rohani", jika mereka tidak menumbuhkan juga aspek-aspek kehidupan lainnya—yaitu seperti pertumbuhan fisik, pertumbuhan intelektual, dan pertumbuhan emosional, pertumbuhan bahasa, serta pertumbuhan sosial.

Seseorang tidak bisa mengabaikan salah satu aspek tanpa membahayakan pertumbuhan peserta didik secara keseluruhan. Dan tidak seorang pun yang dapat bertumbuh di salah satu aspek saja, tanpa mempengaruhi semua aspek lainnya.

(Oleh Abdy Busthan)

Rujukan Buku:

Busthan Abdy (2017). Perkembangan Peserta Didik (hal 28-30). Kupang: Desna Live Ministry

Pemahaman paling sederhana dari eksistensi adalah berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Sebagaimana menurut Heideggard, “Das wesen des daseins liegh in seiner Exixtenz”. (Da – sein tersusun dari dad dan sein) da berarti di sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan tempatnya berada.

Menurut Sartre, adanya manusia itu bukanlah etre, melainkan a etre – manusia itu tidak hanya ada, tetapi dia selamanya harus membangun 'adanya', dan adanya itu harus selalu dibentuk dengan tidak henti-hentinya.

Paham eksistensialisme, tidak membahas esensi manusia secara abstrak tetapi tentang hakikat manusia secara spesifik, serta meneliti kenyataan konkrit manusia, sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunianya masing-masing.

Eksistensialisme tidak mencari esensi atau substansi yang ada di balik penampakan manusia, tetapi mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang dialami manusia itu sendiri, misalnya seperti pengalaman individu.

Esensi atau substansi mengacu pada sesuatu yang umum, abstrak, statis, sehingga menafikan hal yang konkret, individual, dan dinamis. Sebaliknya, eksistensi justru mengacu pada hal yang konkret, individual dan dinamis. Itu dimaksudkan karena seorang individu belajar dari apa yang mereka alami sesuai faktanya. Dan itu dialami oleh dirinya sendiri, dan bukan orang lain.

Konsep Dasar Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme berasal dari kata dasarnya eksistensi yaitu kata yang berasal dari kata exist, yang merupakan gabungan dari kedua kata: ex=keluar, dan sister= ada atau berada. Sehingga eksistensi memiliki arti sebagai sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya atau “sesuatu yang mampu melampaui dirinya sendiri”.

Paham eksistensialisme dalam aliran filsafat, lebih berpusat pada manusia "individu" yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya, maka masing-masing individu akan bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme muncul dengan mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan melalui sebuah “kebebasan”. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme melalui prinsip kebebasan adalah, apakah kebebasan itu? Bagaimanakah bentuk manusia yang bebas? Sehingga sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme pun menolak setiap bentuk determinasi terhadap kebebasan, kecuali kebebasan itu sendiri.

Eksistensialisme mulai dikenal dengan kehadiran Jean-Paul Sartre, yang muncul dengan diktumnya "human is condemned to be free", atau manusia di kutuk untuk bebas. Artinya, dengan adanya kebebasan, maka manusia bisa bertindak. Aliran eksistensialisme Sartre dipengaruhi tiga pemikiran pokok, yaitu: Marxisme, Eksistensialisme, dan fenomenologi (Iris Murdoch, 1976).

Meskipun sebenarnya, dasar eksistensialisme dari Sartre bukanlah suatu aliran filsafat, melainkan sebuah gerakan perlawanan pada filsafat tradisional (Walter Kaufmann, 1965). Sebab dalam eksistensialismenya, Sartre justru banyak menggarap permasalahan mengenai manusia.

Sartre membahas tentang kebebasan menjadi seorang manusia, bahkan hasrat manusia untuk menjadi Tuhan. Pertanyaan yang sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas bagi manusia, maka batasan untuk kebebasan dari setiap individu adalah juga kebebasan individu lainnya. Inilah prinsip terdalam dalam memahami filsafat eksistensialisme ini.

Menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang berbeda daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada di luar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun sesuatu yang baru, menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan menjadi sadar akan tanggungjawabnya pada masa depan, adalah inti daripada eksistensialisme.

Sebagai contohnya, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri? Inilah makna eksistensi diri.

Eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji, baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, lalu menerimanya, walaupun misalnya tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, tidak ada sesuatupun yang mempunyai ciri atau karakter existere selain manusia. Hanya manusia yang bereksistensi. Hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya sendiri, dan melampaui keterbatasan biologis lingkungan fisiknya dengan berusaha agar tidak terkungkung dari segala keterbatasan yang dimillikinya.

Misalnya orang cacad atau orang yang tidak memiliki kaki, dia mampu keluar dari dirinya, dan bisa berbaur dengan orang lain, tanpa harus memperdulikan kekurangan yang ada pada dirinya. Dia mampu berkreasi tanpa bantuan orang lain dan mampu menghasilkan uang dari apa yang telah diperbuat.

Para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses “menjadi” gerak yang aktif dan dinamis. Sebagaimana sang Sartre berdalil, “eksistensi mendahului esensi,” yaitu segala sesuatu baru dapat dimaknai ketika ia sendiri “eksis” atau “ada” terlebih dahulunya.

Eksistensi sebagaimana dimaksudkan Sartre dan filsafat pada umumnya, memenuhi dimensi ruang dan waktu. Apa yang dimaksudkan adalah, bahwa segala sesuatu yang bereksistensi pasti nyata. Sebagaimana dalil landasan dasar utama dari eksistensialisme adalah “eksistensi mendahului esensi”.

Dengan kata lain, seorang eksistensialis menurut Sartre, adalah mereka-mereka yang meyakini kesahihan dalil eksistensi mendahului esensi, di mana segala sesuatu akan dapat dimaknai ketika ia eksis atau ada terlebih dahulunya.

Eksistensialisme Pendidikan
Dasar terpenting di sini bahwa eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan. Karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah tentang keberadaan manusia. Sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Untuk itu, beberapa hal penting terkait dengan penerapan eksistensialisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut.

a). Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia.

Pengetahuan manusia tergantung pemahamannya tentang realitas, juga tergantung interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, dan bukan merupakan suatu disiplin yang kaku, dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkan pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

b). Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, lebih menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan lebih merupakan suatu potensi untuk sebuah tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sulit. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.

Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Individu harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.

c). Pendidikan
Eksistensialisme sebagai salah satu aliran filsafat, menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Pendidikan dan eksistensialisme berhubungan erat, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Jadi, yang menjadi pusat pembicaraan eksistensialisme di sini adalah “keberadaan” manusia. Sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.

d) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya sendiri, sehingga dalam menentukan kurikulum, tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.

e) Kurikulum
Eksistensialisme menilai kurikulum pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaaan personal atau tidak. Kurikulum ideal, adalah kurikulum yang dipandang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk bisa melakukan hal-hal seperti:mengajukan pertanyaan, melaksanakan pencarian mereka sendiri, serta menarik kesimpulan mereka sendiri.

Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Semua sama pentingnya. Mata pelajaran, adalah materi, dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.

Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaan, konflik, penderitaan, bahkan tema kematian. Kesemuanya merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa, baik itu secara intelektual maupun emosional.

Misalnya, kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang dipelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang dipelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dirinya.

Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.

Eksistensialisme dalam hal ini menolak apa yang disebutkan “penonton teori”. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba untuk membawa siswa ke dalam realitas hidup yang sebenarnya.

f). Proses belajar mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar-mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya.

Menurut Buber, kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi penguasa dialognya. Selanjutnya buber mengemukakan, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur, maka guru hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Seandainya guru hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, maka siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pada titik ini, pengetahuanlah yang akan menguasai manusia, sehingga manusia menjadi alat dan produksi dari pengetahuan tersebut.

Dalam proses belajar-mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

g). Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak akan bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian, dengan kebebasan yang manusia miliki, masing-masing dari individu harus komit pada penentuan makna bagi kehidupannya sendiri.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang filsuf pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme, Maxine Greene (dalam Parkay, 1998) bahwa, “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna, adalah merupakan proses edukatif. Para guru dalam hal ini harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.

Guru hendaknya memberikan semangat pada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, dan membimbing siswa memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa melihat bahwa kebenaran yang tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia itu sendiri. Lebih dari itu, siswa harus menjadi pemain dalam suatu drama belajar, dan bukan menjadi sekedar penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya. Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak memberikan instruksi.

Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi pelajaran efektif. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.

Oleh: Abdy Busthan

Seorang ahli pembelajaran kolaborasi, Conner Marcia (2001), menjelaskan bahwa sebagaimana paradigma dominan dari praktek literatur Amerika Utara dan pendidikan berkelanjutan, maka humanisme dapat pula didefinisikan sebagai teori pertumbuhan dan perkembangan individu dalam teknik berpikir baru dengan menggunakan cara-cara kreatif. 

Diambil dari karya psikolog humanistik terdahulu dan studi andragogi, teori humanistik kemudian meliputi asumsi pengajaran dan pembelajaran yang sangat mempengaruhi bidang kegiatan (field),  dimana teori ini memfasilitasi pembelajaran kolaboratif dengan penekanannya yang kuat pada diri “peserta didik” dan negoisasi tujuan instruktur, serta metode dan kriteria evaluatif.

Teori Humanistik dimulai dengan dasar pemahaman bahwa pembelajaran terjadi terutama dengan merefleksikan pengalaman pribadi. Peran instruksi tidak untuk menempatkan sesuatu dalam pikiran atau repertoar dari para peserta didik, tetapi untuk mengekstrak pelajaran dari pelajar dalam wawasan dan pengalaman seperti mengambil air dari sumur. Seseorang bisa mendapatkan wawasan baru dari dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya, jika ia memiliki kesempatan dan alat untuk melakukannya (Busthan Abdy, 2017:23).

Peran guru adalah sebagai instruktur dalam membantu siswa/i untuk melengkapi pengalaman dengan peluang-peluang baru. Instruksi harus bertanya dengan pertanyaan yang merangsang dalam membantu siswa membuat koneksi baru, dan mengungkapkan apa yang sudah diketahui.

Dasar Pandangan Teori Humanistik
Dasar pandangan teori humanistik bahwa pembelajaran sebenarnya adalah apa yang ditemukan dalam masing-masing pribadi dari setiap individu, dan bukan sesuatu yang diberitahukan atau dipimpin oleh orang lain. Teknik ini berakar dalam metode Socrates dan Plato, yang berkeyakinan bahwa semua pengetahuan melekat dalam setiap individu.

Kemudian, dikembangkan dibawah prinsip-prinsip pengembangan Carl Rogers dengan terapi self-directed-nya. Teori humanistik menekankan bahwa individu harus merasa nyaman dengan lingkungan belajarnya sekaligus merasa senang dengan aliran topik yang disajikan. Cara individu merasa nyaman dan tenang inilah yang menjadi acuan utama untuk mempengaruhi komitmen dalam belajar. Jika saja individu merasa aman, dihormati, terhormat dan diberdayakan, maka akan berdampak dalam upayanya yang besar untuk melakukan proses belajar. Jika sebaliknya, individu merasa terancam, cemas, bermusuhan atau direndahkan, maka individu tersebut akan semakin menolak pembelajaran.

Prinsip-Prinsip Dasar Teori Humanistik
Humanistik juga melibatkan peserta didik dengan cara-cara intens dan personal, dimana program dimulai dengan membantu peserta didik dengan prinsip-prinsip dasar berikut ini:

(1) Mengidentifikasi tujuan yang berpusat pada peserta didik, dan yang ditarik dari pengalaman individu .

(2) Tujuan memberitahu individu apa yang harus diketahui seperti yang didefinisikan oleh orang lain. Sehingga mereka bertanggung jawab untuk pembelajaran masing-masing

(3) Instruksi melibatkan peserta didik dalam tahap perencanaan untuk memastikan topik yang relevan dan tepat.

(4) Program mengandalkan analisis diri, membangun tim dan rekan belajar yang menggunakan berbagai alat dan pendekatan-pendekatan

(5) Belajar yang signifikan mengarah ke wawasan dan pemahaman tentang diri sendiri dan orang lain.

(6) Menjadi manusia yang lebih baik dianggap sebagai tujuan belajar yang valid

(7) Segala sesuatu yang dapat diajarkan kepada orang lain relatif tidak penting. Sebaliknya, keinginan untuk belajar harus datang dari motivasi intrinsik, yang diciptakan oleh kebutuhan untuk pertumbuhan dan pemenuhan pribadi.

(8) Humanisme memiliki struktur yang kecil, dapat digunakan dengan tingkat konseptual yang tinggi, mempekerjakan evaluasi diri, dan menghormati perbedaan individu

(9) Humanisme memiliki struktur yang kecil, dapat digunakan dengan tingkat konseptual yang tinggi, mempekerjakan evaluasi diri dan menghormati perbedaan individu .

(10) Ketika seorang individu (siswa) bergerak sepanjang perilaku—yang kognitif, kontinum humanis—fokusnya akan bergeser dari mengajar untuk belajar. Strategi dalam hal tersebut akan bergerak dari transfer fakta pasif dan rutinitas untuk aplikasi yang aktif dengan ide-ide dan masalah.

Isu-isu yang menuntut pengolahan high-level memang sering dipelajari terbaik dengan strategi humanis. Namun pertanyaan kritisnya adalah: bukan “mana teori yang terbaik", melainkan, "teori mana yang paling efektif dalam mendorong penguasaan tugas-tugas tertentu oleh peserta didik?".

Sebab, ketika pengajar pemula menimalisir dengan kompleks informasi untuk pertama kalinya, namun itu terlihat tidak efektif, efisien, atau tidak merangsang peserta didik lebih akrab dengan konten, maka saat itu, pendidikan humanistik dapat mencampur strateginya dengan fokus baru pada kajian yang humanis dan andragogik, di mana dalam prakteknya dapat membantu siswa berfungsi dengan baik, yaitu ketika mereka mengalami hal-hal seperti: 1) Kondisi optimal tidak ada; 2) Situasi tidak bisa ditebak; dan 3) Siswa harus berpikir di atas kakinya. 

Karena itu, maka inti pendidikan humanisme adalah usaha untuk mengubah, lalu memberikan solusi dengan permintaan lingkungan organik berdasarkan cipta, improvisasi, dialog dan negosiasi sosial dalam lingkungan setiap pelaku belajar.

Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Habermas (dalam Budiningsih Asri 2012:73-74), bahwa belajar baru akan tercipta, jika terjadi sebuah interaksi antara individu dan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

Pada titik ini, sebagaimana menurut Habermas dalam Busthan Abdy (2017:57) terdapat 3 tipe belajar dalam implementasi teori belajar humanistik ini, yaitu sebagai berikut:

Technical Learning (Belajar Teknis), tentang bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan yang perlu dipelajari agar siswa dapat menguasai dan mengelola lingkungan sekitarnya dengan baik.

Practical Learning (Belajar Praktis), yaitu bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu orang-orang yang berada di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antara sesama manusia. Pemahaman dan keterampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.

Emancipatory Learning (Belajar Emansipatoris), yaitu proses belajar dengan menekankan pada upaya seseorang untuk mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Dan pemahaman akan kesadaran transformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tingkat tahapan belajar yang paling tinggi. Sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan paling tinggi.

Jadi untuk implikasinya, teori humanistik menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. 

Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa, yang dalam hal ini guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.

Pustaka:
Busthan Abdy (2017). Teori Belajar Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang; Desna Life Ministry

Secara umum, landasan pendidikan terdiri dari landasan Filosofis, landasan Hukum, Sosiologis, dan Kultural. Semuanya itu berperan penting dalam menentukan tujuan dan arah pendidikan. Adapun landasan ilmiah dan teknologi juga merupakan sesuatu yang mendorong pendidikan itu menuju masa depan yang lebih proporsional.

Dalam landasan-landasan pendidikan tersebut, terdapat dua landasan yang erat kaitannya dengan setiap usaha dan upaya pendidikan, terutamanya dalam pengajaran, yaitu landasan Psikologis dan landasan Iptek.

Landasan Psikologis berfungsi untuk membekali tenaga kependidikan dengan pemahaman akan perkembangan peserta didik dan cara-cara belajarnya. Sedangkan landasan Iptek akan membekali tenaga kependidikan, khususnya guru sebagai pendidik, terkait dengan sumber bahan ajarannya.

Tetapi lebih dari pada itu, bahwa pengkajian landasan Pikologis dan landasan Iptek, akan membekali tenaga kependidikan dengan suatu pegangan dalam mewujudkan keseimbangan dan keselarasan yang lebih proporsional dan dinamis antara pengembangan jati diri peserta didik dan penguasaan iptek tersebut.

Kemudian, dari berbagai macam landasan pendidikan yang ada, terbentuklah wawasan yang tepat tentang pendidikan. Sehingga dengan wawasan pendidikan dan penerapan asas-asas yang tepat, maka akan dapat memberikan peluang yang lebih besar dalam merancang dan menyelenggarakan program pendidikan yang tepat pula, dimana wawasan itu akan memberikan pandangan yang lebih luas terhadap pendidikan.

(1) Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan filosofis adalah asumsi filosofis yang dijadikan ukuran dalam wilayah studi dan praktek pendidikan. Sebab pada dasarnya, karakteristik berfikir filsafat yang utama adalah sifat ‘menyeluruh’, yang menurut Jujun Suriasumantri (2010:20), seorang ilmuwan tidak akan puas mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri, karena hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya juga menjadi sesuatu yang sangat penting. Seperti kaitan ilmu dengan moral, ilmu dengan agama dan lain sebagainya.

Sebagaimana filsafat mulai dikenal sejak zaman Yunani kuno, dengan tiga tokoh yang terkenal pada saat itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Saat itu Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari kebenaran dan kebijakan dengan menggunakan cara berpikir (pemikiran) dialektis. Plato sendiri menyatakan kebenaran hanya ada di alam ide yang bisa diselami dengan akal. Sedangkan Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui panca indra. (Pidarta 2009:76).

Berdasarkan pemikiran tiga tokoh utama dalam filsafat ini, maka hal yang pertama harus di pahami, bahwa filsafat tidak akan mampu berdiri tegak tanpa sistem keyakinan yang terstruktur. Karena itu, langkah awal filsafat akan selalu ditandai dengan pertanyaan: Apakah hakikat dari realitas? Selanjutnya, maka serpihan-serpihan logika dan penalaran akan menjadi bagian terpenting untuk dapat meletakkan term kebenaran, kebajikan, pengetahuan, belajar, dan lain sebagainya. Dan syaratnya adalah realitas harus mendapatkan tempat yang kongkrit dan proporsional dalam mendefinisikan segala sesuatunya.

Menarik untuk dipahami lebih dulu, bahwa salah satu masalah dalam menggunakan pengetahuan filsafat, menurut Dewey (1929/1988); dalam Gredler (2011:7), adalah fokusnya yang seperti menatap pada kaca spion. Padahal, faktor-faktor yang memberikan nilai pada pikiran atau ide bukanlah asal muasal pengetahuan, melainkan hanya hasil yang diproduksi oleh gagasan. Fenomena ini juga di perkuat ketika pertengahan abad ke-16, Galileo memperkenalkan percobaan dengan objek sebagai metode untuk mengembangkan pengetahuan tentang dunia fisik, dan lahirlah ilmu fisika. Pada saat itu prinsip dan hukum alam yang reliabel, kemudian perlahan namun pasti menggantikan keyakinan mistis dan pepatah yang belum teruji. Dimana ilmu kimia menjadi praktek alkemis, dan metode astrologi digantikan oleh ilmu astronomi. Tetapi disitu, riset tentang ‘pikiran’ belum dibahas. Sebagaimana pada saat itu masyarakat menganggap pikiran adalah anugerah Tuhan sendiri, dan melakukan riset terhadap pikiran, maka sama artinya dengan mempertanyakan anugerah sakral itu.

Di sini peran utama pikiran lebih diarahkan pada realitas dasar dan filsafat—yang kemudian dianggap memadai untuk menjalankan tugas pemikiran realitas dasar—tetapi yang sebenarnya, justru mengesampingkan unsur-unsur lainnya, seperti ide dan perasaan. Jelas sekali bahwa upaya-upaya awal untuk memahami belajar adalah melalui kebijakan tradisional, yang di dasarkan pada realitas—pengalaman melalui pintu filsafat. Persoalannya, kebijaksanaan tradisional ini adalah merupakan informasi yang kemudian ditafsirkan dengan cara berbeda-beda.

Filsuf matematikawan Perancis yang juga dikenal sebagai bapak filsafat modern, Rene Decartes (2012:26-27), menjelaskan dalam bukunya “Discourse on Method”, bahwa secara merata dan alami, semua orang memiliki “akal sehat” atau nalar yang dapat digunakan untuk membedakan antara yang benar dan salah. Bahwa keanekaragaman pendapat, timbul bukan karena seseorang lebih memiliki kemampuan untuk bernalar dari orang yang lainnya, melainkan semata-mata karena cara penalaran manusia berlainan, dan hal-hal yang menjadi pertimbangan juga tidak sama. Karena itu, memiliki nalar yang baik tidaklah cukup jika tidak di tunjang pula dengan penggunaan nalar secara baik.

..“Cogito ergo sum”, bahwa “aku berpikir karena itu aku ada”. Descartes secara tegas membedakan antara subjek (kepala—cogito—pikiran) dan dunia (hidup—sum—ada). Dimana antara kepala dan dunia, di hubungkan oleh ilmu pengetahuan (sebagai ergo), yaitu melalui aktivitas berfikir. Sehingga jika tidak di pikirkan (“olehku”) maka dunia pun tidak ada. Dalam hal ini, penalaran Descartes adalah bahwa sementara ‘saya’ berpikir bahwa semuanya tidak benar, maka saya sebagai yang memikirkannya adalah sesuatu. Sehingga saya berpikir, karena itu saya ada. Jadi kenyataannya, bahwa ‘saya’ meragukan sesuatu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa saya ada. Sebaliknya, seandainya saya berhenti berpikir, walaupun hal lain yang saya bayangkan memang ada, maka saya tidak mempunyai alasan apapun untuk menyatakan bahwa saya ada. Berdasarkan hal ini, saya adalah substansi yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah “berpikir”, dan untuk keberadaannya, tidak membutuhkan ruang sedikitpun dan tidak bergantung pada benda materi apa pun.

Dengan demikian, (“saya”) ini adalah jiwa—yang membuat saya sebagaimana adanya—sama sekali berlainan dengan badan, dan bahkan lebih mudah dikenali daripada badan. Dan sekalipun badan tidak ada, jiwa akan tetap sebagaimana adanya.

Dalam wilayah religi, hal ini tentu dapat di mulai dengan kalimat “berpikir” (cogito) dan disandingkan dengan “meragu” (dubito), yang tentunya berpikir adalah meragukan, yang dapat berdampak pada pemahaman sosial yang berbeda. Sehingga jika didasarkan pada persoalan kepercayaan religius: “aku berpikir (tentang) Tuhan maka Tuhan ada” jelas berbeda dengan “aku meragukan Tuhan maka Tuhan ada”. Dengan pengetahuan jenis ini maka Decartes menawarkan “le maitres et possesseurs de la nature”, yaitu pangeran yang gilang-gemilang dengan cahaya ilmu dan menjadi penguasa dunia Decartes, (2012:72-73).

Descartes memang sosok pendobrak gaya justifikasi model Aristotelian. Dia tidak bertolak dari objek, melainkan dari subjek. Apa artinya bertolak dari subjek? Artinya bertolak dari apa yang paling melukiskan subjektivitasnya, yaitu rasio, akal budi, kesadaran diri. Filsafat Descartes seringkali disebut sebagai filsafat kesadaran, semata-mata karena ia melucuti pengetahuan dari dimensi objektifnya.

Menurut Decartes, pengetahuan itu urusan kesadaran, yaitu sebuah urusan yang paling menentukan subjektivitas seseorang. Misalnya, seseorang dapat mengetahui sebuah meja, tentu saja hal itu berarti akal budi orang itu sedang ‘menyadari’ tentang meja. Descartes berkata dengan benar, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Kesadaran mendahului ada. Atau, cogito (saya menyadari, berpikir) mendahului sum (realitas ada saya). Karena itu, tidak berlebihan kiranya jika disebutkan bahwa filsafat Descartes adalah filsafat Cogito, yaitu filsafat ‘saya berpikir’, atau dengan kata lain filsafat kesadaran. Ergo Sum (maka saya ada) lantas mengalir dari kesadaran seseorang. Pada level ini, saya berpikir atau menyadari, akan mendahului realitas ada saya. Sehingga, ketika saya berpikir, suanggi (baca: setan) pun tidak dapat menyangkalnya atau bahkan ketika saya bertanya, apakah saya sedang berpikir, justru itu menunjukkan bahwa saya sedang berpikir atau menyadari. Dengan demikian, dalam pemikiran Descartes, seluruh elaborasi mengenai ada saya berangkat dari kesadaran. Karena kesadaran memiliki karakter subjektif, maka juga soal pengetahun benar atau salah sangat berurusan dengan subjektivitas.

Dengan artian bahwa dalam cara berpikir demikian, objektivitas (kebenaran yang berkaitan dengan objeknya) akan mulai ditinggalkan. Sehingga pada akhirnya, Descartes menegaskan bahwa apa yang disebut dengan pengetahuan adalah ingatan sejauh manusia menyadarinya.

Pengetahuan manusia adalah ‘bawaan’ sejak lahir. Mengenal atau mengetahui berarti mengingat kembali ide bawaan sejak lahir tersebut, seperti gagasan Plato, but let’s go on.

Descartes telah mendobrak filsafat Aristotelian, dimana sejak masa Descartes, tampak bahwa peran rasio makin mengemuka dan menguasai berbagai kajian ilmu pada saat itu. Sehingga, akal budi manusia benar-benar hampir menjadi segalanya dalam tataran filsafat. Rasionalisme, dalam konteks epistemologis, praktis menunjuk pada filsafat Descartes.

Kepastian ilmu pengetahuan bukan lagi perkara relasi atau kaitan rasio dengan realitas, melainkan perkara kesadaran rasional manusia. Kerja tentang perkara sesuai atau tidaknya antara akal budi dengan objek realnya ditinggalkan. Ide tentang subjektivitas atau subjektivisme (kalau itu berurusan dengan paham) berangkat dari filsafat Cartesius (Rene Descartes).

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa “filsafat pendidikan” berbeda dengan “pendidikan filsafat”, demikian juga sangat berbeda dengan teori pendidikan. Sehingga dalam pengertiannya tidak mudah untuk di definisikan. Sebab filsafat Pendidikan tidak sama dengan teori pendidikan, dan tidak di definisikan secar khusus dalam penerapa filsafat untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan praktik pendidikan. (Kuswana Sunaryo W, 2013:27).

Dengan demikian, maka filsafat pendidikan merupakan bidang filsafat terapan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari transformasi filsafat tradisional (terdiri dari ontologi, etika, epistemologi), serta pendekatan kelembagaan (filsafat spekulatif, perspektif dan atau analitik), yang sangat diperlukan untuk merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, teori kurikulum dan pembelajaran serta aspek-aspek pendidikan lainnya.

Sementara ilmu (termasuk ilmu pendidikan) lahir dari filsafat umum, melalui perantaranya yaitu filsafat ilmu berdasarkan kajian ilmunya masing-masing. Dalam hal ini kelahiran ilmu pendidikan dibantu dengan filsafat pendidikan. Sehingga pemahaman akan filsafat pendidikan adalah hasil dari pemikiran dan perenungan secara mendalam hingga ke akar-akarnya, untuk mengenal pendidikan. Dalam hal ini, akan menjawab tiga pertanyaan pokoknya (Ateng Sutisna, 1990 ; dalam Pidarta, 2009:83-85), yaitu: (1) Apa itu pendidikan? (2) Apa yang hendak ia capai? Dan (3) Bagaimana cara terbaik merealisasi tujuan-tujuannya?

Sedangkan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sendiri, Pancasila adalah filsafat pendidikannya. Karena Pancasila merupakan dasar dari segala dasar tata hidup, sehingga yang menjadi dasar tata hidup di bidang pendidikan adalah Pancasila.

(2) Landasan Hukum/ Yuridis
Landasan Hukum dapat dipahami sebagai peraturan baku sebagai tempat terpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini adalah kegiatan pendidikan yang asumsi-asumsinya bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dijadikan tolak ukur dalam mengkaji bidang pendidikan.

Sebagaimana dalam UU RI NO. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa: “Setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun, wajib mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 6); “Setiap warga Negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34). Implikasinya, Kepala Sekolah Dasar atau panitia penerimaan siswa baru di SD harus memprioritaskan anak-anak (pendaftar) berusia tujuh tahun untuk diterima sebagai siswa daripada anak-anak yang baru mencapai usia enam tahun. Karena itu, panitia penerimaan siswa baru perlu menyusun daftar urut anak (pendaftar) berdasarkan usianya, baru menetapkan batas nomor urut pendaftar yang akan diterima sesuai kapasitas yang dimiliki sekolah.

Upaya mengidentifikasi dan mengelompokkan jenis-jenis landasan pendidikan, di samping dapat dilakukan berdasarkan sumbernya, dapat pula dilakukan berdasarkan sifat isi dari asumsi-asumsinya. Berdasarkan sifat isi asumsi-asumsinya, landasan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu 1) landasan deskriptif pendidikan, dan 2) landasan preskriptif pendidikan.

(3) Landasan Deskriptif Pendidikan
Landasan deskriptif adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia sebagai sasaran pendidikan apa adanya (dasein) yang di jadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan umumnya bersumber dari hasil riset ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, sebab itu landasan deskriptif pendidikan disebut juga landasan ilmiah pendidikan atau landasan faktual pendidikan.

(4) Landasan Preskriptif Pendidikan
Landasan deskriptif pendidikan antara lain meliputi: landasan psikologis pendidikan, landasan biologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, dsb. Adapun landasan preskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia yang ideal/diharapkan/dicita-citakan (das sollen) yang disarankan menjadi titik tolak studi pendidikan dan/atau praktek pendidikan. Landasan preskriptif pendidikan antara lain meliputi: landasan filosofis pendidikan, landasan religius pendidikan, dan landasan yuridis pendidikan.

Oleh: Abdy Buthan

Ketika para ilmuwan begitu ramai memperdebatkan suku bangsa dan beberapa tempat yang pernah hilang di belantara bumi ini, seperti Atlantis, Lemuria, Sodom dan Gomora, bahkan mencari-cari siapakah Gog and Magog yang sebenarnya, maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sepanjang peradaban kehidupan insan manusia di dunia ini, hanya ada satu suku bangsa yang selalu menjadi objek konspirasi, kutuk, cercaan serta hinaan, tetapi juga sanjungan dan pujian. Ya, dia adalah Yahudi!

Istilah ‘Yahudi’ adalah istilah yang merujuk pada dua hal, yaitu sebuah ‘agama’ dan suatu ‘ras’ atau ‘suku bangsa’—sebagai agama, istilah ini merujuk kepada umat yang beragama Yahudi; sementara sebagai bangsa, istilah ini merujuk kepada negara Israel. Dalam hal ini, negara Israel merupakan satu-satunya negara etnis yahudi di dunia, yang memiliki jumlah populasi sebesar 7,5 juta jiwa.

Sejuta rahasia kekurangan bahkan kehebatan bangsa Yahudi seakan terpelihara di alam raya ini sejak beribu-ribu tahun yang lalu, bahkan sejak bumi dijadikan berdasarkan tatanan hukum penciptaan Sang Kreator Agung melalui buku Genesis.

Memang, dalam realitas yang sesungguhnya, ada terdapat begitu banyak kehancuran, masalah, kebobrokan yang tidak tanggung-tanggung dilakoni oleh bangsa Yahudi di alam ini. Tetapi disamping itu, banyak juga keuntungan, kesuksesan, kebaikan bahkan surga firdaus yang juga dihadirkan oleh bangsa Yahudi sebagai penguasa bumi ini.

Banyak kalangan rohaniawan dan para cendekiawan berkelas “religius” (entah fiktif, psikis, maupun edukatif) melemparkan klaim-klaim dengan tidak tanggung-tanggung, bahwa tolak ukur akhir dari zaman ini adalah kehancuran bangsa “Yahudi”. Alhasil, bangsa Yahudi selalu dijadikan maskot, dan figura tunggal tentang kedatangan hari kiamat—bahkan simbol kehadiran sang Armagedon sejati.

Ironisnya lagi, bangsa Yahudi pun di klaim sebagai kaum pemegang rahasia akhir zaman. Jika di sederhanakan maka dapat di katakan bahwa, “jika Anda ingin mempercepat hari kiamat, maka lenyapkan bangsa Yahudi!”.

Setidaknya demikian euforia tak beraturan yang dijadikan semacam euforian untuk menjustifikasi bangsa Yahudi. Bahkan beberapa umat beragama garis keras beranggapan bahwa berjalinnya ajaran Talmud dengan kepentingan politik bangsa Yahudi, adalah salah satu penyebab mengapa negara Israel bersifat sangat ekspansionistik dan kolonialistik, dengan tanpa meninggalkan modus terorisme sebagai cara untuk memperluas wilayah dan hegemoni mereka.

Demikianlah Yahudi! Bangsa yang penuh kontroversial. Bangsa ini selalu menjadi sebuah episentrum abadi dalam peradaban di alam kosmo ini. Bahkan kisah pengembaraan bangsa ini ibarat satu epik yang teramat panjang, lebih panjang dari sebuah epik Homer, atau The Iliad and the Odyssey.

Kecerdasan Bangsa Yahudi
Terlepas dari semua, dalam sebuah makalah bertaraf internasional, yang disusun oleh dua orang Prefesor yaitu Gregory Cochran dan Henry Harpending, yang diterbitkan pada tahun 2009, terdapat sebuah pertanyaan sederhana yang menjadi dasar dari semua penelitian mereka, yakni “mengapa bangsa Yahudi sangat pintar dan cerdas?”. Dan akhirnya Cochran menyaksikan sendiri bahwa teori seleksi alam sangat menyebabkan bangsa Yahudi menjadi pintar.

Memang, siapa pun tak bisa memungkiri bahwa bangsa Yahudi terkenal dengan kepintaran dan kecerdasan mereka. Mitos bangsa Yahudi cerdas, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Kenyataannya, bangsa Yahudi sebagai bangsa minoritas di dunia, memang banyak yang cerdas.

Peraih nobel sebagian besar diperoleh oleh orang Yahudi. Nama-nama seperti Albert Einstein sang penunggang cahaya, Karl Marx dengan teori kelasnya, Sigmun Freud dengan ego dan dan super egonya, serta Maslow dengan teori hierarkinya, Mark Zuckerberg sang penemu Facebook, Hitler sang diktator, Leonal Messi pemain sepakbola terhandal, serta lain-lainnya seperti Alan Greenspan, Sergrey Brin, Larry Page, George Soros, Steven Spielberg dan Rupert Murdoch, yang semua memiliki pengaruh besar dalam perkembangan dan peradaban dunia internasional, baik dari segi pengetahuan, politik maupun media, dan segi-segi lainnya.

Akibat kecerdasan luar biasa yang dimilikinya, bangsa Yahudi selalu menjadi 'bulan-bulanan' sebagian kalangan sejak dulu hingga saat ini. Bahkan sosok Adolf Hitler yang juga berdarah Yahudi, tetapi kemudian menjadi pembunuh orang Yahudi terbanyak di dunia, pernah berucap,.. “Saya bisa membunuh semua bangsa Yahudi ketika saya berkuasa, tapi saya tinggalkan sedikit untuk kamu kenali siapakah sebenarnya bangsa Yahudi dan mengapa saya membunuh mereka”.

Konon ceritanya, sang Hitler bersama dengan nazi Jermannya, dipercaya meluncurkan Holocoust untuk membunuh sekitar 6 juta orang Yahudi dengan tujuan untuk menghapus suku bangsa Yahudi ini di muka bumi, karena beranggapan bahwa bangsa Yahudi akan menghancurkan dan menguasai dunia suatu saat nanti. Terlepas dari benar atau tidaknya tindakan Hitler terhadap kaum Yahudi ini, kenyataan dari dulu hingga saat ini, prediksi Hitler memang sangat terbukti bahwa bangsa Yahudi dari waktu ke waktu, selalu tampil dan menguasai dunia. Bahkan hampir sebagian besar bidang kehidupan di dunia ini telah di kuasai oleh kaum Yahudi.

Pendidikan Bangsa Yahudi
Muncul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi kecerdasan bangsa Yahudi? Mengapa Bangsa ini begitu hebat? Salah satu jawabannya adalah sistem pendidikan bangsa Yahudi yang memang sangat luar biasa! Disamping itu, sisi sosial kemasyarakatannya dari mulai nilai-nilai pendidikan hingga cara bangsa Yahudi harus bertahan di pengasingan juga perlu dipertimbangkan.

Sejak zaman Musa, tradisi mendidik anak sudah menjadi tradisi keagamaan Yahudi (Ulangan 6:4-9), dan tradisi itu bukan hanya sekedar dipelihara saja, tetapi juga selalu dikembangkan. Mereka tidak segan-segan meniru sistem pendidikan pagan dan memadukannya dengan sistem pendidikan di Bait Allah, yang berorientasi pada Tuhan.

Sebuah traktat yang berasal dari koleksi tulisan rabinik Yahudi (Mishna), yang berasal dari abad pertama, menulis bahwa: “Pada umur lima tahun (seorang anak disiapkan untuk mempelajari) Kitab Tora; dimana sepuluh tahun untuk Tora Lisan (Oral Tora); tiga belas tahun untuk Bar Mitswa; lima belas tahun untuk halakhot (keputusan rabinik yang bersifat legal); delapan belas tahun untuk pernikahan; dua puluh tahun untuk mencari kerja; tiga puluh tahun untuk memasuki masa dewasa penuh.”

Itu sebabnya pendidikan merupakan hal yang sangat dihargai dikalangan bangsa Yahudi, bahkan sebelum berkembangnya filsafat-filsafat modern di Yunani. Karena itu, wajar jika Yosefus, seorang sejarahwan Yahudi dari abad pertama, dalam bukunya berjudul Melawan Apion mengatakan: “Di atas semuanya itu, kita patut bangga atas diri kita karena pendidikan kita terhadap anak-anak kita, dan penghargaan kita atas tugas esensial dalam kehidupan kita, menanamkan hukum dan perbuatan-perbuatan mulia berdasarkan semuanya itu, dan itu telah mengakar dalam masyarakat kita.”

Sistematika pendidikan di kalangan Yahudi sejak zaman dulu memang luar biasa, di mana dalam Talmud dijumpai perkataan berikut, “Jumlah maksimal murid-murid dasar yang harus diajar oleh seorang guru adalah dua puluh orang; jika ada lima puluh murid, haruslah disediakan seorang guru tambahan; jika ada empat puluh murid, seorang murid senior haruslah menjadi asisten sang guru” (Bava Batra).

Pada abad pertama Masehi, setiap Sinagoge memiliki Beth Sefer (sekolah dasar) dan Beth Midrash (sekolah lanjutannya) sendiri-sendiri. Murid-murid diajarkan untuk menguasai Tora dan tradisi-tradisi lisan. Biasanya, pendidikan formal baru berakhir pada usia dua puluh atau tiga puluh tahun. Namun, beberapa pelajar yang dianggap mendapat karunia tertentu akan tetap melanjutkan pendidikannya di Beth Midrash. Biasanya merekalah yang kelak menjadi seorang Rabbi dan kembali mendidik generasi-generasi Yahudi berikutnya.

Kebanyakan kalangan berpikir bahwa Sinagoge adalah tempat beribadah, dimana ibadah (dalam arti ritual) lebih penting dari segala sesuatunya. Kenyataannya tidak demikian, dalam tradisi Yahudi, pendidikan dan ibadah tidak dipisahkan. Keduanya dianggap sama sederajat, bahkan dalam sebuah Talmud Babilonia disebutkan bahwa belajar Tora merupakan bentuk ibadah yang paling tinggi.

Karena itu, merupakan suatu hal yang wajar jika di dalam masyarakat Yahudi pada zaman Yesus, seorang guru dihormati sederajat dengan seorang Imam. Itulah yang juga menjadikan Ahli Tora, kalangan Ferushim, dan kalangan Tsadukim menjadi sangat populer dalam zaman Yesus. Bahkan Yesus sendiri, menjadi sosok yang sangat dikagumi salah satunya karena ia adalah seorang Rabbi.

Dalam membangun sistem pendidikan, terdapat 6 (enam) hal positif yang dapat dijadikan pedoman dari tradisi pendidikan Yahudi.

(1) Takut akan Tuhan adalah permulaan ilmu pengetahuan (Amsal 1:7). Bukan kemampuan manusia yang dapat menggali kedalaman ilmu, tetapi Allah yang menyatakannya dalam banyak cara. Tugas manusia adalah “setia” pada Allah


(2) Pendidikan itu setara dengan ibadah;
(3) Moral adalah buah dari pendidikan yang matang (bandingkan 1 Petrus. 1:5-7);
(4) Pendidikan keluarga sebagai awal pendidikan;
(5) Pembekalan anak secara sistematis;
(6) Sistem pendidikan berlangsung secara dinamis serta terbuka terhadap dunia luar

*******************
Oleh: Abdy Busthan

Tulisan ini diambil dari buku berjudul:Pedagogik Yahudi: Perspektif Asimilasi Prehistoris, Historis & Historisitas
Penulis: Abdy Busthan
Penerbit: Desna Life Ministry (Bertempat di Kupang)
Halaman: 1-188
Ukuran: 14,7 x 21 cm
Harga Buku: 100 rb
Kontak: 081333343222

Pada tahun 1912 (tepatnya di Jerman) peradaban ilmu pengetahuan digemparkan oleh sebuah artikel tentang konsep “gerakan ilusi” oleh Max Wertheimer, seorang Psikolog berkebangsaan Austria-Hungary. Artikel tersebut sekaligus menandai awal dimulainya suatu gerakan psikologi berkelas dunia, yaitu "Psikologi Gestalt".

Max Wertheimer (1980-1943) memang dianggap sebagai pendiri Psikologi Gestalt. Namun sebenarnya dia tidak sendirian. Sebab awalnya ia bekerja sama dengan dua tokoh yang juga dianggap sebagai “bapak” pendiri Psikologi Gestalt, yaitu: Wolfgang Kohler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1886-1941). Dalam hal ini Kohler dan Koffka juga memiliki andil dalam eksperimen pertama yang dilakukan Wertheimer (Busthan Abdy, 2016:14).

Istilah gestalt berasal dari kata Jerman yang berarti “pola” atau “konfigurasi”. Aliran ini berpendapat bahwa seseorang mengalami dunia secara menyuluruh dan bermakna. Individu tidak melihat stimuli yang terpisah-pisah namun stimuli tersebut selalu dikelompokkan bersama (diorganisasikan) ke dalam satu konfigurasi yang bermakna atau Gestalten (bentuk jamak dari Gestalt).

Hergenhann B. R & Olson H. Matthew dalam Busthan Abdy (2016) menjelaskan bahwa kita melihat benda-benda seperti: orang, kursi, mobil, pohon, dan bunga, namun kita tidak melihatnya sebagai deretan dan kontur serta serpihan warna. Medan persepsi kita adalah "komposisi keseluruhan" yang tertata atau Gestalten, dan ini seharusnya dijadikan subjek penelitian pskologi. 


Jadi, pandangan Gestaltis (kelompok Gestalt) adalah: “keseluruhan ini berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya” atau bisa dikatakan “membagi-bagi berarti mendistorsi”. 

Misalnya, kita tidak bisa mendapatkan kesan penuh dari lukisan Presiden Soekarno dengan hanya melihat gambar tangan kanannya dahulu, lalu gambar tangan kirinya, lalu rambutnya, pecinya, telinganya, hidungnya, mulutnya dan kemudian menyatukan pengalaman untuk melihat ini. Sebagaimana kita juga tidak bisa memahami pengalaman mendengarkan musik dangdut dengan menganalisis kontribusi masing-masing musisinya atau alat musiknya secara terpisah-pisah. Musik yang berada dalam musik dangdut adalah berbeda dengan jumlah pemain musik atau jumlah alat-alat musik yang dimainkan oleh setiap musisi yang terlibat di dalamnya. Melodi dangdut memiliki kualitas sendiri yang berbeda dengan kualitas suara yang dihasilkan oleh berbagai alat musik yang menjadi unsur melodi tersebut (Busthan Abdy, 2016:15).

Inilah kajian mendalam psikologi Gestalt yang di gagas Wertheimer, yakni dari konsep “gerakan ilusi” atau disebutkannya dengan istilah “phi phenomenon”. Awalnya dalam sebuah perjalanan Wertheimer menggunakan sebuah kereta api menuju kota Rhineland, yaitu salah satu kota di negara Jerman yang luas wilayahnya mencapai19.846 km². Dalam perjalanan itu, muncul gagasan Wertheimer, bahwa jika dua cahaya berkedip-kedip (padam hidup-padam trus hidup) pada tingkat tertentu, maka cahaya itu akan memberikan kesan bagi pengamatnya bahwa satu cahaya bergerak maju dan mundur. Konsep ini selanjutnya diperdalam lagi oleh Wertheimer yang akhirnya menghasilkan pemahaman bahwa, jika mata melihat stimuli dengan cara tertentu, penglihatan itu akan memberikan ilusi gerakan atau seperti disebutkan di atas, phi phenomenon. Akhirnya penemuan ini menjadi dasar penting terhadap sejarah perkembangan psikologi di dunia (Busthan Abdy, 2016:15-16).

Pemahaman penting terkait phi phenomenon ini adalah bahwa fenomena ini berbeda dari elemen atau komponen yang menyebabkannya. Sensasi suatu gerakan tidak dapat dijelaskan dengan menganalisis setiap unsur kedipan cahaya, yakni cahaya padam dan cahaya hidup (padam-hidup); perasaan akan adanya gerakan akan muncul dari kombinasi kedua elemen itu.

Karena alasan ini maka aliran Gestalt percaya bahwa walaupun pengalaman psikologis berasal dari elemen sensoris (indrawi), namun pengalaman itu berbeda dengan elemen sensoris itu sendiri. Bisa dikatakan dengan kalimat sederhana bahwa, "pengalaman fenomenologis (baca: gerakan yang kelihatan) berasal dari pengalaman sensoris (baca: cahaya)".

Tetapi sesungguhnya hal ini tidak bisa dipahami dengan cara menganalisis komponen-komponen pengalaman fenomenal ini. Artinya, pengalaman fenomenologis adalah berbeda dari bagian-bagian yang menyusunnya tersebut. Jadi pada titik ini para Gestaltis yang mengikuti tradisi Kantian meyakini bahwa organisme menambahkan sesuatu pada pengalaman, di mana sesuatuitu tidak terdapat dalam data yang di indra dan sesuatu itu adalah tindakan menata (organisasi) data (Busthan Abdy, 2016:16-17).

Oleh: Abdy Busthan

*******
Referensi Buku:
Busthan Abdy. (2016). Pembelajaran Kognitif. Kupang: Desna Life Ministry

Apabila pendidikan di ibaratkan dengan sebuah mesin, maka makna apakah yang hendak dikandung oleh sebuah kebebasan? Jika, dunia pendidikan merupakan tempat bagi para pelaku-pelaku kebebasan, akankah ada suatu perubahan perilaku bagi seluruh oknum yang terlibat di dalamnya? 

Satu hal yang pasti, bahwa jika pendidikan itu merupakan sebuah hasil dari kumpulan kekuatan-kekuatan kapitalisme, atau sebuah hasil produksi industri modern sebagaimana yang dikatakan oleh para penganut marxisme, maka kebebasan dalam dunia pendidikan itu akan kehilangan arti pentingnya.

Francis Fukuyama dalam sebuah ramalannya, yang di tuangkan ke dalam buku yang sangat kontroversial, “The End Of History and The Las Man” (2004), menyatakan bahwa kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai sebuah ideologi dunia, semakin mengkokohkan kapitalisme atas dominasinya, termasuk dalam dunia pendidikan yang terjadi dewasa ini. 


Dan menjadi sesuatu yang ironis, bahwa negara Indonesia sebagai bagian dunia ketiga pun tak luput dalam praktek kegilaan ideologi ini. Ya, dalam banyak hal pendidikan di republik saat ini masih sering di desain ke dalam model pendidikan yang lebih pada penekanan dimensi pengetahuan atau knowledge saja. Khususnya lagi pada aspek pengetahuan teoretik atau konseptual semata. 

Sehingga nampak bahwa dimensi praksis yang membuat pendidikan dapat menjadi out put yang memiliki seperangkat keterampilan praksis, masih jauh dari harapan. Ibarat pepatah klasik “Jauhlah panggang dari apinya”.

Jika dalam suatu negara, para penguasa dan sekumpulan pengusaha bersatu dalam kekuatan yang liar, maka faktanya adalah, terjadi dominasi ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang akan berdampak pada sistem pendidikan. Dan hal ini akan menjadi seperti gurita yang menggerogoti hakikat utama dari tujuan pendidikan itu sendiri. Kondisi seperti ini juga dapat menimbulkan pemasungan terhadap adanya integritas manusia, seperti ‘siswa’ sebagai manusia yang memiliki fitrah (pikiran, budi, kehendak, emosi, bakat talenta, kreatifitas dan bebas mengembangkan diri).

Dan akhirnya, lembaga pendidikan tempat belajar, semakin mengabdi dan menghambakan dirinya pada arus materialistik kapitalisme. Pemasungan terhadap adanya keutuhan manusia sebagai dampak industrialisasi dan nilai yang dijual-belikan melalui proses modernism dewasa ini, dapat dilihat dengan adanya pendidikan yang diarahkan hanya untuk memenuhi lapangan kerja (manusia dipandang hanya dari dimensi kerja, sehingga hubungan dengan sesamanya hanya ditentukan oleh relasi ini).

Pada akhirnya, terjadi pemasungan yang menghilangkan dimensi lain yang di miliki, serta merampas kebebasan memilih dan hal ini cenderung memasung imajinasi sebagai potensi daya kreasi manusia.

Pendidikan kaum tertindas, demikian filsafat pendidikan seorang Paolo Freire (2011), yang merupakan teori filsafat sekaligus praktek yang menuntut komitmen dan motivasi untuk mencoba memberikan asas-asas atau jawaban atas permasalahan sosial. Penindasan baginya, adalah sebuah perilaku tidak manusiawi dalam alasan apapun, yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Mungkin saja, bagi mayoritas kaum tertindas, akan menjadi tidak manusiawi. Karena hak-hak asasi mereka dinistakan. Mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam ‘kebudayaan bisu’ (submerged in the culture of silence). Seharusnya, struktur dan mekanisme sistem dari lembaga-lembaga penindasan di tolak, demi untuk melawan ‘pembungkaman’ yang semakin menghujam sistim pendidikan yang ada.

Dari filsafat pendidikan yang di usung Freire di atas, dipahami bahwa pendidikan yang berguna adalah pendidikan yang menyadarkan sikap kritis terhadap dunia, dan mengarahkannya pada perubahan yang sifatnya aktif dan produktif.

Karena yang dibutuhkan pada konsepsi pembebasan dalam dunia pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang menjadikan manusia sebagai sentral bagi perubahan dalam keseluruhan aspek kehidupan, guna bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Sebab pendidikan bukan hanya persoalan-persoalan tentang kemampuan retorika yang bersifat verbal dan sejenisnya. Akan tetapi lebih mengarah kepada keseluruhan aspek kelakuan yang bertumpu pada kemampuan profesional dari para pelaku-pelakunya. Oleh sebab itu, kemampuan-kemampuan ini harus pula di rangsang melalui sikap kritis terhadap kenyataan-kenyataan sekeliling yang di hadapinya. Sehingga sikap kritis itu mampu untuk mengubah self empowerment menjadi social empowerment.

Mungkin benar apa yang ditegaskan oleh Ivan Illich melalui konsepnya “deschooling society” (1974) yang timbul sebagai reaksi atas model pendidikan kapitalistik—dimana saat itu terjadi kecenderungan untuk mengedepankan kekayaan wawasan pengetahuan daripada menyentuh dimensi keterampilan atau kemampuan praktis—bahwa pendidikan yang lebih mengedepankan wawasan pengetahuan saja, tanpa perilaku atau keterampilan, hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang siap menjadi obyek perubahan sosial dari pada subyek perubahan sosial.

Karena itu, pendidikan seharusnya menjadi instrumen bagi self empoverment, yang bertujuan membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan pengibirian manusia atas manusia lainnya secara berkesinambungan. Dalam artian bahwa manusia yang memiliki ‘kebebasan’ seharusnya juga memiliki kemampuan dalam dirinya untuk memaksimalkan potensi diri terhadap kehidupan yang akan di jalaninya. Sehingga out come dari dunia pendidikan tidak lagi menghasilkan generasi dan re-generasi yang memiliki sikap ketergantungan yang tidak mandiri. Sebagaimana ketergantungan itu, salah satunya dijembatani oleh pendidikan model kapitalistik yang sangat merugikan proses pemberdayaan diri dalam diri siswa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.

Tujuan Pendidikan Yang Membebaskan

Menurut Illich, sistem pendidikan yang baik dan yang membebaskan, seharusnya mempunyai tujuan yang membebaskan pula, sebagaimana 3 (tiga) tujuan yang di rumuskannya berikut ini :
1) Pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat; 2) Pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.; 3) Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.

Dari tiga tujuan yang di gagas Illich di atas, dapat di tarik pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk terjaminnya kebebasan seseorang dalam hal ‘memberikan’ dan ‘mendapatkan’ Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan mendapatkan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara kapan saja dan dimana saja.

Dalam kesempatan lainnya, Erich From juga mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah bagaimana membebaskan semua anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari anggapannya yang sudah mapan. 

Sebagaimana yang diungkapkannya:..
“The importance of his thoughts... lies in the fact that they have a liberating effect on the mind by showing new possibilities; they make the reader more alive because they open the door that leads out of the prison of routinized, sterile, preconceived notions”.(lihat: http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm/last updated: Januari 15, 2014)

Menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang ide-ide ‘pembebasan’ dari Illich yang ditujukan pada sasaran-sasarannya sebagai berikut:

1) Untuk membebaskan akses pada barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang atau lembaga atas nilai-nilai pendidikan mereka.

2) Untuk membebaskan usaha membagikan keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan ketrampilan itu menurut permintaan.

3) Untuk membebaskan sumber-sumber daya yang kritis, dan kreatif yang dimiliki rakyat dengan mengembalikan kepada masing-masing orang, kemampuannya dalam mengumpulkan orang dan mengadakan pertemuan. Suatu kemampuan yang kini makin dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang menganggap diri berbicara atas nama rakyat.

4) Untuk membebaskan individu dari kewajiban menggantungkan harapan-harapan pada jasa-jasa yang diberikan oleh profesi mapan manapun seperti sekolah, dengan memberikan kesempatan belajar dari pengalaman teman sebayanya dan mempercayakannya kepada guru, pembimbing, penasehat yang dipilihnya sendiri. Upaya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang ini

Dari beberapa poin di atas, dapat dipahami bahwa dalam konsepnya tentang pendidikan untuk pembebesan, Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapan tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Sebab ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh hanya dari sekolah saja, akan tetapi dapat di peroleh juga dari dunia luar sekolah, seperti lingkungan sekitar dan alam. Sebab jika tidak, maka pada akhirnya nanti seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah di jajakan oleh sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa ia harus tahu dari mana dan bagimana ilmu pengetahuan tersebut.

Sebab dengan bersikap ‘menuruti’ apa kata orang lain tanpa di dasari akan pemahaman yang mendalam dari apa kata orang tersebut—pengetahuan yang memadai—sesungguhnya akan menempatkan seseorang pada wilayah yang terbelenggu oleh batas-batas pikiran orang lain, dan akan melahirkan suatu fenomena sikap hidup yang kurang, dan jauh dari sikap hidup kreatif dan inovatif tetapi juga produktif dalam segala bidang kehidupan yang nantinya akan di jalaninya sebagai insan pendidikan yang bebas—membebaskannya.

Konteks Indonesia
Demikian halnya dalam konteks pendidikan di Indonesia, bahwa ‘mental pesuruh’, setidaknya dapat menggambarkan sosok manusia Indonesia yang telah di kondisikan oleh sistem pendidikan nasionalnya sendiri, dengan hanya bekerja apabila terdapat ‘juklak’ dan ‘juknis’.

Sehingga tak bisa di pungkiri lagi, bahwa sistem pendidikan nasional hanya mampu melahirkan robot-robot yang bekerja hanya jika terdapat undang-undang yang memayunginya. Sehingga realitas yang ada, menunjukkan fenomena dimana orang menjadi segan dan tidak mau berbuat sesuatu, jika tidak ada petunjuk dari atas (Tilaar, H, A, R, 2012:334-335).

Bahwa dalam sistem pendidikan nasional, tidak dikembangkan sebuah sikap ‘entrepreneur’ yang mampu untuk menembus hingga kawasan status quo. Sehingga tidak mengherankan lagi jika isi pendidikan nasional yang ada, hanyalah terfokus pada pengembangan otak kiri semata-mata dan tidak mengembangkan otak kanan, seperti misalnya dalam bidang bisnis dan bidang-bidang kehidupan lainnya.

Dengan melihat kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa intelektualisme sistem pendidikan nasional sudah semakin jauh dari dunianya yang riil—realitas yang nyata. Padahal seharusnya kreativitas dan inovasi di dalam berbagai sektor kehidupan haruslah menjadi agenda yang tidak bisa di tunda lagi untuk dihadirkan kembali ke panggung pendidikan sebagai suatu upaya untuk membebaskan siswa dalam keseluruhan kegiatan dan perilaku belajar. Sebab dunia pendidikan bukanlah kegiatan tour dalam hal belajar—mengajar, dan bukan pula pembahasan dalam persoalan tapal batas, yang selalu dibatasi oleh dinding atau tembok pemisah, serta bangunan-bangunan megah dan lain sebagainya.

Renungan Bersama

Memang tidak selamanya kondisi kehidupan manusia berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dan mungkin saja insan kehidupan—manusia, tidak mengetahui alasan mengapa ia akan berbuat sesuatu.

Namun seharusnya hal yang berkaitan dengan tingkat kesadaran seseorang, seyogyanya memampukan dan menjadikan para pengajar seperti guru atau dosen, sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik untuk memformat pola pendidikan dalam belajar dan pembelajaran, sebagai upaya untuk membawa kesadaran insan pendidikan pada tingkatan yang lebih proporsional.

Sebab pendidikan dalam perjalanannya, selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia seutuh-utuhnya. Sebagaimana dalam perjalanannya, banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahamannya masing-masing mengenai pendidikan, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.

Singkatnya, pendidikan dalam dunianya adalah suatu proses “pembebasan” dimana manusia itu secara sadar bisa menangkap kemudian menyerap, sehingga menghayati dan mengimplementasikannya dalam hidup dan kehidupannya, yang merupakan peristiwa-peristiwa belajar sepanjang kehidupannya, hingga pada hari Maranatha.

Oleh Abdy Busthan

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget