Articles by "Sosial dan Politik"

Keterangan Foto: Wihelmus Degey, S.Kom (Ketua KPU Kabupaten Nabire)

SUARA.NABIRE - Penyebab terjadinya Pemungutan Suara Ulang alias PSU di Kabupaten Nabire adalah karena DPT melebihi jumlah penduduk. Demikian dikatakan Wihelmus Degey, S.Kom., selaku Ketua KPU Kabupaten Nabire kepada awak media ini pada Selasa (27/04/21).

"Ya, PSU terjadi karena Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa DPT Kabupaten Nabire bermasalah, dimana DPT melebihi jumlah penduduk," ungkap Wihelmus

Sehingga, lanjutnya, dalam amar putusan MK tersebut, pihak KPU Nabire diperintahkan untuk melakukan dua hal, yakni: Pemungutan Suara Ulang (PSU) terhadap 15 Distrik, dan yang kedua adalah perbaikan DPT.

Menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi itu, Wihelmus mengatakan bahwa pihaknya dalam hal ini KPU Nabire, kemudian diperintahkan oleh KPU RI dalam surat dinas nomor 250, yang di dalamnya diminta untuk mengevaluasi kembali kinerja dari panitia Ad Hoc penyelenggara tingkat bawah dari KPU Nabire.

Pada sisi lain, Wihelmus mengingatkan kepada publik kabupaten Nabire bahwa terkait dengan mengapa DPT melebihi jumlah penduduk, hal itu merupakan wilayah dari penyedia data, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Nabire melalui Dukcapil. Sebab menurutnya, KPU Nabire hanya sebatas pengguna data. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Ingat bahwa kami KPU ini kan pengguna data saja, bukan penyedia data. Itu artinya, ada yang menyediakan dan memberikan data kepada kami. Jadi prinsipnya data yang diberikan kepada kami itulah yang kami gunakan. Data itu dikeluarkan oleh Pemerintah, yaitu Dukcapil. Jadi kami hanya menggunakan data yang diberikan," tegas Wihelmus.

Menurutnya, selama ini banyak pihak yang menyalahkan KPU Nabire terkait DPT, bahkan keberatan dengan kerja KPU Nabire terkait dengan pemungutan suara.

"Untuk hal itu, saya mau katakan bahwa, kami KPU hanya pengguna data. Data itu datang dari pemerintah yang dalam hal ini melalui Dukcapil yang di kirim ke KPU RI lalu KPU RI turunkan ke Provinsi dan dari KPU Provinsi turunkan ke kami KPU Nabire. Itu dulu pemahamannya," demikian pungkas Ketua KPU Nabire, Wihelmus Degey, S.Kom. (Red)

Penulis: Yubelince Pekey


SUARA.NABIRE - Pelaksanaan diskusi panel Tokoh intelektual dari 9 suku pemilik hak datuk tanah adat Nabire berlangsung di pantai Kamasan Wadio Nabire, pada Sabtu (27/03/2021).

Adapun diskusi panel tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan kepada salah satu Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Nabire yang dianggap sebagai "Anak Adat" dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang kembali akan diselenggarakan di Kabupaten Nabire.

Diskusi yang berlangsung selama sehari tersebut diikuti oleh kurang lebih 250 orang perwakilan anak-anak adat dari 9 suku pemilik hak datuk tanah Nabire.

Sembilan perwakilan kepala suku dan Tokoh intelektual dari masing-masing suku antara lain:
  1. Suku Wate: Elon Raiki
  2. Suku Wate: Elon Raiki
  3. Suku Yeresiam Goa: Ayub Kowoi
  4. Suku Umari: Lambertus Mareku
  5. Suku Me lembah: Oto Magai
  6. Suku Yaur: Aser Andoy
  7. Suku Boa: Piet Hein Sayori
  8. Suku Mora: Yulian Worumboni
  9. Suku Ause: Elias Pokapa
  10. Suku Keuw: Yohanes Ekampa.
Kesembilan suku tersebut mendiami dataran tinggi pedalaman Nabire dimulai dari Ororodo sampai dengan Dipa, Menou dan dari ujung Kamarisano sampai dengan Goni.

Ketua panitia pelaksana kegiatan, Feliks Makay, yang juga selaku anak adat pemilik hak datuk mengatakan bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan dalam menyatukan kembali tali persaudaraan

"Kegiatan ini kami lakukan guna mempersatukan tali persaudaraan kami yang selama ini hilang diantara kita yang mendiami dataran tinggi Nabire dan mereka yang mendiami pesisir pantai Nabire", ujar Feliks Makay.

Ditambahkan Feliks bahwa kegitan tersebut juga dilakukan untuk menyatukan persepsi dan pemahaman bagi anak-anak adat pemilik hak datuk dari 9 suku yang ada di Nabire.

"Kenapa hal ini kami lakukan? Agar jangan lagi ada pengkotak-kotakan antara kami yang ada di gunung dan mereka yang ada di pesisir pantai, serta kami anak-anak adat ini jangan lagi terpecah belah karena kondisi politik pasca pemilihan Bupati tanggal 9 Desember lalu, dan pasca keputusan MK dalam pemilihan Pilbub tahun 2021 kemarin," jelas Feliks.

Feliks Makay juga mengatakan bahwa sudah saatnya rakyat Nabire bersatu, khususnya pemilik hak datuk tanah Nabire sehingga kuat dan solid untuk menyongsong PSU Bupati dan Wakil Nabire.

Ketika ditanyai oleh awak media ini terkait kandidat mana yang nanti akan dipilih pada PSU Calon Bupati dan Wakil Bupati Nabire, Feliks mengatakan bahwa mereka sudah mempunyai pilihan yaitu salah satu Paslon yang dianggap sebagai "Anak Adat" yang punya Nabire.

Senada dengan itu, Kepala suku besar Yeresiam Goa, Ayub Kowoy, yang mewakili 9 kepala suku mengatakan bahwa mereka berkumpul dan merapatkan barisan untuk kembali mendukung kemenangan salah satu Paslon dalam PSU Nabire nanti yang dianggap sebagai Anak Adat.

"Intinya adalah patut kami berkumpul disini untuk merapatkan barisan dan bersatu kembali, dimana kemarin kita 9 kepala suku belum bersatu, sekarang ini mari merapat, kita satukan barisan demi anak cucu kita ke depan nantinya," ujar Ayub Kowoy.

Pada tempat yang sama, dua perwakilan anak muda pemilik hak datuk tanah adat Nabire, Niko Waray dari Suku Wate dan Mirna Hanebora dari Suku Yeresiam juga menyampaikan bahwa sudah saatnya mereka bersatu kembali untuk mengembalikan hak kesulungan mereka yang selama ini telah dirampas oleh orang lain.

"Harapan saya sebagai anak muda mewakili suku Yerisiam, nanti yang saya harapkan adalah Nabire harus dipimpin oleh anak asli Nabire." ungkap Mirna Hanebora.

Mirna tegas mengatakan bahwa untuk Nabire bisa bangkit, maka itu harus ada anak asli Nabire yang pimpin Nabire. "Untuk itu saya menghimbau dari Goni sampai Kamarisano saya punya kerinduan untuk Nabire adalah mari kita bersatu, sebab sudah 55 Tahun dari Tahun 66 sampai sekarang, kita tidak diberikan kesempatan menjadi pemimpin di Nabire," jelas Mirna.

Dikatakan Mirna bahwa usia 55 Tahun ini usia setengah abad, sehingga waktu sekarang bukan waktu lagi untuk mereka harus di asuh lagi oleh orang. "Tapi kita bangkit dari kegagalan dan kekalahan kita untuk membangkitkan generasi kita maju menjadi seorang pemimpin di tanah kami, Nabire," tutur Mirna

Menutup ulasannya, Mirna menyampaikan bahwa untuk merebut kembali Nabire semua harus mengatur kamar adat Nabire dengan baik ke depannya nanti. "Kita tidak menjadi penonton di tanah ini. Jadi kita harus merubah sistem diatas tanah ini, kita pemainnya," demikian tutup Mirna Hanebora. (Red)

Editor: Tonci Numberi

SUARA.NABIRE - Menyikapi keputusan MK terhadap sengketa Pilbub Nabire, Dandim 1705 Nabire, Letkol Inf. Benny Wahyudi, M.Si., menghimbau kepada seluruh warga kabupaten Nabire agar Keputusan MK bisa dijadikan pelajaran dalam memperbaiki pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sebelumnya, demi melaksanakan PSU ulang yang lebih baik.

Demikian dikatakan Benny selaku Dandim 1705 Nabire pada acara tatap muka dengan PLH Bupati Nabire dalam rangka menyikapi Putusan MK, yang juga diikuti oleh Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), yang berlangsung di Aula Sekertariat Daerah Kabupaten Nabire, pada hari Selasa (23/3/21).

"Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak dalam menjaga situasi Kamtibmas di Kabupaten Nabire, dari proses tahapan Pemilu sampai dengan Putusan MK kemarin dapat berjalan dengan aman dan kondusif," ungkap Benny dalam pertemuan tersebut.

Ditambahkannya, dalam Putusan MK kemarin, merupakan pelajaran bagi semua pihak agar dalam pelaksanaan Pilkada ke depannya tidak terjadi kejadian yang serupa. Sehingga anggaran yang seharusnya dipakai untuk kepentingan lain menjadi dilimpahkan untuk biaya Pemungutan Suara Ulang yang tidak sedikit.

"Mari kita bersama-sama mensosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat, agar bisa memberikan hak suaranya secara langsung, tidak ada lagi masyarakat yang meminta pemilihan secara ikat atau noken. Bagi masyarakat yang tidak memiliki KTP ataupun undangan resmi tidak akan bisa memberikan hak suaranya," demikian tutup Dandim 1705 Nabire, Letkol Inf. Benny Wahyudi, M.Si. (Red)

Editor: M Tekege

SUARA.NABIRE - Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nabire, Muhammad Rizal, SH., MH., mengajak semua pihak, baik aparat negara dan daerah, serta seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Nabire, untuk menyambut putusan MK secara profesional, berintegritas, berhati nurani, dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat nabire diatas segala-galanya.

Demikian ajakan tersebut dikatakan Kajari Nabire dalam acara tatap muka dengan PLH Bupati Nabire yang diikuti oleh Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), yang berlangsung di Aula Sekertariat Daerah Kabupaten Nabire, pada hari Selasa (23/3/21), Pukul 10.00 WIT

"Kita berkumpul terkait telah jatuhnya putusan MK terhadap sengketa Pilkada Kabupaten Nabire. Proses politik lewat ajang Pilkada telah berlangsung. Namun rupanya dilakukan proses hukum atas adanya sikap tidak puas para pihak tertentu yang dilangsungkan di MK. Dan kita tahu putusan telah usai," demikian tutur Kajari Nabire.

Lanjut Kajari, bahwa sifatnya final dan binding (terakhir dan mengikat) selesai, tidak ada upaya hukum lagi. "Dan karenanya kami masyarakat termasuk yang hadir dalam rapat ini semua komitmenkan lagi untuk taat asas dan patuhi hukum dalam hal harus siap laksanakan Putusan MK untuk Pilkada Ulang (PSU)," ungkap Kajari Nabire.

Kajari menambahkan bahwa tentu hal tersebut bukan hal yang mudah dan diluar kebiasaan masyarakat, khususnya di Kabupaten Nabire. "Karena seperti seolah kita memulai lagi dari awal, meskipun pasangan calonnya tidak berubah," ujarnya.

Sehingga melalui kesempatan itu, Kajari Nabire mengajak para Tokoh Adat, Agama dan Pemuka masyarakat, baik yang tergabung dalam Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) maupun di luar, untuk bersama-sama mengamankan Pilkada Ulang di Kabupaten Nabire.

"Ayo sama-sama kita kerja gandeng tangan agar Pilkada Ulang berlangsung aman, lancar, kondusif, dan dengan hasil apapun itu, kita semua doakan semoga itu yang terbaik untuk Kabupaten Nabire," demikian pesan Kajari Nabire, Muhammad Rizal.

Ditegaskannya pula bahwa pihak Kejaksaan Negeri Nabire akan menindak tegas terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan pelanggaran hukum akan diproses hukum.

Namun sebaliknya, Kajari tegaskan bahwa pihak Kejaksaan Negeri Nabire pasti akan mengapresiasi seluruh pihak, siapapun itu yang bertindak taat hukum.

"Terhadap proses penegakan hukum, agar bila cukup bukti sebagaimana ketentuan UU, maka akan diproses lanjut hingga putusan. Namun bila tidak cukup bukti, Tim Gakkumdu harus profesional menyatakan tidak dapat ditindaklanjuti," pungkas Kajari

Terkait hal tersebut, Kajari akan meminta agar Kasi Pidum dan jajarannya untuk efektif memantau proses penanganan kasus yang menjadi domain wewenang Gakkumdu.

"Tim Gakumdu harus profesional, bersikap jujur dan adil (Jurdil), dan sesuai hukum. Jangan sekali-kali ada keberpihakan. Harus jaga netralitas. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa, Aamiin, Terima kasih," demikian dikatakan Kepala Kejaksaan Negeri Nabire, Muhammad Rizal, SH., MH., menutup amanatnya. (Red)

Editor: Ika Putri

SUARA.NABIRE - Daniel Maipon, S.STP., selaku PLH Bupati Kabupaten Nabire, mengingatkan bahwa untuk Pilkada tahun 2020 Pemerintah Daerah sudah mengeluarkan dana sebanyak 56 miliar. Sehingga untuk pelaksanaan PSU, pihaknya akan melakukan intervensi ulang terutama pada DPT.

Demikian hal tersebut diingatkan Daniel pada acara tatap muka dalam rangka menyikapi Putusan MK, yang juga diikuti oleh Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), yang diselenggarakan di Aula Sekertariat Daerah Kabupaten Nabire, pada hari Selasa (23/3/21).

"Kami pemerintah daerah mengeluarkan dana untuk Pilkada tahun 2020 sebanyak 56 miliar. Dan saat ini MK sudah membacakan putusan untuk melakukan pemilihan ulang sehingga kami harus melakukan intervensi ulang terutama pada DPT," demikian dikatakan Daniel dalam acara tersebut.

Daniel juga mengatakan bahwa sesuai hasil kesepakatan bersama tanggal 18 Maret 2021 di Polres Nabire untuk menerima apapun putusan MK dan putusan sudah di bacakan oleh MK pada tanggal 19 Maret 2021 sehingga sampai saat ini situasi masih tetap aman kondusif.

"Pemilihan di Kabupaten Nabire harus secara langsung, tidak sistem Noken, sehingga kami berharap kepada para Tokoh dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat kita," pesannya.

Daniel menambahkan bahwa dirinya akan memerintahkan Dinas Dukcapil untuk tidak menerbitkan KTP yang bukan penduduk asli Nabire, dan siapapun Bupati yang terpilih itu lah pemimpin kita di Kab. Nabire.

Menutup amanatnya, Daniel mewakili Pemda Kabupaten Nabire meminta agar semua pihak bisa membantu untuk menjaga jalannya PSU dengan aman

"Kami Forkompinda mohon dukungan dari Bapak/Ibu untuk membantu mengawal dan menjaga jalannya PSU ini agar tetap aman, apabila ada yang membuat keributan, maka saya akan meminta kepada Bapak Kapolres dan Dandim untuk memproses," tutup Daniel Maipon, S.STP., selaku PLH Bupati Kabupaten Nabire. (Red)

Editor: Yubelince Pekey


SUARA.NABIRE - Komponen Pemuda Merah Putih (KPMP) Provinsi Papua, mendesak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk segera menuntaskan penyelewengan penggunaan dana Otonomi Khusus (Otsus) di Papua oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).

Desakan tersebut dilakukan KPMP dalam aksi damai yang digelar di Taman Yos Sudarso (Imbi), Kota Jayapura, pada hari Rabu (17/03/21).

Dalam aksi tersebut, Ali Kabiay, selaku Ketua KPMP Papua, menyampaikan sekurangnya 10 poin yang menjadi tuntutan KPMP terkait dinamika politik yang terjadi di Provinsi Papua agar pemerintah pusat bisa mengambil langkah tegas demi kesejahteraan masyarakat Papua, karena akan berdampak pada stabilitas keamanan di Papua.

“Ada 10 poin yang kami sampaikan agar diambil langkah yang signifikan dalam menanggapi berbagai isu yang terjadi di Papua saat ini. Terkait tuntutan ini, kami akan teruskan ke Komisi I DPR RI, Kemenko Polhukam, Polda Papua, dan tentunya kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah yaitu DPR Papua,” demikian ungkap Ali dalam orasinya.

Beberapa poin penting dari 10 tuntutan KPMP Papua diantaranya adalah (1) Mendukung keberlangsungan Otsus, (2) Meminta KPK turun tangan atas kasus korupsi di Papua, (3) Mendukung pemekaran provinsi dan (4) Menaikkan status organisasi separatis Papua menjadi bagian dari kelompok teroris, serta (5) menyoroti lingkup Majelis Rakyat Papua (MRP) terkait Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 3 wilayah adat yang dipolitisasi.

“Dinamika yang terjadi di Papua saat ini perlu mendapat perhatian, oleh sebab itu kami atas nama pemuda asli Papua berhak untuk menuntutnya, terutama poin otsus, karena berkaitan langsung dengan kehidupan di masyarakat,” tegas Ali

Terkait dengan kebijakan otsus yang sudah hampir 20 tahun menaungi Papua, KPMP menegaskan bahwa kebijakan tersebut perlu untuk dilanjutkan karena menurutnya upaya tersebut telah berhasil merangsang kemajuan bagi Papua.

Ali juga menegaskan agar pemerintah pusat dapat menindak tegas setiap kelompok yang telah merugikan negara. Hal tersebut diungkapkannya dalam poin penindakan terhadap dugaan kasus korupsi dan eksistensi kelompok spearatis Papua yang mengancam keamanan secara nyata.

“Korupsi di Papua menjadi faktor mengapa daerah selalu dirundung keterbelakangan yang tercermin dari rendahnya kesejahteraan rakyat. Dan kami juga menuntut agar dilakukan upaya tegas kepada kelompok perusuh (kelompok separatis), kalau perlu naikkan statusnya menjadi kelompok teroris,” tegasnya.

Sementara terkait persoalan gerakan separatis Papua, Ali Kabiay mewakili KPMP Papua, meminta secara langsung kepada Komisi I DPR RI untuk menyelesaikannya sebagaimana hal tersebut telah diperkuat dengan pernyataan sikap. (Red)

SUARA.NABIRE - Ketua Bawaslu Kabupaten Nabire, Adriana Sahempa, S.PAK., meminta kepada semua pihak agar nantinya bisa menghormati apapun yang diputuskan oleh MK pada tanggal 19 Maret 2021 nanti terkait sengketa Pilbub kabupaten Nabire.

Hal tersebut dikatakan Adriana dalam acara silahturahmi Coffee Morning yang digelar oleh Polres Nabire yang turut dihadiri Pemerintah Daerah dan unsur Forkopinda, beserta perwakilan masyarakat di Kabupaten Nabire, pada Rabu (17/03/21) yang bertempat di Ruang Birokrasi Polri (RBP) Polres Nabire.

Ditegaskan Adriana bahwa Bawaslu hanya menangani Sengketa Proses yang terjadi dalam tahapan Pilkada, tapi untuk Sengketa Perselisihan Hasil, itu adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Mari kita hormati putusan yang akan direncanakan tanggal 19 Maret 2021 nanti," tutur Adriana ketika diberikan kesempatan untuk berpendapat mewakili pihak Bawaslu Nabire dalam acara tersebut.

Ditambahkan Adriana bahwa penyelenggara tidak luput dari proses apabila menyalahi aturan terbukti dalam sidang DKPP yang salah satunya ada anggota Bawaslu.

"Terkait putusan pengadilan dalam kasus OTT, kami meminta info kelanjutannya kepada kejaksaan," ungkapnya

Menutup penjelasannya, tak lupa Adriana mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung Bawaslu Nabire sehingga bisa melaksanakan tugas dan perannya sebagai Bawaslu dengan aman. (Red)

Editor: M Tekege

SUARA.NABIRE - Ketua KPUD kabupaten Nabire, Wilhelminus Degey, dalam sebuah forum silahturahmi Coffe Morning yang digelar Polres Nabire pada Rabu (17/03/21), mengapresiasi masyarakat Nabire yang hingga saat ini mampu menciptakan situasi aman dan terkendali menjelang pengunguman hasil sengketa Pilbub Nabire oleh MK pada 19 Maret nanti.

"Pada prinsipnya kami mengapresiasi kepada kita-kita semua yang mana penilaian pemerintah pusat bahwa nabire adalah daerah rawan, namun kita bisa lihat sampe saat ini situasi masih aman terkendali," demikian ungkap Natalis

Dikatakan Natalis bahwa situasi yang aman dan terkendali tersebut sesungguhnya menandakan bahwa masyarakat kabupaten Nabire paham demokrasi. "Itu bukti bahwa masyarakat Nabire paham akan Demokrasi," tegasnya.

Dengan kondisi demikian, Natalis menghimbau kepada seluruh warga masyarakat kabupaten Nabire agar terus menjaga kedamaian dan situasi Kamtibmas tersebut di wilayah masing-masing.

"Mari kita hormati dan mendukung keputusan MK yang telah memiliki putusan hukum dan terikat, dan tetap menghimbau kepada masyarakat kita untuk tetap damai dan menjaga SitKamtibmas di wilayah kita," demikian ujar Natalis Degey selaku Ketua KPUD Kabupaten Nabire (Red).

Editor: Yubelince Pekey

SUARA.NABIRE - Menanggapi gencarnya pengiriman pasukan TNI/Polri oleh Pemerintah Indonesia ke Papua, Dr. Socratez Yoman, MA., selaku Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGBWP), menegaskan bahwa "Penguasa Indonesia sedang panik."

Demikian dituliskan Socratez dalam pesannya via Whatsapp kepada redaksi media KOMPAS.PAPUA, pada Rabu (10/03/2021). Dikatakannya pula bahwa penguasa Indonesia adalah kolonial primitif di era modern.

"Kepanikan penguasa Indonesia karena kegagalan diplomasi di tingkat global atau di level internasional," tulis Socratez.

Dalam menghadapi akar persoalan di Papua, Sokratez melihat ada empat kesalahan yang dilakukan Penguasa Indonesia, yakni: (1) Ketidakadilan, (2) Rasisme, (3) Kekerasan negara dan operasi militer menyebabkan pelanggaran berat HAM, dan (4) Persoalan status politik dalam wilayah Indonesia.

"Kepanikan dikalangan penguasa Indonesia karena tekanan solidaritas kemanusiaan dan dukungan moral dari komunitas internasional, maka penguasa Indonesia mengirim pasukan dalam jumlah besar ke West Papua untuk menekan orang asli Papua," ungkapnya.

Kendati demikian, menurut Socratez yang juga merupakan Pendiri serta Pengurus Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC) ini mengatakan, walaupun ada tekanan dari kekuatan TNI-Polri, bagi rakyat dan bangsa West Papua telah memenangkan diplomasi internasional melalui wadah politik resmi ULMWP.

"Persoalan ketidakadilan, rasisme, pelanggaran berat HAM sudah menjadi persoalan yang berdimensi Internasional dan tidak lagi masalah internal Indonesia," tegasnya.

Menutup ulasannya, Sokratez mengusulkan solusi yang harus dilakukan, yaitu Pemerintah RI bersama ULMWP duduk dalam meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Seperti contohnya RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 200. (Red)

Mungkin benar kutipan syair lagu yang pernah didendangkan Doddie Latuharhary, bahwa: “Tanah Papua, tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi”, dan bla, bla, bla. Benar pula, jika dikatakan: “tanah Papua.. adalah harta harapan... “.

Namun rasanya tidak benar, jika merdunya syair lagu itu diletakkan pada alam realitas yang sesungguhnya, karena petikan syair lagu itu hanya menjadi bagian cerita MOB dalam kisah sang Abunawas.

Sebelum saya memulai lebih jauh goresan ini, perkenankanlah saya mengungkapkan rasa cinta dan sayang saya terhadap tanah Papua.

Ya, saya memang bukan Orang Asli Papua (non-OAP). Tapi saya dibesarkan di tanah Papua. Bahkan orang tua saya sudah mengabdikan dirinya untuk mendidik masyarakat di pedalaman Papua sejak akhir Tahun 60 an.

Dan jujur, saya cinta tanah Papua. Di tanah inilah saya mengenal tentang Kehidupan. Tentang kebaikan, dan tentang keluhuran hidup. Itu sebabnya sebagai rasa cinta saya terhadap tanah Papua, saya ingin mengungkapkannya melalui tulisan ini.

Mari kita mulai goresan ini...

Bahwa secara teoritis, boleh dibilang pemerintah Indonesia memang sudah melakukan perubahan di tanah Papua sejak zaman Orde Baru hingga saat ini. Namun secara praksis, sungguh perubahan-perubahan yang dimaksud itu justru melahirkan hal-hal muskil yang tak kunjung berakhir.

Dalam bidang politik misalnya, bukan hal baru lagi jika sampai detik ini, sebagian masyarakat asli Papua masih mempertanyakan legitimasi kekuasaan Indonesia atasnya. Bahkan terkesan pemerintah menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua. Akhirnya muncullah tuntutan masyarakat Papua untuk meminta secercah keadilan melalui apa yang disebut dengan “referendum”.

Permasalahan lainnya adalah soal sumber daya alam, dimana sumber daya alam Papua kerapkali digerogoti terutama perusahaan bisnis dari luar Papua, yang sebenarnya justru tidak memberi sumbangan nyata bagi perkembangan Papua secara utuh dan menyeluruh.

Seharusnya, kerja sama yang adil dan sistematik antara pemerintah Indonesia, masyarakat Papua, dan komunitas Internasional, sekiranya bisa menyelesaikan konflik multidimensional yang terjadi selama ini di Papua.

Persoalan pembangunan juga masih menyisahkan rekam jejak yang sangat bias, karena sepertinya pemerintah pusat masih parsial dalam menyelesaikan persoalan melalui percepatan pembangunan di bumi Cenderawasih, Papua.

Ya, semua persoalan di Papua sebenarnya harus disentuh secara simultan mengingat persoalan satu dengan persoalan lainnya memiliki keterkaitan. Pendekatan pembangunan misalnya, hal ini memang penting bagi orang Papua, tetapi ada persoalan lainnya yang tidak bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan ini.

[next]

Contoh sederhana adalah persoalan HAM. Persoalan ini tidak bisa dipandang hanya sekedar persoalan ‘kekerasan’ saja. Tetapi jauh daripada itu, bahwa persoalan ini berhubungan dengan tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat Papua, seperti: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Munculnya diskriminasi dan marjinalisasi misalnya, hal ini tidak bisa dikaitkan hanya sebatas aspek ekonomi semata, tetapi harus pula bersinggungan dengan aspek sosial, budaya, dan politik.

Pendekatan Militeristik Menihilkan Kemanusiaan
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto, pendekatan militeristik seharusnya menjadi catatan penting mengingat kerap terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM di tanah Papua. Sehingga hampir sebagain besar orang Papua masih menyimpan trauma dan memori buruk atas pendekatan militer yang terjadi hingga saat ini.

Pendekatan militeristik sebenarnya akan menciptakan ketakutan, teror, konflik, bahkan pertumpahan darah di berbagai tempat. Dan ini sungguh bertentangan dengan nurani Orang Asli Papua (OAP) yang sungguh merindukan kemurnian identitas mereka yang jauh dari kekerasan dan genjatan senjata.

Dan bukan tidak mungkin, dengan Pendekatan militeristik ini, orang asli Papua semakin hidup dalam delusi berkepanjanjangan. Sehingga mereka hanya ingin hidup dan bergaul dengan orang-orang yang satu identitas.

Akhirnya, sikap tertutup ini merusak keutuhan bangsa Indonesia. Sikap ini pula yang akhirnya melukai kehidupan bersama, dan mengundang pertikaian tanpa jedah di bumi Papua tercinta.

Akibatnya, timbullah pemberontakan sepihak dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang terus merongrong keutuhan berbangsa dan bernegara.

Seharusnya persoalan KKB tidak bisa diselesaikan dengan intervensi –intervensi Pemerintah melalui pendekatan militer. Persoalan ini setidaknya bisa diselesaikan melalui kewenangan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Artinya, pendekatan kultural dan kemanusiaan harus diutamakan demi menangani permasalahan KKB di Papua, tanpa menghilangkan pendekatan aspek lain, sehingga tidak bersinggungan dengan kekerasan dan menihilkan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Sebagaimana kisah dalam novel terkenal yang pertama kalinya mencetuskan terminologi 'nihilisme', yakni dalam karya Ivan Turgenev, berjudul: Fathers and Souns (1862).

Dalam novel itu dikisahkan sikap salah seorang tokoh yang menegasi tradisi atau kepercayaan secara total sebagai ‘nihilisme’. Dan sikap ini bukanlah suatu sikap acuh tak acuh, tetapi lebih kepada sikap penolakan, peniadaan, dan penghancuran—seperti yang tampak pada pemberontakan KKB di bumi Papua.

[next]

Seharusnya benar, seperti apa yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (1860-1873) dalam karyanya yang sangat terkenal, “On Liberty”.

Disitu Mill menulis bahwa “Segala yang menjadikan eksistensi, menjadi berharga bagi setiap orang yang bergantung pada penegakkan pengendalian tindakan-tindakan orang lain“ (John Stuart Mill, On Liberty, 130). Mill sebenarnya ingin menyatakan disini bahwa apabila kebebasan rakyat ditekan secara penuh, maka sebagian besar diantara mereka akan memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan itu untuk mengesploitasi orang lain.

Sekali lagi, pemerintah harus arif melihat persoalan ini. Pemerintah harus kembali mengedepankan kemanusiaan melalui kearifan lokal.

Sebab sesungguhnya permasalahan yang terjadi di Papua bukan hanya berhenti pada soal bagaimana menghentikan hal-hal yang tidak kita inginkan saja, tetapi harus menghasilkan hal-hal baru yang kita inginkan bersama. Inilah urgensi dalam menyelesaikan konflik yang terus bergulir di tanah Papua.

Perubahan yang Tidak berubah
Sampai detik ini, “perubahan” adalah hal terindah yang sangat didambakan oleh semua kalangan yang hidup di tanah Papua. Namun bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, beragam ancaman terhadap perubahan justru semakin bergulir hingga menuntut masyarakat untuk segera beradaptasi dengannya. Jika tidak, ancaman tergilas oleh perubahan itu semakin kuat dan terbuka.

Perubahan di semua lini kehidupan memang menjadi kata kunci yang sakti bagi masyarakat Papua. Apalagi di saat era inovasi disrupsi yang terjadi saat ini. Tentu membuat perubahan menjadi formula baru, khususnya bagi upaya masyarakat Papua untuk terus mempertahankan diri.

Namun sesungguhnya, berubah dan perubahan bisa mengarah pada kondisi negatif maupun positif. Perubahan sejatinya adalah self defence mechanism alamiah dari kemampuan beradaptasi manusia. Artinya, perubahan menuntut masyarakat Papua menciptakan era baru yang sangat berbeda dari sebelumnya.

[next]

Bagaimana sebenarnya perubahan itu bisa terjadi dan sejauh mana akan berdampak pada kehidupan masyarakat Papua?

Dalam petikan pidato terakhir CEO Nokia, Jorma Ollila, pernah mengatakan: "kita tidak melakukan suatu kesalahan, tetapi entah mengapa kami kalah". Jika dikaitkan dengan perubahan, sungguh kalimat ini mengingatkan bahwa perubahan kerapkali luput dalam penglihatan, namun dampaknya fatal dirasakan.

Ya, sudah begitu banyak teriakan dan slogan-slogan perubahan di tanah Papua yang masih terus dikumandangkan hingga detik ini. Bahkan dalam derajad tertentu, kebijakan Pemerintah Pusat maupun Daerah juga sudah dikeluarkan demi menghadirkan perubahan di bumi Papua.

Namun justru bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, keamanan dan kenyamanan hidup pun semakin mencekam.

Lalu, kapan perubahan akan terjadi di tanah Papua? Tentu kita tidak dapat memproyeksikan hal tersebut dengan presisi, tetapi kondisi dan situasi atas perubahan dapat dirasakan.

Bagaimana sebuah perubahan dapat dirasakan? Secara nyata, bentuk fisik perubahan mungkin bisa jadi tidak nampak, tetapi lingkungan dan ekosistem bisa berubah setiap saat.

Itu sebabnya pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk memutus rantai yang sampai saat ini terus memicu lahirnya persoalan baru, seperti: ketidakadilan, pelanggaran HAM, politik dan ekonomi.

Berbagai pelanggaran HAM setidaknya harus kembali diselidiki. Korban dan keluarga korban perlu mendapatkan kompensasi dan keadilan selayak-layaknya. Bahkan pelaku perlu ditemukan dan dihukum sesuai aturan maupun rasa keadilan masyarakat Papua.

Pemerintah maupun perusahaan yang ada di Papua mungkin sulit untuk bersikap adil dalam hal ini. Maka dari itu, kerja sama dengan berbagai lembaga internasional kiranya juga diperlukan.

Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang sulit diungkapkan selama ini, setidaknya bisa melibatkan komunitas internasional dalam memainkan peranan agar membantu menguraikan konflik dan mencari jalan keluar, yakni "damai".

Itu semua tentu tak berguna tanpa kehendak baik, sekaligus kebijakan yang jernih dari pemerintah pusat. Tanpa upaya ini, maka Papua akan terus bergejolak.

Pendekatan militer harus pula dibatasi. Sebab dalam banyak kasus, pendekatan militer justru memperburuk keadaan. Masyarakat menjadi agresif dan reaksioner ketika dihadapkan dengan pendekatan militer ini.

Dalam segala persoalan, dialog adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah. Jalur hukum bisa ditempuh jika jalan dialog mengalami kebuntuan.

Dalam hal lainnya, pemerintah dan perusahaan yang beroperasi selama ini di tanah Papua, sebaiknya tidak memberikan janji-janji muluk pada masyarakat Papua.


Untuk mencapai kesepakatan dengan masyarakat lokal, seringkali pemerintah maupun pebisnis membuat beragam janji. Ketika akhirnya sulit terpenuhi, maka timbul kecewa dalam diri masyarakat. Dan perlu dipahami bahwa dalam jangka panjang, kekecewaan ini bisa menjadi dendam yang merupakan tempat subur untuk munculnya konflik.

Sekali lagi, jantung persoalan politik dan sumber daya yang mengemuka selama ini di Papua adalah menyangkut persoalan keadilan! Di tanah yang kaya ini, begitu banyak orang Papua hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara non OAP semakin menggeliat tak beraturan hingga mencapai kondisi kemakmuran diluar batas-batas akal sehat.

Allah Ninarum, wa..waa
Wassalam..Hormat di bri

Oleh: Abdy Bushan, S.Pd., M.Pd., M.Fil
(Penulis adalah dosen Uswim Nabire dan Aktivis Pendidikan)

SUARA.NABIRE l Menanggapi pernyataan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang tidak menutup akses ke Papua, dan dianggap melanggar pencegahan penyebaran virus corona, Dr. Socratez Yoman, MA., Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, mengecam keras dengan menulis surat protes terbuka kepada Mendagri. Berikut isi suratnya


Surat Terbuka

Perihal: Penguasa Indonesia Sedang Melepaskan Papua Dengan Jalan Melawan Undang-Undang Republik Indonesia

Kepada Yang Terhormat,
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Bapak Haji Dr. Tito Karnavian
Di Jakarta

Shalom!
Terima salam hangat saya dari Tanah Papua, Tanah konflik berdarah terlama atau terpanjang dalam sejarah negara-negara Asia dan Pasifik.

Saya melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh bapak sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia untuk penyelesaian persoalan konflik terlama dan berdarah-darah di Papua sejak 1 Mei 1963 yang sudah memasuki lima dekade lebih ini sangat berpotensi besar untuk disintegrasi sosial dan sekaligus disintegrasi bangsa. Sebab pendekatan penyelesaian persoalan konflik menahun (kronis) ini dengan keras dan inkonstitusional. Pendekatan yang dilakukan dengan paradigma lama yang sudah tidak relevan dengan dinamika teknologi dan informasi sekarang ini.

Menurut pemahaman saya, bahwa para penguasa Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya sedang melepaskan Papua dari wilayah Indonesia dengan melawan undang-undang Negara Republik Indonesia. Penguasa Indonesia sedang memotong tali perekat atau tali yang memegang Papua dalam wilayah Indonesia.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua adalah solusi politik, yaitu win win solution karena tuntutan Papua Merdeka dari seluruh rakyat Papua. Indonesia didukung penuh dan kuat oleh Negara-Negara Uni Eropa, Amerika, Australia, Selandia Baru, Negara-Negara Afrika dan juga Negara-Negara Asia dan Pasifik atas undang-undang Otsus.

Pada 2001, saya pernah menemani rombongan pemerintah dari Negara-Negara Uni Eropa ke Wamena dan ke Piramit. Pada waktu kami kembali bersama rombongan dari Piramit ke Wamena, dalam perjalanan, saya berbicara kepada Ketua Delegasi Ambassador De LaMato, bahwa orang asli Papua hampir 99% bahkan 100% menuntut merdeka keluar dari Indonesia. Jawaban yang diberikan kepada saya ialah "kami mendukung Otonomi Khusus dan mendukung Indonesia."

Dalam hal ini, rakyat Papua melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau lewat Dewan Gereja Papua, (WPCC), Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Dewan Gereja Dunia (WCC) berhak pertanyakan komitmen pemerintah Negara-Negara Uni Eropa yang mendukung Otonomi Khusus Papua.

Apakah Negara-Negara Anggota Uni Eropa masih mendukung Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001? Apakah Negara-Negara Anggota Uni Eropa mendukung kegagalan Otonomi Khusus Papua? Apakah Negara-Negara anggota Uni Eropa masih mendukung pemekaran provinsi-provinsi baru tanpa penduduk yang memadai dengan dana-dana pinjaman dari mereka?

Yang mulia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, bapak Tito Karnavian, kami mengerti bahwa Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 itu persoalan yang berdimensi GLOBAL atau INTERNASIONAL bukan hanya persoalan internal Indonesia. Undang-undang Otsus ini sangat berkaitan erat dengan persoalan martabat kemanusiaan orang asli Papua yang mengandung nilai-nilai universal yang tidak dibatasi dengan pemahaman kedaulatan negara dan bangsa yang sempit dan kerdil.

Perubahan Pasal-Pasal Undang-undang Otsus yang sudah membahayakan keutuhan negara Indonesia sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat 2 tentang Bendera sebagai lambang daerah dihapus dan dihilangkan;

2. Pasal 46 ayat 1 dan 2 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) telah dihapus dan dihilangkan;

3. Pasal 76 dan 77 tentang pemekaran provinsi dan evaluasi Otonomi Khusus juga dihapus dan diambil alih oleh pemerintah pusat.

Logika konstitusionalnya ialah Pemerintah Republik Indonesia sudah melepaskan Papua dari wilayah Indonesia dan rakyat Papua berhak mengatur pemerintahannya sendiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Alasannya? Pasal-Pasal krusial dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 2, Pasal 46, Pasal 76 dan Pasal 77 sebagai tali perekat atau tali yang memegang atau tali yang mengikat Papua dalam wilayah Indinesia itu sudah dilepaskan oleh penguasa Indonesia.

Yang terhormat Menteri Dalam Negeri, perlu diketahui bahwa Indonesia telah gagal di Papua dengan tiga kali experimen, sebagai berikut:

1. Indonesia telah gagal dengan experimen pada Pepera 1969. Karena Pepera 1969 dimenangkan ABRI dengan moncong senjata. Peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dari 1.025 orang dipaksa dengan moncong senjata untuk menyatakan tinggal dengan Indonesia.

Contohnya: Jenderal Ali Murtopo mengatakan kepada peserta Pepera pada 2 Agustus 1969 di Jayapura, sebagai berikut:

“Kalau mau merdeka sebaiknya tanyakan pada Tuhan apakah dia bisa berbaik hati membesarkan pulau di tengah Samudra Pasifik supaya bisa bermigrasi ke sana. Bisa juga tulis orang Amerika. Mereka sudah menginjakkan kaki di bulan, mungkin mereka akan bersedia menyediakan tempat untuk Anda di sana. Anda yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir lagi, karena jika Anda melakukannya, murka rakyat Indonesia akan menimpa Anda. Lidah Anda pasti akan dipotong dan mulut jahat Anda akan digoyak. Lalu aku, Jenderal Ali Murtopo, akan masuk dan menembakmu di tempat "(Sumber: SEE NO EVIL: New Zealand's Betrayal of the people of West Papua: Maire Leadbeater: 2018: 154)

2. Indonesia telah gagal dengan experimen Otonomi Khusus 2001 karena Pasal-Pasal Krusial UU Otsus sudah dihapus dan dihilangkan

3. Indonesia telah gagal dengan experimen UP4B. Pada tanggal 20 September 2011, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa untuk melaksanakan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dibentuk UP4B.

UP4B adalah akal-akalan dari penguasa kolonial Indonesia pada saat PBB menyatakan kegagalan Otonomi Khusus. Beberapa Negara dalam sidang umum PBB mempersoalkan kegagalan Otonomi Khusus dan pelanggaran berat HAM. Penguasa kolonial Indonesia yang dihuni oleh para pemimpin paranoid and hypocrisy ini membohongi komunitas internasional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2011 tentang UP4B.

Dari kegagalan demi kegagalan ini, penguasa Indonesia masih menggunakan pendekatan lama dengan experimen yang keempat, yaitu Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dengan gigih berjuang untuk pemekaran-pemekaran provinsi baru tanpa penduduk yang memadai, sumber daya manusia, sumber daya dana.

Akhir dari surat ini, saya sampaikan Indonesia segera menjawab 18 pertanyaan dari PBB dan menyelesaikan 4 akar persoalan Papua yang sudah ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Indonesia menjelaskan beberapa hal terkait dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam dua tahun terakhir. Permintaan ini disebutkan dalam dokumen CCPR/C/IDN/QPR/2 tentang List of issues prior to submission of the second periodic report of Indonesia.

“Indonesia diharapkan menjawab pertanyaan yang ada dalam List of issues prior to submission of the second periodic report satu tahun setelah diterbitkannya list tersebut,” tulis perwakilan Komisi HAM PBB di Jenewa, Swiss" (Sumber Jubi: Sabtu (29/8/2020).

List of issues prior to submission of the second periodic report of Indonesia itu diterbitkan tanggal 6 Agustus 2020.

Berikut 18 isu tentang Papua dalam dokumen tersebut :

1. Perdasus No. 1/2011 tentang Hak Perempuan Papua untuk korban kekerasan dan pelanggaran HAM

2. Pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, termasuk informasi tentang jumlah korban berdasarkan etnis,khususnya Orang Asli Papua

3. Program reparasi untuk keluarga korban dan status hukum terakhir dari kasus Paniai (2014),Wasior (2001) dan Wamena (2003).

4. Langkah-langkah yang diambil untuk membentuk mekanisme independen untuk memastikan pertanggungjawaban atas tuduhan perlakuan buruk oleh penegak hukum dan petugas keamanan dari orang-orang yang ditahan

5. Langkah-langkah yang diambil untuk melindungi pengungsi, pencari suaka dan pengungsi internal, termasuk mereka yang mengungsi karena konflik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Termasuk dalam hal ini adalah : (a) langkah-langkah yang diambil untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap refoulement dan menetapkan prosedur penentuan status pengungsi; (b) data statistik tentang orang-orang yang mengungsi dan kondisi kehidupan mereka serta rencana untuk memantau dan membantu kepulangan mereka; dan (c) tindakan yang diambil untuk mencegah penyebaran COVID-19 di antara mereka.

6. Harap berikan informasi tentang upaya yang dilakukan untuk memastikan akses ke pengadilan, independensi peradilan dan peradilan yang adil

7. Semakin banyaknya kendala yang terjadi dalam konteks debat akademik, keterlibatan politik atau kegiatan serupa, termasuk pelarangan topik penelitian tertentu di perguruan tinggi, seperti isu yang berkaitan dengan Papua,

8. Dugaan pembatasan akses jurnalis asing ke Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk informasi tentang upaya untuk menjamin dan mempromosikan kebebasan pers;

9. Kekhawatiran bahwa kriminalisasi pencemaran nama baik dan penerapan sewenang-wenang ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUHP, termasuk tentang makar, informasi hoax, dan hasutan permusuhan, digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.

10. Pemadaman sebagian internet di Provinsi Papua dan Papua Barat pada bulan Agustus dan September 2019.

11. Kekhawatiran bahwa pasal 106 dan 110 KUHP digunakan untuk membatasi ekspresi yang sah dari hak berkumpul secara damai;

12. Kekhawatiran bahwa polisi tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan sebagai tanggapan atas surat pemberitahuan demonstrasi yang disampaikan oleh penyelenggara protes dan menggunakan tidak diterbitkannya surat pemberitahuna ini untuk membatasi pelaksanaan hak berkumpul secara damai, khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat;

13. Penggunaan kekuatan yang berlebihan untuk membubarkan demosntrasi damai, termasuk protes pada bulan Agustus dan September 2019 di Suyabaya, Malang dan kota-kota di seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat serta dalam protes pasca pemilihan pada Mei 2019

14. Penjelasan tentang tata cara pembentukan partai politik lokal di Provinsi Papua dan Papua Barat terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

15. Informasi tentang kesesuaian dengan Kovenan hukum dan tindakan lain yang diambil sehubungan dengan seruan untuk referendum dan penentuan nasib sendiri di Papua dan protes tanpa kekerasan yang menganjurkan alasan yang sama, termasuk tentang penggunaan kejahatan makar (makar) di bawah pasal 106 dan 110 KUHP.

16. Informasi mengenai laporan yang menuduh bahwa milisi dan kelompok nasionalis telah secara aktif terlibat dalam tindakan kekerasan di provinsi Papua dan Papua Barat serta tindakan yang diambil oleh pihak berwenang untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia semacam itu.

17. Langkah-langkah yang diambil untuk mencegah dan memberantas diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua oleh aktor non-negara dan lembaga pemerintah, termasuk polisi, militer dan lembaga peradilan pidana.

18. Data demografi dan sensus yang dipilah berdasarkan latar belakang adat / etnis untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dan rencana untuk menerbitkan hasil sensus 2020.

Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

"Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua" (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Solusi persoalan Papua yang lebih bermartabat ialah Menteri Dalam Negeri mendukung pernyataan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 untuk bertemu dengan Kelompok Pro-Refrendum untuk menemukan jalan penyelesaian yang lebih bermatabat dan berprospek keadilan dan kedamaian ialah Pemerintah RI dengan Benny Wenda Ketua ULMWP untuk duduk setara dan berunding tanpa syarat dimediasi pihak ketiga yang netral seperti contoh Pemerintah RI menjadikan GAM Aceh sebagai mitra dialog damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.

Demikian surat terbuka ini. Terima kasih. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, 
Minggu, 14 Februari 2021
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP),
Dr. Socratez Yoman, MA
Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
Anggota Resmi: Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).

Sesungguhnya dalam konstitusi Indonesia, hanya ada satu nomenklatur yang digunakan untuk menyatakan kesamaan dan kesetaraan, yaitu “warga negara” Indonesia. Artinya bahwa apapun bentuk status dan kedudukan sosial serta latarbelakang suku, agama, ras dan lain sebagainya, yang dimiliki oleh seseorang, maka kedudukannya sebagai warga negara juga “setara” dengan kedudukan orang-orang lain yang berada disekitarnya.

Fakta ini ingin menegaskan bahwa konstitusi negara kita tidak mengakui adanya penempatan atau pengelompokan perbedaan ukuran dalam jumlah takaran-takaran seperti: besar-kecil, tinggi-pendek, hitam-putih, bahkan mayoritas-minoritas.

Namun pemahaman akan kesetaraan warga negara ini, sepertinya selalu menjadi jajanan menggiurkan bagi segelintir elit politik dalam gelaran pesta demokrasi di republik kita tercinta. Sebut saja jargon-jargon kampanye yang berbunyi “larangan” memilih pemimpin dari kalangan agama minoritas, atau dari suku di luar daerah tertentu, dan lain sebagainya. Tentunya fenomena “mayoritas-minoritas” ini sudah menjadi konsumsi melezatkan yang sejak lama selalu mewarnai semua jalannya pesta demokrasi di negara tercinta kita, Indonesia.

Karenanya maka jika harus mengatakan secara jujur dan apa adanya, istilah mayoritas-minoritas ini adalah sebuah pemahaman politik. Hal ini hanya bisa ditemukan melalui Pemilu dalam pesta demokrasi. Misalnya, sekarang ini PDI-P adalah mayoritas. Tetapi di lain waktu bisa saja partai lain yang menjadi mayoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Dikotomi
Dengan terus-menerus menonjolkan dikotomi dari istilah mayoritas-minoritas, maka secara tidak langsung, penduduk di sekat-sekat menurut ras, suku, agama, dll. Ini adalah sesuatu yang apartheid, dan karena itu tidak sehat dalam interaksi sebagai warga negara.

Kita semua dilindungi oleh konstitusi. Bukan yang mayoritas melindungi yang disebut minoritas. Sudah tentu jika kita makin dewasa di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita semua akan tenggang rasa satu sama lain.

Tetapi tenggang rasa saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan sosial. Hal utama yang seharusnya dipahami adalah, bahwa pengertian minoritas-mayoritas itu relatif-subjektif. Misalnya saja di daerah A kelompok Anda bisa mayoritas, tetapi di daerah B bisa saja kelompok Anda menjadi minoritas.

Itulah persisnya konstelasi Indonesia. Seseorang yang beragama Kristiani sudah tentu menjadi mayoritas di Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi ia tentu akan menjadi kelompok minoritas di pulau Jawa. Sebaliknya, mereka yang beragama Islam akan menjadi mayoritas di Jawa, tetapi di NTT dan Papua mereka akan menjadi minoritas.

Hal lainnya bahwa pemahaman minoritas-mayoritas tidak hanya bisa terpaku pada jumlah penduduk saja, melainkan juga pada luas wilayah dan sumbangannya bagi bangsa ini dari segi hasil bumi dan kekayaan. Maka dalam hal ini Papua adalah mayoritas, sedangkan Jawa bisa saja minoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Negara
Berbicara soal “mayoritas” dan “minoritas”, hanya terdapat satu pertanyaan menggelitik yang dapat dijadikan rujukan untuk lebih dalam memahami hubungan dari keduanya.

Pertanyaannya, bagaimana memadukan antara kepentingan mayoritas yang sekaligus juga dapat melindungi hak-hak minoritas? Atau dengan meminjam istilah teoriawan politik dan sosial asal Norwegia, Jon Elster (1993), bahwa bagaimana kita membangun keseimbangan antara majority rule dan individual rights?

Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah. Persoalan relasi mayoritas dan minoritas tidak cukup hanya berkutat pada salah satu diantara keduanya saja. Ia melibatkan dua hal penting, yaitu kesiapan kultur mayoritas sebagai subyek utama dan konstitusi negara.

Dalam negara demokrasi, istilah mayoritas dan minoritas seharusnya tidak ada. Namun antara ada dan tiada, maka ia selalu ada sebagaimana adanya!

Ya, hampir setiap hari di medan merdeka ini, selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas ini. Esensinya adalah agar mayoritas melakukan toleransi dan perlindungan terhadap minoritas, atau seruan bernada propokatif seperti pemusnahan dan pengkerdilan hak-hak kaum minoritas, dll.

Mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua bentuk. Ada mayoritas dan minoritas yang di lihat dari jumlah, ada mayoritas dan minoritas dari segi potensi dan peranan di Indonesia.

Biasanya jika menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi, maka artinya adalah pribumi. Sedangkan ditinjau dari segi keagamaan, maka yang dimaksudkan adalah umat Islam. Dan selebihnya dari itu disebut minoritas.

Sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan adat istiadat, ragam kelompok minoritas di Indonesia dengan sendirinya juga beragam. Ada minoritas etnis, minoritas ras, minoritas agama, dsb. Bahkan di dalam kelompok agama sendiri, ada minoritas aliran atau madzhab, minoritas penganut kepercayaan, dan lain-lain.

Dari sekian banyaknya kelompok minoritas seperti disebutkan sebelumnya, keberadaan jenis minoritas agama adalah yang paling problematik, terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan keyakinan. masing-masing.

Dalam bentangan lingkaran sejarah bangsa dan negara Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok minoritas sering mendapat perlakuan diskriminasi yang tidak adil. Meskipun secara konstitusional negara Indonesia memberi jaminan terhadap keberadaan kelompok minoritas. Tapi faktanya banyak kelompok yang tidak bebas dan bisa leluasa mengamalkan dan mengembangkan asas-asas agama dan keyakinan yang diyakininya.

Hingga hari ini, sejumlah tindakan penindasan dan kekerasan terhadap aktivitas beragama masih terus saja menghiasi wajah bopeng akibat benturan kaum mayoritas dan minoritas di medan merdeka ini. Ironisnya, munculnya perlakuan diskriminatif ini justru digerakkan oleh para Pemuka Agama yang notabene merupakan figura yang harus diguguhi dan diteladani. Tapi malah justru mendakwah kepada segelintir kelompok-kelompok mayoritas untuk memusuhi dan meminggirkan kelompok minoritas.

Perlakuan seperti ini terjadi dalam beberapa wujud seperti: klaim penyesatan dengan sebutan "kafir" terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan lain, penutupan tempat-tempat ibadah, larangan mengembangkan dan mendakwahkan keyakinan, hingga pembatasan hak-hak politik dan akses ekonomi, dan lain sebagainya.

Salah satu kelompok minoritas yang akhir-akhir ini sering mengalami perlakuan diskriminatif dan kerap menjadi sasaran amuk masa kaum mayoritas adalah umat Kristiani. Di berbagai titik di Indonesia, keberadaan umat Kristiani memang terus terancam. Bukan hanya tidak bisa mengamalkan keyakinannya, umat Kristen tak sedikit yang terpaksa kehilangan harta, tempat tinggal dan sarana ibadah, bahkan nyawanya.

Harus dipahami, bahwa negara Indonesia bukan negara agama mayoritas, negara tidak mengakui salah satu agama mayoritas sebagai satu-satunya negara resmi. Indonesia juga bukanlah sebuah negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada falsafah Pancasila.

Semua ajaran agama dengan masing-masing pemeluknya, harus diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan dan diutamakan di republik ini. Karena itu, pemisahan urusan negara dengan urusan agama tidak otomatis akan menjadikan negara sebagai negara sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara dalam mengurus agama, juga tidak otomatis menjadikan negara sebagai sebuah negara agama.

Diskriminasi Oleh Mayoritas
Kehidupan berbangsa saat ini memang teramat sulit memaknai “kerukunan” dalam artinya yang sebenarnya. Seharusnya hidup dalam kerukunan dengan aneka macam perbedaan suku, budaya dan agama, adalah sesuatu yang indah. Sebab antara mayoritas dan minoritas bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Meminjam Yewangoe (2011:32) bahwa, kerukunan tentu saja bukan masalah praksis semata-mata. Ia juga merupakan ungkapan dari keyakinan dan iman seseorang. Artinya, dengan mengimani dasar agamanya masing-masing, maka dalam praktik hidup berbangsa, kaum mayoritas dan kaum minoritas bisa saling menghargai, dan jauh dari kecurigaan dan diskriminasi yang berkepanjangan, sehingga terbentuklah kerukunan.

Namun sangat disayangkan, perlakuan diskriminatif sering dirasakan pemeluk agama minoritas (agama Kristen) di republik tercinta ini. Ini ditandai dengan maraknya perlakuan-perlakuan diskriminasi yang tentunya dilakukan agama mayoritas.

Beberapa diantaranya seperti disebutkan sebelumnya bahwa munculnya pemuka agama yang mendiskriminasi pemeluk agama lain dengan sebutan kafir, pembubaran ibadah umat, juga tragedi pemboman tempat-tempat ibadah, serta tindakan pelarangan dan pendirian, sekaligus penutupan rumah-rumah ibadah. Seperti nyata terlihat dalam kasus-kasus pemboman Gereja di Samarinda, pembubaran Ibadah di Sabuga Bandung pada tahun 2016 misalnya.

Tempat beribadah, memang salah satu tempat favorit yang menjadi sasaran amarah mayoritas. Dalam banyak kasus penutupan serta kasus penyegelan tempat ibadah, terkadang merembet pula kepada fasilitas lainnya, misalnya sekolah, sekretariat yayasan yang dianggap memiliki afiliasi terhadap agama tertentu, dll.

Tempat beribadah umat minoritas Kristen adalah yang paling sering mendapatkan perlakuan semacam ini. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mulai dari alasan izin pendirian tempat ibadah yang dinilai belum lengkap, ketiadaan persetujuan warga sekitar atas keberadaan tempat tersebut, hingga alasan lain seperti menganggu ketertiban umum. Alasan-alasan seperti ini justru tidak beralasan.

Munculnya ketegangan relasi antara mayoritas dan minoritas, sebenarnya terkait dengan pergeseran orientasi masyarakat dalam menyikapi perbedaan saja. Perbedaan masih dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Hal ini sebetulnya tidak lepas dari “politik penyeragaman” atau “politik homogenisasi” yang efektif dijalankan pada rezim Orde Baru (Orba), yaitu dengan sebisanya aneka perbedaan ditekan seminimal mungkin, dan dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan lagi.

Politik SARA, adalah politik Orde Baru yang sangat efektif dalam menutup rapat perbincangan mengenai ‘perbedaan’ di masyarakat. Maka ketika rezim yang berkuasa tumbang, akhirnya masyarakat pun kurang siap mendialogkan dan mengelola perbedaan tersebut. Akibatnya, di sana-sini muncul keterkejutan berjamaah atas keragaman yang sejatinya telah ada sejak lama di sekitar mereka.

Mayoritas Islamisme
Munculnya penguatan identitas keagamaan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini, juga menandai bangkitnya apa yang oleh Oliver Roy (1996, 2004) sebutkan sebagai “Islamisme”, yaitu sebuah gerakan yang kembali menguat terutama di daerah Timur Tengah dan yang segera meluas ke seluruh penjuru wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Ada dua jenis atau tipe Islamisme: moderat dan liberal. Kelompok pertama, mengupayakan dan membela posisi Islam politik yang reformis. Sementara yang kedua, getol menggunakan cara-cara revolusioner untuk bisa menggulingkan rezim yang berkuasa dan menggantikan ideologi negara dengan ideologi Islam.

Bagi kelompok Islamis, lewat jalur aksi sosial dan politik secara bersamaan, masyarakat dapat diislamkan. Di negara Indonesia, jumlah kelompok ini terbilang kecil dibandingkan kelompok Muslim kultural. Tetapi militansi dan kreativitas dari aktivisnya dalam mengemas program serta kekuatan jaringan yang dimiliki, menjadikan kelompok Islamis sebagai sebuah kelompok gerakan keagamaan yang tak bisa diremehkan.

Sementara organisasi keagamaan yang tergolong lebih moderat, seperti misalnya NU dan Muhammadiyah, terkadang disibukkan pula oleh urusan internal organisasi dan kurang menawarkan inovasi-inovasi baru dalam dakwah. Keberadaan kelompok-kelompok Islamis ini akan semakin menguat ketika bergandengan tangan dengan para politisi yang ingin memanfaatkan isu-isu agama sebagai bagian dari upaya mendongkrak kepentingan partai politik.

Dalam pertarungan perpolitikan di tanah air, memang para politisi kerapkali menyeret agama untuk kepentingan mendulang suara. Dengan populasi lebih dari 80%, umat Islam merupakan massa riil yang diperebutkan oleh banyak partai-partai. Dan untuk meraih simpati, sentimen agama dan penggunaan isu-isu keagamaan menjadi daya pikat bagi para pemilih terutama pemilih pemula. Fenomena seperti ini dapat dengan mudah dijumpai pada maraknya kontestasi simbol-simbol agama di ruang publik.

Memang bukan suatu rahasia umum lagi, ketika para politikus doyan mengusung simbol-simbol agama. Seolah hal ini menjadi trend para politisi lokal maupun nasional dalam meraih simpatisan massa. Dalam kasus pemilihan kepala daerah misalnya, banyak sekali kandidat dan tim sukses yang mengusung simbol-simbol agama dalam kampanye mereka. Di sinilah problem minoritas kerap kali muncul. Karena secara kuantitas kecil, maka suara kelompok minoritas ini tidak diperhitungkan sama sekali.

Identitas Mayoritas Kedaerahan
Kontestasi simbol agama memang bukan hanya berkutat pada karakteristik Islam semata. Hal ini juga sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Pada daerah-daerah dimana agama Islam sebagai mayoritas, maka isu-isu keislaman akan banyak ditonjolkan. Sementara pada daerah-daerah minoritas seperti di wilayah NTT atau Papua, di mana warga Kristen yang lebih dominan, maka identitas Kristen yang menonjol.

Demikian halnya ketika di Bali, maka simbol kehinduan yang mengemuka. Penguatan identitas keagamaan seperti ini terkadang bersaing dengan identitas etnis, isu pribumi (warga asli) dan non-pri (warga pendatang). Isu minoritas pendatang yang sukses dengan mayoritas pribumi yang tertindas juga kerap mengemuka pada momen-momen politik di daerah. Salah satu yang hangat akhir-akhir ini adalah upaya pencekalan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terindikasi sebagai warga pendatang dan berasal dari agama minoritas.

Narasi-narasi masa lalu, baik yang berupa kejayaan pribumi maupun ketertindasan (grievances), selanjutnya sengaja dibangkitkan untuk mendukung dan menyatukan jumlah massa mayoritas yang sudah lama mengambang. Biasanya pemisahan masyarakat semacam ini, lebih efektif untuk bisa mengantarkan salah satu calon menuju puncak pimpinan. Perkembangan selanjutnya bisa di duga, tetap saja kelompok mayoritas akan menguasai, sementara minoritas hanya selalu tersubordinasi.


Oleh: Abdy Busthan
Tulisan ini diambil dari buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"

Yang berminat, kontak 081333343222 (WA)

Ada ungkapan seperti ini: “dia itu orang kafir" ; "orang kafir itu tidak pantas menjadi pemimpin" ; "orang-orang kafir itu tidak akan masuk syurrga”... dan bla..bla...bla...lainnya

Dalam konteks bernegara, kalimat-kalimat di atas sesungguhnya merupakan sebuah kecurigaan mendalam terhadap kelompok lain. Lebih tepatnya kata ini adalah “penistaan” terhadap agama lain.

Akhir-akhir ini, memang istilah “kafir” atau mengafirkan orang, mulai mewabah lagi di medan merdeka ini. Beberapa Pemuka Agama yang justru menjadi panutan umat, muncul bersama klaim-klaim arogansinya, seraya menuduh orang yang tidak sepaham dengan sebutan “orang kafir”.

Mereka muncul mendakwahkan kebenaran namun seakan-akan menganggap dirinya sendiri paling benar, tersuci dan paling tak berdosa dibanding dengan orang lain, sekaligus dari ajaran yang ia dakwahkan tersebut! Dan celakanya lagi, mereka tidak menyadari bahwa dengan melakukan hal seperti itu, sesungguhnya mereka sudah menurunkan derajad kesucian Allah SWT.

Makna "Kafir" Yang Sesungguhnya
Jika berkenan, mari kita sejenak mendalami makna dari istilah 'kafir' ini secara cermat dan tidak membabibuta. Mungkin kata ini sejak kecil sudah melekat pada kita. Dan makna yang tidak tepat ini turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi, yang pada akhirnya kita menerimanya dengan taken for granted saja, tanpa harus memeriksa lagi kebenaran makna yang sesungguhnya terkandung di dalamnya.

Dan seandainya mereka-mereka yang sering dengan sombongnya menggunakan kata ini untuk menjustifikasi orang lain, mau sedikit menjadi cerdas dengan membuka Al-Quran, maka tentu mereka akan menemukan makna qur’aniyah dari kata ‘kafir’ ini yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan agama secara langsung.

Ya, makna qur’aniyyah dari istilah ‘orang kafir’ bisa kita temukan di dalam surat Al-Kahfi ayat 100 dan 101, sebagai berikut:



Q.S. 18:100, “dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.”

Q.S. 18:101, “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (diterjemahkan di terjemahan qur’an bahasa Indonesia dengan kata ‘memperhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”

Dari dua ayat di atas, kita bisa menemukan definisi qur’aniyyah dari kata ‘kafir’ secara jelas, bahwa Al-Kafiriin atau orang-orang kafir adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar.

Maka demikian, apakah orang yang kebetulan ketika lanjut usia ia menjadi tuli atau menjadi buta karena usia tua, apakah ia berarti ditakdirkan akan mati dalam keadaan kafir? Atau, jika seseorang kebetulan ditakdirkan tuli atau buta sejak lahir, apakah artinya ia ditakdirkan untuk hidup sebagai orang kafir? Sebab sama sekali bukan keinginannya untuk dilahirkan sebagai orang buta atau tuli. Apakah Allah menakdrkannya kafir karena kebetulan lahir sebagai orang tuli atau buta?

Jawabannya adalah tidak! Semua orang, termasuk mereka yang buta atau tuli, diberikan Tuhan kesempatan untuk mati kelak dalam keadaan diridhoi-Nya. Jika demikian, mata dan telinga mana yang tertutup? Jawabannya bisa kita dapatkan pada Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46.


Q.S. 22:46, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”

Dari definisi Qur’an di atas maka jelaslah bahwa yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama, tetapi mereka yang mata dan telinga qalb di dalam dadanya tidak berfungsi. Asal kata ‘kafir’ dan ‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’ artinya penutup). Artinya bahwa ‘kafir’ adalah orang yang masih tertutup dari ‘Al-Haqq’ (kebenaran mutlak).

Mata dan telinga yang di dalam dada, maksudnya adalah mata dan telinga yang adanya bukan pada level jasad kita, tapi lebih dalam lagi. Mata dan telinga yang dimaksud adalah mata dan telinga yang ada dalam qalb kita, dalam dada/shuduur, yang ada pada level jiwa (nafs). Shuduur artinya ‘dada spiritual’, sebagaimana hati yang biasa kita kenal bukanlah liver maupun jantung, tapi lebih kepada aspek afektif manusia yaitu hati nurani (‘hati spiritual’).

Nah pertanyaannya, jiwa atau nafs yang mana? Tentu kita mengetahui bahwa ada tiga unsur yang dipersatukan dalam membentuk kesatuan manusia yang hidup, yaitu Ruh, Nafs (jiwa), dan Jasad. Jiwa inilah, yang di dalam ajaran Muslim diabadikan dalam Q.S. 7:172, yang dahulu sekali di sumpah di hadapan Allah untuk menjadi saksi (syahid, perhatikan kata bahasa arabnya: syahidna, kami bersaksi) mengenai siapakah Rabb mereka.

Selanjutya, Fahmi Huwaidi (1999) dalam bukunya "Muwathinun La Dzimmiyyun" menyatakan bahwa sebenarnya istilah “kafir dzimmy” bukanlah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Islam. Ia sudah ada sejak kabilah-kabilah Arab mulai bersekutu satu dengan yang lainnya. Islam hanya melanjutkan apa yang sudah berlaku saja. Begitu pula dengan istilah “jizyah”, yang sudah dikenal bahkan sejak masa Kisra di daerah Persia. Islam, lagi-lagi hanya meneruskan sistem tersebut.

Maka dengan demikian, upaya penyesuaian sistem tersebut di masa sekarang sangat dimungkinkan. Fahmi menghadirkan 4 (empat) argumen untuk menguatkan ide tersebut:

Pertama, prinsip umum bahwa umat manusia (apapun agamanya) telah dimuliakan oleh Allah (Al-Isra’: 70). 

Kedua, Al Qur’an mendorong umat Islam agar berlaku baik dan adil bagi non-Muslim yang tidak memerangi mereka (Al-Mumtahinah: 8). Diantara sikap adil tersebut adalah memberi hak dan kewajiban yang sama. 

Ketiga, esensi dari perlindungan Rasulullah Saw pada kafir dzimmy. Rasul dalam hal ini ‘pasang badan’ untuk golongan ini. Menunjukkan mereka memiliki kehormatan yang sama. 

Keempat, Piagam Madinah yang secara tersurat dan tersirat menempatkan Yahudi-Nasrani sebagai warga “negara” Madinah.

Empat argumen Fahmi di atas merupakan bentuk “ijtihad”, dalam artian bahwa pintu ijtihad tidaklah tertutup. Sebagaimana kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman) yang berada pada kekhalifahan terakhir pada tahun 1876 sudah menghapus istilah ‘dzimmy’ ini menjadi “muwathin” (warga negara), yang meskipun penghapusan ini termasuk ijtihad politik, namun substansi utamanya adalah agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Nah, bagaimana dengan konteks sekarang? Kekhalifahan Islam sudah tidak ada lagi di muka bumi. Negara-negara Islam sudah berdiri sendiri-sendiri. Dalam artian mereka tidak lagi terikat dengan kekhalifahan. Maka dengan sendirinya istilah “kafir dzimmy” bersama dengan segala aturan-aturan tentangnya, secara otomatis gugur bersamaan dengan hilangnya sistem kekhalifahan. Kendatipun istilah “kafir dzimmy” dapat di ubah menjadi "muwathin" (warga negara) pada sistem pemerintahan Islam.

'Kafir' dalam Konteks Indonesia
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana konsep “kafir” dalam konteksnya dengan negara Indonesia? Tentu saja di negara yang menganut sistem demokrasi, istilah kafir sangat-sangat tidak relevan. Indonesia tidak diperuntukkan untuk dikelola oleh kaum mayoritas Muslim saja. Sebab demokrasi di Indonesia memungkinkan siapa saja berhak mengambil peran politik.

Untuk itu, penggunaan kata “kafir” tidak dapat dibenarkan sama sekali di ruang publik Pancasilais. Sebab jika kata ini digunakan dengan harbabiruk (boleh di baca: “seenaknya”), maka bangsa Indonesia akan semakin berada di dalam krisis, di mana Agama akan dianggap sebagai stasiun akhir dari sebuah kultus yang harus dipaksakan kepada siapa saja, kapan sajam dan di mana saja, serta dengan cara apa saja. Dan ini sangat berbahaya.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam iklim demokrasi Indonesia sangatlah dimungkinkan bagi kelompok-kelompok agama mendukung satu sosok atau figur yang hanya mewakili agamanya saja. Hal ini lumrah dan sah-sah saja. Namun sekali lagi, penggunaan kata “kafir” atau kata “musyrik” misalnya, haruslah terbatas pada mimbar keagamaan saja (wilayah privat).

Istilah apapun yang digunakan untuk menyebutkan kelompok lain di luar agama yang kita anut, terbatas pada ranah agama itu sendiri. Sebab sekali lagi, dalam demokrasi tidak ada istilah kafir dan yang sejenis. Sebagaimana dalam konteks perpolitikan global, tidak kurang banyaknya pemimpin negara-bangsa yang juga beragama Muslim. Tapi pada kenyataannya, jauh panggang dari apinya. Muslim ataukah non-Muslim, sama sekali tidak menjamin kualitas kepemimpinan.

Tanpa tasbih, sorban, jubah, Presiden Soekarno dan Muhamad Hatta, misalnya, berhasil mengobarkan perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan NKRI. Mandela yang bukan Muslim, berjaya dan dihormati di Afrika. Gandhi yang Hindu, juga menjadi kecintaan di negara India. Bahkan Chavez yang Katolik, dipuja-puji di Venezuela, dll.

Agama dan ajarannya tidak bisa dijadikan sandaran pengelolaan kehidupan bernegara yang di dalamnya terdiri dari berbagai etnis, budaya dan agama. Tetapi bukan berarti para pemeluknya harus kehilangan kewarasan berpikir, dan kejernihan hati dalam memahami doktrinnya masing-masing.

Kita perlu melihat ke belakang karena kehancuran sebuah bangsa di masa lalu, cenderung terjadi akibat agama-agama yang selalu ditunggangi para pegiat politik dengan seperangkat ambisinya untuk berkuasa. Dan nyaris semua agama dunia pada era sekarang ini—termasuk NKRI—memiliki seperangkat riwayat kelam akibat kolaborasi ‘penguasa’ melalui lembaga agama ini.

Semua ayat suci yang sejatinya diturunkan Tuhan ke muka bumi, tak cukup hanya dijadikan korpus semata. Ia harus dipahami dengan arif dan bijaksana. Ya, keniscayaan seperti inilah yang selanjutnya menyita habis kehidupan para pembawa kebaikan dan pembawa keadilan untuk mengasihi dan menyayangi sesamanya pada setiap zaman ke zaman. Jauh di lubuk hati, mereka sadar dan paham betul, waktu pasti akan melindas. Maka tak ada pilihan lain kecuali hidup saling mengasihi bersama waktu yang berawal tapi tak berakhir. Jalan terbaik mewujudkan itu adalah, menjadi agen kebaikan dari waktu ke waktu untuk manusia dan makhluk Tuhan lainnya, demi menghadirkan kebaikan dan keadilan. Sebab dengan berbuat kebaikan itulah maka nama mereka dapat dikenang dan harum sepanjang masa. Hidup mereka pun abadi dalam sejarah manusia.

Mugkin kita masih ingat sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (24 Januari 2017) pernah mengajukan keberatan atas sebutan “kafir” kepadanya. Ahok saat itu sempat mengatakan: "Saya keberatan saya disebut kafir. Saya percaya Yesus Tuhan saya bukan kafir. Saya berhak menjadi apa saja di negeri ini."

Ya, sesungguhnya kafir-mengkafirkan seseorang di alam demokrasi ini, adalah suatu kebodohan, sekaligus kedangkalan dalam berbangsa dan bernegara. Ini sebuah patologi! Tepatnya, penyakit di alam demokrasi.

Profesor Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals Arab Saudi, Sumanto al Qurtuby (2016), dalam artikelnya menyatakan bahwa, sesungguhnya status “kafir-sesat” sangat relatif-subyektif.

Kita bisa saja memandang sesat atas praktik keagamaan orang lain. Tetapi sadarkah kita bahwa orang lain itu juga bisa jadi memandang sesat terhadap praktik keagamaan yang kita lakukan. Jadi tidak ada label “kafir-sesat” yang bersifat “obyektif” dan “inheren”, karena faktanya apa yang kita anggap “benar” dan “legitimate” itu belum tentu dianggap “benar” dan “legitimate” di mata orang lain.

Sebagaimana sudah di bahas sebelumnya bahwa sesungguhnya makna kata “kafir” adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Nah, jika saja kata ini muncul di depan publik Pancasilais yang menjunjung tinggi kesamaan hak dan kewajiban, lalu kemudian dilontarkan kepada umat Nasrani, maka sesungguhnya hal itu adalah sebuah penghinaan terhadap agama Kristen, yang harus diberikan sangsi tegas melalui ranah hukum yang berlaku di Republik tercinta ini. Pada saat yang sama juga merupakan arogansi yang mendahului penghakiman Tuhan.

Kristen bukan kafir! Sebab agama Kristen percaya kepada Allah YAHWEH, yakni Allah Abraham, Isak dan Yakub, bahkan Allah Ismail! Sebagaimana kitab Mazmur 33:12 menuliskan, “Berbahagialah bangsa yang Tuhannya adalah YAHWEH”.

Perlu ditegaskan bahwa Tuhan Alkitabiah bukan merupakan hasil suatu deskripsi manusia. Dia menyatakan Diri-Nya sendiri kepada Abraham, Yakub, Musa dan para Nabi, dan Dia turun ke dunia untuk memanifestasikan Diri-Nya sendiri secara badaniah dalam wujud pribadi Yesus dari Nazaret. Dimana Yesus berkata: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9).

Jadi pada titik ini umat Kristen tidak menyusun konsep Tuhan Alkitabiah. Tuhan yang sendiri menyatakan DiriNya, yaitu HakikatNya, NamaNYa, KemuliaanNya, Hukum-hukumNya, PengadilanNya, KasihNya, dan KesucianNya. Jika semuanya itu disingkirkan melalui klaim-klaim sesat yang tidak terukur kebenarannya, maka berarti tidak ada maujud yang dinamakan Kristen!

Inilah yang harus dipahami agar kita tidak mengatakan kata “kafir” pada agama lain dengan seenaknya, sehingga tidak terperosok dalam klaim benar-salah.

Refleksi Bersama
Sebagaimana sudah ditekankan sebelumnya bahwa akhir-akhir ini kita kerapkali mendengarkan kata “kafir” yang keluar dari para Tokoh Agama dan pemeluk Islam radikal, baik di media sosial, melalui tulisan teks, maupun melalui video, dll. Pertanyaannya, siapakah manusia yang layak mengkafirkan orang lain di negara Pancasila ini?

Menurut UU No 40 tahun 2008, telah dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara dengan keberagaman. Tidak ada orang, kelompok, institusi yang berhak berlaku SARA, mengelompokkan orang hanya karena, suku, etnis, agama.

Berdasarkan UU di atas, jelaslah bahwa eksklusivitas dari satu kelompok agama tertentu, adalah melawan hukum di Indonesia. Indonesia negara besar yang akan hancur jika semua pihak merasa paling benar, sementara golongan kelompok lainnya merasa paling minoritas serta dirugikan. Harus ada “warning” dalam tatanan hidup bersama.

Jika tidak, maka bukan tidak mungkin bangsa ini akan mengalami kehancuran yang sama seperti terjadi di negara-negara timur tengah yang hancur bukan karena kelaparan, atau soal ekonomi. Namun karena piciknya para pemimpin agamanya bermain politik demi kekuasaan duniawi.

Sungguh sangat tidak elok rasanya, jika semua pihak menganggap sesamanya adalah ‘kafir’ dan harus beragama a, b, c, dengan pemaksaan. Kita semua harus mengenal arti kata “dakwah” itu sendiri, sebab konsep dakwah yang sejati adalah dakwah yang mengagungkan keberagaman tanpa paksaan. Untuk itu, marilah kita sebagai elemen berbangsa, kita sama-sama menjaga tatanan hidup dengan menghindari segala bentuk kebutuhan untuk memastikan ekslusivitas, namun menjadi masyarakat yang saling berangkulan satu dengan lainnya dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika).

Oleh: Abdy Busthan
***
Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan
ISBN: 978-602-6487-05-6

Setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, setidaknya membentuk warna-warni dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain sebagainya. Warna-warni kehidupan ini memang harus terjadi dalam satu garis lurus kehidupan masyarakat plural (jamak)—lebih dari satu. Ini adalah kenyataan aksiomatis.

Kendati demikian, dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, warna dan warni kehidupan ini tidak dengan serta-mertanya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebab perbedaan demi perbedaan yang muncul, bertendesi membentuk apa yang kita kenal dengan “konflik”. Ini sangat beralasan! Mengingat berbagai konflik horizontal bahkan vertikal, kerapkali datang menghancurkan tatanan kehidupan bersama.

Ironisnya, dalam derajad tertentu, tidak jarang negara terjebak dalam kontrolnya yang berlebihan atas kehidupan beragama. Akibatnya, instrumen hukum pun menjadi rentan terhadap sesuatu yang multi-tafsir dan multi-spekulatif. Dampaknya adalah bahwa hukum agama kerapkali ditinggikan di atas hukum sipil yang semestinya bebas dari bias agama.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, rangkaian konflik akibat perbedaan agama memang menjadi kenyataan yang sulit terhindarkan. Perbedaan, yang sejatinya bisa menjadi roh kemajuan sebuah peradaban, justru menjelma sebagai lahan subur bagi bertumbuhnya pohon kekerasan, yang memecah belah umat beragama hingga berujung pada tragedi berdarah dan memakan banyak korban.

Dimana-mana kehidupan pun terasa penuh dengan ketegangan dan kecurigaan terhadap sesama. Umat tidak lagi melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang perlu dihargai melalui toleransi yang mendalam, tetapi perbedaan justru menjadi muara tempat mengalirnya intoleran yang sangat anarkistis. Pada titik ini, perbedaan akhirnya disingkirkan demi menegakkan prinsip Jihad yang tidak mengikuti Sunnah Rasul.

Intoleransi pun menyebar dalam bentuk kebencian, rasisme dan diskriminasi dalam berbagai wujud. Dalam keadaan demikian, maka sejatinya esensi “toleransi” dalam kehidupan bersama mesti didengungkan, sekaligus dimaknai kembali.

Pemahaman Toleransi
Secara etimologis, kata “toleransi” berasal dari kata “tolerare” dalam bahasa Latin, yang artinya: “dengan sabar membiarkan sesuatu”. Kemudian pengertian ini berkembang secara luas menjadi suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan yang berlaku di masyarakat, dimana seorang di tuntut untuk bisa menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan orang lain (Busthan Abdy, 2017:20-21).

Seorang sejarawan politik Amerika, Zagorin Perez (2003), menjelaskan bahwa, toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

Contohnya toleransi beragama, dimana para penganut mayoritas dalam masyarakat, harus menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lain yang berbeda dengannya. Disamping itu, istilah toleransi dapat pula didefinisikan sebagai “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dll.

Rainer Forst (2003), filsuf dan ahli politik asal Jerman, merumuskan empat tingkatan toleransi dalam bukunya yang berjudul “Toleranz im Konflikt: Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs”, yaitu sbb:

Erlaubnis, adalah tingkatan pertama yang “sekedar membiarkan ada” atau menerima “kehadiran” orang lain. Pada tingkatan awal ini, kelompok mayoritas hanya sekedar membiarkan adanya kelompok minoritas, dengan segala budaya dan cara hidupnya, tanpa pemahaman yang mendalam. Di tingkat ini, hubungan kekuasaan yang tidak adil masih amat terasa, namun setidaknya ada “penerimaan” akan kehadiran orang lain yang berbeda.

Koexistenz, adalah tingkat kedua yang adalah “berada bersama”, yaitu muncul dan terjalin hubungan yang setara dan beradab antara kelompok-kelompok yang berbeda budaya dan cara hidup.

Achtung, adalah tingkatan ketiga, yang ditandai dengan terjalinnya hubungan yang berpijak pada rasa hormat terhadap orang lain. Pada tingkatan ketiga ini, berbagai kelompok yang berbeda akan melihat satu sama lain sebagai setara (Gleichheit) dalam hal moral dan budaya.

Anerkennung, adalah tingkatan tertinggi, yang lebih merupakan tingkat pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan. Termasuk didalamnya pengakuan dan penghargaan pada perbedaan budaya dan cara pandang di dalam bidang agama, politik dan ekonomi.

Rumusan empat tingkatan toleransi yang di gagas Forst di atas, saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Setiap tingkatannya berpijak pada tingkatan lainnya. Sederhananya, toleransi harus dimulai dari penerimaan akan keberadaan orang lain terlebih dahulu, hingga mencapai pengakuan dan penghargaan yang mendalam pada setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain.

Prinsip mendasar toleransi adalah bahwa kita tidak akan mungkin menghargai orang lain (anerkennung) tanpa terlebih dahulu menerima (erlaubnis), menjalin hubungan (koexistenz), dan menjadi setara dengan yang lain (achtung). Singkatnya, setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain, haruslah di hargai dalam tatanan kehidupan bersama. Jika tidak, toleransi sulit mendapatkan tempat untuk bersemayam di situ.

Demokrasi Minus Toleransi
Istilah “demokrasi” berasal dari kata Yunani, yaitu dengan penggabungan dua katanya: demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), sehingga demokrasi adalah kekuasaan oleh rakyat. Sederhananya, apapun yang terjadi, rakyat adalah penentu kekuasaan. Pada titik ini, kesetaraan dan keterbukaan merupakan hal urgen yang harus dilaksanakan.

Menurut Busthan Abdy (2017:24), teori demokrasi selalu berdiri pada satu garis start yang sama, yakni kesetaraan diantara insan manusia. Setiap individu, dalam dirinya, mempunyai harkat dan martabat yang tetap sama. Karenanya, setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang kaya atau orang miskin, pria atau wanita, kulit putih atau hitam, bahkan agama minoritas atau agama mayoritas. Dari kesetaraan tersebut, selanjutnya lahirlah sebuah keterbukaan.

Dalam transisi demokrasi dunia, negara Indonesia disamping negara Turki, selalu dianggap sebagai “maskot” dari perkembangan demokrasi yang berjalan dalam iklim mayoritas penduduk Muslim. Anggapan ini bisa benar, tetapi bisa juga tidak. Benar, jika demokrasi itu berjalan dengan semestinya, tanpa adanya diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya. Tidak benar, jika terjadi hal sebaliknya, di mana diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, fakta realitas tentang pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (baca: demokrasi) ini rasanya bagaikan seorang menulis di atas air.

Bagaimana tidak, demokrasi Indonesia ibarat emblem kosong yang tak bermakna. Ya, demokrasi terlihat berjalan tanpa toleransi! Demokrasi tidak menyentuh sisi terdalam tentang bagaimana manusia harus beradaptasi dengan hal-hal yang berbeda dengannya. Pada keadaan seperti begini, kebebasan hak dan kewajiban pun dimarjinalisasikan dengan nyaris sempurna.

Demokrasi, menurut filsuf Karl Popper (1957) dalam bukunya berjudul Open Societies and Its Enemies, adalah masyarakat terbuka. Ia akan menentang segala bentuk pemaksaan, baik menggunakan suap ataupun todongan senjata. Ia akan memberikan ruang kehidupan untuk semua orang, apapun latar belakangnya.

Dalam masyarakat demokratis di negara Indonesia, dua prinsip di atas terus berada dalam ancaman. Manusia kerapkali di dibeda-bedakan menurut ras dan agamanya. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Orang-orang dengan latar belakang tertentu juga tidak bisa terlibat di dalam pemerintahan, semata karena ras, agama ataupun keyakinan politiknya yang berbeda.

Sebut saja persoalan diskriminasi yang di sertai aksi rasisme terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang yang terjadi bulan lalu. Tindakan persekusi serta rasisme terhadap mahasiswa Papua yang dilakukan beberapa kalangan ini, sebenarnya sudah menghancurkan tatanan nilai-nilai kebersamaan di medan merdeka ini!

Seharusnya perbedaan ras di junjung tinggi dalam iklim demokrasi di negara ini. Namun justru rasisme dialami oleh masyarakat Papua secara fisik, ekonomi, perilaku, serta cara pandang masyarakat terhadap orang Papua.

Ya, rasisme ini terjadi karena adanya generalisasi atau stereotype negatif masyarakat terhadap orang Papua seperti: “tidak berpendidkan”, “tukang mabuk”, “kasar" dan lain sebagainya. Stigma inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan mendalam, dan berpotensi dijadikan legitimasi bagi oknum masyarakat atau aparat untuk melakukan tindakan rasisme terhadap ras dan suku Papua.

Hal lainnya lagi, tentu masih teringat di ingatan kita, Basuki Tjahya Purnama, alias Ahok, yang pada tahun 2017 di demo oleh kelompok FPI karena berasal dari etnis dan agama minoritas. Orang keturunan Cina nyaris tak mungkin terlibat di dalam politik guna mempengaruhi pembuatan keputusan politik.

Orang beragama minoritas juga nyaris tak dapat terlibat di dalam sistem pemerintahan negara, apalagi menjadi pemimpin di negeri ini. Inilah diskriminasi terstruktur. Ya, diskriminasi adalah udara sehari-hari yang selalu saja dihembus oleh kelompok minoritas di Indonesia, mulai dari ras minoritas, agama minoritas, sampai dengan kaum wanita, yang juga tergolong dalam minoritas.

Kedua fenomena di atas, adalah contoh dari sekian banyak fenomena yang melukiskan wajah demokrasi Indonesia. Sebuah demokrasi yang konon ‘katanya’, datang dengan segelintir harapan akan persamaan hak dan kewajiban. Juga yang ‘katanya’ hadir dengan kesetaraan dan keterbukaan akan perbedaan dari keragaman suku, etnis, budaya, adat istiadat, serta agama dalam masyarakatnya.

Namun kenyataannya, semuanya ini hanya fatamorgana semata. Harapan demi harapan seakan redup dalam bayang-bayang intoleran dari kelompok-kelompok yang haus akan kekuasaan. Bahkan lenyap oleh diskriminasi kekuasaan dari kolaborasi sang penguasa dan si pengusaha sebagai habitat utama dalam negara ini.

Jika saja, toleransi dikembalikan kepada tempat asalnya (baca: makna sebenarnya), maka ia akan selalu menjadi sebuah keniscayaan yang terus dikobarkan di medan merdeka ini. Sehingga bukan tidak mungkin bangsa ini akan tetap terkenang dengan kemakmuran dalam keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Oleh: Abdy Busthan
Dikutip dari buku:
Negara bukan Agama! Agama bukan Negara

(hal.19-26)
Penulis: Abdy Busthan
Tahun terbit: 2017
ISBN: 978-602-6487-05-6
Penerbit: Desna Life Ministry
Kota Penerbit: Kupang

Dua istilah ini bukan hanya berbeda di dalam susunannya, tetapi juga di dalam hakekat dan kedalamannya.

Yang pertama, "kekuasaan politik" mengacu kepada kemungkinan untuk mempergunakan kekuasaan membangun “polis” (boleh dibaca: negara, masyarakat). Itu berarti membangun dan menciptakan kesejahteraan bersama sebagai wujud keadilan, yang mestinya dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat. Di sini kekuasaan tidak dipahami sebagai yang punya tujuan di dalam dirinya, tetapi demi pelayanan. Kekuasaan, dengan demikian hanyalah sebuah medium guna mewujudkan hal yang lebih besar yaitu kesejahteraan sebagai refleksi dari keadilan sosial. Mereka yang menerapkan prinsip ini akan sangat rendah hati, bersedia mendengar kritik yang membangun.

Lain halnya dengan konsep "politik kekuasaan". Kekuasaan di sini dipergunakan sebagai instrumen untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya baik bagi diri sendiri, maupun bagi kroni-kroninya. Maka sekali kekuasaan dikangkangi, ia tidak akan mau melepaskannya lagi. Ia akan mempertahankannya mati-matian.

Dalam sebuah sistem demokrasi, yang bersangkutan akan main akal-akalan dengan menurunkan (boleh dibaca, "mewariskan") kekuasaan itu, entah kepada istri, anak dan saudara. Itulah yang disebut politik dinasti yang sangat marak di negeri kita akhir-akhir ini. Biasanya mereka yang menerapkan politik kekuasaan tidak akan sepi dari pencitraan. Ya, pencitraan memang dibutuhkan oleh si penguasa guna menutupi kelemahan-kelemahannya.

Dalam minggu-minggu ini, dalam rangka pilkada, serentak di seluruh Indonesia akan diselenggarakan debat publik oleh para kandidat gubernur dan kepala daerah lainnya. Marilah kita semua sungguh-sungguh mencermati mana paslon yang cenderung menerapkan "kekuasaan politik" dan mana yang "politik kekuasaan".

Selamat berefleksi
 Oleh: Pdt. Dr. Andreas. A. Yewangoe

Humanisme merupakan suatu istilah umum dari berbagai perbedaan pemikiran yang diletakkan sebagai “center for a way out” (pusat solusi atau jalan keluar), yaitu dalam menanggapi isu-isu yang banyak berhubungan dengan “manusia”. Dalam hal ini humanisme menyatakan bahwa alasan untuk segala keberadaan, adalah kebahagiaan manusia. Dalam artian bahwa manusia dalam kemanusiaannya, akan memanusiakan dirinya secara lebih manusiawi

Titik Awal Humanisme
Semula humanisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mempromosikan harkat dan martabat manusia. Sebagai pemikiran etis yang menjunjung tinggi keberadaan insan manusia, humanisme menekankan hal-hal tentang harkat, peran, dan tanggungjawab, seturut keberadaan manusia itu sendiri. Singkatnya manusia mempunyai kedudukan yang istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk lainnya.

Menurut Busthan Abdy (2017:7), istilah humanisme berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Latin, yaitu kata “humanis” dan “isme”. Humanis adalah manusia dan isme berarti paham atau aliran. Pandangan lainnya menyatakan istilah humanisme berasal dari kata “humanitas”, yang berarti pendidikan manusia. Dalam bahasa Yunani disebutkan sebagai “paideia”. Dimana kata ini populer pada masa Cicero dan Varro pada abad ke-14.

Ungkapan gerakan humanisme ini lahir di Italia dan menyebar ke seluruh Eropa. Kebetulan sistem pendidikan pada waktu itu menggunakan mata pelajaran “kesenian-kesenian bebas” yang terdiri dari seni kata (pramasastra, logika, retorika) dan seni benda (ilmu ukur, ilmu falak, dan musik).

Namun, jika ditelusuri kembali ke belakang, latar belakang munculnya humanisme sebenarnya disebabkan oleh tekanan-tekanan atas kebebasan manusia yang dilakukan oleh para penguasa dan pemuka agama pada abad-abad pertengahan di Eropa.

Humanisme sudah dikenal dan meluas sejak zaman perkembangan falsafah Yunani, yaitu dalam pemikiran Socrates dan para Sophis. Karena adanya dominasi dan sikap otoriter dari gereja pada saat itu, maka timbullah kondisi dimana aspirasi manusia sebagai individu diredam dan dibungkam.

Ketertutupan agama yang terorganisasi dengan konsekuensi pemberangusan manusia telah meletus dalam gerakan Renaissance. Menyusul kemunculan dua gerakan reformasi hasil Renaissance, yaitu reformasi Luther dan reformasi dalam betuk Humanisme, yang kemudian di susul dengan gerakan Renaissance dan Pencerahan.

Pada titik ini, maka Humanisme merupakan usaha untuk menekan kembali bagaimana peran manusia dan kemanusiaannya dalam dunia dan alam semesta.

Pengertian Humanisme

Mangun Harjana (1997) mengatakan bahwa pengertian humanisme adalah pandangan yang lebih menekankan martabat manusia dan kemampuannya. Menurut pandangan ini manusia bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan dengan kekuatan sendiri, maka ia (manusia) juga mampu mengembangkan diri sendiri dan memenuhi kepatuhan sendiri demi mengembangkan diri dengan memenuhi kepenuhan eksistensinya menjadi lebih paripurna (lengkap).

Seorang Teolog Protestan, Yohanes Verkuyl (2008), menjelaskan bahwa, humanisme sebenarnya merupakan “suatu sifat yang hanya berorientasi pada dunia ini (saeculum) dan menolak serta mengabaikan dunia kekekalan (aeternum)”. Pendapat ini nampak jelas dalam humanisme sekuler yang merupakan paham budaya dan pemikiran mengenai hidup yang didasarkan pada sikap “menolak Tuhan dan hal-hal yang bersifat adikodrati”, dan menggantikannya dengan “diri sendiri (self), ilmu pengetahuan (science), dan kemajuan (progress)”.

Petrarca (1304-1374), seorang pujangga Italia yang sangat terkenal, pernah menuliskan sepenggal kalimat dalam kumpulan syair-syairnya yang berbunyi, ..“Sebenarnya manusia tak usah mengakui kuasa apapun diatasnya; kaidah dan pusat hidup manusia, ialah pribadinya sendiri”.

Dari apa yang dikatakan Petrarca, nampak penonjolan “kekuasaan manusia” dan yang berdampak negatif dengan penolakan akan hal-hal adikodrat, dan yang dengan sendirinya penolakan ini adalah merupakan pemberontakan manusia terhadap otoritas Tuhan sehingga berdampak terus pada perkembangan selanjutnya—dimana banyak kalangan kemudian berbeda penafsiran dengan kalimat tersebut di atas.

Dalam penggunaan oleh F.C.S Schiller (2008) dan William James (1958, 1965), humanisme diangkat sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme filosofis. Ini tidak kembali ke pandangan protagoras. Alasannya, pandangan Schiller dan James dipandang melawan hal-hal absolut metafisis dan bukan yang epistemologis, yaitu dengan melawan dunia tertutup dari idealisme absolut. Karena itu, maka penekanannya pada alam atau dunia yang terbuka, serta pluralisme dan kebebasan manusia.

Beberapa kalangan justru membawa pemahaman akan humanisme ini pada lapangan humanisme sekuler yang memahami berdasarkan perspektif budaya dan pemikiran mengenai hidup yang didasarkan pada sikap “menolak Tuhan" dan "hal-hal yang bersifat adikodrati”, lalu menggunakan konsep Verkuyl di atas dengan menegaskan 3 hal: yaitu—1) “diri sendiri” (self), 2) ilmu pengetahuan (science) dan 3) kemajuan (progress), untuk membenarkan pandangan humanis yang menjurus kepada abortus, kumpul kebo, membunuh, ketidakadilan, kejahatan serta berbagai peyimpangan etis lainnya yang kemudian dianggap sebagai urusan manusia yang tidak perlu didasarkan pada ukuran “kemutlakkan Tuhan”.

Namun sebenarnya, jika di kaji lagi secara positif tentang kalimat Petrarca di atas, maka sebenarnya ia ingin menjelaskan dengan pasti bahwa humanisme telah mengangkat kembali manusia dari kebodohan jamannya dan membuka jalan bagi manusia, sehingga manusia mampu untuk mengembangkan segenap kemampuan-kemampuan intelektual yang sudah dimilikinya dalam mengamati gejala alam.

Dalam hal ini, konsep humanisme sebenarnya hanya pada perihal untuk mengembalikan manusia pada rasa peri-kemanusiaannya, tetapi yang substansialnya berbeda dengan peri-kemanusiaan yang terdapat dalam agama.

Dalam humanisme, peri-kemanusiaan adalah usaha mencari nilai-nilai yang ditempuh dengan cara-cara dan potensi dari dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai peri-kemanusiaan adalah hasil dari kebebasan dan usaha baik manusia itu sendiri.

Jadi, bisa dipahami bahwa humanisme merupakan pandangan yang banyak menyatakan bahwa manusia dapat memahami dunia serta seluruh realitanya dengan pengalaman dan nilai kemanusiaan bersama. Manusia dipandang akan bisa hidup baik tanpa agama sekalipun. Di sini para Humanis berusaha menciptakan yang terbaik bagi kehidupan dengan menciptakan makna dan tujuan bagi diri sendiri (Busthan Abdy, 2017: 11)

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget