Tertawa itu bahagia. Kita bisa tertawa, ketika hati dan akal terasa bahagia (senang). Itulah kebahagiaan dalam level sederhana. Ya, kebahagiaan memang sederhana, tetapi tidak mudah disederhanakan. Kebahagiaan itu harmoni, namun tidak mudah diharmonisasikan, bahkan kebahagian itu kenyataan, tetapi sulit pula dinyatakan. Mengapa demikian? tentu saja, demikianlah adanya.
Jika sebuah pertanyaan dilontarkan, siapakah orang paling berbahagia di dunia ini? Tentu saja, kita akan menemukan seribu satu macam jawaban yang berbeda-beda dari perspektif pemahaman masing-masing individu akan kebahagiaan tersebut. Sebab sederhananya, untuk bisa bahagia, seseorang harus bisa menciptakan realitas "happiness habit", atau kebiasaan untuk hidup bahagia.
Seorang tokoh pada abad pertengahan, Martinus dari Biberach, pernah berucap dengan lantang... "Aku datang-entah dari mana, aku ini-entah siapa, aku pergi-entah kemana, aku akan mati-entah kapan, aku heran bahwa aku gembira”. Dari sepenggal ungkapan ini, dapat dipahamai bahwa, tidak ada satu sudut pandang manapun yang sepenuhnya benar dan lengkap, sehingga dapat menangkap keseluruhan imaji dari sebuah obyek. Nah, bila obyek yg dimaksudkan adalah "bahagia", maka semua orang pasti memiliki definisi masing-masing dan rasa masing-masing.
Lalu, apakah kita memang sedang bahagia? Ataukah kita pernah bahagia? Jika ditempatkan dalam ranah realitas, mungkin pertanyaan klasik ini dapat menjadi episentrum yang selalu tak kunjung berujung.
Meskipun harmoni tentang kebahagiaan itu berada dalam serpihan-serpihan kenyataan, namun kebahagian itu selalu mempunyai titik simpul dari progeni tersendiri, yaitu dalam alam kehidupan setiap insan di dunia ini. Karenanya, kebahagian adalah hakiki tentangnya, yakni hakikat dalam hikayat tentang kebahagiaan itu sendiri. Jika demikian adanya, maka dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia adalah satu-satunya makhluk pencari kebahagiaan, tetapi juga perusak akan kebahagiaan itu sendiri.
Pertanyaan selanjutnya, sudah berapa banyakkah tindak kekerasan yang timbul akibat kebahagiaan itu? Ya, tidak sedikit orang dalam kehidupan ini, berusaha mencari kebahagiaan dengan cara mengorbankan kebahagiaan sesamanya. Untuk membahagiakan dirinya, orang tidak segan-segan saling melukai, menyakiti, hingga menghabisi apa yanng harus dihabisi. Akhirnya, kebahagiaan itu semakin liar dan sulit untuk ditemukan.
Bahkan ironisnya, tidak sedikit orang justru mencari kebahagiaan ditempat-tempat yang salah dan berakhir dengan kehidupannya yang jauh lebih menderita dari sebelumnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin karena kita selalu mencari kebahagiaan itu di luar diri sendiri. Manusia cenderung mengharapkan sesuatu dari luar dirinya sendiri, misalnya seseorang datang dan menjanjikan serta memberikan perasaan bahagia tersebut padanya. Padahal, kebahagian itu justru terletak di dalam diri manusia sendiri.
Meminjam sepenggal kalimat bijak sang Rumi,...”Kita mencari kalung permata dari ruangan ke ruangan yang sebetulnya ada di leher kita sendiri.” Ini pun sama ketika kita berusaha mencari kebahagiaan. Kita mencarinya ”kemana-mana”, dan kita tidak pernah dengan persis mengetahui di mana letak "kebahagiaan" tersebut, kecuali ia hanya ada dalam diri kita sendiri!
Nah, bagaimana mungkin seseorang akan bahagia, jika ia sendiri tidak merasa bahagia? Jika ia tidak yakin siapa dirinya sebenarnya? Bagaimana mungkin ia bahagia, jika ia hidup berdasarkan bagaimana-bagaimana pendapat orang lain memandang tentang dia? Jika seseorang tidak tahu apa yang sungguh berarti di dalam hidup ini? Jika seseorang tidak mencintai dirinya sendiri? Jika ia tidak menerima dirinya sendiri apa adanya? Serta jika seseorang tidak tahu apa kelebihannya, lalu berusaha mengembangkannya? Pikiran dan perasaan tentang diri sendiri, sudah pasti akan menentukan apa yang seseorang percayai tentang dirinya sendiri. Karna ketika seluruh dunia menyatakan sebaliknya, ia akan tetap teguh tak tergoyahkan. Tentu saja, memahami dan menerima diri apa adanya adalah kunci utama untuk menjadi bahagia.
Singkatnya, orang yang bahagia harus bisa mencintai dan menghargai dirinya sendiri, walau mungkin saja ia sangat berbeda dibandingkan dengan lingkungan sosial dan lain sebagainya yang berada di sekitarnya.
Kebahagiaan juga tidak tergantung dari hal-hal yang berbau materialisme, seperti: kemewahan, jabatan, gelar yang prestisius (meskipun hal-hal tersebut dapat membawa kesenangan pada hidup). Kebahagiaan pun tidak tergantung pada orang lain, seperti seseorang memiliki orang-orang yang penting di dalam hidupnya (meskipun cinta kasih dan kehadiran orang-orang tersebut dapat menambah keceriaan, tetapi juga sebaliknya). Kebahagiaan pun tidak tergantung pada sesuatu hal yang terjadi. Misalnya, jika seseorang tetap tinggal di suatu tempat, maka ia akan menjadi baik, dan jika orang tersebut pergi meninggalkan tempat itu, maka ia pun akan menjadi tidak baik.
Intinya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat terukur oleh apa saja, dimana saja dan dengan cara apa saja, diluar diri kita. Justru hambatan terbesar untuk rasa bahagia itu adalah pemikiran yang keliru dari diri sendiri. Seperti misalnya pemikiran tentang seseorang atau sesuatu yang membuat seseorang itu bisa "bahagia". Mungkin saja seseorang dapat merasakan keceriaan atau mendapatkan sesuatu tersebut dari orang lain, tetapi kebahagiaan tersebut sebetulnya adalah semu dan sementara. Ketika suatu saat nanti, seseorang tidak bersama lagi dengan seseorang lainya itu atau sesuatu tersebut, maka keceriaan itu akan pergi juga bersamanya.
Seperti sebuah pepatah Cina mengatakan bahwa.. orang yang paling berbahagia adalah orang yang waktu dia lahir semua orang tertawa dan hanya dia yang menangis, dan waktu ia meninggal semua orang menangis dan hanya dia yang tertawa!
Sang filsuf Aristoteles, menyatakan dalam karyanya "Nichomachean Ethics", bahwa: "Kebahagian tergantung pada diri kita sendiri".
Alexei Tolstoy kemudian menyambungnya dalam "Kosma Prutkov" bahwa, "Jika Anda ingin bahagia, berbahagialah".
Ya, Aristoteles dan Tolstoy menyatakan dengan gamblang bahwa kebahagiaan itu hanya ada pada diri seseorang dan tergantung padanya (orang tersebut).
Jika ditilik dari sumbernya, John Stuart Mill dalam "Autobiography", justru membuat antitesa dari pendapat di atas, dengan menganjurkan bahwa: .."Tanyakanlah kepada diri anda, mengapa anda bahagia, dan anda tidak akan berbahagia lagi".
Namun seorang G. K. Chesteron, dalam karya terbesarnya, "Heretic", menyambungnya dengan kalimat demikian.. "kebahagiaan adalah misteri layaknya agama, dan seharusnya tidak pernah bisa dicari-cari alasannya".
Selanjutnya, tokoh reformasi ternama, John Calvin dalam karyanya "Institutio", dengan gamblang tanpa embel-embel menegaskan bahwa: "Kebahagiaan utuh adalah mengenal Tuhan ".
Menyambung itu, dalam karya kitab Amsal, editan dari zaman raja Salomo, semakin memperjelas lagi, bahwasanya.. "Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian”.
Dalam konteks Kekristenan, khususnya ibadah-ibadah yang dilakukan, para orang rohani seperti pemimpin ibadah, Pendeta dan Majelis Jemaat, biasanya setelah membaca Alkitab, selalu mengakhirinya dengan sepenggal kalimat... "Berbahagialah mereka yang mendengarkan firman Tuhan dan yang memeliharanya ".
Sementara Yesus Kristus, dalam keseluruhan konsep “Ucapan Bahagia”-Nya, justru lebih menganjurkan realitas kebahagiaan dari sebuah realitas akan ketidakbahagiaan—dari situasi yang tidak memungkinkan untuk seseorang bisa berbahagia secara alami, seperti tertulis ....
"Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”.“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”.“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”.“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan”.“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”.“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu di cela dan di aniaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat".
Konsep “Ucapan Bahagia” Kristus di atas, membuat seorang Mahatma Gandhi dan Leo Tolstoy, tertarik dengan rahasia yang ada di balik ucapan tersebut. Sederhananya, konsep “bahagia” Ilahi ini, adalah sesuatu yang juga sangat sederhana.
Namun, justru kesederhanaan inilah yang banyak ditentang, juga ditolak, bahkan dirusakkan manusia sebagai pencari kebahagiaan tersebut. Seharusnya, dimensi kebahagiaan seperti inilah yang semestinya terus direnungkan setiap saat. Bahkan terus dialami secara berkesinambungan. Kebahagiaan itu tidak harus sekedar menjadi slogan yang indah dan bagus saja. Bahkan tidak hanya sekedar membuat insan manusia seolah-olah dengan memajangnya, ia telah dapat dikatakan bahagia, padahal yang sebenarnya, dia sedang menipu dirinya sendiri dengan ketidakbahagiaannya.
Kita semua harus bahagia! Harus tertawa! Sebebas bebasnya, sekuat-kuatnya.. Apapun persoalannya, apapun masalahnya. Kita memang harus bahagia, dan bahagia.
Sebab, jika nanti Sang Kebahagiaan sejati itu datang melalui kereta Maranatha-Nya, kita akan tertawa lepas! Kita akan terbahak-bahak di sana! Ditempat kebahagiaan itu berada, Di tempat tertawa itu bersemayam abadi dan kekal...
Ya, di Surga tak ada ratapan, tak ada pula linangan air mata! Kita akan tertawa di sana. Kita akan bahagia di sana! Sebab, jika di Surga dilarang tertawa, maka pasti tak ada kebahagiaan di situ. Dan jika di Surga dilarang tertawa, saya pasti tak ingin ke sana!
Oleh: Abdy Busthan
Pustaka Buku:
Busthan Abdy. (2016). Judulnya Belum Berjudul. Kupang: Desna Life Ministry