Lebih lanjut dikatakan Karman, China dan India tanpa Pancasila, tetapi sebagai penyandang julukan dua negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, mereka bisa bangkit dari ketertinggalan, melesat maju mengubah peta kekuatan ekonomi dunia.
Pancasila adalah mutlak ideologi bangsa! Sekaligus dasar dan pedoman dalam menyelenggarakan pemerintahan negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya penataan jalannya hukum negara. Hal yang perlu dipahami bahwa, sejak disahkan secara yuridis konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia
Pancasila telah berakar penuh pada nilai-nilai budaya luhur bangsa, yang berasal dari kehidupan rakyat yang telah berabad-abad lamanya di bumi Indonesia, semenjak zaman Nusantara. Sebab itu, seyogyanya Pancasila mempersatukan kebhinekaan suku, kelompok, agama dan bahasa dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Melalui perbedaan-perbedaan yang ada, terbentuklah kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wujud Bhineka Tunggal Ika: berbeda-beda namun tetap satu juga. Artinya, bahwa meskipun berbeda-beda, tetapi di dalam dan melalui ideologi Pancasila, kita semua menjadi dipersatukan. Demikianlah semboyan manis dan indah ini.
Profesor filsafat, Armada Riyanto (2011) mengingatkan bahwa Pancasila juga sangat identik dengan filsafat emansipatoris (yang membebaskan) manusia-manusia Indonesia dalam konteks kulturalitas dan religiusitas yang luar biasa plural. Itu sebabnya, Pancasila adalah fondasi tata hidup bersama yang menginspirasi pembebasan dari alienasi satu sama lain dalam lautan keanekaragaman suku, budaya, tradisi dan agama yang kaya.
Mari kita kembali lagi pada pertanyaan awal di atas, masihkah kesaktian Pancasila diandalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini?
Jawaban dari pertanyaan di atas dapat kita lihat pada judul utama bagian ini: “Pancasila Kian Utopis”. Ya, Pancasila semakin terlihat utopis; ia ibarat sebuah lukisan yang indah namun sulit diwujudkan.
Konstruksi luhur dalam berbhineka tunggal ika yang terkandung dalam kesaktian ideologi Pancasila, justru kian babak belur dan terasa luntur. Pancasila bahkan sudah mencapai titik ‘lemah syahwat’ di negeri ini! Pelanggaran hak-hak asasi manusia, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi agama, hingga berujung pada pengkotak-kotakkan status sosial, suku, budaya dan etnis tertentu, kian menjadikan Pancasila jauh berjalan dari tempat asalnya.
Kekerasan bangkit melawan kekerasan, dan dengan sangat beringasnya melenyapkan kaum-kaum lemah. Bahkan ironisnya, “kekerasan” semakin menjadi produk multimedia yang terus-menerus tersohor dimana-mana.
Dan pada akhirnya, kekerasan pada level ini menjelma menjadi semacam tontonan pornografi yang amat mengasikkan, tetapi juga menggiurkan. Sehingga pada kondisi seperti ini, kekerasan sangat "doyan" dinikmati semua kalangan secara diam-diam.
Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi negara. Ketika Pancasila menjadi ideologi, maka ia adalah kumpulan nilai-nilai atau norma yang berdasarkan sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.
Itu sebabnya, hukum dan segala doktrin agama apapun, tidak mungkin dapat disejajarkan ke dalam lima sila yang sudah tercantum di dalamnya. Sebab, agama dan ideologi adalah dua hal yang sangat berbeda.
Meminjam Yewangoe (2011), bahwa dari sekian banyak kemungkinan yang terjadi dengan agama-agama adalah bahwa agama tersebut dapat diturunkan derajatnya menjadi ideologi. Menyambung pendapat ini, maka ketika ajaran sebuah agama menjadi ideologi Pancasila, dapat dipastikan beberapa elemen bangsa akan tertekan dan tidak akan sanggup menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila secara jujur dan objektif.
Bahkan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan terkubur dalam ideologi kapitalisme (transnasional) yang konon memang dirancang untuk diberlakukan sebagai satu-satunya nilai yang mumpuni dalam mempersatukan umat manusia.
Dimana ideologi kapitalisme ini secara operasional berwujud demokratisasi, HAM dan pasar bebas yang lebih banyaknya bersandar pada individualisme dan mulai populer disemua kalangan dunia internasional saat ini.
Paradoks Berbangsa
Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa memang sesudah Konstituante, Pancasila lebih banyaknya di giring masuk ke dalam karakter kekuasaan yang totaliter.
Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga periode Reformasi, totaliter setidaknya bukan hanya milik karakter penguasa saja, tetapi ia kemudian menjangkiti kelompok-kelompok elit daerah, kelompok massa, dan kelompok agama yang cenderung melakukan deviasi terhadap Pancasila.
Meminjam Dwikarya, bahwa memang telah terjadi deviasi Pancasila dasar negara dalam dua kategori: tematis dan operatif. Deviasi tematif adalah seperti pengurangan, penambahan, substitusi, dan kontradiksi substansi Pancasila. Sedangkan deviasi operatif adalah yang berbentuk kontradiksi terhadap sikap-sikap permanen yang dituntut Pancasila.
Hingga memasuki 17 tahun setelah reformasi tahun 1998, berbagai bentuk kekerasan mulai terus bergulir ibarat bola panas. Hantu-hantu penguasa Orde Baru yang konon militeristik pun masih bergentayangan di era sekarang ini. Bahkan dalam kekerasan terstruktur, masih saja negara terjerumus dalam sistem dan legitimasi yang kian utopis.
Atas nama ajaran agama mayoritas, moral yang sejatinya sebuah wilayah yang sangat privat, kemudian ditelanjangi dengan sangat sempurna. Bahkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan peistis, semakin bersemayam abadi ke dalam sangkar emas logika hukum mayoritanisme.
Memang, pada masa Orde Baru, bangsa Indonesia cenderung menganut sistem unifikasi hukum yang lebih berporos pada kesatuan dan keseragaman (baca:kesamaan), sehingga ketika memasuki masa reformasi, masyarakat bangsa ini kemudian sedikit terjebak dalam suatu babak baru tentang pluralisme asas hukum.
Hal ini ditandai dengan mencuatnya keinginan kuat dari masyarakat agama untuk menasioanalisasikan hukum agamanya, serta masyarakat adat yang juga berupaya semaksimal mungkin menerapkan hukum adatnya.
Bahkan ironisnya, pluralisme dalam era reformasi ini justru lebih mematikan dari pluralisme di zaman kolonial. Sebab semua kelompok yang ada, menginginkan agar pahamnya yang harus diterapkan secara universal.
Memang paradoks, jika Pancasila yang sejatinya harus mempersatukan setiap keragaman yang ada dalam ke-lima silanya, justru diseragamkan oleh paham kelompok-kelompok tertentu. Apalagi jika hal ini juga melibatkan para penguasa sebagai bagian dari oligarki politik.
Dan lebih meresahkan lagi, jika ruang-ruang privat keagamaan dan kepercayaan, juga semakin tidak luput dari tirani penguasa yang semakin membabi buta ini.
Oleh karenanya, semua harus kembali kepada falsafah hidup bersama, yaitu dengan meluhurkan Pancasila sebagai ekakarsa yang menyatukan segenap komponen bangsa dan negara ini.
Sebab mau di giring kemana negeri ini? Jika Pancasila sudah tidak lagi bisa mempersatukan kita di bawah pohon toleransi dan sungai keharmonisan? Sudah saatnya semua warga negara (tanpa terkecuali) sebagai elemen bangsa, untuk lebih memahami survival Pancasila dengan tepat.
Harus dipahami bahwa, Pancasila tidak bisa dijadikan produk kompromi organisasi atau kelompok apapun di negara ini.
Memang, pengimplementasian Pancasila memiliki panorama tantangan peradaban zaman yang silih berganti, namun Pancasila sejak kelahirannya, tak pernah berubah sedikit pun.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan Kerakyatan serta Keadilan Sosial, tetap akan selalu bergantung pada seberapa jauh Pancasila bisa kita jadikan sebagai sebuah bangunan ideologi yang kokoh, nyata dan hidup, serta terinternalisasi dalam segenap perilaku pemerintahan dan warga negaranya.
Oleh: Abdy Busthan
*******
Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan
ISBN: 978-602-6487-05-6
Tahun terbit: 2018
Penerbit: Desna Life Ministry
Alamat Penerbit: Kupang
Posting Komentar