Articles by "Bahasa dan Sastra"

Sebuah lamunan tanpa basa-basi. Merangkai halimun, bersenandung fakirat. Tetes-tetes narasi mulai terukir. Mungkin sedikit tersendat, lalu tertiup jauh ke atas langit-langit realitas.

Angin datang menghujam, seketika semilir menyongsong naim. Hentakan waktu berputar melingkar. Tanpa sadar, suara nurani terdengar lirih berlinang membias.

Memang tak tampak aksesoris di sini! Sebab sang maskulin asik menabur angin. Sementara pesona merona ternoda, menyingkap jelantik diantara harapan terukir kosong. Lalu sang waktu pergi berjenuh riak, jauh di hilir nestapa. Seketika itu kesombongan merangkul memilu. Tabir hobat datang menyingkap eksotis!

Ini bukan kisah kemewahan nan menggiurkan. Bukan tentang istana megah bernuansa habituatif. Sebab ini bukan milik kaum fahum. Ini bukan sifat hagiografi. Tapi ini adalah balada rindu meniti delirium.

Ini tentang rasa di sini, di tempat ini! Kisah rindu dari rindu! Ketika harapan berlari, lalu tertatih. Ketika cinta menembus batas-batas realitas deliveransi!

Candu rindu berkelakar seketika meratap. Damai pun hanya tertatap, lalu tertatih! Di sana sengkuni-sengkuni mulai liar menggores aksi. Meradang-radang membunuh bayang. Tak tampak peraduan maaf mendekap merangkai. Sebab satu-persatu mulai berlinang menanti. Meskipun yang ternanti, meniti merintih.

Kekasih meringis selaras lara. Dalam nafas temaram merana. Meski tak luput keraguan menyisih kalbu, jejak langkah terkulai tersudut ilusi. Perjalanan setapak liar membuai harapan.

Jemari amanah bermain bermuram durja. Selaksa pelangi merangkai amarah, tersadar pun melingkar simponi. Dalam gersang hati pun menikam bengis!

Menjeritlah wahai titisan amarah membelah langit! Masuklah ke dalam angkara! Demi sang pagi menyongsong mentari, keraguan pun menggores balada.

Fatalis bernyayi menikam deru. Topeng-topeng duri datang meniti derita. Menyulut pelangi dalam rangkaian nalar sang pesimis. Sabda pun menikam janji. Sahara jauh terhempas lirih. Meski prahara berlinang mentari, petaka datang membingkai bayang.

Kau dan aku menilam pualam. Malam pun tiba menafkahi hati. Jarak kita menyulam sua, diantara kerikil-kerikil tawa terletih, ketika janji merangkai imaji.

Di atas peraduan,cemburu berkidung ceracap. Bersama sembilu ia membagi. Karena di sana ada bintang memikul belati!

Penantian hanya tenggelam tersudut hari. Konak kosong merangkai kemuning. Ketika ilusi-ilusi memandu sewindu, laskar-laskar jabarut marah! Lalu membakar!

Risalah berlari seketika meringis. Efulgen rindu risau tak terhiraukan. Di timang-timang dalam buaian ilafi, sebab di sini ada rindu meniti rindu!


(Dalam malam yang membias, di sudut kota Kupang)
Oleh: Abdy Busthan

Dalam menciptakan sebuah karya sastra, harus dipahami bahwa karya sastra tersebut haruslah berfungsi sebagaimana adanya. Fungsi dan manfaat sastra juga bertujuan bagi para pembaca dan pendengarnya masing-masing.

Fungsi Karya Sastra
Menurut Busthan Abdy (2016:25-26), beberapa fungsi karya sastra adalah sebagai berikut:

(1) Fungsi rekreatif adalah memberikan kesangan atau hiburan bagi pembacanya
(2) Fungsi didaktif adalah fungsi sastra memberikan wawasan pengetahuan tentang berbagai seluk-beluk kehidupan manusia bagi pembacanya
(3) Fungsi estetis adalah sastra mampu memberikan keindahan pembacanya
(4) Fungsi moralitas adalah memberikan pengetahuan bagi pembacanya mengenai moral yang baik dan buruk.
(5) Fungsi religius adalah sastra menghadirkan karya yang didalamnya mengandung ajaran agama yang diteladani oleh pembacanya.
Manfaat Karya Sastra
Terkait dengan manfaat karya sastra, Busthan Abdy (2016:26) menyatakan bahwa manfaat sastra dapat dikelompokkan berdasarkan tiga manfaatnya, yaitu:

Pertama. Sebagai sarana penyampaian suatu pesan moral. Dengan karya sastra para sastrawan bisa menyampaikan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, serta memperjuangkan hak juga martabat manusia.

Kedua. Sebagai sebuah sarana penyampaian kritik. Dengan melalui seni sastra, maka elemen masyarakat bisa mengemukakan masalah kritik dan juga saran.

Ketiga. Sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan juga perhargaan terhadap kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dimana, seni sastra Indonesia adalah sarana berekspresi budaya dalam rangka untuk ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat akan nasionalisme.

(Oleh: Abdy Busthan)
*********
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Sejarah dan Teori Sastra. Kupang: Desna Life Ministry

Sastra memiliki ciri khas dan karakteristik yang membuatnya dinamakan sebagai karya sastra itu sendiri. Menurut Busthan Abdy (2016:21-23), ciri dan karakterisik sastra dapatlah dibedakan berdasarkan ciri secara umum dan secara khusus.

Secara umum. Untuk mempelajari karya sastra secara baik, setidaknya terdapat 5 (lima) karakteristik sastra yang harus dipahami.

Pertama, pemahaman bahwa sastra harus memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan, harus mencerminkan suatu kenyataan. Jika pun belum, karya sastra yang diciptakan, dituntut mendekati kenyataan.

Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra, harus dapat mengetahui apa manfaat sastra untuk para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, akan memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia.

Ketiga, dalam sastra setidaknya harus disepakati keberadaan unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas adalah cerminan kenyataan yang merupakan unsur realitas yang tidak 'terkesan' dibuat-buat.

Keempat, pemahaman bahwa karya suatu sastra adalah merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya dapat dibedakan manakah karya sastra yang termasuk dalam sastra dan yang bukan sastra. Sebab sastra adalah seni.

Kelima, setelah empat dari karakteristik sastra di atas dipahami, maka pada akhirnya, haruslah bermuara pada kenyataan bahwa, sastra adalah merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu, memiliki tanda-tanda yang kurang lebih sama dengan norma, adat, atau segala kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.

Secara khusus. Empat ciri dan karakteristik satra secara khusus adalah sebagai berikut:

Pertama. Isinya menggambarkan manusia dengan berbagai persoalannya. Sedangkan bahasanya yang indah atau tertata baik, serta gaya penyajiannya (kalimat) menarik yang berkesan di hati pembacanya.

Kedua. Sastra memberikan hiburan dalam lubuk hati manusia terpatri kecintaan dan keindahan. Manusia adalah makhluk yang suka keindahan. Karya sastra adalah apresiasi keindahan itu. Karena itu, karya sastra yang baik selalu menyenangkan pembaca.

Ketiga. Sastra menunjuk kebenaran hidup. Dalam karya sastra, terungkap pengalaman hidup manusia: yang baik, yang jahat, yang benar, maupun yang salah. Karena itu manusia lain dapat memetik pelajaran yang baik dari pelajaran yang baik dari karya sastra.

Keempat. Sastra mampu melampaui batas-batas sebuah bangsa dan zaman. Nilai-nilai kebenaran, ide, atau gagasan dalam karya sastra yang baik, bersifat universal, sehingga dapat dinikmati oleh bangsa manapun.

Menurut Busthan Abdy (2016:23-25), berdasarkan masanya, maka karya sastra dapat di bagi menjadi dua masa, yakni karya sastra lama dan sastra baru. Keduanya memiliki ciri–ciri yang sedikit berbeda. Berikut ini pembagian ciri dan karakteristiknya:

Ciri Karya Sastra Lama
(1) Bentuknya berupa puisi yang terikat seperti syair, pantun, hikayat, mite, legenda, dongeng.


(2) Dibuat dari, untuk, serta milik rakyat/masyarakat.
Anonim atau dengan kata lain: tidak dicantumkan siapa nama pengarangnya.

(3) Istana sentris, yaitu ceritanya berpusat pada istana dengan menggambil tokoh raja.

(4) Lambat dalam mengikuti perkembangan dan selalu terpaku pada aturan yang ada disebut statis atau proses perkembangannya statis dan disampaikan lisan secara turun temurun.

(5) Pengarang taat kepada kelaziman.


(6) Karya sastra lisan umumnya dari mulut ke mulut.

(7) Bahasa yang digunakan masih kemelayu-melayuan dan bahasanya sering klise. Disamping itu, bahasa pada karya sastra lama menggunakan Bahasa Arab, dan Bahasa Daerah.


(9) Tokoh hitam-putih dan berupa mistis.

(10) Tema karangan bersifat fantastis (fantasi; tidak nyata; tidak masuk akal; sangat hebat dan luar biasa)

(11) Karangan berbentuk tradisional.


(12) Latar belakang penciptaannya terpengaruh pada kesastraan hindu, islam, budaya tradisional.

Ciri Karya Sastra Baru
(1) Bentuknya berupa puisi bebas dan kontemporer yaitu seperti cerpen, novel, dram Indonesia.


(2) Karya sastra tulisan disampaikan secara tertulis
Tokohnya bebas dan kreatif.


(3) Nama pengarang dicantumkan, dan pengarangnya dikenal oleh masyarakat luas

(4) Latar belakang penciptaannya lebih terpengaruh kesusastraan barat, budaya industri modern, dan hak cipta pengarang individu.

(5) Masyarakat sentris, dimana tema yang diangkat adalah seputar kemanusiaan, kemasyarakatan, kehidupan modern, pergaulan remaja,dll

(6) Bersifat rasional modern dan tidak tradisional.


(7) Perkembangannya bersifat dinamis, melalui media cetak dan audiovisual.

(8) Ceritanya berpusat pada kehidupan sehari- hari.

(9) Karya sastra baru mengikuti perubahan sesuai perkembangan pribadi penciptanya.

(10) Bahasanya tidak klise (tidak bersifat meniru). 

(11) Menggunakan bahasa Indonesia dengan bahasa keseharian dan sering dimasuki bahasa asing kreatif, juga bahasa-bahasa gaul.

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Sejarah dan Teori Sastra. Kupang: Desna Life Ministry

Bahasa adalah ‘titik berangkat’ peradaban manusia. Manusia akan berada setingkat lebih maju di dalam peradabannya, jika ia mampu menguasai dan menggunakan bahasa sesuai dengan situasi dan kondisi (kontekstual) di mana ia berada. Hal ini tentu menjadi penting, karena bahasa adalah alat komunikasi dalam kehidupan manusia yang sosiodemokrasi.

Manusia sebagai makluk sosial, sangat sulit menghindari penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bekerja, berbicara, dan melakukan kegiatan apapun yang berhubungan dengan orang lain, manusia akan menggunakan alat komunikasi berupa bahasa sebagai sistem lambang bunyi. Dalam hal ini bahasa merupakan alat pemersatu manusia dalam menjalani kehidupan ini. Itu sebabnya setiap negara memiliki bahasa persatuannya sendiri-sendiri.

Konsep Bahasa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “bahasa” merujuk pada dua pengertian, yaitu: (1) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; (2) bahasa adalah percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun: (baik budi -- nya;-- menunjukkan bangsa, pb) budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). (Setiawan Ebta, 2012-2016).

Dari kedua definisi di atas, maka bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk beriteraksi atau berkomunikasi dengan bentuk lambang bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep dan perasaan seseorang. 


Bahasa juga terdiri atas kumpulan kata yang apabila di gabungkan akan memiliki makna tersendiri. Bahasa diciptakan sebagai alat komunikasi universal yang diharapkan dapat dimengerti oleh setiap manusia dalam melakukan interaksi sosial dengan manusia lainnya.

Ciri Bahasa
Menurut Busthan Abdy (2017:13-14), dalam penggunaannya, bahasa mengandung ciri khasnya tersendiri, diantaranya adalah sebagai berikut:


Bahasa berwujud lambang. Artinya bahwa bahasa memiliki simbol untuk dapat menyampaikan pesan atau maksud kepada orang lain.

Bahasa berwujud bunyi. Artinya bahasa berguna untuk menyampaikan pesan lambang dari bunyi yang dihasilkan oleh alat kecap manusia.

Bahasa memiliki makna. Artinya dari setiap kalimat yang kita sampaikan melalui bahasa pasti selalu memiliki arti/makna untuk dapat disampaikan kepada orang lain.

Bahasa bersifat universal. Artinya bahasa bersifat umum sehingga diharapkan setiap orang dapat mengerti dan memahami apa yang sedang dibicarakan.


Bahasa itu arbitrer. Artinya bahasa selalu berubah-ubah sesuka penggunanya, dan cenderung tidak tetap karena bahasa mengikuti perkembangan IPTEK.

Bahasa itu unik. Bahasa di sini mengandung keunikannya sendiri. Artinya setiap bahasa yang ada pada tiap-tiap daerah atau Negara memiliki keunikan tersendiri karena yang berbeda dengan bahasa dari Negara/daerah lainnya.

Bahasa bersifat manusiawi. Artinya bahwa, bahasa yang manusiawi adalah bahasa yang lahir alami oleh manusia sebagai penutur bahasa.

Bahasa memiliki variasi. Artinya bahwa jarang sekali ditemukan bahasa yang memang benar-benar sama dari negara atau daerah dan tempat yang berbeda.

Bahasa bersifat dinamis. Bahasa bersifat dinamis bahwa bahasa sedikit-sedikit berubah mengikuti perkembangan zaman.

Fungsi Bahasa
Menurut Busthan Abdy (2017:15-16), selain memiliki ciri seperti diuraikan di atas, bahasa juga memiliki fungsi dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari, yaitu sbb:

Bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi manusia sejak beratus-ratus tahun lalu, untuk berinteraksi dengan manusia lainnya guna menyampaikan maksud dalam hati dan fikiran manusia, sehingga tercipta kerja sama yang baik antar manusia. 

Bahasa sebagai alat untuk ekspresi diri. Bahasa biasanya digunakan mengekspresikan diri seseorang guna menarik perhatian orang lain dan membebaskan diri dari tekanan emosi. 

Bahasa sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk berintegrasi dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Bahasa yang digunakan hendaknya harus sesuai dengan kondisi daerah atau negara dimana kita berada.


Bahasa sebagai suatu alat kontrol sosial. Melalui bahasa, manusia akan mengetahui apakah seseorang itu sedang marah, sedih, atau bahagia. Bahasa dalam hal ini, lebih mempengaruhi sikap, tingkah laku, serta tutur kata seseorang.

*************
Tulisan ini di kutip dari Buku:
Judul: Pembelajaran Dasar Bahasa Indonesia (Hal 13-16)
Tahun Terbit: 2017
Penulis: Abdy Busthan
Penerbit: Desna Life Ministry
Kota: Kupang

Ini tentang janji memelas elegi. Tentang rindu yang datang dan menyatu dalam arogansi sang waktu. Meski wara-wiri imaji tergadai makarnya alibi, tetaplah kisah sang pelangi bermula di sini... saat ini!

Balada ini menggores prosais. Sabdanya meringis, membakar langit-langit nurani. Ketika asmara membaur sepih, lingkaran hati hanyalah natur sebuah ilusi.

Progeni damai bergoyang lirih, seketika itu fakta sang lestari menggores naif. Hempasan hasrat terdengar semu, dalam sembilu kicauan sang angkara. Titah nalar, datang menjaring bengisnya sang harmoni. Dan dalam perwatakan semu, dahaga liar menyongong parodi.

Inilah refleksi yang terurai keluh. Harapan terkikis harapan, hikayat birahi terpatri bersabda rapuh. Ini kerinduan menyingkap lara.

Sebab keniscayaan bukanlah warna yang menyatu dalam warna. Meski warna-warni berucap salam, tapi tidak dengan sendirinya realitas ini berwarna.

Lingkaran waktu merajam ilalang-ilalang sakral. Ada candu menafikan karma. Meski sesekali rindu menyulam animo, tetap saja sang durjana berpelipur resah.

Kepastian menangis, ketika irama nafas berlinang halimun. Desahan sang surga bersimponi duka, karna kalam nurani bermuram jelita. Diantara maskulin birahi menderai kata, gulana firdaus terkapar sepih. Akhirnya, mimpi-mimpi sang mutiara asik menerjang dermaga lamunan!

Selafal puisi datang merangkai dahaga. Seketika itu simponi membuai asah. Dalam telaga kepalsuan, lentik jemari mendekap jerami kepahitan.

Haruskah langit merintih pesona? Mungkinkah keraguan tak terkatakan? Tidak! Aku bukan hingarnya sang bingar! Aku ada diantara pesona menerjang bedebah!

Ya, aku memang harus bangkit di sini! Aku akan berdiri di atas kaki sendiri! Menantang makar-makar opini! Mengusik lamunan titah kepalsuan!

Wahai kau tuan-tuan nurani, kemanakah bilur kerahimanmu menelanjangi waktu? Dimanakah keindahan berbisik sendu? Melagukan syair, melakoni simponi tentang impian?

Mungkin lentera sabda mulai terjaga. Kepakan sembilu datang menghempas derita. Sawang langit pun meniti sahara. Meskipun di sana untaian maaf kian duka membalut gersangnya luka.

Semua harapan serentak pun terukir. Mendamaikan cinta di ujung hari tersudut pilu. Nuansanya merangkai dekapan dalam kesenduan kalbu. Meski langit-langit impian merah membarah, kelakar kenangan tetap saja terhampar naluri.

Dalam tepian cakrawala jiwa, delirium melangkah pasti. Euphoria pun datang mendekap kemilau. Damailah hatiku, tentramlah wahai kekasihku!

Bersinarlah mutiaraku! Gaduhkanlah pesonamu! Bersatulah dalam kirbat-kirbat nalarku!

Diam dalam diam hikayat membekas merona. Sang malam datang mengukir rindu. Sepadan pun secawan impian mendekap ketulusan.

Kisah tentang lautan asmara menepi di sini. Berlabuh dalam cindai harapan, terbujur demi serunai yang terus mewarnai sejuta samudra kenangan!

Dan dalam gempitanya sabda hasrat bergemuruh, aku dan segelas anggur merah kian berlalu... pergi menyusuri hempasan jejak dustamu yang kian membekas prahara

(dalam liarnya malam, di sudut jalur Sikumana,
kota Kupang)
Oleh Abdy Busthan

Menyimak adalah bagian yang tak terpisahkan dari bahasa dan komunikasi. Objek yang di simak, entah itu berasal dari pendengaran, penglihatan ataupun dari perasaan, selalu saja mengandung unsur-unsur bahasa yang nantinya dapat pula dikomunikasikan keluar maupun ke dalam diri seseorang.

Karenanya, hubungan terdalam antara menyimak, bahasa dan komunikasi adalah bahwa bahasa menjadi objek yang di kominikasikan melalui aktifitas menyimak. Semua hal yang disimak, akan selalu menggunakan bahasa dalam kata-kata yang dikomunikasikan melalui bicara

Karl Kraus (1874-1936) pernah berucap, bahasa adalah ibu dari pemikiran, bukan dayang-dayangnya. Tentu saja apa yang diucapkan Kraus ini bukanlah isapan jempol semata. Sebab di dalam aktifitas kehidupan ini, hampir tidak pernah tidak, kita terhindar dari menggunakan bahasa.

Hampir tidak pernah terjadi, misalnya kita bercakap-cakap dengan cara saling menulis di kertas, saling bermain mata, atau dengan saling memukul-mukulkan suatu benda atau saling melemparkan benda-benda lainnya. Sebab dalam percakapan sehari-hari, kita selalu tidak luput dari bahasa. Bahkan, efektif tidaknya sebuah percakapan, sebenarnya sangatlah dipengaruhi oleh kemultifungsian sifat bahasa itu sendiri (Wibowo, 2003).

Itu sebabnya Danesi Marcel (2011) menyatakan bahwa, bahasa benar-benar sebuah fenomenon yang luar biasa, sebab tanpanya kehidupan manusia seperti yang kita kenal kini tak akan dapat terwujud. Lalu apa pengertian dari bahasa itu? Bahasa secara harfiah, datang secara alamiah kepada manusia. Kita memperolehnya sebagai ujaran vokal tanpa upaya atau pelatihan semasa bayi. 


Bahkan seorang Chomsky (1928) tidak tanggung-tanggung untuk mengklaim bahwa bahasa merupakan organ fisik yang bersifat bawaan bagi manusia, sama seperti, misalnya, terbang bagi burung.

Berbeda hal dengan pendapat Winfried Noth (2006) yang menyatakan, bahwa, istilah “bahasa” (language) digunakan secara umum baik untuk sistem tanda linguistik maupun untuk sistem tanda nonlinguistik. Dalam pengertian yang kedua ini, yakni nonlinguistik, terdapat beberapa ragam bahasa, seperti bahasa musik, arsitektur, film dan Objek.

Namun pengertian bahasa umumnya diartikan sebagai suatu sistem lambang bunyi yang arbitrer (manasuka) yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk mereka dapat bekerja sama, berinteraksi dan mengindentifikasi diri. Atau bisa juga didefinisikan sebagai kata yang digunakan untuk dapat menghubungkan bagian ujaran. Dalam hal ini, maka bahasa digunakan melalui perkataan yang diucapkan, dan perkataan yang diucapkan adalah dengan “berbicara”.

Keterampilan berbahasa yang memiliki sifat sama, pasti memiliki hubungan yang erat. Keterampilan menyimak dan membaca keduanya bersifat reseptif. Pengetahuan seseorang yang diperoleh melalui menyimak akan menjadi skemata yang membantunya ketika dia memahami isi bacaan, demikian pula sebaliknya; pengetahuan yang diperoleh dari bacaan atau hasil membaca akan menjadi skemata yang akan membantu dalam memahami isi simakan. Artinya, kedua keterampilan berbahasa reseptif ini selalu saling mendukung. Dapat disimpulkan bahwa, seseorang yang terampil membaca juga terampil menyimak atau sebaliknya.

Antara keterampilan berbahasa produktif juga memiliki hubungan yang erat. Seorang penyaji seminar selain pintar berbicara ketika mempresentasikan makalahnya juga pandai menulis bahan seminar.

Empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, menulis memiliki hubungan yang sangat erat meskipun masing–masing memiliki ciri tertentu. Karena ada hubungan yang sangat erat ini, pembelajaran dalam satu jenis keterampilan sering meningkatkan keterampilan yang lain. Misalnya dalam pembelajaran membaca, di samping dapat meningkatkan keterampilan membaca seseorang, dapat juga meningkatkan keterampilan menulis.

Contoh lain belajar menemukan ide – ide pokok dalam menyimak juga meningkatkan kemampuan dalam hal menemukan ide –ide pokok dalam membaca, karena kegiatan berpikir baik dalam memahami bahasa lisan maupun bahasa tertulis pada dasarnya sama.

Jadi, dalam proses keterampilan komunikasi berbahasa, semua aspek keterampilan berbahasa, baik lisan maupun tertulis, adalah hal yang sangat penting. Pengalaman merupakan dasar bagi semua makna yang disampaikan dan yang dipahami dalam bahasa tertentu. Anak yang memiliki pengalaman berbahasa cukup luas dapat mengungkapkan maksudnya dan mudah memahami maksud orang lain.

Kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis semua bergantung pada kekayaan kosa kata yang diperlukan untuk berkomunikasi yang dimiliki oleh seseorang. disamping itu, kemampuan berbahasa juga memerlukan kemampuan menggunakan kaidah bahasa.

Oleh: Abdy Busthan
Di kutip dari buku:
Menyimak: Suatu Esensialitas Berbahasa (Hal. 22-25)
Tahun Terbit: 2016
Penulis: Abdy Busthan
Penerbit: Desna Life Ministry
Kota: Kupang

Paragraf merupakan rangkaian kalimat yang memiliki gagasan utama. Menurut Busthan Abdy (2017:78-80), jenis paragraf dapat terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu: 1) jenis paragaf menurut letak gagasan utamanya dan 2) jenis paragraf menurut tujuannya.

Jenis Paragraf Menurut Letak Gagasan Utama
Berdasarkan letak gagasan utamanya, paragraf dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:

Paragraf Deduktif. Jenis ini memiliki gagasan atau pikiran utama di bagian awal rangkaian kalimat. Biasanya gagasan utama dalam paragraf deduktif, berada pada kalimat pertama. Sedangkan kalimat lainnya berisi penjelasan yang mendukung gagasan utama yang telah dipaparkan di awal.

Paragraf Induktif. Berbanding terbalik dengan paragraf deduktif, gagasan utama pada jenis paragraf induktif baru bisa ditemukan di bagian akhir dari rangkaian kalimat dan lebih sering berada di kalimat terakhir. Gagasan utama di akhir ini bersifat menyimpulkan inti dari kalimat-kalimat penjelas yang berada di kalimat sebelumnya.

Paragraf Campuran. Paragraf campuran merupakan gabungan gagasan utama yang berada di awal dan akhir rangkaian kalimat. Gagasan di kalimat awal biasanya berupa inti pikiran dari paragraf tersebut. Sementara itu, di bagian akhir kembali ditekankan mengenai gagasan utama dengan kalimat yang mungkin saja berbeda dari kalimat gagasan utama di awal.

Jenis Paragraf Menurut Tujuannya
Isi dari paragraf tentunya memiliki beragam tujuan. Ada tujuan yang sifatnya memaparkan, mengajak, mendebat, dan lain-lain. 

Berdasarkan tujuan dari isinya, paragraf dapat dikelompokkan menjadi lima jenis.

Paragraf Narasi. Isi dari jenis paragraf ini bersifat menceritakan sesuatu hal secara kronologis. Untuk yang bersifat naratif, maka tiap kalimatnya disusun secara runtut sehingga memudahkan pembaca membayangkan kejadian atau peristiwa yang tengah diceritakan. Karena sifatnya yang “bercerita”, pembaca akan menemukan sudut pandang dalam kalimat-kalimat di paragraf ini. Jenis ini biasanya dijumpai pada cerpen, novel, ataupun prosa bebas lainnya.

Paragraf Eksposisi. Paragraf eksposisi adalah jenis paragraf yang isinya berupa penjelasan untuk memaparkan fakta-fakta yang ada. Karena fakta yang menjadi dasarnya, tulisan-tulisan eksposisi lebih cenderung bersifat ilmiah. Tujuannya adalah memberikan informasi yang detail kepada pembaca. Ciri-cirinya adalah memiliki fakta yang jelas dari berita ataupun penelitian dan tidak mencampurkan pendapat penulis di dalamnya. Model seperti ini cenderung dijumpai pada artikel-artikel berita.

Paragraf Argumentasi. Jenis paragraf yang bertujuan memberikan pandangan kepada para pembacanya ini tidak hanya menyajikan fakta ataupun isu permasalahan dalam isinya, namun juga memberikan pendapat-pendapat dari sang penulis. Jadi, data maupun fakta hanyalah pelengkap dari opini sang penulis. Pada jenis paragraf argumentasi, akan dijumpai kesimpulan dari rentetan pendapat penulis di dalam rangkaian kalimat tersebut. Kesimpulan tersebut cenderung diletakkan di akhir paragraf.

Paragraf Persuasi. Hampir sama dengan paragraf argumentasi, bahwa paragraf persuasi ini lebih banyaknya menampilkan pendapat-pendapat dari sang penulis terhadap suatu berita atau isu tertentu. Perbedaannya, kalimat-kalimat yang isinya bertujuan memengaruhi pembaca ini cenderung mengandung kata-kata ajakan atau imbauan, seperti ayo dan mari. Kata dan gaya bahasa yang digunakan pun dipilih yang semenarik mungkin untuk semakin meyakinkan pembaca atas ajakan yang dikeluarkan.
Paragraf Deskripsi. Jenis paragraf ini bertujuan untuk membuat para pembacanya dapat lebih merasakan ataupun membayangkan hal yang dideskripsikan secara jelas dan nyata, seolah-olah pembaca dapat melihat, mendengar, ataupun mencercap objek yang dijelaskan. Karena itulah, isinya merupakan gambaran lengkap dari sebuah objek yang disusun dalam kalimat-kalimat.

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Pembelajaran Dasar Bahasa Indonesia. Kupang: Desna Life Ministry

Jika suatu ketika, kita bertemu dengan seseorang, lalu kita mencoba mengajukan sebuah pertanyaan pada orang tersebut dengan pertanyaan yang berbunyi: apakah Anda pernah membaca sebuah karya sastra? Jawabannya pasti hanya dua: “sudah” atau “belum”. Dalam artian, ‘sudah’ jika memang pernah membacanya, dan ‘belum’ jika memang belum pernah membacanya.

Atau, misalnya kita bertanya lagi pada seseorang dengan pertanyaan lain yang berbunyi: apakah Anda menyukai sastra? Maka sudah dapat dipastikan pula bahwa jawaban dari orang tersebut adalah: “ya” atau “tidak”! Tentu kedua jawaban ini sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya yang bergaul dengan sastra.

Dari uraian di atas, secara sepintas, mungkin kita bisa memberikan pemahaman sederhana mengenai istilah sastra ini. Mungkin saja, kita berasumsi bahwa sastra adalah sesuatu yang mudah dipahami dan selalu dekat dengan kehidupan setiap insan manusia. Sayang sekali, bahwa anggapan seperti ini sangat keliru!

Sebab perlu dipahami bahwa, pemahaman karya sastra, tidak semuda-mudahnya seperti yang kita kira. Jika sebuah pertanyaan dilontarkan dengan bunyi, apakah Sastra itu? Maka, pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Mengapa? Karena setiap jawaban yang nantinya akan diberikan, tidak akan bisa menimbulkan kepuasan bagi siapa saja yang bertanya. Tentunya hal ini menegaskan bahwa secara konseptual, siapapun yang menjadi orang yang ditanya tentang pertanyaan itu, maka ia tidak mungkin dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”—meskipun dalam keseharian ia mengenal “sastra” sebagai suatu objek yang sering dihadapinya.

Pada umumnya dalam alam realitas ini, sebagian orang memang getol terhadap sastra. Sebagai misalnya, dengan mendengar dan membaca kalimat-kalimat indah, kata-kata mutiara, juga ungkapan-ungkapan persuasif yang memiliki beragam keindahan bahasa dan sastra dalam melakukan komunikasi antar manusia—semua ini, bisa menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang untuk bersastra.

Namun, pemahaman akan setiap kenikmatan karya sastra ini, perlu di dalami sedalam-dalamnya berdasarkan teori-teori sastra yang ada. Teori sastra akan memberikan gambaran konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang dapat membimbing ke arah dan aras pemahaman akan segala fenomena yang terkandung di dalamnya.

Dengan mempelajari teori sastra, maka kita akan bisa memahami fenomena-fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra tersebut. Sebaliknya, dengan memahami juga fenomena kehidupan manusia yang ada dalam teori sastra, maka otomatis kita akan memahami dan lebih mengerti teori-teori sastra. Inilah urgensi pembelajaran sastra!

Esensi Sastra
Menurut Busthan Abdy (2016:13), sastra merupakan istilah yang akan selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, agama, dll. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam sebuah karya sastra. Itulah sebabnya sastra dianggap mampu untuk memberikan suatu kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sebuah sastra, maka muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.

Adakalanya, dengan membaca sastra, seseorang akan terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan tersebut, kemungkinan besar, akan muncul kenikmatan estetis. Namun penting dipahami bahwa, sastra bukan suatu seni bahasa semata, melainkan ia juga merupakan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya, faktor yang sangat menentukan di sini adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.

Menurut Luxemburg dkk (1989) dalam Busthan Abdy (2016:14), sastra juga dapat bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.

Dalam hal penggunaannya, makna dalam istilah sastra, kerapkali dipertentangkan dengan istilah sastrawi, sehingga keduanya menimbulkan makna ambigu. Sulit dibedakan. Padahal, segmentasi dari sastra cenderung mengacu pada definisinya sebagai sekedar sebuah “teks”.

Sedangkan istilah sastrawi, mengarah pada konsep sastra yang sangat kental dengan nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan misalnya, adalah salah satu contoh yang biasanya diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Disamping itu, terdapat perbedaan antara istilah sastrawan dan karya sastra—‘sastrawan’ adalah seseorang yang mempelajari tentang sastra, sedangkan ‘karya sastra’ lebih menunjuk bentuk ataupun hasil dari sastra tersebut.

Pengertian Sastra
Sampai detik ini, tidak ada satu pun definisi tunggal tentang sastra yang dapat menjadi kesepakatan bersama dan bisa diterima oleh semua kalangan. Pengertian sastra luas dan beragam. Para ahli pun mendefinisikan sastra dengan kalimat yang berbeda-beda (Busthan Abdy 2016:14)

Itulah sebabnya, Wiyatmi (2006) menegaskan bahwa sastra bisa diibaratkan seperti angin, berada dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, maka upaya mendefinisikannya akan selalu saja gagal karena definisi yang dicoba dirumuskan, ternyata memiliki pengertian yang kurang sempurna dibanding yang didefinisikannya.

Dari pendapat Wiyatmi ini, mungkin lebih tepatnya sastra dapat diartikan sebagai samudra kata-kata dalam rangkaian gaya bahasa estetis yang terungkapkan melalui tulisan yang mempengaruhi kehidupan insan manusia. Pada titik ini, sastra merupakan keindahan gaya bahasa yang mampu menggugah setiap ranah afektif (perasaan), psikomotorik (perbuatan) dan kognitif (pemikiran) dari setiap individu, agar dengan penggugahan atas 3 ranah ini, maka individu memaknai setiap aspek kehidupannya menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

Pengertian Sastra Secara Etimologis Menurut Busthan Abdy (2016:15), secara etimologis, kata ‘sastra’ berasal dari sebuah kata dari bahasa Latin, yaitu kata ‘litteratura’, yang merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika. Kedua kata tersebut, yakni litteratura dan grammatika, masing-masing terbentuk dari kata dasar littera dan gramma, yang berarti: huruf atau tulisan.

Dalam perkembangannya, kata ‘sastra’ kemudian disebutkan dengan bebeberapa sebutan, dalam bahasa inggris, sastra disebutkan dengan literature, dan dalam bahasa Jerman adalah literatur, sementara dalam bahasa Perancis disebut dengan littérature (Prancis). Pemakaian kata sastra atau literature kerapkali mengacu pada segala sesuatu yang tertulis. Dalam konteks di Indonesia, istilah “sastra” awalnya berasal dari kata śāstra (शास्त्र), yang merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Sanskerta, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau sebuah “pedoman”.

Kata śāstra ini berasal dari kata dasarnya śās, yang artinya “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia, kata śāstra sering digunakan dengan mengacu kepada kesusastraan atau tulisan yang mempunyai pengertian atau keindahan tertentu yang sifatnya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.

Dalam bahasa Sansekerta, kata berakhiran –tra, biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga dapat pula disimpulkan bahwa sastra merupakan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sebagai contoh adalah silpasastra (buku arsitektur) juga kamasastra (buku petunjuk mengenai seni cinta), dll.

Meskipun sastra sering kali dianggap sebagai karya tulis, namun ia tidak saja selalu identik dengan bahasa tulis. Kesalahpahaman dan perbedaan persepsi sering ditemui ketika memahami suatu tulisan. Namun, berbeda halnya dengan sastra. Potensi makna ganda di dalam suatu karya tulis dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana khas dari sastra.

Keambiguan yang diciptakan dalam karya sastra disebabkan karena tidak adanya hubungan fisik antara pengarang dan pembacanya. Kata aku dalam sebuah puisi misalnya, bukan berarti hanya menyangkut tentang diri si pengarangnya. Keambiguan makna inilah yang kemudian disebut keindahan sastra.

Jika, penggunaan dari kata sastra ini berasal dari serapan bahasa sansekerta seperti yang sudah dijelaskan di atas, dimana kata serapan ini merupakan sastra yang memiliki arti tulisan yang berarti pedoman ataupun perintah—pasalnya, kata sas memiliki arti perintah atau ajaran; sementara seni merupakan sebuah ungkapan perasaan manusia yang mempunyai unsur keindahan—maka, jika digabung seni sastra ini, dapatlah ia diartikan sebagai ungkapan manusia berbentuk teks atau tulisan yang bernilai ekstetika sendiri.

Pengertian Sastra Pada konteks Mimemis
Sebelum melihat pengertian sastra lebih dekat, hal pertama dan utama yang musti dipahami bahwa sastra itu dibentuk oleh dan dari masyarakat. Dan dalam derajat tertentu, sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dengan masyarakat (Busthan Abdy 2016:17).

Sedangkan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Konsep dasar sosiologi sastra seperti ini yang oleh Plato dan Aristoteles, dikenal pula dengan istilah ‘mimesis’—yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’.

Pengertian kata ‘mimesis’ (Yunani: perwujudan atau peniruan) untuk pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni yang digagas dan dikemukakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), yang dari abad ke abad, memang banyak mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.

Menurut kajian teori mimesis, penciptaan suatu karya sastra tidak sama dengan penulisan sejarah. Sejarah hanya menuliskan fakta-fakta dan menampilkan kejadian seadanya, dengan tujuan memberikan informasi kejadian yang terjadi di masa lalu kepada pembaca.

Sebaliknya, karya sastra diciptakan untuk memuaskan kebutuhan estetik dan rohani manusia. Para penyair misalnya, mereka tidak menulis berdasarkan kenyataan yang ada dan juga tidak menggambarkan suatu kejadian atau setiap dari peristiwa sebagaimana adanya.

Ruang lingkup sastra lebih luas, sehingga para penyair atau pengarang sastra bisa dengan lebih leluasa mengungkapkan beberapa kemungkinan. Perbedaan penafsiran ini bergantung pada sudut pandang yang dimiliki oleh si pembaca.

Oleh Abdy Busthan

Rujukan Buku:
Busthan Abdy. (2016). Sejarah & Teori Sastra. Kupang: Desna Life Ministry

Yang berminat mendapatkan buku ini,
silahkan WhatsApp atau Kontak via HP 081333343222

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget