Syariat dan Halakha dalam konteks Kristen
Umat Kristen sedikitnya memiliki sikap yang sangat ambivalen terhadap apa yang di sebutkan dengan “Hukum”. Dalam generasi Kristen pertama, yang hidup diantara orang Yahudi, yang mereka akui sebagai hukum adalah hukum Taurat yang dibawa oleh Musa. Hukum Taurat terbagi menjadi dua, yaitu Taurat tertulis yang adalah “Tanakh” dan Taurat lisan yaitu “Halakha” (Busthan Abdy, 2017)
Taurat tertulis adalah apa yang disebutkan dalam kalangan Kristen sebagai Perjanjian Lama, yang terdiri dari Hukum, Para Nabi, dan Kitab-Kitab. Sementara hukum tak tertulis yaitu Halakha, adalah hukum yang dijalankan tetapi menjadi perdebatan panjang diantara para ulama Yahudi. Tetapi hukum Halakha sedikitnya memiliki wibawa tersendiri sebab ada anggapan pula yang mengatakan bahwa hukum ini juga dibawa oleh Musa.
Namun ketika di zaman Yesus, kritik-kritik yang sering dilontarkan Yesus lebih diarahkan terhadap Taurat lisan ini dan para ulamanya (ahli Taurat dan kaum Farisi). Sebab mereka membuat rumit dan memberatkan Taurat bagi umat, sehingga hal ini menjadi beban yang paling berat. Misalnya, kritik Yesus terhadap pemahaman yang keliru tentang fungsi hari Sabat: apakah hari Sabat dibuat untuk manusia ataukah manusia dibuat untuk Sabat?
Syariat lebih mirip dengan Taurat lisan yang di sebut dengan Halakha yang juga sudah dibukukan ke dalam Talmud. Kata Halakha dan Syariat memiliki pengertian yang sama, yakni “jalan menuju Allah sebagai sumber kehidupan”.
Olaf Schumann (2011), seorang Teolog lintas agama asal Jerman, mengatakan bahwa, apa yang semula dipahami sebagai pengarahan, bimbingan atau hidayah, dan hikmat dengan akar katanya sama dengan hukum, oleh para ulama, dijadikan seperti sebuah “kereta” yang digerakkan di jalan keselamatan. Namun yang dibawa menuju keselamatan hanyalah para penumpang kereta itu, di mana pemiliknya adalah para ulama. Sebaliknya, orang lain yang bergerak di jalan yang sama, seolah-olah dihalangi mencapai ujungnya kepada Allah.
Berbeda halnya dengan Yesus, yang justru datang membongkar kereta yang menjadi tumpangan orang-orang tersebut. Sehingga jalan itu tetap ada. Artinya bahwa mereka yang mengikuti Yesus akan berjalan dengan kakinya sendiri untuk berjalan bersama-sama dengan Yesus, dan bukan menjadi hanya sekedar penumpang suatu kendaraan yang dikemudikan dan diarahkan ke ujung jalan. Dan pada akhirnya, Yesus menyebutkan diri-Nya sebagai “Jalan” (Yohanes 14:6), yang bukan sebagai kereta atau jenis kendaraan yang lain.
Syariat Sebuah Xenofobia?
Jika Syariat Islam diberlakukan dalam masyarakat yang mengandung pluralisme agama, seperti di Indonesia, maka ia tentu akan menekan mereka-mereka yang non-Muslim. Mengapa? Tentu saja hak-hak beragama mereka akan mengalami diskriminasi dalam bentuk tekanan dan berakhir dengan munculnya xenofobia (ketakutan, was-was) terhadap kehidupan yang mereka jalani. Akibatnya, agama bukan lagi menjadi bagian yang menyejukkan hati, tetapi cenderung menjadi tempat yang nyaris menakutkan.
Semenjak Syariat Islam dideklarasikan sampai hari ini, pelaksanaannya masih menyimpan sejumlah masalah yang selalu dicarikankan solusinya. Seluruh lini masih menyisakan berbagai polemik yang melahirkan berbagai macam persepsi tentang syariat Islam itu sendiri. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan lain yang timbul dan ikut menghadang pemberlakuan Syariat Islam ini secara kaffah. Misalnya saja, pemberlakuan Syariat di Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebagaimana diketahui bersama, Syariat Islam telah lama berkembang di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya hukum-hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang kemudian di salin dalam “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As-Salam” atau lebih dikenal dengan “Adat Meukuta Alam”.
Dengan peraturan inilah, Po Teumeuruhom menjalankan syariat Islam saat itu, dengan dibantu fatwa-fatwa dari ulama kenamaan, Abdurrauf As-Singkily (Syiah Kuala) yang ketika itu berperan menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Maka akhirnya, ajaran Islam pun menjadi menyatu di dalam kehidupan dan keseharian masyarakat, baik dalam hal peribadatan, adat, hukum, sosial, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya. Hal ini tercermin dari beberapa petuah bijak Aceh seperti,”Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut.” Atau “Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala. Gadeh aneuk meupat jeurat gadeh adat ho ta mita”.
Pada masa pemerintahan Soekarno, pergolakan Aceh dibawah komando Tgk. Muhammad Daud Beureuah terjadi. Soekarno yang pernah menjanjikan penerapan Syariat Islam di Aceh tak pernah merealisasikannya.
Salah satu solusi yang diberikan untuk menghentikan pergolakan tersebut adalah dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang ditandatangani oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri I/Ketua Misi Pemerintah ke Aceh pada tanggal 26 Mei 1959). Keputusan tersebut terkenal dengan sebutan “Missi Hardi”.
Keputusan ini memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang sekaligus: agama, pendidikan dan peradatan. Sehingga akhirnya Aceh menyandang gelar Daerah Istimewa (DI). Janji ini menurut Al Yasa’ Abu Bakar, layak diberikan karena perjuangan rakyat Aceh sejak awal peperangan melawan Belanda antara lain didorong untuk melaksanakan Syariat Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Bahkan tuntutan agar Aceh menjadi sebuah Provinsi terpisah, merdeka katakanlah, juga karena keinginan melaksanakan Syariat Islam di seluruh wilayah Aceh ini.
Memasuki masa pemerintahan Orde Baru, Undang Undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini, nasib penegakan Syariat yaitu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh tidak disinggung lagi.
Kendati pemerintah telah melupakan Daerah Istimewa (DI) dengan keistimewaan agama didalamnya, pemerintah daerah Aceh tetap berupaya menjalankan keistimewaan tersebut. Ini dibuktikan dengan dikeluarkan beberapa peraturan daerah yang berkenaan dengan penerapan Syariat Islam.
Waktupun bergulir hingga masa Reformasi. Pada akhirnya Presiden Habibie yang menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan.
Tentang keistimewaannya, maka bidang agama didefinisikan dengan penerapan Syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Undang-undang ini sedikit meredam kekecewaaan masyarakat Aceh.
Berlanjut hingga masa pemerintahan ibu Megawati, lahirlah Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang lebih dikenal dengan Undang undang Otonomi Khusus. Undang-undang ini membenarkan pembentukan Mahkamah Syariat, baik di tingkat rendah ataupun tingkat tinggi. Wewenangnya meliputi seluruh bidang Syariat yang berkaitan dengan peradilan, dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum.
Akhirnya, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ini, maka menandai momentum penerapan Syariat Islam secara kaffah di bumi bersyariat Aceh, dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh, di mana pada 1 Muharram 1423 H dinyatakan sebagai awal penerapan Syariat Islam secara kaffah. Mengaktualisasi penerapan Syariat Islam secara kaffah, maka lahirlah beberapa qanun yang dijadikan pegangan secara yuridis formal dalam penegakan Syariat di Aceh.
Awal diterapkannya Syariat Islam di Aceh setelah disahkannya UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, memang berdampak positif. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya kegiatan-kegiatan religius. Namun dengan berjalannya sang waktu, penerapan Syariat Islam kemudian menghasilkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat Muslim.
Ketika Syariat Islam dibicarakan, mereka akan segera membayangkan sesuatu sangat menakutkan, seperti: hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan beragam hukuman lainnya. Sekiranya mau meneliti hukum Islam lebih dalam, bentuk hukuman-hukuman ini bukanlah hal pertama yang perlu disosialisasi dan bukan pula asas dari Syariat Islam itu sendiri. Karena hal-hal itu hanyalah suatu bagian dari cabang di dalam fiqh Islam.
Sebagaimana dikisahkan Liza Fathia (2009), seorang dokter yang bertugas di kota Banda Aceh, bahwa terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah dampak meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh.
Atas nama Syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan yang tidak manusiawi, berupa penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, di arak-arak keliling oleh masa dengan tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya: kasus pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh para oknum Polisi Syariat). Lebih jauh lagi ditegaskan Liza, bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai kaum Islam yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi harus menjadikan Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin.
Apa yang ditakutkan Lisa ini dapat dibenarkan. Sebab bukan tidak mungkin konsekuensi akibat penerapan hukum Syariat di kemudian hari, banyak menimbulkan kecemasan tersendiri dalam masyarakat. Akhirnya masyarakat bukannya takut akan hukuman Tuhan, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang sangat merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Sehingga fenomena ini akan menimbulkan kondisi “xenofobia” yang sangat berkepanjangan dalam diri setiap masyarakat terhadap dirinya sendiri, tetapi juga terhadap sesamanya manusia.
Refleksi Bersama
Hukum Islam terutama terkait dengan perihal aturan dalam perundang-undangan Indonesia, tidak sepenuhnya memiliki muatan-muatan dasar Islam. Namun dengan sangat getolnya, beberapa dari kalangan ulama kemudian menarik makna substantif dan mencoba mengintegrasikan hukum Positif Nasional dengan hukum Syariat ini. Sehingga terkesan tidak terdapat masalah yang kontras antara keduanya. Namun sesungguhnya hal ini adalah sebuah pembodohan dalam konteks beragama.
Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa memang banyak hal kontras yang terjadi antara hukum Syariat dan hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Misalnya dalam kasus pencurian. Menurut Syariat, hukumannya adalah potong tangan, sedangkan KUHP tidak mengakuinya. Syariat Islam dan khilafah, cenderung mengarah pada gerakan penerapan kembali ‘Piagam Jakarta’, atau Hizbut Tahrir DI/TII dan lain sebagainya.
Ada perbedaan substantif antara hukum Syariat dan hukum Positif. Sebagai contoh, di awal abad ke-21, Panglima Laskar Jihad, bernama Ja’far Umar Thalib, pernah memberlakukan hukuman rajam hingga mati terhadap Abdullah yang mengaku sudah memperkosa seorang wanita. Tidak jelas betul proses dan prosedur yang ditempuh, tapi pelaksanaan hukuman rajam itu melanggar hukum Positif.
Menurut hukum Positif, pemberlakuan hukuman rajam sama halnya dengan pembunuhan, karena itu Ja’far melanggar pasal 359 KUHP tentang penganiayaan sampai meninggal dan pasal 156 KUHP tentang penyebaran rasa permusuhan. Fenomena ini menunjukkan adanya “konflik hukum” antara hukum Positif nasional dan hukum Islam, karena pelaksanaan hukuman ini atas pemahaman yang tidak integratif antar hukum positif nasional.
Dari fenomena penerapannya yang sudah dibahas di atas, sebagaimana yang sudah terjadi di daerah Aceh, tentu mengindikasikan bahwa ternyata penerapan Syariat Islam di negara Indonesia, bukanlah masalah sederhana. Jika pada beberapa percobaan sebagaimana dijelaskan di atas tidak bisa diterapkan secara menyeluruh, maka untuk mengkaji kembali kemungkinan keberhasilannya pada masa sekarang, dengan konteks yang jauh lebih rumit dan sangat kompleks, maka akan sangat lebih sulit lagi, bahkan tidak mungkin.
Kasus pemberlakuan Syariat Islam di Aceh misalnya, mencerminkan seperangkat komplikasi-komplikasi di antara berbagai kerangka yang sangat rumit di dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia. Oleh karena itu, meminjam Munawir Sjadzali (Menteri Agama RI ke-13), penerapan hukum Syariat Islam dalam negara Indonesia, memerlukan rekonstruksi Syariat itu sendiri. Tanpa itu, maka seruan untuk penerapan hukum Islam, hanyalah respon kultural defensif belaka terhadap perubahan struktural yang terus terjadi di kalangan masyarakat
Referensi
- Busthan Abdy (2017). Negara Bukan Agama! Agama Bukan Negara!. Kupang: Desna Life Ministry
- Fathia Liza. (2009). Syariat Islam: Solusi atau Polemik? http://liza-fathia.com/syariat-islam-solusi-atau-polemik/diakses tanggal 6 Februari 2017, pukul 18.16
- Olaf H Schumann. (2011). Agama-Agama: Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
Posting Komentar