Articles by "Agama"

SUARA.NABIRE - Ibadah Perayaan Paskah pada Jemaat GKI Sion Kampung Harapan, Nabire, berlangsung aman dan penuh hikmat, dengan mengusung tema: "Yesus Telah Bangkit" (Markus 16:6b).

Adapun sub tema Ibadah Paskah pertama ini adalah "Kebangkitan Yesus Kristus menyatakan Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi semua orang" (Roma 8:28)

Pdt. P Bisay, S.Si., Th., dalam khotbahnya pada ibadah pagi, Pukul 09.00 WIT, menegaskan bahwa momen Kebangkitan Kristus haruslah diyakini melalui kebenaran dalam setiap perbuatan Jemaat, mulai dari berpikir, berucap dan bertingkah laku

Pendeta Bisay juga menegaskan bahwa Kebangkitan Kristus sesungguhnya membuktikan keselamatan yang nyata dan benar bagi orang percaya.

"Jika Kristus tidak bangkit, maka sia-sialah semua iman percaya kita," demikian ucap Pendeta Bisay.

Adapun pelaksanaan ibadah Paskah pertama di GKI Sion Kampung Harapan dilakukan dalam tiga sesion dengan waktu yang berbeda, yakni: Pukul 05.30 WIT dipimpin oleh Pdt. M Amasaman, S.Th., Pukul 09.00 WIT dipimpin oleh Pdt. P Bisay, S.Si., Th., dan Pukul 17.00 WIT yang dipimpin Penatua Jemaat Sion, L Lumbanturuan. (Red)

SUARA.NABIRE - Dalam rangka membangun sinergitas dalam kerja sama antara Polri dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di kabupaten Nabire, dilaksanakan kegiatan Da'i Kamtibmas yang bertempat di Aula pertemuan Ganjar Waluyo, Jalan Surojotanoyo, Kelurahan Karang Mulia, Kabupaten Nabire, pada Kamis (25/3/2021), Pukul 09.00 WIT

Hadir dalam kegiatan tersebut, Kapolres Nabire AKBP Kariawan Barus SH. S.IK, MH., Ketua DPD LDII Kabupaten Nabire, H. Nuryadi, S.Pd., M.MPd., Kapolsek Nabire Kota, AKP Erol Sudrajat, S.Sos, M.Si., Ketua FKUB Kabupaten Nabire, Pdt. Yunus Mbaubedari, S.Th., Kepala Kementrian Agama Kabupaten Nabire, Yaped Iyai S.Th., Kasat Binmas Polres Nabire AKP Afrets M. Tatitatu, Kanit Binmas Polsek Nabire Kota, Ipda Nasirun, dan Babinkamtibmas Karang Mulia beserta Babinsa Karang Mulia.

Turut dihadiri pula 40 orang dari LDII dan perwakilan dari Muhamadiyah, N.U dan Remaja Masjid BEM Stais, beserta Anggota Polres Nabire dan Senkon Mitra Polri Nabire.

Acara dimulai dengan pembukaan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan dengan sambutan Ketua DPD LDII Kabupaten Nabire, yang selanjutnnya disambung dengan Penyajian Materi oleh tiga Narasumber.

Materi pertama tentang Da'i Kamtibmas dibawakan oleh Kapolres Nabire, AKBP Kariawan Barus SH, S. IK, MH. Sementara materi tentang Moderasi Beragama dibawakan oleh Kepala Kementerian Agama Kabupaten Nabire, Yaped Iyai, S.Th. Sedangkan materi tentang Kerukunan Antar Umat Beragama dibawakan oleh Ketua FKUB Kabupaten Nabire, Pdt. Yunus Mbaubedari, S.Th

Adapun kegiatan Da'i Kamtibmas juga bertujuan untuk mewujudkan stabilitas keamanan yang kondusif serta konstribusi LDII untuk masyarakat Kabupaten Nabire. (Red)

Editor: Ika Putri

SUARA.NABIRE - Menyongsong bulan suci Ramadhan, warga yang beragama Muslim di kampung Kalisusu, Nabire, melaksanakan kerja bakti dengan melakukan pengecatan Mushola Malikul Jannah, pada hari Minggu pagi (21/03/2021), Pukul 08 .00 WIT

Kerja bakti tersebut turut melibatkan pihak Polsek Nabire Kota melalui Bhabinkamtibmas kampung Kalisusu, Aipda Endang dan kordinator kegiatan bapak Adi, yang diikuti oleh kurang lebih 30 orang warga.

Ketika ditemui awak media, bapak Adi menjelaskan bahwa kegiatan kerja bakti tersebut bertujuan agar keindahan dan kebersihan Mushola selalu terjaga sehingga Umat yang melaksanakan Sholat merasa lebih nyaman

Pantauan awak media, kegiatan berakhir pada Pukul 12.30 WIT, namun belum tuntas, sehingga pekerjaan akan dilanjutkan kembali pada hari Minggu depan. (Red)

Redaktur: Ika Putri

SUARA.NABIRE - Dengan menerapkan Protokol kesehatan, Musholah Baiturrahim Bumiwonorejo, Kabupaten Nabire, memperingati Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW dengan penuh hikmat, pada Sabtu (13/03/21), Pukul 20.00 s/d 22.00 WIT.

Turut hadir dalam perayaan tersebut, Lurah Bumiwonorejo, Achmad Munawar, S. ST., Bhabinkamtibmas Kelurahan Bumiwonorejo, Ipda Nasirun, Ustad Mufit dan beberapa Tokoh Agama serta Umat Muslim.

Acara diawali dengan Pembukaan, yang dilanjutkan dengan penampilan anak didik TPA Baiturrahim tentang "Menghormat kepada Kedua Orang Tua", serta diteruskan dengan Sambutan Ketua Pengurus Musholah oleh Ustad Munadi, dan penyampaian Hikmah Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW oleh Ustad Mufid.

Ustad Mufit dalam pesannya menekankan tentang pentingnya Sholat Lima Waktu, serta selalu mengharap ridho Allah SWT dengan menyantuni anak Yatim Piatu dan melatih anak dari usia dini untuk menumbuhkan rasa peduli kepada sesama.

Pantauan awak media ini, acara tersebut berlangsung dengan hikmat dan mematuhi Protokol Kesehatan. Dan disela-sela acara peringatan Isra Mi'raj 2021 di Musholah Baiturrahim Bumiwonorejo ini dilakanakan pula Santunan kepada 23 anak Yatim. (Red)

SUARA.NABIRE - Kepolisian Sektor (Polsek) Nabire Kota melalui Unit Bimbingan Masyarakat (Bismas), menghadiri Rapat Konsolidasi Pengurus Padepokan Persinas Asad Kabupaten Nabire yang terletak di jalan Surojotanoyo, Nabire, pada Jum'at (12/03/2021), Pukul 20.00.wit s/d 22.00 WIT

Dalam rapat tersebut juga dilakukan konsolidasi pembingan dan pembinaan Organisasi Persinas Asad demi menjaga kerukanan dan kekompakan. Disamping itu, disampaikan pula informasi organisasi internal maupun external, serta mensosialisasikan kebijakan-kebijakan organisasi, supervisi dan evaluasi.

Mewakili Kapolsek Nabire, AKP Erol Sudrajat, S.Sos, M.Si., Kanit Binmas Polsek Nabire, Ipda Nasirun, yang turut hadir dalam acara tesebut menyampaikan beberapa pesan Kamtibmasnya bahwa dalam masa pandemi covid 19 yg belum tahu kapan berakhirnya maka Protokol Kesehatan harus tetap dilaksanakan.

Terkait dengan hasil keputusan MK dalam Pilkada Kabupaten Nabire, Kanit Binmas juga mengajak dan menghimbau kepada Pengurus Persinas Asad Kabupaten Nabire untuk bersama-sama, bahu membahu menciptakan situasi Kamtibmas diwilayah Nabire tetap aman dan kondusif.

Pada tempat yang sama, Ketua Persinas Asad Kabupaten Nabire, Niki Afidah Mukmin, ST, mengapresiasi serta mengucapkan terimakasih kepada Pihak Polri khususnya Polsek Nabire Kota yang telah hadir dan menyampaikan pesan Kamtibmasnya. (Red-Polsek Nabire Kota)

Mulia, SUARA.NABIRE - Yayasan Awana dari Tim Klasis Mulia melakukan kunjungan pelayanan untuk melihat situasi dan perkembangan sekaligus bisa memberikan pembekalan Materi kepada guru-guru Awana yang tersebar di kota Mulia, pada Kamis (11/03/21)

Sejak berdirinya Awana di tahun 2016, kunjungan kali ini adalah kunjungan yang ke-empat kalinya. Adapun tim yang hadir berjumlah 7 orang, yakni ibu Naomi Sangian dari Jayapura, Ibu Ros Lawalata dari Bali, ibu Grace Lumintang dari Jakarta, Ibu Rina Taime, Deli Wonda, Nimra Welmi dan Yuliana Wonda.

Dalam kunjungan tersebut, Ketua tim Awana, ibu Naomi Sangian, berpesan kepada anak-anak untuk tetap rajin dalam mempelajari isi ayat-ayat Alkitab.

“Untuk adik-adik Awana, agar semakin rajin untuk datang ke klub dan mempelajari ayat-ayat Hafalan dari buku baru agar bisa bertumbuh di dalam pengenalan akan Tuhan Yesus dan semakin bertambah dan mau melayani Dia,” demikiang tutur Naomi.

Tak lupa Naomi berpesan kepada para guru Awana agar tetap membimbing anak-anak didikannya. "Memang tidak mudah melayani anak-anak, apalagi dalam jumlah yang banyak. Jadi peduli mereka tetap setia dan tetap melayani dengan penuh kasih,” demikian harapan Naomi.

Pada tempat yang sama, Ewena Enumbi, salah satu guru Awana mewakili rekan guru lainnya mengatakan bahwa dirinya sangat senang dikunjungi oleh ibu Naomi bersama teman-teman

“Awana ini sudah berjalan 4 tahun dan kami sangat senang sekali melihat antusiasme dari anak-anak dalam mengikuti pelajaran Awana. Harapan besar dari kami guru-guru Awana adalah anak-anak memiliki kehidupan yang lebih baik dan bersama-sama masuk ke dalam kerajaan Sorga ketika Tuhan datang kedua kalinya,” tutur Ewena Enumbi.

Dalam laporan singkat yang dibacakan ketua Awana, Nesiben Elabi, dari jemaat GIDI Eo Yuneri, ia membeberkan bahwa Yayasan Awana telah mendidik serta mengkaderkan para tenaga guru dalam 4 tahun terakhir ini adalah sebanyak 57 guru yang sementara mendidik sekitar 223 anak didik.

Tius Enumbi, selaku Kepala Distrik Wuyuneri yang turut hadir dalam acara tersebut, menyampaikan bahwa pada prinsipnya pihaknya akan tetap mendukung semua kegiatan-kegiatan kerohanian sebagaimana yang dilakukan oleh pihak Awana.

“Kami pemerintah yang juga merupakan wakil Allah di bumi ini, kami mendukung semua kegiatan kerohanian baik itu yang dilakukan oleh pihak gereja, maupun kegiatan-kegiatan kerohanian yang dilakukan pihak Awana," ungkap Tius.

Senada dengan itu, Ketua Klasis GIDI Mulia, Pdt. Yosep Morip, M.Th., juga mengapresiasi pelayanan Awana yang meskipun masih berumur 4 tahun, namun sudah banyak membantu berbagai persoalan yang dihadapi oleh Jemaat

"Ini adalah komitmen yang luar biasa. Kami melihat hari ini dari Jemaat Eo Yuneri dalam 4 tahun ini semangat mereka melayani luar biasa. Pimpinan gereja dan para gembala sidang serta orang-orang tua harus mendukung penuh pelayanan Awana ini,” demikian pesan Pdt. Yosep Morip kepada seluruh warga yang hadir.

Selaku pimpinan GIDI Klasis Mulia, Yosep juga menyampaikan terimakasih kepada Jemaat GIDI Eo Yuneri dan 7 jemaat yang telah hadir mengikuti kegiatan tersebut.

"Kepada rombongan ibu Naomi, kami sampaikan juga terimakasih telah meluangkan waktu, walau banyak kesibukan dalam rutinitas sehari - hari tetapi hadir untuk anak - anak kami, ” tutur Pendeta Yosep mengakhiri sambutannya

Adapun kegiatan pembekalan materi dari pihak Awana telah berjalan selama 3 hari, terhitung dari hari Senin hingga hari Rabu. Kegiatan pembekalan berjalan berlangsung di gereja GIDI Emaus dan penutupan dilakukan di gereja GIDI Eo Yuneri Distrik Wuyuneri, Puncak Jaya.

Sekedar informasi bahwa Yayasan Awana melakukan pelayanan melalui proses pemuridan dan penginjilan yang diberikan kepada anak-anak usia dini. Dalam Awana, mereka akan mendapat didikan dan pembinanaan terkait pengenalan Kristus agar nantinya mereka memiliki karakter yang baik. Dengan demikian bisa memiliki kehidupan yang takut akan Tuhan dan berpegang teguh pada ajaran - ajaran Alkitab. (Red)

SUARA.NABIRE - Sidang Jemaat ke-32 GKI Silo Kalibobo, Klasis Nabire, berlangsung pada Jumat (27/11/20), pukul 09.00 WIT dan diikuti oleh 129 peserta sidang yang merupakan anggota sidi jemaat yang diundang Majelis Jemaat Silo.

Adapun 129 peserta sidang tersebut terdiri dari 5 orang Pimpinan sidang, 1 orang Badan Pekerja Klasis, 1 orang BPPG Klasis, 5 orang BPPG Jemaat, 1 Tamu/Undangan, 89 Majelis Jemaat, 12 Anggota Sidi Jemaat (Wyk I-VI), 12 Badan Pelayan Unsur, dan 2 orang perwakilan dari Pos PI Jemaat GKI "Bukit Sion" KM 67 Centico

Sidang berlangsung di bawah tema "Datanglah Kerajaan-Mu" (Matius 6:10 a), dengan sub tema: "Menjadi Gereja yanng Dewasa, Mandiri dan Missioner".

Sidang diawali ibadah pembukaan yang dipimpin Pdt. Maxi Mofu, S.Si, dan dilanjutkan Laporan Ketua Panitia, dan Sambutan Ketua Majelis Jemaat Silo, diteruskan dengan sambutan BPK Klasis Nabire yang diwakili oleh Pdt. Esau M Wospakrik, S.Th, sekaligus membuka Sidang Jemaat ke-32 GKI Klasis Nabire Majelis Jemaat Silo Kalibobo

Dalam laporannya, Ketua Panitia, Sym Dominggus Rumkabu, melaporkan bahwa pada hakikatnya GKI di Tanah Papua mempunyai panggilan yang memberikan pelayanan kepada umat-Nya berdasarkan program-program kerja yang telah dirumuskan dalam suatu persidangan, yaitu sidang jemaat adalah merupakan tata cara pengambilan keputusan yang tertinggi menurut asas GKI di Tanah Papua.

" Berdasarkan hal tersebut maka Jemaat Silo Kalibobo saat ini telah melaksanakan sidang Jemaat ke-32 tahun 2020 yang mana akan merumuskan program pelayanan yang dilaksanakan pada tahun 2021 yang akan datang," demikian tutur Dominggus dalam laporannya.

Untuk itu, lanjut Dominggus, bahwa demi tercapainya tujuan tersebut diatas, Panitia Sidang ke-32 tahun 2020 dituntut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya agar sidang Jemaat ke-32 dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama.


Sym Dominggus Rumkabu (Ketua Panitia)

Ditempat yang sama, Ketua Majelis Jemaat Silo, Pdt. Abriyani K. Ngangangor, S.Si Teol, dalam sambutannya menegaskan bahwa persidangan adalah sebuah momen evaluasi, baik itu evaluasi pelayanan tetapi juga evaluasi anggaran tahunan.

"Secara khusus dalam persidangan yang ke-32 Jemaat Silo Kalibobo, ini merupakan evaluasi pelayanan dan anggaran, keuangan gereja tahun 2019/2020. Tetapi juga sekaligus merupakan ajang momentum untuk merancangkan program dan anggaran tahunan 2020/2021," tutur Abriyani.

Oleh sebab itu, lanjut Abriyani, momen tersebut adalah momen yang berharga dalam catatan sejarah pelayanan kesaksian dan persekutuan Jemaat di GKI Silo Kalibobo.

"Yang pasti harapan saya sebagai Ketua Majelis Jemaat Silo, Ini merupakan persidangan yang ke-32. Dan oleh karena ini persidangan yang ke-32, maka ini dapat mengukur kedewasaan Jemaat dan semua utusan dalam persidangan ini untuk jauh lebih dewasa," ungkap Abriyani ketika ditemui awak media ini saat rehat.


Pdt. A.K.Ngangangor, S.Si Teol (Ketua Jemaat Silo Kalibobo)

Abriyani berharap melalui persidangan yang ke-32 tersebut, Jemaat GKI Silo Kalibobo akan semakin dewasa, mandiri, dan misioner.

"Yang menjadi harapan sebagaimana yang tertuang dalam tema dan sub tema, kiranya itu mengantar kita dalam seluruh persidangan disepanjang hari ini untuk menjadikan Jemaat ini, Gereja ini, GKI Silo Kalibobo, yang ada dibawah GKI Tanah Papua Klasis GKI Nabire, untuk semakin dewasa, mandiri, dan misioner," demikian harapan Abriyani selaku Ketua Majelis Jemaat Silo Kalibobo.

BPK Klasis Nabire, yang diwakili oleh Pdt. Esau M Wospakrik, S.Th, mengharapkan bahwa sidang Jemaat Ke-32 GKI Jemaat Silo Kalibobo tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan serius sehingga dapat merancang semua program-program yang menjadi pergumulan selama ini.


Pdt. Esau M Wospakrik, S.Th (BPK Klasis Nabire)

"Menyimak semua sidang-sidang Jemaat yang sementara dilaksanakan tahun 2020 ini, khususnya tentang Jemaat GKI Silo Kalibobo, besar harapan kami dari Badan Pekerja Klasis (BPK) yang mewakili semua BPK yang ada, bahwa sidang ini dapat dilaksanakan secara baik dan serius, sehingga dapat merancang semua program-program yang menjadi pergumulan selama ini. Artinya dapat dijawab dalam evaluasi sidang ini," demikian harapan Wospakrik .

Ditambahkannya bahwa sidang jemaat ini bersifat evaluatif atau korektif terhadap semua pelayanan-pelayanan yang belum berjalan secara maksimal selama ini. Oleh sebab itu, dirinya sangat mengharapkan melalui sidang ke-32 Jemaat GKI Silo Kalibobo ini, mampu menjawab persoalan dan problema yang ada dalam jemaat, khususnya pelayanan-pelayanan yang belum dapat terlaksana.

"Saya jamin dengan kehadiran semua peserta secara serius, maka ke depan Jemaat Silo Kalibobo ini dapat mencapai hasil yang baik dalam Tri panggilan gereja itu sendiri, yaitu: bersaksi, bersekutu dan melayani," tutur Wospakrik mewakili BPK Klasis Nabire. (Red).

GALERI:


















Dalam rumusan Fides Quaerens Intellectum di abad pertengahan, dikatakan bahwa “iman yang harus berusaha mencari pengertian”. Sebagaimana hal ini juga pernah ditegaskan dalam Credo ut Intelligam, bahwa “saya percaya supaya saya boleh mengerti”.

Tentu kedua pernyataan di atas menegaskan bahwa hakikat terdalam dari tindakan manusia adalah iman yang diikuti oleh peran akal budi secara benar (pengertian, penalaran, dll). Kita bisa memahami secara mendalam lagi bahwa jika iman muncul terlebih dahulu, maka pengertian akan selalu mengikutinya.

Stong Stephen (2011) menjelaskan bahwa iman yang menjadi penyebab adanya pengertian dan pengetahuan, bukan sebaliknya. Pengertian dan pengetahuan akan ada sesudah iman.

Sebagaimana dalam surat Ibrani 11:1-3, menjelaskan 3 hal mendasar, yatu: (1) dari iman kepada bukti; (2) dari iman kepada saksi; dan (3) dari iman kepada pengertian. Tentunya ini memberikan prinsip mendasar bahwa karena beriman, maka seseorang dapat memperoleh bukti tentang kebenaran; dan karena beriman pula, maka seseorang bersaksi (membuktikan) tentang kebenaran; serta, karena beriman maka seseorang memperoleh pengertian tentang kebenaran.

Jadi, jelas bahwa iman melahirkan bukti, bukan bukti yang melahirkan iman. Demikian di tegaskan Stong Stephen (2011) dalam Busthan Abdy (2018:57-58). Dalam pemahaman bahwa iman itu adalah bukti, bukan setelah ada bukti baru beriman.

Sebagaimana pula dijelaskan dalam kitab Ibrani pasal 11, ayat 1 sampai 3, seperti penjelasan di atas, bahwa iman itu sendiri adalah bukti. Iman itu sendiri adalah bukti dari hal-hal yang tidak kelihatan (ayat 1). Jika seseorang beriman kepada Allah, maka ia mendapatkan "saksi" yang dalam istilah aslinya adalah “bukti” (ayat 2). Dan setelah seseorang beriman, maka ia baru bisa "mengerti" (ayat 3). Karena itu, pendapat yang mengatakan perlu bukti dulu baru beriman, adalah pendapat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip iman itu sendiri.

Dalam karyanya berjudul “From Faith to Faith” (Dari Iman kepada Iman) Tong Stephen (2011) dalam Busthan Abdy (2018:58-61) menjabarkan tentang 4 (empat) kekeliruan pemahaman iman yang kerapkali muncul, yaitu sebagai berikut:

Pertama. Iman berdasarkan penglihatan (Jika saya melihat, saya akan percaya). Jika seseorang dapat melihat Tuhan, maka secara otomatis orang itu akan percaya. Hal ini sesungguhnya adalah kekeliruan. Karena menyatakan bahwa iman dibangun dari penglihatan, yaitu apa yang dapat dilihat secara “kasat mata”.

Sehingga nantinya apa yang tidak dapat terlihat, tidak akan mungkin di percaya lagi. Jika tidak bisa melihat Allah dengan kasat mata, maka tidak percaya Allah itu ada. Padahal sudah jelas sekali perkataan Kristus kepada Thomas dalam Injil Yohanes 20:29b: “Berbahagialah orang yang tidak melihat, namun percaya”.

Kedua. Iman berdasarkan pengalaman (Jika saya mengalami, saya akan percaya). Prinsip ini adalah akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, yaitu iman yang di bangun hanya berdasarkan sebuah “pengalaman”. Dalam hal ini, seseorang tidak percaya karena dia tidak mengalami apa-apa. Atau dengan kata lain, jika ia mengalami, maka ia dapat percaya—seseorang tidak akan percaya, jika ia tidak mengalami apa-apa.

Jika iman didasarkan pada pengalaman, maka iman akan dikendalikan oleh pengalaman. Ketika seseorang berkata: “jika saya mengalami, saya akan beriman” atau “jika saya tidak mengalami, maka saya tidak beriman”, itu berarati iman seseorang didasarkan hanya sebatas pondasi “pengalaman”. Akibatnya, jika pengalaman seseorang berubah, maka seluruh sendi iman juga akan goncang dan berubah. Seharusnya, iman ditegakkan di atas dasar iman. Mengapa? Karena jika iman yang pertama merupakan dasar, maka iman selanjutnya akan bertumbuh di dalam iman yang kuat.

Ketiga. Iman berdasarkan bukti (Jika ada bukti, saya akan percaya). Jika seseorang dapat membuktikan adanya Allah, maka ia mau percaya. Jika seseorang mengatakan, “coba buktikan Allah!”, maka bagaimana Allah bisa dibuktikan? Jika Allah bisa dibuktikan, berarti bukti itu bisa melingkupi dan menguasai Allah. Jika bukti bisa melingkupi dan menguasai Allah, maka Allah akan menjadi lebih kecil dari bukti, dan bukti akan menjadi lebih besar dan lebih tinggi kedudukannya dari Allah.

Itu sebabnya, kalimat yang menyatakan “kalau tidak bisa membuktikan Allah, maka tidak mau percaya”, adalah suatu kekeliruan.

Misalnya, suatu pagi saudara berjalan ditepi pantai, dan saudara heran mengapa di pagi buta tersebut sudah ada bekas telapak kaki yang berada di pantai. Lalu saudara menyimpulkan bahwa tanda jejak telapak kaki di pasir itu merupakan bukti bahwa sebelum saudara tiba di pantai, sudah ada orang yang berjalan terlebih dahulu di pantai mendahului saudara. Kemudian saudara membuat argumentasi berdasarkan bukti-bukti (evidensi) dari telapak kaki yang ada disitu. Namun, jika harus diargumentasikan, sebenarnya semuanya itu tidak memiliki arti sama sekali, sebab yang ada hanya “fenomena belaka”, dan bukan “barang bukti” itu sendiri.

Tanda jejak kaki tidak sama dengan kaki. Maka, hal ini bukanlah bukti. Tapi fenomena saja. Tanda ini tidak sama dengan bukti. Tidak ada barang bukti yang ditinggalkan pada ilustrasi tadi. Tetapi jika misalnya lagi, saat saudara berjalan menelusuri jejak itu, lalu menemukan sepucuk pistol tergeletak di situ, maka pistol itu adalah “barang bukti”. Jadi, jejak kaki itu hanya menandakan bahwa tadi terdapat seseorang yang lewat, tetapi tidak bisa membuktikan apapun.

Di sini dapat dipahami juga bahwa bagaimanapun pengalaman-pengalaman setiap orang, adalah sesuatu yang terlalu kecil untuk menjadi suatu bukti. Maka sangat tidak mungkin jika meminta bukti dulu, baru percaya.

Keempat. Iman berdasarkan logika (jika masuk akal, saya akan percaya). Artinya, jika cukup logis, barulah orang dapat percaya. Satu hal yang penting di sini bahwa kepercayaan yang berdasarkan pengetahuan logis, akan sangat berbeda dengan pengetahuan logis yang berdasarkan pada kepercayaan.

Dalam kitab II Timotius 1:12, Paulus berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”. Tentu saja implikasi ayat ini adalah percaya dulu baru mengerti dan mengetahui. Jadi pertanyaannya adalah, bukankah seseorang mau mengerti, setelah belajar dan mengerti baru ia percaya? Ataukah sebenarnya, ia percaya dulu baru bisa mengerti?

Jelas di sini bagaimana kaitan antara iman dan pengetahuan logis begitu erat. Karena semakin seseorang beriman, maka semakin banyak ia akan mengetahui sesuatu dengan baik.

Makin banyak mengerti, maka makin kuat imannya. Kita dapat mengerti karena kita beriman, bukan karena kita mengerti maka kita beriman! Kita dapat mengerti karena kita memiliki iman.

Alangkah hebatnya bila seseorang dapat percaya kepada Tuhan, tetapi alangkah bahagianya lagi jika ia dapat mengerti mengapa ia percaya. Hanya percaya tanpa mengerti, mengapa percaya? Ini akan mengakibatkan orang sedemikian tidak memiliki pegangan, dan tidak mempunyai hak untuk menyatakan imannya kepada orang lain. Tetapi dengan mengerti apa yang menyebabkan kita percaya, kita dapat dengan tegas dan teguh untuk membagi-bagikan iman kepada orang lain.

(Oleh: Abdy Busthan)

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2018). KRISTUS Versus tuhan-tuhan POSTMO (hal 57-61). Kupang: Desna Life Ministry

Dalam kehidupan ini, Anda tentu pernah melihat bahkan memandangi wajah wanita yang berparas manis, ayu dan cantik. Bahkan mungkin saja sebagai lelaki normal, jakun Anda terasa naik turun di tenggorokan ketika Anda berpapasan langung dengan wanita yang bukan saja ia cantik tapi juga memiliki tubuh yang aduhai seksinya. Dan ini adalah hal yang sangat lumrah saja.

Kitab Perjanjian Lama (PL) dengan tegas menyebutkan ada kurang lebih 10 wanita berparas ayu, cantik dan seksi. Dan diantara wanita-wanita berparas cantik tersebut, tiga diantaranya adalah: Yemima, Kezia, dan Karenhapukh yang adalah anak-anak dari seorang tokoh terkenal berketurunan Arab yaitu Ayub.

Surat Ayub 42:13-15 mencatat dengan pasti bahwa tidak ada perempuan yang lebih cantik dari anak-anak Ayub di seluruh negeri dimana Ayub tinggal. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana kecantikan yang luar biasa dari ketiga putri Ayub ini.

Disamping ketiga putri Ayub, ada pula 7 wanita cantik dan seksi yang tercatat juga dalam Alkitab, yaitu sebagai berikut:

1. Batsyeba
Jika mau diungkapkan dengan jujur dan apa adanya, Batsyeba adalah salah seorang wanita seksi dan sangat cantik yang pernah mendiami planet bumi ini. Konon karena keseksian tubuh yang di milikinya ini, Raja Daud akhirnya jatuh ke dalam pelukannya.

Keseksian tubuh Batsyeba ini bukan isapan jempol belaka, sebab Kitab 2 Samuel 11: 2-3 mencatat dengan pasti tentang bagaimana Raja Daud menjadi tergila-gila dan jatuh hati dengannya, sekaligus pula hal ini menandai fakta awal kejatuhan Raja Daud tersebut.

Lalu siapakah wanita seksi ini? Batsyeba binti Eliam adalah istri dari salah satu prajurit terbaik Raja Daud itu sendiri. Ya, Batsyeba adalah istri dari Uria orang Het.

2. Sara
Sara adalah simbol kecantikan wanita bangsa Israel. Sebab dia adalah istri dari nenek moyang bangsa Israel, yaitu Abraham.

Kecantikan Sara ini sungguh luar biasa, sehingga tercatat dengan sangat pasti dalam bagian awal Alkitab yaitu kitab Genesis. Bahkan karena kecantikan paras yang dimiliki Sara ini, konon penguasa bangsa Mesir menjadi terkesima di buatnya (dalam Kejadian 12:14).

3. Ribka
Ribka adalah menantu Sara, yang merupakan istri dari Ishak anaknya. Alkitab mencatat bahwa kecantikan yang dimiliki Ribka ini merupakan bukti kebaikan Tuhan sebagai jawaban doa dari Abraham untuk mencarikan tipe Istri idaman buat anak tunggalnya Ishak.

Ribka adalah wanita berparas cantik dan masih perawan ketika dinikahi oleh Ishak. Ia berasal dari daerah Aram-Mesopotania. Kitab Kejadian 24:14-15 mencatat dengan sangat unik tentang bagaimana anak dara Ribka ini akhirnya bisa di bawa oleh seorang hamba Abraham yang di utus ke daerah Aram-Mesopotania untuk dijadikan istri oleh Ishak anak Abraham dan Sara.

4. Rahel
Wanita lain yang tak kalah cantik dan ayu adalah Rahel istri Yakub. Bayangkan saja, karena kecantikan yang dimiliki Rahel, akhirnya membuat Yakub dengan rela menjadi pekerja kasar selama 14 tahun lamanya demi mengambil hati Paman Laban, yaitu bapak dari Rahel.

Kitab Kejadian 29:17 mencatat bahwa Rahel ini bukan saja memiliki kecantikan yang luar biasa, tetapi juga Rahel memiliki hati yang baik dan pintar.

5. Abigail
Pernahkah Anda melihat wanita yang sudah cantik tetapi juga memiliki kepintaran yang sangat luar biasa? Jawabannya ada dalam Kitab 1 Samuel 25:3 yang berbunyi: “Nama orang itu Nabal dan nama isterinya Abigail. Perempuan itu bijak dan cantik, tetapi laki-laki itu kasar dan jahat kelakuannya. Ia seorang keturunan Kaleb”

Ya, Siapakah Abigail wanita berparas cantik dan bijak akal budinya ini? Abigail adalah bekas istri Nabal yang kemudian menjadi istri Raja Daud.

6. Ester
Ester adalah seorang Ratu yang konon parasnya sungguh luar biasa cantiknya. Dia adalah wanita keturunan Yahudi yang menggantikan Ratu Wasti di kerajaan Persia. Diketahui pula bahwa Ester terlahir sebagai anak yatim piatu alias tidak memiliki ibu dan ayah.

Kitab Ester 2:7 tegas mencatat bagaimana anak angkat Mordekhai ini memiliki paras dan perawakan yang luar biasa cantik dan manis.

Kecantikan Ester ini bahkan teruji melalui seleksi kontes kecantikan yang sangat ketat. Dimana pada saat itu terjadi kekosongan di kerajaan Persia setelah Ratu Wasti dibuang. Dan untuk menggantikan Ratu Wasti ini maka diadakanlah kontes ratu kecantikan melalui seleksi dan penilaian yang sangat ketat. Dan akhirnya, seorang wanita cantik dan pintar keturunan Yahudi keluar sebagai pemenangnya. Dia adalah Ratu Ester yang menjadi Ratu di kerajaan Persia untuk menggantikan Ratu Wasti.

Bahkan sejarah mencatat bahwa melalui Ratu Ester ini, akhirnya bangsa keturunan Yahudi diselamatkan dari pembantaian besar-besaran di Persia. Dan tentu saja dengan peristiwa ini, Ratu Ester adalah simbol penyelamat atas pemusnahan orang-orang Yahudi di negeri orang.

7. Tamar
Ada beberapa nama Tamar yang tercatat di dalam Alkitab. Salah satu diantaranya adalah Tamar anak Raja Daud. Kitab 2 Samuel 13: 1 mencatat dengan pasti tentang bagaimana kecantikan yang dimiliki oleh Tamar ini.

Bahkan saking cantiknya, salah satu saudara tirinya sendiri yaitu Amnon, tergila-gila dengan kecantikannya ini. Sehingga dengan hasrat birahi yang menggebu-gebu, pada akhirnya Amnon menjebak Tamar untuk memperkosanya di dalam kamar Amnon. Ya, ini adalah suatu tragedi yang sangat naas!

Disamping wanita-wanita cantik di atas, tentu masih banyak lagi wanita cantik yang di tuliskan dalam Alkitab, diantaranya adalah: Abisag pelayan raja Daud yang sangat cantik dan seksi, Ratu Wasti dari Persia yang konon memiliki kemolekan tubuh yang sungguh semampai, dan Tamar anak Absalom yang tercatat dalam 2 Samuel 14;25 sebagai wanita yang berparas cantik, dan lain-lainnya yang tidak sempat saya uraikan karna keterbatasan pengetahuan yang saya miliki.

Oleh: Abdy Busthan

Tertawa itu bahagia. Kita bisa tertawa, ketika hati dan akal terasa bahagia (senang). Itulah kebahagiaan dalam level sederhana. Ya, kebahagiaan memang sederhana, tetapi tidak mudah disederhanakan. Kebahagiaan itu harmoni, namun tidak mudah diharmonisasikan, bahkan kebahagian itu kenyataan, tetapi sulit pula dinyatakan. Mengapa demikian? tentu saja, demikianlah adanya.

Jika sebuah pertanyaan dilontarkan, siapakah orang paling berbahagia di dunia ini? Tentu saja, kita akan menemukan seribu satu macam jawaban yang berbeda-beda dari perspektif pemahaman masing-masing individu akan kebahagiaan tersebut. Sebab sederhananya, untuk bisa bahagia, seseorang harus bisa menciptakan realitas "happiness habit", atau kebiasaan untuk hidup bahagia.

Seorang tokoh pada abad pertengahan, Martinus dari Biberach, pernah berucap dengan lantang... "Aku datang-entah dari mana, aku ini-entah siapa, aku pergi-entah kemana, aku akan mati-entah kapan, aku heran bahwa aku gembira”. Dari sepenggal ungkapan ini, dapat dipahamai bahwa, tidak ada satu sudut pandang manapun yang sepenuhnya benar dan lengkap, sehingga dapat menangkap keseluruhan imaji dari sebuah obyek. Nah, bila obyek yg dimaksudkan adalah "bahagia", maka semua orang pasti memiliki definisi masing-masing dan rasa masing-masing.

Lalu, apakah kita memang sedang bahagia? Ataukah kita pernah bahagia? Jika ditempatkan dalam ranah realitas, mungkin pertanyaan klasik ini dapat menjadi episentrum yang selalu tak kunjung berujung.

Meskipun harmoni tentang kebahagiaan itu berada dalam serpihan-serpihan kenyataan, namun kebahagian itu selalu mempunyai titik simpul dari progeni tersendiri, yaitu dalam alam kehidupan setiap insan di dunia ini. Karenanya, kebahagian adalah hakiki tentangnya, yakni hakikat dalam hikayat tentang kebahagiaan itu sendiri. Jika demikian adanya, maka dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia adalah satu-satunya makhluk pencari kebahagiaan, tetapi juga perusak akan kebahagiaan itu sendiri.

Pertanyaan selanjutnya, sudah berapa banyakkah tindak kekerasan yang timbul akibat kebahagiaan itu? Ya, tidak sedikit orang dalam kehidupan ini, berusaha mencari kebahagiaan dengan cara mengorbankan kebahagiaan sesamanya. Untuk membahagiakan dirinya, orang tidak segan-segan saling melukai, menyakiti, hingga menghabisi apa yanng harus dihabisi. Akhirnya, kebahagiaan itu semakin liar dan sulit untuk ditemukan.

Bahkan ironisnya, tidak sedikit orang justru mencari kebahagiaan ditempat-tempat yang salah dan berakhir dengan kehidupannya yang jauh lebih menderita dari sebelumnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin karena kita selalu mencari kebahagiaan itu di luar diri sendiri. Manusia cenderung mengharapkan sesuatu dari luar dirinya sendiri, misalnya seseorang datang dan menjanjikan serta memberikan perasaan bahagia tersebut padanya. Padahal, kebahagian itu justru terletak di dalam diri manusia sendiri.

Meminjam sepenggal kalimat bijak sang Rumi,...”Kita mencari kalung permata dari ruangan ke ruangan yang sebetulnya ada di leher kita sendiri.” Ini pun sama ketika kita berusaha mencari kebahagiaan. Kita mencarinya ”kemana-mana”, dan kita tidak pernah dengan persis mengetahui di mana letak "kebahagiaan" tersebut, kecuali ia hanya ada dalam diri kita sendiri!

Nah, bagaimana mungkin seseorang akan bahagia, jika ia sendiri tidak merasa bahagia? Jika ia tidak yakin siapa dirinya sebenarnya? Bagaimana mungkin ia bahagia, jika ia hidup berdasarkan bagaimana-bagaimana pendapat orang lain memandang tentang dia? Jika seseorang tidak tahu apa yang sungguh berarti di dalam hidup ini? Jika seseorang tidak mencintai dirinya sendiri? Jika ia tidak menerima dirinya sendiri apa adanya? Serta jika seseorang tidak tahu apa kelebihannya, lalu berusaha mengembangkannya? Pikiran dan perasaan tentang diri sendiri, sudah pasti akan menentukan apa yang seseorang percayai tentang dirinya sendiri. Karna ketika seluruh dunia menyatakan sebaliknya, ia akan tetap teguh tak tergoyahkan. Tentu saja, memahami dan menerima diri apa adanya adalah kunci utama untuk menjadi bahagia.

Singkatnya, orang yang bahagia harus bisa mencintai dan menghargai dirinya sendiri, walau mungkin saja ia sangat berbeda dibandingkan dengan lingkungan sosial dan lain sebagainya yang berada di sekitarnya.

Kebahagiaan juga tidak tergantung dari hal-hal yang berbau materialisme, seperti: kemewahan, jabatan, gelar yang prestisius (meskipun hal-hal tersebut dapat membawa kesenangan pada hidup). Kebahagiaan pun tidak tergantung pada orang lain, seperti seseorang memiliki orang-orang yang penting di dalam hidupnya (meskipun cinta kasih dan kehadiran orang-orang tersebut dapat menambah keceriaan, tetapi juga sebaliknya). Kebahagiaan pun tidak tergantung pada sesuatu hal yang terjadi. Misalnya, jika seseorang tetap tinggal di suatu tempat, maka ia akan menjadi baik, dan jika orang tersebut pergi meninggalkan tempat itu, maka ia pun akan menjadi tidak baik.

Intinya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat terukur oleh apa saja, dimana saja dan dengan cara apa saja, diluar diri kita. Justru hambatan terbesar untuk rasa bahagia itu adalah pemikiran yang keliru dari diri sendiri. Seperti misalnya pemikiran tentang seseorang atau sesuatu yang membuat seseorang itu bisa "bahagia". Mungkin saja seseorang dapat merasakan keceriaan atau mendapatkan sesuatu tersebut dari orang lain, tetapi kebahagiaan tersebut sebetulnya adalah semu dan sementara. Ketika suatu saat nanti, seseorang tidak bersama lagi dengan seseorang lainya itu atau sesuatu tersebut, maka keceriaan itu akan pergi juga bersamanya.

Seperti sebuah pepatah Cina mengatakan bahwa.. orang yang paling berbahagia adalah orang yang waktu dia lahir semua orang tertawa dan hanya dia yang menangis, dan waktu ia meninggal semua orang menangis dan hanya dia yang tertawa!

Sang filsuf Aristoteles, menyatakan dalam karyanya "Nichomachean Ethics", bahwa: "Kebahagian tergantung pada diri kita sendiri".

Alexei Tolstoy kemudian menyambungnya dalam "Kosma Prutkov" bahwa, "Jika Anda ingin bahagia, berbahagialah".

Ya, Aristoteles dan Tolstoy menyatakan dengan gamblang bahwa kebahagiaan itu hanya ada pada diri seseorang dan tergantung padanya (orang tersebut).

Jika ditilik dari sumbernya, John Stuart Mill dalam "Autobiography", justru membuat antitesa dari pendapat di atas, dengan menganjurkan bahwa: .."Tanyakanlah kepada diri anda, mengapa anda bahagia, dan anda tidak akan berbahagia lagi".

Namun seorang G. K. Chesteron, dalam karya terbesarnya, "Heretic", menyambungnya dengan kalimat demikian.. "kebahagiaan adalah misteri layaknya agama, dan seharusnya tidak pernah bisa dicari-cari alasannya".

Selanjutnya, tokoh reformasi ternama, John Calvin dalam karyanya "Institutio", dengan gamblang tanpa embel-embel menegaskan bahwa: "Kebahagiaan utuh adalah mengenal Tuhan ".

Menyambung itu, dalam karya kitab Amsal, editan dari zaman raja Salomo, semakin memperjelas lagi, bahwasanya.. "Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian”.

Dalam konteks Kekristenan, khususnya ibadah-ibadah yang dilakukan, para orang rohani seperti pemimpin ibadah, Pendeta dan Majelis Jemaat, biasanya setelah membaca Alkitab, selalu mengakhirinya dengan sepenggal kalimat... "Berbahagialah mereka yang mendengarkan firman Tuhan dan yang memeliharanya ".

Sementara Yesus Kristus, dalam keseluruhan konsep “Ucapan Bahagia”-Nya, justru lebih menganjurkan realitas kebahagiaan dari sebuah realitas akan ketidakbahagiaan—dari situasi yang tidak memungkinkan untuk seseorang bisa berbahagia secara alami, seperti tertulis ....

"Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”.“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”.“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”.“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan”.“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”.“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu di cela dan di aniaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat".
Konsep “Ucapan Bahagia” Kristus di atas, membuat seorang Mahatma Gandhi dan Leo Tolstoy, tertarik dengan rahasia yang ada di balik ucapan tersebut. Sederhananya, konsep “bahagia” Ilahi ini, adalah sesuatu yang juga sangat sederhana.

Namun, justru kesederhanaan inilah yang banyak ditentang, juga ditolak, bahkan dirusakkan manusia sebagai pencari kebahagiaan tersebut. Seharusnya, dimensi kebahagiaan seperti inilah yang semestinya terus direnungkan setiap saat. Bahkan terus dialami secara berkesinambungan. Kebahagiaan itu tidak harus sekedar menjadi slogan yang indah dan bagus saja. Bahkan tidak hanya sekedar membuat insan manusia seolah-olah dengan memajangnya, ia telah dapat dikatakan bahagia, padahal yang sebenarnya, dia sedang menipu dirinya sendiri dengan ketidakbahagiaannya.

Kita semua harus bahagia! Harus tertawa! Sebebas bebasnya, sekuat-kuatnya.. Apapun persoalannya, apapun masalahnya. Kita memang harus bahagia, dan bahagia.

Sebab, jika nanti Sang Kebahagiaan sejati itu datang melalui kereta Maranatha-Nya, kita akan tertawa lepas! Kita akan terbahak-bahak di sana! Ditempat kebahagiaan itu berada, Di tempat tertawa itu bersemayam abadi dan kekal...

Ya, di Surga tak ada ratapan, tak ada pula linangan air mata! Kita akan tertawa di sana. Kita akan bahagia di sana! Sebab, jika di Surga dilarang tertawa, maka pasti tak ada kebahagiaan di situ. Dan jika di Surga dilarang tertawa, saya pasti tak ingin ke sana!

Oleh: Abdy Busthan
Pustaka Buku:
Busthan Abdy. (2016). Judulnya Belum Berjudul. Kupang: Desna Life Ministry



Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam gerakan Teologi Pembebasan di awal tahun 1970-an, adalah Gustavo Gutiérrez. Tokoh utama dalam gerakan Teologi Pembebebasan ini menjadi terkenal sejak bukunya yang berjudul “A Theology of Liberation” untuk pertama kalinya di publikasikan ke ruang publik dengan tujuan untuk memperkenalkan kepada dunia teologi dalam sebuah bentuk dan metode berteologi yang peka terhadap kaum miskin.

Gutiérrez mengusung suatu konsep teologi yang lebih terstruktur dan berdasarkan pada pengamatan langsung terhadap orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Gutierrez menyatakan bahwa kemiskinan adalah sebuah kondisi yang tidak di kehendaki oleh Tuhan. Sebab menurut Guiterrez, kemiskinan sesungguhnya merupakan masalah teologis, dan bukan merupakan masalah etika dan moral. Karena itu, kemiskinan adalah tantangan yang harus di hadadapi bersama-sama oleh setiap orang Kristen. Tentu saja hal ini berarti bahwa solidaritas yang dilakukan dengan kaum miskin adalah merupakan perwujudan suatu sikap dan pola hidup Teosentris dan Kristosentris—berpusat pada Allah dan Kristus.

Gutiérrez dalam pengamatannya, melihat bahwa realitas adalah ‘konteks’ yang sekaligus merupakan sebuah ‘titik berangkat’ bagi seseorang untuk berteologi. Sebab dunia ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dosa yang terus menerus menciptakan ‘jurang pemisah’ antara orang kaya dan orang miskin.

Dalam hal ini dunia secara terus menerus mendeklarasikan materi, kekayaan, dan kekuasaan yang sesungguhnya bertolak belakang dengan cara kerja Allah dalam diri Kristus yang pertama kalinya mendeklarasikan kedatangan Kerajaan Allah melalui mereka yang miskin dan terbuang serta melalui kaum yang terlupakan.

Karena itu, khotbah Yesus di bukit yang menyatakan kalimat: ”Berbahagialah mereka yang miskin dihadapan Allah” adalah sebuah pemberian hak istimewa kepada orang miskin untuk dapat memahami makna kehadiran kerajaan Allah ‘secara nyata’ di muka bumi ini. Sebab sesungguhnya, berita tentang kerajaan Allah adalah sebuah berita ‘pembebasan’ bagi kaum yang tertindas.

Guiterrez berkata bahwa kemiskinan “adalah sebuah pertanyaan tentang kematian ... dan penghancuran pribadi-pribadi, manusia, budaya dan tradisi”. Karena itu, berita tentang kedatangan Kerajaan Allah yang diprakarsai oleh Kristus sendiri, adalah sebuah berita yang bersifat subvertif, dimana perhatian yang lebih mengagungkan dunia beserta kekayaan dan kekuasaannya, haruslah dialihkan kepada perhatian yang lebih mengarah kepada orang-orang yang dianggap tidak penting oleh dunia ini.

Sebagaimana keterangan di atas, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa Teologi pembebasan yang diprakarsai oleh Gutiérrez, lebih mengarah kepada pengentasan di bidang politik dan sosial. Sekalipun bermula dari pemahaman politik, namun ini bukanlah sebuah fakta penyusutan akan paham iman kekristenan, tetapi lebih merupakan refleksi iman yang malampaui refleksi sosial dan politik. Sehingga pada konteks itu teologi yang di gagas berpusat pada yudaisme Yesus Kristus secara historis.

Sebagaimana Gutiérrez menyatakan bahwa sang pembebas Yesus Kristus adalah "kaum orang miskin" yang disamakan dengan orang-orang yang tertindas saat ini di dunia. Tentu saja, hal ini didasarkan pada prinsip Alkitab yang terdapat dari Injil Matius 5:10. Sebab sesungguhnya, menurut Gutiérrez, ‘pembebasan’ yang dilakukan Yesus Kristus di kayu salib, memerankan dua aspek sekaligus, yaitu membebaskan manusia dari penindasan duniawi (kehidupan fisik sosial politik) dan penindasan iman (dosa, kematian, kefanaan, dsb).

Dalam hal lainnya, Gutiérrez juga berteologi dengan merefleksikan kehidupan Ayub yang bergumul dengan kisah sengsaranya, dimana kisah ini dipandang oleh kaum Teodise sebagai kejahatan. Sehingga dalam konteks Ayub ini, Gutiérrez memandang bahwa kejahatan dan penderitaan bukan berasal dari Allah, tetapi lebih mengarah kepada sebuah nilai moral yang melampuai hukum manusia.

Dalam kisah itu, tampak pula kejadian, dimana Ayub berdebat dengan para sahabatnya yang mengatakan bahwa penderitaan Ayub adalah akibat dosa, maka pandangan ini secara otomatis tidak bersifat mutlak lagi, Karena sesungguhnya penderitaan dan kejahatan adalah peleburan cinta kasih Allah melalui kasih yang tak bersyarat.

Oleh Abdy Busthan

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2014). Pendidikan Kristen yang Membebaskan. Kupang: Inara

Kitab Kejadian 49:10 menulis,..
“Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa”.
Istilah Shiloh adalah gelar yang pernah diberikan pada Mesias. Sebagaimana nubuat menyatakan bahwa suku Yehuda akan tetap menjadi pemimpin bangsa di Israel, secara khusus menghasilkan Raja-Raja, dari Raja Daud sampai pada kedatangan Mesias. Nubuat ini sudah digenapi sebelum kehancuran Yehuda dan Yerusalem pada tahun 70 Masehi, ketika semua tongkat kerajaan telah meninggalkan Yehuda. 

Menurut Busthan Abdy (2018:16), kata Shiloh diturunkan dari kata Ibrani: Shalah yang berarti to be quiet (= tenang), to enjoy rest (= menikmati ketenangan), security (= keamanan). Istilah Syiloh atau Shiloh tidak harus menunjuk kepada tempat (a place of rest) tetapi bisa juga menunjuk kepada orang, yaitu the man of rest (= manusia damai) atau ‘the bearer of rest’ (= pembawa damai).

Kitab Yesaya menegaskan bahwa Mesias yang dijanjikan adalah "Sang Raja Damai" (Yesaya 9:5). Jadi kata Shiloh memiliki 3 pengertian berikut:

  1. Tranquility (ketenangan/kesentosaan).
  2. The Peaceable One (Orang yang suka damai).
  3. The Pacifier (Pembawa damai/perdamaian).
Sementara dalam Kejadian 49:10 muncul dalam stanza (sajak delapan baris) yang sebenarnya berisikan nubuat Yakub tentang kedua belas anak laki-lakinya (Suku Yehuda dibicarakan di ayat 8-12). Sebagaimana hal ini jelas dikatakan dalam kitab Kejadian 49:8-12, yang menulis ....
49:8 Yehuda, engkau akan dipuji oleh saudara-saudaramu, tanganmu akan menekan tengkuk musuhmu, kepadamu akan sujud anak-anak ayahmu.49:9 Yehuda adalah seperti anak singa: setelah menerkam, engkau naik ke suatu tempat yang tinggi, hai anakku; ia meniarap dan berbaring seperti singa jantan atau seperti singa betina; siapakah yang berani membangunkannya?49:10 Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa.49:11 Ia akan menambatkan keledainya pada pohon anggur dan anak keledainya pada pohon anggur pilihan; ia akan mencuci pakaiannya dengan anggur dan bajunya dengan darah buah anggur.49:12 Matanya akan merah karena anggur dan giginya akan putih karena susu.Pada ayat-ayat di atas terlihat bahwa suku Yehuda ditampilkan, terutama penekanannya pada hal ‘peperangan’, yang disertai ciri-ciri seperti “tanganmu akan menekan tengkuk musuhmu” (ayat 8), dan"Yehuda adalah seperti anak singa... seperti singa jantan atau seperti singa betina, siapakah yang berani membangunkannya?" (ayat 9).
Sementara pada ayatnya yang ke-10, berbicara tentang peran Yehuda sebagai Raja yang akan datang dan yang akan memimpin seluruh suku Israel—kemungkinan juga atas bangsa-bangsa asing. Ayat itu berbunyi: "Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia (שִׁילֹה—Shiloh) datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa (עַםִים—'Amim')".

Jelas penekanannya terletak pada bagaimana keberaniannya dalam berperang, serta status rajani dari suku Yehuda. Tetapi ada penegasan jelas, bahwa status raja ini kemudian berlanjut sampai pada tokoh kunci yang disebutkan sebagai "Shiloh". Jadi, tongkat kerajaan dan lambang pemerintahan (Mekhoqeq) akan di pegang suku Yehuda sampai Shiloh sendiri datang.

Dalam konteks ayat 10, pengertian Shiloh dalam versi targum bahasa Aram, adalah "Sampai Mesias datang”, yaitu “Yang empunya Kerajaan”. Jadi, sebenarnya ayat 10 tampaknya memperkenalkan Shiloh sebagai satu gelar dari Mesias, tetapi menunjuk pada tafsiran dari nama itu yang berkaitan dengan frasa "yang kepadanya" atau "kepada siapa."

Dalam Septuaginta dari abad ke-3 SM, menerjemahkan klausa itu sebagai: "sampai datang perkara-perkara yang tersimpan (apokeimena) baginya." Namun kebanyakan dari otoritas modern, baik yang konservatif maupun bukan konservatif, cenderung memilih terjemahan "oknum” atau terjemahan “dia” (yang empunya), dan menjadikan penguasa yang akan datang itu sebagai antesedennya, dengan memahami "tongkat kerajaan" sebagai benda miliknya.

Dengan perkataan lain: "Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda, sampai Dia yang empunya (pemiliknya) datang, yang kepada-Nyalah bangsa-bangsa menjadi tunduk".

Pertanyaannya, apakah kata tersebut dipahami sebagai nama kiasan untuk Mesias seperti nama Yesyurun untuk bangsa Israel? (Ulangan 32:15), ataukah itu merupakan frasa penghubung "yang kepadanya" (Shelo)? Jelas kata tersebut menunjuk pada Mesias, dan kemungkinan juga kepada Daud, yaitu leluhur dalam arti kiasan dari Kristus, Sang Raja.

Namun timbul persoalan, bahwa dengan mengaitkan janji ini kepada Daud, maka sejatinya akan menimbulkan kesulitan yang besar, sebab kenyataannya tongkat kerajaan tidak berpindah dari Yehuda ketika Daud datang, hanya mulai dipegang oleh Yehuda ketika dia menerima takhta dan mahkota kerajaan Israel.

Mari kita lihat sebuah ayat paralel yang paling menarik untuk diketahui yaitu Yehezkiel 21:27 (dalam versi bahasa Ibrani, ayat 32), yang tampaknya merupakan sebuah refleksi dari konteks dalam Kejadian 49:10.

Kitab Yehezkiel 21:27 menyatakan,... “Puing, puing, puing akan Kujadikan dia! Ini pun tidak akan tetap. Sampai ia datang yang berhak atasnya, dan kepadanya akan Kuberikan itu”.

Kalimat: “puing, puing, puing akan Kujadikan dia!”, memiliki makna bahwa kota Yerusalem akan diserbu oleh Nebukadnezar pada tahun 588 SM). Ini pun tidak akan tetap atau "tidak akan terjadi" (Lo Hayah), sampai Ia datang yang berhak atasnya (dalam arti harfiah adalah "yang padanya ada penghakiman"—Asher-Lo'—Hamish’pat, dan yang kepadanya akan Kuberikan itu").

Kesamaan susunan kata-kata yang sangat langka terjadi secara kebetulan. Asher Lo' adalah bentuk prosa yang lazim dan setara dengan Sheloh ("yang kepadanya").

Jadi, dalam pernyataan kitab Yehezkiel, kata Hamish’pat (yaitu "hak melakukan penghakiman") yang menggantikan konsep serupa yaitu "tongkat kerajaan" (Shevet) yang terdapat pada kitab Kejadian 49:10.

Sehingga bisa pula dipahami bahwa jika Yehezkiel 21:27 dimaksudkan untuk mengembangkan gagasan dasar dari Kejadian 49:10 dan menyatakan bahwa frasa itu dipakai hanya untuk Mesias—sebagaimana terlihat jelas dalam kitab Yehezkiel, yang akan berasal dari istana Raja Yehuda—maka konteks Kejadian 49:10 seperti yang dimaksudkan Allah, mengacu kepada Anak-Nya yang ilahi, keturunan Daud yang menjadi Mesias.

Oleh: Abdy Busthan


Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2018). Mesias dalam Progeni. Kupang: Desna Life Ministry



Kristus berpesan agar orang percaya saling melayani. Tiap orang percaya adalah pelayan Tuhan. Begitulah kata “pelayanan” sering dipakai dalam Gereja.

Tetapi apakah sebenarnya arti pelayanan? Orang sering menggunakan kata itu dengan arti yang berbeda-beda, bahkan seringkali dengan arti yang sempit. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa setiap orang percaya sering menggunakan kata pelayanan, namun patut dipertanyakan benarkah orang percaya saling melayani? (Ismail Andar, 1997:V)

Plato dalam Ismail (1991) bertanya dengan jujur bahwa: “Siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain? Sebab seringkali kita berkata bahwa kita mau melayani orang lain, namun dalam prakteknya justru kitalah yang sering dilayani orang lain“.

Dari pertanyaan yang diajukan oleh Plato ini, implikasinya tentu mengarah pada bagaimana makna “melayani’ yang sesungguhnya, serta bagaimana konsep melayani yang Alkitabiah seperti yang diajarkan oleh Yesus Kristus sendiri.

Kata “melayani” digunakan oleh Kitab Perjanjian Baru dalam banyak arti, dimana ada empat kata yang digunakan dalam bahasa aslinya, yaitu diakoneo, douleo, leitourgeo dan latreuo, dimana Ismail (1997:3) menjelaskan masing-masing kata tersebut sebagai berikut:

Diakoneo berarti menyediakan makanan di meja untuk majikan. Orang yang melakukannya di sebut dengan diakonos, dan pekerjaannya disebut diakonia (lihat Lukas 17:8). Namun di kitab Lukas 22:26,27, Yesus memberikan arti yang baru bagi diakoneo, yaitu melayani orang yang justru lebih rendah kedudukannya. Sedangkan di Kitab 1 Petrus 4:10, kata diakoneo berarti mengunakan karisma yang ada pada kita untuk kepentingan dan kebaikan orang lain. Rasul Paulus menganggap pekerjaannya sebagai suatu diakonia dan dirinya sebagai diakonos bagi Kristus (2 Korintus 11:23) dan bagi umat (Kolose 1:25). Kemudian pengajaran para rasul disebut diakonia firman (Kisah para rasul 6:4), sedangkan pengumpulan uang untuk orang-oran kudus juga disebut diakonia (2 Korintus 8:1-20).

Douleo adalah menghamba yang dilakukan oleh seorang doulos (budak), dimana Paulus memakai kata ini untuk menggambarkan bahwa kita yang semula menghamba pelbagai kuasa jahat, dibebaskan oleh Kristus supaya kita bisa menghamba kepada Kristus (Galatia 4:1-11). Namun sebuah kontras tajam diperlihatkan dalam kita Filipi 2:5-7, yaitu bahwa Yesus yang walaupun mempunyai rupa Allah namun telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang doulos.

Leitourgeo berarti bekerja untuk kepentingan rakyat atau kepentingan umum sebagai lawan dari bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Orang yang berbuat itu disebut leitourgia, dimana kata ini juga dapat berarti melakukan upacara dan ibadah kepada para dewa. Dan dari situlah kemudian sekarang digunakan liturgi untuk ibadah. Dalam Perjanjian Baru, kata ini biasanya digunakan dalam pelbagai arti, yaitu pengumpulan uang untuk membangun gereja di Yerusalem disebut leitourgia (2 Korintus 9:12), seluruh kehidupan kita patut menjadi leitourgia (Filipi 2), membawa orang yang belum percaya sehingga menjadi murid Tuhan disebut leitourgia bagi Tuhan (Roma 15:16). Lalu di Ibrani 8:2 Yesus disebut sebagai leitourgos

Latreuo berarti bekerja untuk mendapat latron yaitu gaji atau upah. Latreia juga bisa berarti pemujaan untuk para dewa. Sedangkan di Perjanjian Baru kata ini digunakan dalam arti menyembah atau beribadah pada Tuhan (Matius 4:10 ; Kisah para rasul 7:7). Penggunaan yang mencolok terdapat di Roma 12:1, dimana Paulus berpesan supaya orang percaya mempersembahkan tubuh kepada Tuhan sebagai logike latreia, artinya persembahan yang pantas.

Kata-kata yang dijelaskan di atas (diakoneo, douleo, leitourgeo dan latreuo) nampaknya digunakan oleh gereja abad pertama dengan arti melayani, mengabdi, atau menghamba kepada Tuhan dan kepada orang lain, atau pola hidup yang bukan lagi hidup untuk diri sendiri, melainkan hidup untuk Tuhan dan orang lain. Sehingga implikasinya bahwa orang percaya di dorong untuk melayani Tuhan dan orang lain karena Yesus sendiri sudah melayani, bahkan seluruh hidup Yesus selama 33 tahun ditandai oleh jiwa melayani. Tujuan hidup-Nya bukanlah untuk mendapatkan pelayanan, melainkan untuk memberikan pelayanan. Isi hidup-Nya bukanlah dilayani, melainkan melayani.

Di sini Alkitab juga tidak menggambarkan Yesus sebagai Tuhan yang berjaya atau berkuasa, melainkan sebagai Tuhan yang melayani dan menghamba, bahkan Yesus adalah diakonos (pelayan), bahkan doulos (budak).

Jiwa Kristus adalah melayani dan menghamba. Itulah juga jiwa umat Kristiani para pengikut-Nya. Orang yang mau berjalan dibelakang Yesus adalah orang yang rela melayani dan menghamba. Didalam pelaksanaannya itu tidak mudah, dimana melayani mengandung banyak segi dan resiko.

Melayani bukan sekedar bersibuk di sana sini dan bukan pula sekedar memberi ini atau itu. Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain. Yang tentu saja hal ini sungguh bertolak belakang dengan jalan hidup yang lazim dimana orang justru mengutamakan kepentingan diri sendiri.

Berjalan dibelakang Yesus memang adalah berjalan melawan arus. Benarlah apa yang di pertanyakan oleh Plato bahwa: “ Siapa yang mau menjadi pelayan? ”.

Sebaliknya Yesus berkata: “ Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan ” (Lukas 22:27).

Oleh: Abdy Busthan

Istilah diakonia berasal dari kata ‘diakonein’ yang artinya melayani. Dalam Perjanjian Baru (PB), istilah ini merupakan pandangan Yesus terhadap bentuk-bentuk pelayanan yang berasal dari titah Perjanjian Lama (PL), yaitu tentang kasih terhadap sesama manusia. Sehingga dalam hal ini diakonein artinya melayani di meja (selewir).

Dalam Perjanjian Baru (PB), arti sebenarnya dari istilah diakonein adalah ‘melayani di meja’ (Lukas 17:8; Yohanes 12:2). Biasanya di sekitar meja terasa perbedaan tingkatan antara mereka yang sementara makan, yaitu “orang besar” dan mereka yang menanggalkan jubahnya atau “orang yang melayani” meja. 
Dengan kehadiran Yesus ke dalam dunia ini, Yesus pun merubah secara total esensi dari “melayani” tersebut dengan membalikkan hubungan antara melayani dan dilayani (Lukas 22:26-30). Ini nampak dengan jelas dimana saat itu diantara murid-murid-Nya, yang melayani adalah Yesus sendiri—sekaligus menjadi diakonos (pelayan mereka).

Pengertian diakonein sebagai melayani meja kemudian diperluas menjadi mengumpulkan bahan makanan serta menyiapkan makanan (Kisah Para Rasul 6:2). Sehingga pada titik ini istilah diakonein sesungguhnya merupakan kondisi yang memperhambakan diri atau mengabdi. 


Pemahamannya lebih diperluas Yesus sendiri dalam Injil Matius 25:42-44, yaitu merujuk pada berbagai perbuatan, seperti: memberi makan, menjamu minum, memberi penginapan, memberikan pakaian, mengunjungi orang sakit dan orang yang berada di penjara.

Sehingga diakonein adalah “pelayanan”. Hal ini bertujuan agar semua umat Kristen melayani sesamanya manusia yang sekaligus menggambarkan bagaimana cara mengikut Yesus. 


Sebagaimana pandangan mendasar Yesus sehubungan dengan sifat-Nya sendiri yang dikatakan dalam Injil Markus 19:43-45 dan Matius 20:26-28, bahwa “Anak Manusia tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberi nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang”. Jadi diakonein lebih kepada cara hidup jemaat Kristus untuk melayani sesama dan melayani Tuhan. 

Dengan apa yang dipahami dari bahasan di atas, maka menjadi jelaslah maksud dari melayani di dalam jemaat. Setiap karunia atau kharisma menurut I Petrus 4:10 merupakan pemberian yang dipercayakan pada setiap orang agar supaya mereka yang mendapatkan karunia itu memanfaatkannya dan menggunakan karunia yang Tuhan berikan semata-mata untuk melayani Tuhan dan sesama.

Dalam perkembangannya, dikenal pula istilah diakonein sebagai persembahan khusus yang artinya pengumpulan persembahan atau kolekte pelayanan khusus yang berperan penting di dalam kehidupan Paulus sebagai pengumpulan dan penyerahan kolekte bagi orang-orang kudus di kota Yeruselem. (lihat 2 Korintus 8:19). 


Biasanya dikenal juga dengan istilah “Pelayanan kasih” yang merupakan teladan umat Kristen untuk saling membantu berdasarkan Kasih Kristus. Diakonein untuk pelayanan jabatan khusus terdapat dalam I Timotius 3:10,13 yang mana kata kerja diakonein digunakan untuk nama jabatan seorang syamas-syamaset-diaken.

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat dua cara orang percaya untuk berdiakonia, yaitu:

Pertama. Diakonia sebagai pertolongan secangkir air atas nama Yesus, yang terdiri dari berbagai cara orang Kristen atau badan-badan gereja, serta lembaga Kristen di dalam pelayanan pada sesama. Pelayanan ini adalah pengaktaan kasih Kristus (contoh bagi bahan makanan, pakaian, obat dll). Prinsip motivasinya yaitu dengan mendemonstrasikan kasih Kristus dalam perbuatan “nyata” atau realitas yang nyata. Pertolongan ini disebut dengan diakonia kharitatif. Teologia secangkir air ini dianggap penting dalam rangka diakonia jemaat. Tetapi hal itu hanya salah satu unsur saja dalam berdiakonia. Karena pemahaman diakonia memiliki pengertian yang luas, berdasarkan konteks tertentu pula. Ketaatan dan kerendahan hati gereja yang terdiri dari persekutuan orang percaya hendaknya terwujud dalam pola pelayanan yang tertata berdasarkan prinsip-prinsip karakteristik Kristus sebagai kepala gereja, dan tidak dianggap sebagai “tuan” yang hanya dilayani saja, melainkan pola yang menggambarkan “hamba”—pola melayani. Dalam pemahaman bahwa, Yesus menghendaki pelayanan kepadaNya terwujud dalam pelayanan kepada orang-orang yang paling hina, sebab terhadap merekalah gereja harus melayani.

Kedua. Diakonia dan Pembangunan, yang juga sering sekali muncul dalam pelayanan-pelayanan jemaat di gereja. Istilah ini merupakan pelayanan diakoni, yaitu diakonia sosial yang berupa upaya dalam membangun suatu masyarakat yang bertanggung jawab. Pelayanan ini menuntut keterlibatan jemaat dalam hal pembangunan. Sehingga diakonia berarti pada bagaimana sikap kritis kenabian gereja memulihkan dan memperbaiki pembangunan yang keliru, dan mengangkat mereka yang tersisih dan terlupakan dalam pembangunan.

Dari kedua hal di atas, dapat dipahami bahwa diakonia bukan jalan mencapai suatu kesuksesan duniawi, melainkan pelayanan yang berjalan, berbicara dan berbuat bersama-sama dengan mereka yang sedang terluka, tersisih dan terlupakan, bahkan mereka yang dianggap hina oleh dunia. Jelaslah esensi diakonia yaitu belajar dan sambil berbuat di tengah-tengah kehinaan.

Dan di dalam penjelasan Garis-Garis Besar Program Pengajaran (Depdikbud, 1987) dirumuskan pula bahwa PAK merupakan mata pelajaran yang bersumber pada Firman Allah dalam Alkitab (Depdikbud: 1987). PAK di sini berfungsi untuk menjabarkan maksud diberikannya Firman dan Firman itu bermakna menghadirkan kehendak Allah dalam kehidupan manusia. Semuanya tercermin dalam tata dan aturan serta tujuan gereja sebagai lembaga Allah dimuka bumi ini.

Karena itu, maka melalui tugas diakonianya, gereja-gereja terpanggil untuk bisa menjalankan perannya sebagai lembaga Kristen yang sesungguhnya, yang dapat memberi arah dalam menuntun warganya untuk menjawab realitas dunia tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai umat Tuhan—juga bisa membawa perubahan hakiki—yakni perbaikan, transfomasi, kemajuan dan peningkatan peran di tengah hidup berjemaat dan bermasyarakat. Untuk itulah maka menjadi sangat urgen untuk disikapi dan diberikan perhatian bersama oleh semua pihak, agar lewat hubungan relasi yang baik antara gereja dan lembaga pendidikan formal yaitu sekolah, maka dapat muncul Pendidikan Kristen yang mencerminkan integritas unggul, tetapi santun dan lebih berkarakter Kristus.

Diakonia Gereja dan PAK
Peran diakonia gereja dalam hal hubungannya dengan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di sekolah-sekolah, dapat dilakukan dengan membentuk relasi dalam beberapa bidang pembinaan sebagai berikut:

Pembinaan Iman Kristen—gereja di sini, harus bisa meletakkan ajaran teologia dalam mengajarkan prinsip-prinsip iman Kristen, yaitu dengan sasarannya untuk membangun kehidupan rohani dan jasmani manusia yang seutuhnya, yaitu sebagai dasar untuk kehidupan sekarang dan akan datang. Sebagai sarana pembinaan iman, PAK di sekolah akan bekerja sama dengan gereja dalam mengupayakan integritas dari iman Kristen dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari, misalnya melalui seminar-seminar dalam berbagai bidang, festival bernuansa Kristen, atau dalam kebangunan rohani dan lain sebagainya, yang prinsipnya menyoroti semua ilmu dari sudut pandang Alkitab.

Pembinaan Etika—hal yang perlu dibangun antara sekolah dan gereja adalah bahwa bagaimana menyediakan pengarahan etika Kristen yang baik. Hal ini berarti dalam tindakan, gereja tetap mengatur sekolah-sekolah Kristen agar pendidiknya mengajar etika Kristen dengan proporsional, disamping mengajar integrasi yang tepat antara iman Kristen dan ilmu pengetahuan umum. Jika tidak dilakukan, maka akan menimbulkan dampak dan pengaruh negatif dalam masyarakat bahkan dalam kehidupan Kristen yang bergereja dan berjemaat dalam masyarakat plural.

Pembinaan Sosial—pentingnya dibangun hubungan antara sekolah dan gereja ini melalui kehidupan sosial. Hal ini untuk mencegah sekolah dikategorikan sebagai lembaga bisnis yang mementingkan oknum pribadi. Bukan hanya itu saja, tetapi hubungan gereja−sekolah bersama-sama membantu masyarakat sekitar sambil memberitakan Injil Kabar Baik.

Dengan demikian, PAK di sekolah merupakan bagian pelayanan diakonia dari gereja. Sekolah bagi gereja harus dipahami sebagai sekolah yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar-mengajar, kurikulum, administrasi, interaksi dan komunikasi serta tata tertib dan disiplin. Dengan adanya pembelajaran PAK, sekolah yang bersangkutan tentu mempunyai “warna” tersendiri, yang landasannya mengacu kepada iman Kristen.

Oleh: Abdy Busthan



Nubuat tentang Mesias memiliki jenis dan sifat tertentu. Untuk jenisnya, nubuat tentang Mesias terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) Nubuatan umum, dan (2) Nubuatan khusus.

Sementara untuk sifat-sifat nubuatan tentang Mesias, menurut ahli Theologia Injili Amerika, Walvoord John (1969), terdiri dari empat sifat-sifat utama, yaitu: (1) Bahasanya sering sama-samar; (2) Bahasanya bersifat kiasan, (3) Mesias masa depan dianggap sebagai masa lalu dan masa sekarang, (4) Dapat dilihat sebagai sesuatu secara horisontal dan bukan vertikal

Jenis Nubuatan Mesias
Menurut Busthan Abdy (2018:32), dalam Perjanjian Lama (PL), terdapat banyak sekali nubuat tentang Mesias yang disampaikan melalui ragam bahasa dan konsep. Namun hanya terdapat dua jenis nubuat tentang sosok Mesias ini.

Pertama. Nubuatan tentang Mesias secara umum. Yaitu nubuat yang diungkapkan dalam bahasa yang hanya dapat digenapkan oleh Mesias sendiri. Misalnya dalam kitab 1 Samuel 2:35 dikatakan bahwa,.. “Aku akan mengangkat bagi-Ku seorang imam kepercayaan, yang berlaku sesuai dengan hatiKu, dan jiwaKu, dan Aku akan membangunkan baginya keturunan yang teguh setia, sehingga Ia selalu hidup di hadapan orang yang Kuurapi”.

Walaupun penggenapan segera dari nubuat ini barangkali dipenuhi langsung oleh Samuel, namun memiliki penggenapan lain di luar Samuel—yang menunjuk kepada penggenapan akhir dalam Kristus. Meskipun nantinya keimaman Samuel dan garis keturunannya berakhir, tetapi keimaman kekal yang diramalkan dalam nubuatan ini akan sepenuhnya digenapi di dalam Kristus.

Kedua. Nubuatan tentang Mesias secara pribadi. Jenis ini seringkali ditemukan dalam Perjanjian Lama dan dapat pula diketahui dari istilah-itilah khusus. Misalnya saja dalam Yesaya 7:14 dikatakan bahwa Mesias diketahui dari istilah yang tak biasa dipakai yaitu “Imanuel” yang artinya “Allah menyertai kita”. Bagian ini secara istimewa membicarakan tentang Mesias yang akan datang.

Sifat-sifat Nubuatan Mesias
Banyak nubuatan Mesias cukup jelas, khususnya bila dipandang berdasarkan pernyataan Perjanjian Baru (PB) yang penggenapannya memberikan keterangan tentang isi nubuatan di dalam Perjanjian Lama (PL).

Menurut Walvoord John (1969) dalam Busthan Abdy (2018:33-35), nubuatan tentang Mesias umumnya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

Pertama. Bahasa dari nubuatan tentang Mesias sering samar-samar. Maksud Allah dari kesamaran ini adalah untuk menjadikan nubuatan itu dapat dimengerti hanya oleh orang-orang percaya sejati yang diajarkan oleh Roh Kudus dan oleh karena itu, ia dapat membedakan mana bagian-bagian yang merupakan nubuatan tentang Mesias, dan bagian-bagian yang bukan. Banyak diantara bagian-bagian itu tidak dapat ditafsirkan, kecuali diterangi oleh seluruh isi firman Allah.

Kedua. Bahasa dari nubuatan tentang Mesias sering bersifat kiasan. Dalam artian bahwa arti dari kiasan itu tidak perlu tak berketentuan, karena sering kiasan itu memberikan maksud yang sangat jelas bahkan walaupun bagian tersebut barangkali perlu untuk ditafsirkan. Misalnya nubuatannya berbunyi, “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah” (Yesaya 11:1). Ayat ini menunjuk kepada Mesias sebagai Seorang yang akan diturunkan dari Isai. Dalam konteks ini, meskipun nubuatan itu memakai bahasa kiasan, namun kebenaran yang dikandungnya jelas.

Ketiga. Dalam nubuatan tentang Mesias masa depan, sering dianggap sebagai masa lalu atau masa sekarang. Dalam bahasa Ibrani sering memakai pengertian “sudah” dalam menulis nubuatan. Misalnya nubuat-nubuat agung dari kitab Yesaya 53 yang ditulis seakan-akan sudah terjadi. Gaya bahasa seperti ini menunjukkan bahwa peristiwa yangg diramalkan dalam Perjanjian Lama tersebut pasti digenapi, walaupun terjadi di masa depan dan bukan di masa lalu.

Keempat. Seperti bentuk-bentuk nubuatan yang lain, nubuatan tentang Mesias sering dilihat secara horisontal dan bukan vertikal. Dengan perkataan lain, walaupun urutan peristiwa dalam nubuatan itu pada umumnya dinyatakan dalam Kitab Suci, tetapi nubuatan-nubuatan tersebut tidak selalu memberikan jarak waktu yang mestinya ada diantara dua peristiwa besar yang disebutnya.

Sebagaimana biasa dinyatakan puncak-puncak gunung nubuatan dinyatakan begitu saja tanpa menyebutkan adanya lembah-lembah yang terdapat diantaranya. Oleh karena itu, nubuatan Perjanjian Lama bisa saja melompat dari peristiwa penderitaan Kristus langsung kepada kemuliaan-Nya tanpa menyebutkan jangka waktu yang terbukti dari sejarah memisahkan kedua peristiwa besar itu.

Fakta bahwa nubuatan tentang Mesias tidak selalu menyebutkan jangka waktu diantara beberapa peristiwa, digambarkan dalam kutipan Kristus dari Yesaya 61:1-2 di dalam Lukas 4:18-19, dimana ayat-ayat dalam Yesaya menghubungkan kedatangan pertama dan kedua dari Kristus tanpa sesuatu petunjuk bahwa diantara keduanya terbentang jarak waktu yang lebar.

Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa keduanya dipisahkan oleh jangka waktu paling sedikit lebih dari 1900 tahun. Yesus Kristus dalam kutipan-Nya menyebutkan aspek-aspek kedatangan pertama-Nya. Tetapi kemudian tiba-tiba berhenti tanpa menyebutkan ayat selanjutnya mengenai “hari pembalasan Allah” yang menunjuk kepada hukuman disaat kedatangan kedua kali-Nya.

Apabila dimengerti benar-benar masalah dalm menafsirkan nubuatan tentang Mesias ini tidak begitu sulit. Tetapi si penafsir harus teliti untuk mengambil kesimpulan tentang maksud dari penulis.

Oleh: Abdy Busthan

Daftar Pustaka:
Busthan Abdy (2018). Mesias dalam Progeni (hal. 31-35). Kupang: Desna Life Ministry



Dalam peradaban insan manusia di alam ini, Yudas adalah lambang “manusia pengkhianat”. Jika nama Yudas dibicarakan, maka orang akan mengenang kembali peristiwa penghianatan sang murid Kristus ini dengan kasus suap berjumlah 30 keping uang yang terbuat dari perak (Matius 26:14-16);(band. Zakharia 11:12).

Injil Matius dan Injil Markus menempatkan awal pengkhianatan Yudas Iskariot setelah peristiwa pengurapan Yesus oleh Maria, saudara Lazarus, di rumah Simon si kusta, di kota Betania, 6 hari sebelum Paskah (Matius 26:6-13; Markus 14:3-9; Yohanes 12:1-8).

Injil Yohanes mencatat, Yudas Iskariot menggalang murid-murid Yesus untuk menunjukkan rasa tidak senang, bahwa minyak narwastu yang mahal itu dibuang percuma untuk mengurapi kepala dan kaki Yesus Kristus.

Hal itu dikatakannya bukan karena Yudas memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya (Yohanes 12:4-6).

Yesus menegurnya bahwa pengurapan ini untuk mempersiapkan penguburan-Nya, sehingga kemungkinan Yudas menjadi marah tersinggung dan juga kecewa karena Yesus tidak berniat untuk memberontak terhadap orang Romawi, melainkan malah bersiap untuk mati.Karena itu masuklah Iblis ke dalam Yudas, dan pergilah ia kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka. Yudas berkata: "Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?".

Mereka sangat gembira waktu mendengarnya dan mereka berjanji akan memberikan uang kepadanya, 30 uang perak. Dan mulai saat itu Yudas mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus tanpa setahu orang banyak (Matius 26:14-16; Markus 14:10-11; Lukas 22:3-6).

Keempat Injil sepakat bahwa pengkhianatan ini terjadi beberapa hari sebelum malam penangkapan Yesus.

Dari uraian diatas, pada prinsipnya, pengkhianatan Yudas adalah cermin penolakan manusia terhadap kehadiran Mesias. Pada konteks ini, Kristus justru di tolak oleh orang dekat-Nya sendiri—kalangan sendiri—murid-Nya sendiri (lihat nubuatannya dalam Mazmur 41:10; Mazmur 55:13-15; Zakharia 11:12-13); (bandingkan Yohanes 13:18; Matius 27:9-10).

Mungkin secara tidak langsung, penolakan Yudas ini lebih bersifat tidak langsung. Artinya bahwa Yudas melakukan hal ini tidak didasari oleh maksud untuk menolak Kristus, tetapi lebih kepada ketamakannya dalam memperoleh keuntungan dan kesenangannya sendiri. Apapun caranya, akan dia lakukan untuk memperoleh keuntungannya sendiri, tanpa mempedulikan orang lain disekitar dia—asalkan dia senang dan puas!

Sebagaimana dikatakan oleh Hollet & Macartney (2010) bahwa Yudas demi keuntungan dan kemenangan duniawi bertindak keterlaluan terhadap Yesus, sehingga Yudas tertipu oleh ketamakannya sendiri. Yudas tidak bersalah karena dengan sengaja menjual Yesus, tetapi ia justru bersalah karena ketamakan dan keserakahan untuk memuaskan hasrat duniawinya—dalam batin Yudas bukan pengkhianat, tetapi serakah dan tamak.

Menurut Uskup Besar Whately, “Perbedaan antara Iskariot dan teman-teman rasulnya adalah bahwa, walaupun mereka semua mempunyai harapan dan dugaan yang sama, Yudas berani bertindak berdasarkan dugaannya, menyimpang dari jalan biasa, yaitu tugasnya yang sudah ia ketahui, untuk mengikuti perhitungan kebijaksanaan duniawinya dan rencana-rencana ambisi duniawinya” (Discourse on the Treason of Judas Iscariot and Notes; dalam Hollet & Macartney, 2010).

Panggilan Yudas menjadi murid Kristus tidak tercatat dengan pasti. Namun, jelas bahwa ia mengikuti Yesus atas kemauannya sendiri. Nama Yudas sendiri berasal dari kata “Judah” yang artinya “Yahweh memimpin”. Tentunya nama ini diberikan oleh orang tuanya dengan harapan bahwa kelak ia akan dipimpin oleh Tuhan.

Jika di lihat dari nama marganya: “Iskariot” yang di dapat dari istilah bahasa Yahudi “Ish” (manusia), maka Yudas ini berasal dari sebuah kota yang bernama “Kerioth”—dia adalah orang dari Kerioth-hezron (bandingkan Yosua 15:25), yaitu sebuah kota kecil di selatan Yudea.

Sehingga Yudas adalah satu-satunya Rasul yang tidak berasal dari Galilea—sebagaimana banyak rasul lainnya sebelum mengenal Kristus, mereka sudah saling kenal karena merupakan teman masa kecil, saudara sepupu, teman dan rekan kerja.

Menurut MacArthur (2013), ketidakakraban murid-murid Yesus asal Galilea dengan Yudea pasti telah membantu dan mendorong Yudas untuk menjadi seorang pembohong.

Sebab murid-murid hanya tahu sedikit tentang keluarga dan latarbelakang Yudas sebelum menjadi murid Yesus. Sehingga hal ini sangat mudah bagi Yudas untuk berperan sebagai orang munafik.

Pertanyaannya, mengapa Yudas mengkhianati Kristus? Apa yag menjadi alasannya? Terdapat dua perspektif jawaban yang dapat dikemukakan untuk menjawab kedua pertanyaan ini.

Pertama, kita tidak mungkin dapat mengurangi dan menambahkan perkataan Alkitab mengenai hal ini. Peristiwa pengkhianatan Yudas memang sudah dinubuatkan sebelumnya, dan memang benar-benar tergenapi, seperti nubuat pada Mazmur 41:10; Mazmur 55:13-15; Zakharia 11:12-13.

Jika tak ada Yudas, siapakah yang menggantikan posisinya untuk melengkapi proses keselamatan manusia melalui penyaliban Kristus?

Menurut MacArthur (2013:213), firman Tuhan mengatakan bahwa ketika Yesus memilih Yudas, Ia tahu bahwa Yudas akan menjadi orang yang menggenapi nubuatan pengkhianatan itu. Ia jelas memilihnya untuk menggenapi rencana itu. Pertanyaannya, apakah Yudas bersalah? Sebab hal ini di luar kontrol dirinya? Untuk menjawabnya, mari kita lihat perspektif kedua berikut ini.

Kedua, tidak berarti bahwa Yudas terpaksa melakukan apa yang dilakukannya. Sebab tidak ada tangan yang tidak kelihatan yang memaksanya untuk mengkhianati Kristus. Yudas bertindak bebas dan tanpa paksaan pihak luar. Dia bertanggungjawab atas tindakannya sendiri.

Memang di lain pihak Yesus sendiri memilihnya. Namun ketegangan antara kedaulatan Ilahi dan pilihan manusia yang kemudian dimanifestasikan dalam panggilan Yudas sendiri, sama seperti murid Kristus lainnya. Mereka semua memilih untuk mengikut Yesus, tetapi sesungguhnya Yesuslah yang terlebih dahulu memilih mereka (Yohanes 15:16).

Demikian juga Yudas memilih mengikut Yesus, dan ia juga dipilih oleh Yesus. Namun pilihan ada ditangan Yudas. Dia kemudian terjebak dalam keangkuhan duniawinya sendiri, sehingga jatuh ke dalam dosa pengkhiantannya serta harus bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, karena memang dia dikuasai oleh iblis.

Dari kedua hal di atas, dapat di tarik 3 (tiga) pedoman dasar penting untuk memahami pengkhianatan Yudas, yaitu:

  • Kita tidak boleh meragukan kesungguhan panggilan Yesus. Pada mulanya Yesus memandang Yudas sebagai murid dan pengikut berbakat. Tidak ada pra dalil lain untuk menilai benar-tidaknya kebijakan Yesus, juga himbauan-Nya yang berulang-ulang kepada Yuda
  • Pra pengetahuan Yesus tidak mencakup pra penentuan, bahwa Yudas secara tak terelakkan harus menjadi pengkhianat;
  • Yudas tak pernah sungguh-sungguh murid Yesus. Dia jatuh dari jabatan rasul, tapi ia tak pernah mempunyai persekutuan yang sungguh dengan Yesus.
Matius 26:14 menulis: Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala.

Matius 26:15 .. Ia berkata: "Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?" Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya.

Matius 26:16, .. Dan mulai saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus.


SUMBER BUKU:
Busthan Abdy. (2017) Mesias dalam Progeni. Kupang: Desna Life Ministry

SUARA.NABIRE - Nabi Daniel hidup lebih dari 500 tahun sebelum Yesus lahir. Tetapi Allah menyingkapkan kepada Daniel keterangan yang memungkinkan kita mengetahui kapan persisnya Yesus diurapi sebagai Mesias.

Sebagaimana Daniel diberitahukan: ”Hendaklah engkau tahu dan memiliki pemahaman bahwa sejak keluarnya firman untuk memulihkan dan membangun kembali Yerusalem sampai datangnya Mesias, sang Pemimpin, akan ada tujuh minggu, juga enam puluh dua minggu.”—Daniel 9:25.

Untuk menentukan saat kedatangan Mesias, pertama-tama harus mengetahui titik awal periode yang mengarah kepada kedatangan Mesias itu sendiri, yang menurut nubuat dalam kitab Daniel adalah ”sejak keluarnya firman untuk memulihkan dan membangun kembali Yerusalem”.

Kapan firman itu keluar? Menurut penulis kitab Nehemia, firman untuk membangun kembali tembok-tembok di sekeliling Yerusalem dikeluarkan pada tahun 'kedua puluh' pemerintahan Raja Artahsasta (Nehemia 2:1, 5-8).

Para sejarawan kemudian meneguhkan bahwa pemerintahan Artahsasta dimulai pada tahun 475 SM. Maka tahun ke-20 masa pemerintahannya jatuh pada tahun 455 SM. Jadi titik awal digenapinya nubuat Daniel tentang Mesias adalah tahun 455 SM.

Daniel menunjukkan berapa lama periode waktu yang mengarah kepada kedatangan Mesias sang “Pemimpin” itu. Nubuatnya menyebutkan ”tujuh minggu”, juga “enam puluh dua minggu”—seluruhnya 69 minggu.

Berapa lamakah periode waktu itu? Beberapa terjemahan Alkitab menyatakan bahwa itu bukan minggu yang masing-masing panjangnya tujuh hari, tetapi minggu dalam hitungan tahun. Artinya, setiap minggu panjangnya tujuh tahun.

Konsep tentang minggu-tahun atau unit-unit tujuh tahun, di kenal baik oleh orang Yahudi pada zaman dahulu. Contohnya, tujuh tahun sekali mereka menjalani tahun Sabat (Keluaran 23:10, 11). Jadi, 69 minggu dalam nubuat itu berarti 69 unit yang masing-masing lamanya 7 tahun, atau seluruhnya 483 tahun.

Jika titik awalnya adalah tahun 455 SM, maka 483 tahun kemudian jatuh pada tahun 29 M. Itulah persisnya tahun ketika Yesus Kristus di baptis dan menjadi Mesias (Lukas 3:1, 2, 21, 22).

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2018). Mesias dalam Progeni (hal. 40-42). Kupang: Desna Life Ministry



Barabas, demikianlah nama ini sering dikaitkan dengan peristiwa penyaliban Yesus. Tentu sosok ini tidak bisa kita lewatkan jika harus mengenang saat-saat menjelang tragedi kalvari yang berlumuran darah itu.

Hal pertama dan utama yang harus kita pahami sebelum membahas sosok Barabas ini adalah bahwa alasan mengapa manusia itu diselamatkan adalah karna manusia adalah Barabas. Ya, Barabas tidak bersalah atas pembebasan dirinya! Namun pembebasan Barabas, adalah cermin penolakan Mesias yang dilakukan oleh mereka-mereka yang lebih banyak belajar kebenaran. Ini memang suatu ironi yang sangat antagonistis.

Bayangkan saja, para ahli-ahli agama yang juga bertindak sebagai pemimpin-pemimpin rohani dan rohaniawan yang seharusnya mengetahui esensi kebenaran dan sudah sepantasnya membela kebenaran, justru tega melacurkan kebenaran begitu saja dengan angkuhnya. Ya, merekalah para imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat, yang lebih bertanggungjawab atas penyaliban terhadap Kristus melalui pembebasan sang penjahat Barabas.

Siapakah Barabas?
Barabbas adalah pemberontak di zaman pemerintahan Pilatus. Nama "Barabas" diturunkan dari kata Aram (בר-אבא), Bar-abbâ, artinya "putra dari bapa". Sejumlah naskah kuno kitab Matius 27:16–17 juga mencatat nama lengkap Barabas sebagai "Yesus Barabas" dan kemungkinan adalah nama asli yang ditulis dalam teks Abba (Evans, Craig A, 2012), dimana teks “Abba” ini diketahui telah ditemukan sebagai nama pribadi pada kuburan abad ke-1 M di Giv'at ha-Mivtar. Selain itu, Abba juga sering muncul sebagai nama orang dalam bagian Gemara dari Talmud, yang bertarikh sekitar 200–400 M.

Dari sini muncul pendapat bahwa "Barabas" juga "Baraba" atau "Bar-abba" yang adalah putra dari seorang yang bernama "Abba" atau "Abbas". Nama Barabas selanjutnya menjadi terkenal dalam peristiwa penjatuhan hukuman salib terhadap Yesus Kristus yang berujung pada pembebasan baginya.

Barabas merupakan seorang pemberontak nasionalis (W.R.F. Browning. 2008); (bandingkan. Markus 15:7). Barabas tertangkap dalam suatu pemberontakan (I. Snoek, 2008) yang digambarkan Alkitab bahwa Barabas sebagai seorang narapidana atau tahanan politis Romawi yang ketika itu memberontak dengan melakukan pembunuhan dan pencurian di zaman pemerintahan Pontius Pilatus sekitar tahun 27-36 Masehi (Lincoln, Henry dan Richard Leigh, 1982).

Dalam Perjanjian Baru (PB), Barabas dikatakan sebagai penjahat (Yohanes 18:40) yang ditahan oleh karena pemberontakan politiknya, disertai dengan pembunuhannya (Markus 15:7; Lukas 23:18 dst).

Dalam Injil Yohanes, Barabas disebutkan sebagai seorang penyamun dan perampok (W.R.F. Browning. 2008); (Marthinus TH. Mawene, 2004), yang kemudian Barabas dibebaskan oleh Gubernur Pilatus atas kehendak orang banyak (massa Yahudi) yang saat itu orang banyak lebih memilih Barabas dibandingkan Yesus, yaitu ketika Yesus mengalami peradilan (W. N. McElrath-Billy Mathias, 1994)

Barabas diyakini merupakan seorang yang berasal dari sayap radikal golongan Zelot yang saat itu mengangkat senjata melawan pendudukan Romawi. Ia menyamun sebagai salah satu taktik untuk melemahkan, bahkan merusak perekonomian penguasa Romawi, khususnya kafilah-kafilah dagang yang merupakan mata rantai sistem perdagangan Romawi di Palestina. Ia merupakan seorang pemimpin perjuangan pembebasan dari kekuasaan Romawi dengan cara-cara kekerasan (Marthinus TH. Mawene, 2004; dalam Busthan Abdy, 2017).

Barabas Pintu Gerbang Keselamatan
Dalam konteks tulisan Injil Markus, menunjukkan pada suatu peristiwa terkenal dan kata sifat “terkenal” (Matius 27:16) yang memberi kesan bahwa Barabas adalah pahlawan rakyat. Para imam mungkin saja memanfaatkan tuntutan pendukung Barabas untuk membebaskannya (bandingkan. Markus 15:8), sewaktu imam-imam itu di tantang Pilatus memilih siapa yang dibebaskan: Yesus atau Barabas? (Matius 27:20; Markus 15:11).

Tetapi terlepas dari semua itu, akhirnya Barabas dalam batas tertentu, tampil menjadi simbol perolehan kebebasan mutlak dari sebuah hukuman, sebagai akibat dari penggantian penangguhan atas hukuman yang menimpanya (Busthan Abdy, 2014).

Seperti diceritakan kembali oleh Lucado Max (2011), kisah kebebasan Barabas terjadi begitu cepat. Baru saja Barabas bermain tik tak tok di dalam dinding tanah dalam selnya untuk orang hukuman mati, tiba-tiba ia sudah menghirup udara bebas karena berada di luar. Seketika itu pun bola mata sang Barabas menjadi berkedip-kedip bak lampu disco karena melihat silaunya matahari....

“Kamu bebas. Kamu boleh pergi”
Barabas menggaruk-garuk janggutnya, “Hah? Apa?”
“Kamu bebas. Mereka telah mengambil si orang Nazaret menggantikan kau”.

Ya, Barabas adalah orang pertama yang mendapatkan “kebebasan mutlak” dari Kristus. Barabas juga merupakan orang pertama yang membuka jalan untuk pembebasan bagi manusia melalui penyaliban Kristus! Artinya bahwa jika tanpa Barabas, apakah mungkin Yesus disalibkan? Seandainya, jika Barabas tidak bersedia dibebaskan dari penjara saat itu, apakah mungkin Yesus menjalani penyaliban?

Barabas adalah taruhan sebuah pembebasan! Barabas bebas, maka manusia mendapatkan pembebasan kekal melalui anugerah keselamatan dalam pengorbanan Kristus di kayu salib.

Barabas telah membuka gerbang pertama menuju pembebasan sejati untuk setiap manusia yang percaya kepada Yesus. Tentu kebebasan melalui Kristus bukanlah semata-mata karena manusia itu benar dalam perbuatannya. Tetapi karena manusia adalah Barabas, sehingga Kristus rela mengorbankan nyawa-Nya untuk memberikan “pembebasan Kekal” dari maut yang diakibatkan dosa manusia, seperti perbuatan sang penjahat Barabas.

Yesus datang bukan untuk mereka yang merasa dirinya benar dan suci, tetapi Yesus datang untuk mereka yang merasa hina, kotor dan penuh kejahatan dan dosa. Demi untuk kebebasan orang berdosa, maka Yesus menyediakan kebebasan yang adalah keselamatan. Karena itu, esensi “kebebasan” dalam Kristen adalah “keselamatan” di dalam Yesus.

Karena kebebasan dalam Kristen adalah keselamatan, maka Grudem Wayne (2009) mengingatkan bahwa fakta-fakta yang berhubungan dengan keselamatan pada dasarnya terdiri dari tiga bagian inti, yaitu sebagai berikut:
a) Semua orang telah berbuat dosa (Roma 3:23)
b) Hukuman dosa adalah maut (Roma 6:23)
c) Yesus Kristus mati untuk membayar hukuman atas dosa manusia (Roma 5:8)

Sumber Buku:
Busthan Abdy. (2017). Mesias dalam Progeni. Kupang: Desna Life Ministry

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget