Articles by "Filsafat"

Secara teoritis, setiap orang akan merasa kesulitan untuk memulai darimana, bagaimana, seperti apa, dan dengan cara apa, ia dapat mendefenisikan istilah postmodern---istilah ini sangat bertendensi memunculkan berbagai macam pluralistis makna yang tidak dapat disepakati bersama.

Tung Yao Khoe dalam Busthan Abdy (2016) berpendapat bahwa postmodernisme adalah reaksi dari modernisme yang adalah hasrat untuk memahami dunia dengan menggunakan rasio. Tetapi harus dipahami, bahwa keberadaan postmodernisme bukanlah untuk mengakhiri masa modern. Sebab keduanya masih tetap berlangsung, sama seperti berlakunya filsafat-filsafat lain.

Selanjutnya Gene E Veith dalam Busthan Abdy (2016) juga menyatakan bahwa, postmodernisme merupakan respons dari kegagalan-kegagalan masa pencerahan, sekaligus menyingkirkan kebenarannya. Di sini, intelektualitas kemudian digantikan dengan keinginan, sedangkan penyebab digantikan emosi, dan moralitas digantikan dengan relativisme, sementara realitas digantikan pula dengan konstruksi sosial.

Senada dengan itu, O'Donnell Kevin (2003) dalam buku berjudul "Postmodernism", menyatakan bahwa kita tidak dapat memahami istilah postmodern ini tanpa terlebih dahulu melihat ke modernisme, di mana modernisme ini berasal dari gerakan terdahulu yang membuat temuan baru atau menemukan kembali pengetahuan lama. Sehingga untuk memahami postmodernisme, kita harus menelusuri kembali leluhurnya melalui sejarah dan melihat terhadap apa postmodernisme ini bereaksi.

Sehingga menurut Busthan Abdy (2016), jika era atau masa "modernisme" di rujuk kembali ke belakang, maka orang akan mengenang kembali masa atau era "pra-modernisme". Sebaliknya, jika dilihat ke depan, maka orang pun akan diperhadapkan pada suatu era baru, yang biasanya di kenal dengan istilah "post-modernisme". Karena itu maka dalam peradaban insan manusia, terdapat 3 (tiga) era yang memiliki ciri khasnya masing-masing, yaitu era: pra-modern, modern dan postmodern.

Era Pra-modernisme
Era ini adalah masa awal yang bermula dari middle age atau masa reinassance. Pada masa ini, kekuasaan penuh dipegang oleh agama yang menjadi puncak dari segala hierarki kehidupan manusia. Dalam hal ini, semua hal yang tidak berhubungan dengan gereja (seperti: sains, ilmu kesehatan, dll) kemudian dianggap sebagai sihir jahat dan harus dihancurkan.

Urutan hierarki zaman pra-modern, diawali dengan: 1) Pemuka Agama; 2) Raja atau Bangsawan; dan 3) Rakyat. Dalam zaman ini, semua pekerjaan dilakukan oleh rakyat, yang ditujukan untuk kebutuhan dan kepentingan gereja. Dengan minimnya teknologi di zaman tersebut, semua barang dibuat secara manual oleh rakyat yang merupakan tingkatan terbawah dari hierarki.

Pada zaman ini, tingkat pengetahuan dan peradaban manusia terbagi dalam beberapa level, mulai dari era pemburu dan peramu, hortikultur sederhana, hortikultur sederhana kontemporer, hortikultur intensif, masyarakat agraris, hingga masyarakat pastoralis.

Desain yang diciptakan untuk keperluan metafisis atau spiritual pada masa ini, lebih menekankan pada aspek simbol dan tanda dari suatu figur atau unsur-unsur tertentu. Itulah sebabnya, maka desain era pra sejarah hingga sebelum modernisme, lebih banyak bersifat "Form Follow Meaning" yaitu bentuk terikat oleh konsep-konsep pertandaan yang bermuara pada spiritualitas.

Sistem produksi di masa ini, dilakukan secara manual. Semua produk seperti halnya baju, biasanya diproduksi sendiri. Kemudian muncul sistem barter, yaitu misalnya baju ditukar dengan hasil pertanian. Jika diberi skala, maka skala yang ada yaitu kecil.

Sehingga terjadi pemberontakan berkepanjangan yang melahirkan kejadian besar dalam masa ini yaitu "perang salib" (terjadi dari abad ke-11-abad-13). Dalam perang ini, para ksatria (crusader) berjuang demi mempertahankan keyakinan agamanya, serta berjuang untuk dapat mempertahankan pemerintahan Eropa dari desakan pengaruh pemerintahan Islam dari Timur Tengah.

Beberapa teori yang bermuara dari sejarah perkembangan kebudayaan pada masa ini, diantaranya adalah teori "masa poros" dari Karl Jaspers, yang menurut Busthan Abdy (2016:23) terdiri dari pembagian lima periode hingga memasuki masa modernisme, yaitu sebagai berikut:

Pertama. Pendapat Jaspers tentang periode pertama adalah, 1) Manusia telah menggunakan api dan alat bantu sederhana, seperti: kapak, kulit pohon, atau kulit binatang; 2) Telah digunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Suara telah berperan sebagai simbol; 3) Terbentuk kesadaran sebagai manusia, dan orang mulai membentuk kelompok-kelompok atau suku-suku yang mempunyai struktur sosial; dan 4) Kesadaran sebagai manusia telah menghasilkan

Kedua. Periode kedua merupakan perkembangan lanjut dari kebudayaan tua di sekitar sungai Nil, Hoang Ho ataupun dari kebudayaan India. Hal-hal yang terjadi adalah: 1) Timbulnya struktur sosial dan pengaturan organisasi kemasyarakatan yang lebih rumit; 2) Ditemukannya sistem komunikasi dengan tulisan (Hrozny 3300 SM, sumeria 3000 SM, Mesir 2000 SM, dan China 2000 SM); dan 3) Tumbuhnya bangsa-bangsa yang memiliki struktur bahasa dan mitologi yang sama dan serupa; 4) Timbulnya kolonialisme; serta 5) Penggunaan tenaga hewan, khususnya kuda sebagai alat transportasi.

Ketiga.Periode ketiga ditandai dengan kemampuan melepaskan diri dari kontinuitas sejarah masa lalu. Mulai timbulnya agama-agama besar dunia, dan timbul pula pertarungan antara rasionalitas dan mitos.

Keempat
. Pada periode keempat, ilmu pengetahuan (sains) mulai berkembang seiring dengan bermunculnya filosof dan pemikir besar, seperti: Descartes, Hegel, Keppler, Galilei, James Watt dsb.

Kelima.Periode kelima, lahirlah era "modernisme" yang setidaknya dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: 1) Ilmu pengetahuan Alam; 2) Semangat eksplorasi; dan 3) Organisasi kerja.

Era Modernisme
Zaman ini ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek total. Era modern adalah zaman di mana kalimat "Cogito Ergo Sum" menjadi realitas---nyata. Dalam zaman modern, manusia diminta untuk berpikir sendiri, karena sumber dari segala sesuatu adalah manusia. Sehingga era ini banyak sekali menghasilkan penemuan (age of discoveries).

Apalagi setelah pernyataan sang filsuf Rene Descartes: "Cogito ergo sum", yang artinya 'aku berpikir maka aku ada'---melalui pernyataan ini---manusia kemudian dibimbing oleh rasionya sebagai subjek yang berorientasi pada dirinya sendiri, sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama tingkah lakunya sendiri. Sehingga pada masa ini, muncullah berbagai macam teori yang berlaku sampai sekarang.

Menurut Busthan Abdy (2016), dalam zaman modern muncul pula janji-janji (pemberontakan) modernisme "pencerahan", yaitu:
  1. Kemerdekaan bagi manusia, yang tidak ada lagi dalam kungkungan agama bagi manusia.
  2. Keadilan bagi manusia, yang tidak ada lagi hierarki, sebab semua orang memiliki kekuatan atau hak yang sama
  3. Kemakmuran bagi manusia, yaitu dengan adanya mesin-mesin dari hasil penemuan sains dan teknologi, produksi manufaktur meningkat, manusia bisa lebih makmur dengan hasil penjualan massal.
  4. Kemajuan bagi manusia, yang ditandai dengan kebebasan berpikir, tanpa dihalang-halangi oleh gereja, manusia akan lebih maju, karena bisa 'bebas' memperoleh ilmu pengetahuan

Disamping empat hal di atas, beberapa peristiwa juga terjadi pada masa ini, yaitu sebagai berikut:
  1. Terjadinya industri massal akibat ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada saat revolusi industri.
  2. Penjajahan terhadap koloni bangsa lain untuk mencari SDA dan SDM yang dibutuhkan akibat munculnya pabrik dan manufaktur.
  3. Terjadi perusakan lingkungan karena dieksploitasi secara terus menerus demi kemajuan produksi.
  4. Tidak terdapat karakter dan perbedaan karena mengikuti "Form Follow Function"
  5. Terjadilah perang yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan sains.Sehingga, muncullah kapitalisme yang menekan orang bawah karena masalah keuangan.

Menurut Anthony Giddens (2004), modernitas pada dasarnya bersifat global, dan sejumlah konsekuensi tidak menentu dari fenomena ini, kemudian menyatu dengan sirkularitas karakter refleksif untuk membentuk suatu jagad peristiwa dimana resiko dan bahaya memiliki bentuk yang baru. Kecenderungan global modernitas bersifat ekstensional sekaligus intensional.

Dua citra yang terkait bagaimana rasanya hidup di dunia modernitas adalah, bagaimana menurut pendapat Max Weber dan Karl Marx.---Menurut Weber, dalam masa ini, ikatan rasionalitas makin ketat dari hari ke hari, sehingga cukup untuk memenjarakan manusia di dalam jeruji yang tak tampak rutinitas birokrasi.

Sementara menurut Karl Marx, modernitas adalah "monster" yang merusak kehidupan dan tak dapat diperbaiki. Modernitas bagi Marx adalah seperti apa yang dikatakan Habermas dengan "proyek tak terselesaikan". Bagi Marx, monster ini memang dapat dijinakkan, karena hal-hal yang telah diciptakan manusia selalu dapat ditempatkan dibawah kontrol mereka sendiri.

Sehingga "kapitalisme" ala Marx, adalah salah satu cara irasional untuk menjalankan dunia modern, karena Marx menggantikan godaan pasar dengan pemenuhan kebutuhan manusia secara terkendali. Itu sebabnya, banyak kalangan menganggap bahwa zaman modern tidak ada bedanya dengan zaman pra-modern. Karena setelah lolos dari jajahan gereja di zaman pra-modern, mereka pun kembali dijajah oleh ilmu pengetahuan dan kapitalisme.

Era Post-Modernisme
Mungkin lebih tepatnya dikatakan bahwa zaman ini adalah "saat ini" dan "di sini"--dimana kita berada sekarang. Pemikiran pada periode ini menamakan dirinya dengan istilah "postmodern", yang lebih memfokuskan diri pada teori kritis, yaitu yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi.

Kemajuan dan emansipasi dalam konteks ini, adalah dua hal yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, seperti yang dinyatakan oleh Habermas, bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.

Era postmodern adalah anti-thesis dari era modern. Dalam era postmodern, ada ungkapan, "Siapapun orangnya, selama ia menghasilkan "sesuatu" maka akan dianggap dan didengar". Selain itu, era postmodern, ditandai juga dengan kembalinya "identitas" yang pernah hilang pada zaman modern, di mana saat itu manusia dianggap sebagai robot yang tidak memiliki emosi dan perasaan.

Namun, tidak hanya terjadi pada manusia saja, hal ini juga terjadi dengan ditandainya identitas yang banyak bermunculan pada produk-produk yang dapat membedakan suatu produk dengan produk lainnya, sehingga masing--masing dari produk tersebut, kemudian memiliki kelebihan dan kekurangannya masing--masing.

Beberapa karakteristik terpenting dalam budaya postmodern antara lain adalah:
  1. Ketidakmenentuan, dimana pada waktu itu masyarakat diberi kebebasan untuk melakukan apa yang ia mau
  2. Terbagi-bagi (terfragmentasi), dimana tidak adanya titik pusat yang menentukan segala sesuatu (pluralisme)
  3. Relativisme bermunculan, sehingga tidak mempercayai semua hal yang bersifat universal, karena semuanya menjadi sangat relatif.
  4. Era ini terjadi ketika batas antara seni dan kehidupan sehari-hari menjadi hilang.
  5. Kebebasan mengubah hidup menjadi karya seni, yaitu dengan mengindah-indahkan segala sesuatu dalam kehidupan.
  6. Kemunculan citra-citra tertentu dalam masyarakat, seperti dalam diri seniman, pencinta lingkungan, vegetarian, dan anti kemapanan, dsb.

Titik Awal Potmodernisme
Menurut Busthan Abdy (2016), berdasarkan asal usul dari katanya, post-modern-isme berasal dari bahasa Inggris yang artinya paham (isme) yang berkembang setelah (post) modern. Terdapat 4 (empat) anggapan penting mengenai kemunculan istilah postmodern ini, yaitu sebagai berikut:

Pertama, beberapa kalangan menganggap istilah ini digunakan pertama kali oleh para seniman pada tahun 1930 (akhir abad-19 dan awal abad ke-20) yaitu dalam bidang seni oleh seorang Federico de Onis, sebagai tujuannya adalah untuk menunjukkan reaksi dari masa sebelumnya, yaitu moderninisme. Kemudian pada bidang sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu maka berkembang dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri.

Kedua, beberapa kalangan lagi beranggapan bahwa, postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, pada tanggal 15 Juli, tahun 1972, tepatnya pukul 3:32 sore. Saat itu, pertama kali didirikan proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis, yang dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi selanjutnya, para penghuninya justru menghancurkan bangunan itu dengan sengaja.Akhirnya, pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi kembali bangunan itu. Namun akhirnya, setelah banyak menghabiskan jutaan dollar, pemerintah pun menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu akhirnya diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks---yang dianggap sebagai arsitek postmodern paling berpengaruh---peristiwa dari peledakan itu selanjutnya menandai akan kematian modernism, dan menandakan kelahiran postmodernisme.

Ketiga
,berdasarkan perspektif filsafat, maka karakter yang khas dari modernisme adalah, bahwa ia selalu berusaha untuk mencari dasar "pengetahuan" (episteme, Wissenschaft) tentang "apa" nya (ta onta) realitas, yaitu dengan cara kembali ke subjek yang mengetahui (dipahami secara psikologis dan transendental). Di sana diharapkan dapat ditemukannya suatu "kepastian" yang sangat mendasar bagi pengetahuan manusia tentang "realitas", yaitu realitas yang dibayangkan sebagai realitas luar (Sugiharto Bambang, 1996: 33). Sebab itu, maka dalam postmodernisme, pemahaman manusia kemudian dibangun berdasarkan pada perspektif masyarakat dengan "subjektifitas" dan "bahasa". Pada titik ini, kebenaran tidak ada yang absolut, sebab kebenaran bersifat relatif dan diragukan.

Keempat,sebagian kalangan dari golongan akademisi, mengklaim bahwa masa porstmodernisme dimulai dengan dihancurkannya tembok Berlin ditahun 1989, yaitu setelah 21 tahun dibangun. Ada pula yang menyebutkan bahwa pada tahun 1960 telah terjadi pemberontakkan besar-besaran yang dilakukan oleh para anak muda terhadap kemapanan pada periode tersebut (Greene Albert, 1995).

Terlepas dari keempat anggapan di atas, di tahun 1975, Charles Jenks dalam karya berjudul "The Language of Post-Modern Architecture" (2002), yang selanjutnya dijelaskan kembali dalam bukunya berjudul "What is Postmodernism" (1986) tentang rumusan unsur kunci dalam realitas postmodern, yang mana dia menyatakan bahwa simplikasi modernis, gaya minimalis, dan gaya ber-tren secara universal, di olah kembali secara dekoratif.

Dalam hal ini---secara ironis---berbagai gaya dan zaman sengaja dicampuradukkan, sebab para arsitek tidak lagi percaya pada gaya yang dominan. Mereka tidak lagi hanya berfokus pada gaya di zaman mereka saja, tetapi dengan melangkah memandang bahwa semua gaya terdahulu adalah sesuatu yang dapat di akses.

Selanjutnya di tahun 1970-an, para filsuf postmodern kontinental muncul dan menjadi populer dari AS, yang sekaligus mengantarkan istilah postmodern ini semakin terkenal bahkan populer untuk dapat digunakan dimana-mana. Timbul pertanyaan mendasar, apa itu "sesudah" (
post)? Dan apa itu modern? Semua "sesudah" yang kita dengar, sebagian ditentukan oleh apa yang datang sebelumnya, mereka tergantung dan bereaksi terhadap gerakan terdahulu.

Jadi untuk bisa mengetahui titik awal kemunculan era postmodernisme ini, maka seseorang tidak dapat memahami postmodernisme tanpa terlebih dahulu melihat ke modernisme yang berasal dari gerakan terdahulu yang membuat temuan baru atau yang menemukan kembali pengetahuan lama. Sehingga untuk memahami lebih dalam tentang dunia postmodernisme, kita harus menelusuri kembali leluhurnya melalui perjalanan sejarah dengan melihat terhadap apa postmodernisme bereaksi (0'Donnell Kevin, dalam Busthan Abdy, 2016).

Oleh. Abdy Busthan
Sumber buku:
Busthan Abdy. (2016). Kristus versus tuhan-tuhan Postmo. Kupang: Desna Life Ministry. (ISBN:978-602-74103-8-1)

Judul diatas adalah sebuah pertanyaan yang masih menjadi perdebatan hingga detik ini. Jika di tela'ah dalam relung-relung filosofi , pertanyaan ini sebenarnya merupakan kekeliruan. Sebab, dalam hal penglihatan manusia—yaitu penglihatan optik secara fisik—hanya mensyaratkan dua hal mendasar, yaitu: (1) Adanya alat yang digunakan untuk melihat (jika di dunia ini berarti mata); dan (2) Adanya alat bantu untuk menerangi obyek yang dilihat, yaitu cahaya. 

Manusia tidak dapat melihat suatu obyek jika ia berada dalam kegelapan. Kedua syarat di atas haruslah terpenuhi. Sehingga, jika Tuhan dapat dilihat, maka berarti Dia terikat terhadap obyek lain—yaitu mata dan cahaya—dalam menampakkan diri-Nya. Tuhan tidak mungkin terikat oleh apapun. Jika Tuhan terikat oleh sesuatu di luar diri-Nya, maka sudah pasti dia bukan Tuhan. 

Sesuai dengan hukum akal, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah. Akan tetapi, Tuhan dapat disaksikan dan dilihat dengan mata hati (perasaan). Jadi, hati seukuran kapasitas eksistensialnya, dapat menyaksikan serta dapat melihat Tuhan. 

Namun, apabila yang dimaksudkan dengan melihat itu adalah melihat secara lahiriah dan kasat mata, maka tidak seorang pun yang dapat menyaksikan dan melihat Tuhan. Hal ini sesuai dengan hukum akal juga dengan penjelasan syariat.

Berkenaan mustahilnya Tuhan dapat dilihat dengan hukum akal, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: Aktivitas melihat dan menyaksikan itu dilakukan atau didapatkan melalui berhadap-hadapannya seseorang dengan sesuatu yang ada di luar dengan mata dan getaran cahaya yang merupakan kiriman dan refleksi gelombang cahaya. 

Artinya bahwa, pertama, yang disaksikan itu adalah sesuatu bendawi yang ada di dunia luar, kedua, mata berhadapan dengan benda yang ada di hadapannya. Karena itu, mata manusia tidak akan dapat melihat sesuatu yang berada di balik itu, sementara Tuhan bukan benda (jism) juga tidak memiliki tipologi dan karakteristik benda (seperti yang dihadapan mata).

Karena itu, Tuhan sekali-kali tidak dapat dilihat dengan menggunakan mata lahiriah. Harus dipahami bahwa, hakikat Tuhan (Allah) adalah Roh, dan manusia di bumi ini berada dalam tubuh fana. Inilah yang membuat manusia secara kasat mata tidak bisa melihat-Nya. Konsep ini melanjutkan konsep yang sudah diajarkan Musa dalam kitab Perjanjian Lama, bahwa ia tidak mampu memandang wajah Allah, dan itulah sebabnya, Allah memberikan pengalaman iman kepada Musa bahwa ia hanya bisa memandang dari belakang, sementara kemuliaan Allah itu menerangi tempat dimana dia ada dan menyebabkan wajah Musa bercahaya (Keluaran 34:29, 30, 35)—hal ini kembali menegaskan apa yang diuraikan dalam kitab Keluaran 33:20 bahwa: "T
idak ada seorangpun dapat melihat Allah dan terus hidup" (Keluaran 33:20).

Dalam Kitab Perjanjian Lama (PL), Tuhan Allah saat menampakkan diri-Nya, adalah dalam perwujutan tertentu. Misalkan dalam kitab Keluaran pasal 3 dengan perwujuan api dalam semak duri, demikian juga dalam kitab Ulangan 31:15, dimana penampakkan Tuhan dalam bentuk tiang awan & tiang api, ataupun dalam kitab Kejadian 32:30 yang berwujud manusia, dan lain-lainnya. Penampakkan inilah yang dapat dilihat oleh manusia. Tetapi wujud Allah yang sesungguhnya adalah dalam Roh, yang tidak pernah bisa di lihat manusia.

Sebagai perbandingannya, bahwa dalam Al-Qur’an pun mencatat tentang penampakkan Tuhan dalam perwujudan kayu, seperti dalam QS 28: 30: Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, "di serulah" Dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari "Sebatang Pohon kayu", yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam”.

Dalam kitab Penjanjian Lama (PL), sering diungkapkan bahwa orang penah melihat Allah (seperti kisah Musa dalam Keluaran 33:18-23), yaitu dengan pengertian bahwa Allah bisa menampakkan wujudnya dengan berbagai cara dan kadar penglihatan menurut keperluan-Nya. Bisa ditampakkan melalui semak duri yang terbakar, atau seperti dalam awan, dan menampakkan bagian-bagian tubuh-Nya, atau wujud diri yang dikenakan-Nya sementara waktu dalam penampakan itu, atau lewat mimpi, vision, dll. 

Namun tidak satupun yang betul-betul melihat sebagaimana hakekat atau Zat diri Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada orang yang tahan memandang wajah Allah (dalam hakekatNya) dan tetap hidup, kecuali Yesus (Keluaran 33:20; Yohanes 6:46). 

Untuk konteks kini, Yesus sendiri telah menyatakan "rupa" Allah kepada setiap manusia. Walau demikian, banyak orang tetap tidak mampu melihat "rupa" yang satu ini, yaitu "Yang ada dipangkuan Bapa", yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kalimat: "in the bosom of the Father". Maksudnya adalah "yang ada bersama-sama Bapa". Hal ini merupakan penggambaran atau ilustrasi dalam menyatakan kedekatan, keintiman pribadi yang tak terpisahkan dalam kesamaan hakikat Bapa, seperti yang dinyatakan dalam Injil Yohanes 1:1. 

Dalam Alkitab Ibrani, wajah Allah adalah ungkapan khusus untuk kehadiran atau hadirat Allah sendiri. Melihat Allah hanya dimungkinkan melalui penyingkapan oleh diri-Nya sendiri. Di sini kehadiran Allah tidak pernah merupakan perasaan belaka akan sesuatu yang menakutkan, melainkan selalu merupakan kehadiran Allah yang dikenal, yang pribadi, dan yang tersendiri. 

Dalam konteks Musa, diketahui bahwa ia mendapat kesempatan memandang belakang Allah yang merupakan bukti keterbatasan dan sekaligus bukti keakraban Musa dengan Allah. 

Namun dengan jelas Allah menyatakan bahwa Musa tidak akan tahan melihat wajah-Nya, sebab Musa akan mati jika melihat wajah-Nya (ayat 20). 

Selanjutnya, jika kita kaji kalimat yang tertulis pada Keluaran 24:10, dimana dikatakan: "Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah”, maka hal ini dikenal dengan istilah Theofani, yaitu kehadiran kemuliaan Allah, yang artinya pernyataan secara kelihatan dan secara supra alamiah dari keagungan Allah yang tertinggi dan yang tiada taranya.

Penampakan Allah atau Theofani yang terjadi di era Perjanjian Lama, senantiasa terjadi dalam bentuk manusiawi atau malaikat, atau juga dalam wujud gejala-gejala kosmis. Seperti dalam kitab Yesaya 6:1 versi LAI TB, dikatakan bahwa: "Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci”. 

Dalam versi KJV berbunyi: "In the year that king Uzziah died I saw also the Lord sitting upon a throne, high and lifted up, and his train filled the temple". 

Nah, pada konteks ayat yang dipaparkan di atas, Nabi Yesaya mendapatkan penglihatan; bandingkan dengan penglihatan Yohanes di pulau Patmos yang ditulis di dalam kitab Wahyu. 

Demikian juga pada Yeremia 31:3 yang menyatakan: "Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu" (Sarapan Pagi Biblika, 2006).

Oleh. Abdy Busthan

Jhon Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont, dari keluarga sederhana. Seperti kakaknya, Davis Kaya Dewey, dia pun kuliah di University of Vermont dan lulus pada tahun 1879. Seorang profesor yang paling di idolakan Dewey di University of Vermont adalah Henry AP Torrey, anak mertua dan keponakan dari mantan presiden University of Vermont, Joseph Torrey. Saat itu Dewey belajar kepribadian dengan Torrey sambil menunggu kelulusannya di Vermont, sebagai bekal pendaftarannya masuk di Johns Hopkins University.

John Dewey adalah filsuf, psikolog, dan pembaharu dalam dunia pendidikan yang berasal dari negara Amerika. Gagasan dan pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan dan reformasi sosial hingga saat ini. Disamping sebagai pemikir dalam bidang pendidikan, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial.

Dewey sebenarnya salah satu penggagas teori konstruktivistik yang muncul dengan menganjurkan teori dan metode learning by doing (belajar sambil melakukan). Namun karena dia sering menyatakan bahwa pendidikan sebagai penataan ulang atau rekonstruksi ragam pengalaman dan peristiwa yang dialami sendiri oleh manusia dalam kehidupan humanisnya, maka Dewey menjadi sulit untuk dipisahkan dari teori belajar humanistik.

Dalam teori dan metodenya, Dewey berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu, kita tidak perlu terlalu banyak mempelajarinya. Dalam melakukan apa yang dipelajari itu, maka dengan sendirinya seseorang akan menguasai gerakan-gerakan atau perbuatan-perbuatan yang tepat, sehingga ia bisa menguasai hal yang dipelajari itu dengan sempurna. Dewey mengambil contoh tentang seorang yang akan belajar berenang. Menurutnya, seorang itu tidak perlu diajari macam-macam teori, tetapi cukup ia langsung di suruh masuk ke kolam renang dan mulai berenang, dengan cepat seorang itu akan menguasai kemampuan berenang (Sarlito Sarwono, 2002).

Dewey dan Pragmatisme
Dewey adalah salah satu tokoh utama yang berhubungan dengan filsafat pragmatisme, dia dianggap sebagai salah satu pendiri psikologi fungsional yang paling handal dan penggagas utama dalam pendidikan progresif dan liberalisme. 

Disamping  beberapa publikasi pendidikannya yang sangat terkenal, Dewey juga banyak menulis tentang topik filsafat lainnya—termasuk epistemologi, metafisika, estetika, seni, logika, teori sosial dan etika. 

Meskipun Dewey banyak sekali menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme dalam setiap gagasannya, namun filosofi pragmatismenya tetap saja diarahkan sebagai suatu filosofi yang konsekuensinya menggunakan hasil atau konsekuensinya sebagai kriteria dalam setiap keputusannya dalam teori yang digagasnya. 

Dewey adalah seorang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur aktivitas kehidupan manusia memenuhi kebutuhan manusiawinya. Dewey menjelaskan hal ini dengan istilah instrumentalisme, yaitu dengan merumuskan esensi instrumentalisme pragmatisnya sebagai: “to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence” (C.F. Delaney, 1999; Dewey John, 1964).

Dewey banyak menyebutkan pragmatisme ke dalam beberapa konsep seperti: instrumentalisme, operationalisme, functionalisme, serta experimentalisme. Disebut demikian karena menurut aliran ini, bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligensi, merupakan alat atau instrumen dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi manusia dalam lingkungannya.

Instrumentalisme adalah usaha menyusun teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuk yang beragam, dengan cara menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi di dalam penemuan yang berdasarkan pengalaman mengenai konsekuensi di masa depan. 

Sedangkan experience (pengalaman) merupakan salah satu kunci dalam filsafat instumentalisme. Karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai yang ada.

Sehingga intisari dari kebebasan Dewey adalah kebebasan inteligensi, di mana kebebasan observasi dan justifikasi dilakukan dasar keinginan yang selalu memiliki arti secara intrinsik—yaitu bagian yang dimainkan oleh pikiran dalam belajar. Konsepsi pendidikan sebagai suatu proses sosial diterapkan tidak hanya ke anak di sekolah melainkan juga sekolah dan masyarakat. 

Neo-empirisme
Mulanya Dewey menaruh perhatian pada teori pengalaman yang dikembangkan kaum Hegelian. Tetapi melalui proses, kemudian Dewey mengembangkan teori neo-empirisme, yang terdiri dari tiga (3) pemikiran pokok mengenai pengalaman manusia yang diamatinya, yang menurut Dewey diabaikan oleh para pemikir idealis, yaitu: (1) Pengabaian terhadap pengalaman bertindak; (2) Penolakannya terhadap gagasan mengenai suatu hal yang merupakan kesatuan yang menyeluruh; (3) Anggapannya bahwa kaum Hegelian dan idealis selalu menyimpulkan kodrat alam yang terlalu menggeneralisasikan sehingga menuntun kepada proyeksi kosmis yang keliru.

Pemahaman Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia merupakan makhluk sosial. Segala perbuatan manusia, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk, akan selalu diberi penilaian oleh lingkungan dan masyarakat.

Akan tetapi, di lain pihak, secara alamiah manusia pencipta nilai bagi dirinya sendiri. Sementara masyarakat di sekitar manusia dengan segala organisasi dan lembaganya, bisa dikondisikan dalam hubungan sedemikian rupa, sehingga memberikan pengaruh positif dalam kehidupan masing-masing individu semaksimal mungkin. Dalam artian, bahwa pribadi seorang yang berkembang, selain ia berkembang dengan adanya kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga akan turut dipengaruhi masyarakat yang ada disekitar lingkungan.

Menurut Dewey setiap pribadi manusia selalu memiliki struktur-struktur kodrati tertentu yang ditandai dengan kepemilikan insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia sejak lahir. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, tetapi ia fleksibel. Dalam hal fleksibelitasnya, tampak ketika insting bereaksi terhadap kondisi serta lingkungan yang dihadapi. Pokok pandangan Dewey di sini, bahwa secara kodrati, struktur psikologi manusia atau kodrat manusia terdapat kelebihan tertentu.

Kelebihan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial disekitarnya—manusia. Bila seseorang bereaksi yang sama terhadap kondisi disekitarnya, itu disebabkan karena “kebiasaan” dan cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Sehingga kebiasaan ini dapat berubah sesuai tuntutan di sekelilingnya. 

Berpikir Mendalam, Pengalaman, dan Kebenaran
Bagi Dewey, tak ada sesuatu yang akan tetap dan tinggal diam (statis). Manusia selalu bergerak dalam perubahannya yang berlangsung terus menerus—berkesinambungan. Jika ketika dijumpai kesulitan, maka manusia akan berpikir bagaimana mengatasi kesulitan itu. Sehingga apa yang disebut “berpikir”, adalah alat yang digunakan untuk “bertindak”. Sebab pengalaman menjadi bagian utama yang akan membentuknya.

Untuk menganalisis teori kebenaran Dewey, ada baiknya mengutip penjelasan Dewey sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Hadiwijono (2004), dalam buku yang berjudul “Sari Sejarah Filsafat Barat II”, bahwa .. 
“Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”. (C.F. Delaney, 1999; Dewey John, 1964).

Dari sedikit penyataan di atas, setidaknya bisa dipahami beberapa hal yang terbentuk dari pemikiran mendalam Dewey, yaitu sebagai berikut:

Pertama. Kebenaran akan berubah-ubah, bersifat progresif, dan bukan sesuatu yang dapat disimpulkan sebagai hal yang final—terbatas. Hal inilahlah yang membuat Dewey berkesimpulan bahwa untuk mengatur kehidupan di dunia ini adalah rumit. Sebab apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap, maka insan manusia akan menjalani kehidupan pada landasan yang tidak kuat, bahkan penuh kebimbangan.

Kedua. Banyak kebenaran yang sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi tidak berlaku pada semuanya. Misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini: “Gajah adalah hewan yang lebih besar dari semut”, “Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci seseorang”, bagaimana Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut (Dewey John, 1964)

Ketiga. Berdasarkan pada asas pragmatisme, pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya.

Keempat. Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari zaman ke zaman.

Kelima. Tujuan hidup yang berhubungan dengan kaidah, wajib selalu berubah dan berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap”. Disamping itu juga, istilah bahwa “segala sesuatu itu baik” dan “apabila berguna” juga perlu di kritisi. Apabila itu dipergunakan secara umum, maka akan dapat membahayakan.

Keenam. Secara umum, pragmatisme merupakan ide yang dapat dipraktekkan dengan benar, dan berguna. Ide-ide hanya ada dalam ide tanpa diimplementasikan, hanyalah suatu kebimbangan terhadap realitas objek indra, yang semuanya itu non-sense bagi pragmatisme.

Filsafat Dewey
Pemikiran Dewey adalah tentang berpikir “reflektif”—yaitu cara berpikir yang dimulai dari adanya “masalah” yang dihadapkan pada pebelajar (siswa) untuk dipecahkan. Prinsipnya, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional.

Namun, kenyataan juga dapat merupakan suatu persoalan yang dipandang sebagai problem yang besar pula. Karena itu pemecahannya adalah: 1) Menganalisis situasi secara seksama (hati-hati) dan dapat mengumpulkan semua fakta yang diperoleh; 2) Dalam mengobservasi fakta-fakta, dibutuhkan sikap adil, berimbang dan tidak memihak, serta tanpa prejudice (prasangka); 3) Pemecahan apa yang diusulkan, dan ditetapkan. 

Konsep penting dari pandangan Dewey dalam kajian filsafatnya dapat dirangkum sebagai berikut. 

Pertama. Banyak kalangan menilai pemikiran Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, yang dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. “All is in the making”, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya melalui pendidikan

Kedua. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu selalu berubah, bertumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan hukum moral juga berubah, berkembang menuju arah yang sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.

Ketiga. Pengalaman (experience) merupakan kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan selalu berpangkal dari setiap pengalaman-pengalaman, dan bergerak kembali menuju pengalaman itu sendiri.

Keempat. Untuk dapat menyusun pengalaman-pengalaman seperti dijelaskan di atas, diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi tertuntun (ter-awasi) dari keadaan tidak menentu kepada kondisi atau keadaan tertentu dan menentu—pandangan Dewey mengenai pendidikan timbul  ketika ia bekerja
 di laboratorium sekolah anak-anak di University of Chicago, di situ Dewey banyak mencoba mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai landasan pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya. 

Kelima. Sebagai seorang tokoh pragmatisme, Dewey juga memberikan kebenarannya berdasarkan manfaat kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai (Busthan Abdy, 2017: 112-117).

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Belajar Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang; Desna Life Ministry



Diskusi tentang kebebasan tidak bisa terlepas dari dua aliran besar yang sangat berpengaruh dalam bidang sosial dan politik, yaitu Liberalisme dan Kolektivisme.

Kebebasan Liberalisme, menekankan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam arti bebas dari halangan-halangan luar yang membatasi ekspresinya yang personal. Dalam hal ini, John Stuart Mill (dalam Dua Mikhael, 2011:38), memberikan gambaran jelas tentang kebebasan ini, yaitu seseorang dapat bebas dari aturan yang mengekang kebebasannya dalam berpakaian, bergaul, berpendapat, dan menentukan pilihan-pilihan lainnya.

Namun jenis kebebasan ini tidak bisa dikatakan absolut. Sebab kebebasan ini mengakui pembatasan yang rasional; yaitu pertimbangan kebebasan seseorang untuk menjadi ‘manfaat’ bagi orang lain—kebebasan yang bermanfaat bagi kebebasan orang lain—atau kebebasan untuk hidup bersama tanpa mengganggu hak personal dari orang lain.

Misalnya, seseorang bebas untuk tidur lebih awal dari biasanya tanpa dipengaruhi orang lain, atau sebaliknya orang tersebut tidak mempengaruhi orang lain untuk melakukan alternatif-alternatif dalam hal yang sama. 
Contoh lainnya, ketika seseorang mendengarkan musik ditengah malam, maka orang tersebut tidak bisa membatasi orang lain untuk alternatif-alternatif yang sama dengannya, sehingga dengan pertimbangan tersebut maka ia dapat mengecilkan volume musik yang sedang di dengarnya agar tidak mengganggu ketentraman orang lain.

Sehingga dapat ditarik pemahaman bahwa setiap orang harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyatakan pendapatnya dan mengembangkan dirinya agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Karena menurut Mill, tanpa kebebasan tiap-tiap warga masyarakat tidak dapat berkembang dengan baik. Tentu h
al ini menjadi penting mengingat bahwa masyarakat akan mendapatkan manfaat yang besar karena kebebasan individual. Karena kebebasan adalah fondasi masyarakat yang baik, sebab pada prinsipnya memberikan manfaat besar bagi kebaikan banyak orang.

Kebebasan Kolektivism, yang dikenal juga dengan Liberalisme-Utilitaristis, memandang kebebasan sebagai sebuah kehendak untuk ‘tunduk’ pada prinsip masyarakat. Dalam artian bahwa kebebasan disini melihat bahwa masyarakat adalah penentu dari kehidupan individual.

Di sini pengakuan akan masyarakat menjadi sesuatu yang penting dibandingkan dengan sosialisme klasik ala kebebasan Mill di atas. Dipahami lebih dalam lagi bahwa masyarakat adalah kenyataan yang tidak dapat di tolak. Sehingga kenyataan inilah yang menjadi kebebasan bagi manusia.

Artinya bahwa seseorang dengan keadaan yang tahu, harus mau tunduk pada otoritas yang lebih tinggi. Jadi, inti dari kebebasan koletivitas bahwa kebebasan dan hak individu hanya bisa berlaku bagi sebuah otoritas tertinggi saja, seperti negara, agama dan profesi. Misalnya dalam agama, kebebasan ini bisa muncul dalam sikap penyerahan diri seseorang pada otoritas maha tinggi yaitu Tuhan.

Mungkin dalam konteks spiritual seperti ini, sepenggal kalimat Martin Luther sebagai tokoh terkenal dalam perkembangan Kekristenan dapat dijadikan tolak ukur. Dimana Luther menyatakan bahwa: “Disini saya berdiri, dan saya tidak dapat berubah”. Tentu dalam tradisi spiritualitas seperti ini, ketaatan pada otoritas adalah bentuk dari kebebasan. Dalam artian bahwa kebebasan adalah pilihan eksistensial yang di dasari dengan akal sehat. Bahwa demi perkembangan eksistensial, maka seseorang dapat mengabdikan diri pada sebuah otoritas yang berwibawa untuk kepentingannya, juga kepentingan yang lebih luas pula (Dua Mikhael, 2011:39)

Dari pemahaman kedua aliran kebebasan seperti diuraikan di atas, setidaknya dapat disimpulkan bahwa dalam kebebasan manusia dalam makna eksistensial maupun substansial, maka setiap manusia (individu) akan selalu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan, putusan-putusan, keyakinan-keyakinan dan tekad dalam pikiran yang menghasilkan keteguhan hati dan komitmen berdasarkan ‘moralitas’ yang tercermin dalam perilakunya.

Sehingga melalui pencarian kebebasan, manusia sedapatnya mampu untuk menjadikan dirinya menjadi tetap terikat dan di batasi dengan apa yang telah di hasilkannya pula. Untuk itu, kebebasan dalam moral akan berujung pada ketidak-bebasan dalam diri seorang insan yang bermoral dan bermartabat.

Oleh: Abdy Busthan

Filsafat, Pengetahuan, dan Ilmu Pengetahuan adalah tiga hal yang memiliki persamaan dan perbedaan pengertian. Berikut pembahasannya:

Persamaan Filsafat, Pengetahuan, dan Ilmu Pengetahuan
Diantara ketiga hal ini: filsafat, pengetahuan, dan ilmu pengetahuan, terdapat beberapa persamaan. Persamaan-persamaan yang dimaksudkan di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya dalam menyelidiki objek selengkap-lengkapnya; (2) Ketiganya dapat memberikan pengertian mengenai hubungan yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami, dengan menunjukkan sebab-sebabnya; (3) Ketiganya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan; (4) Ketiganya mempunyai metode dan sistem; (5) Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas) akan pengetahuan yang lebih mendasar

Perbedaan Filsafat, Pengetahuan, dan Ilmu Pengetahuan
Untuk perbedaan filsafat, pengetahuan, dan ilmu pengetahuan, dapat dilihat dalam tabel berikut:

Filsafat
Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan
Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan.
Yang dipelajari terbatas, karena hanya sekedar kemampuan yang ada dalam diri manusia untuk mengetahui sesuatu hal.
Cenderung kepada hal yang dipelajari dari sebuah buku panduan.
Keseluruhan yang ada
Objek penelitian terbatas
Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Menilai objek renungan dengan suatu makna. Misalkan: religi, kesusilaan, keadilan, dsb
Tidak menilai objek dari suatu sistem nilai tertentu.
Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu.
Bertugas memberikan jawaban
Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris


Dari perbedaan di atas, dapat disimpulkan bahwa fokus utama filsafat ilmu pengetahuan adalah masalah yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Metode ilmu pengetahuan adalah metode-metode yang logis karena ilmu pengetahuan mempraktekkan logika.
___________________________________
BACA JUGA: Iman versus Pengetahuan

Sedangkan temuan-temuan dalam kajian setiap ilmu pengetahuan, dimungkinkan oleh akal budi manusia yang terbuka pada realitas. Keterbukaan budi manusia terhadap realitas seperti ini disebutkan sebagai imajinasi. Sehingga logika dan imajinasi adalah dua dimensi penting dari seluruh cara kerja ilmu pengetahuan.

Jadi, tugas ilmu pengetahuan adalah membuka pikiran manusia untuk mempelajari secara mendalam (serius) proses logika dan imajinatif dalam cara kerja ilmu pengetahuan. Tak pernah ada imajinasi tanpa logika dalam ilmu pengetahuan. Keduanya akan berjalan secara simultan (bersamaan).

#Ditulis oleh: Abdy Busthan



Filsafat manusia merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai makna menjadi manusia (Louis Leahy, 1984). Filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek studinya (Baharrudin Salam, 1988).


Pembahasan dalam cabang ilmu filsafat manusia ini adalah tentang bagaimana manusia selalu mengajukan pertanyaan mengenai dirinya sebagai manusia.

Filsafat manusia terus berkembang karena manusia adalah objek yang penuh dengan misteri. Titik tolak filsafat manusia adalah pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang melingkupinya. Dalam sejarah, ada beberapa istilah yang mendahului filsafat manusia, yaitu psikologi filsafat, psikologi rasional, eksperimental dan empiris.

Apakah Manusia Itu?
Filsafat manusia, adalah filsafat yang mengupas apa arti manusia. Pertanyaan pokoknya: apakah kekhasan manusia di tengah makhluk yang lain? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi.

Manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal dan dinamis. Maka, tidak mengherankan jika pandangan terhadap manusia menjadi beraneka ragam. Sehingga keanekaragaman pandangan ini, tampak pula dalam keanekaragaman definisi tentang manusia. Mungkin yang paling terkenal adalah definisi dari Aristoteles yang mengatakan: “Manusia adalah animal rationale” (hewan berakal budi).

Pandangan filsafat lainnya juga merumuskan bahwa manusia adalah animal loquens (makhluk yang berbicara). Keunggulan manusia dalam hal bahasa, sangatlah nyata, di mana bahasa manusia berebda dengan bahasa hewan. Manusia mampu berbicara dalam bahasa lisan dan mampu mengembangkannya dalam bahasa tulisan.

Beberapa filsuf lainnya juga merumuskan manusia sebaga “a symbolic animal“. Sebuah simbol bersifat multidimensional. Bahasa simbol sangat khusus berperan dalam bahasa cinta dan bahasa religius.

Lain hal lagi dengan Karl Marx. Ia menemukan keunggulan manusia dalam pekerjaannya. Maka, manusia juga disebut makhluk yang bekerja. Banyak definisi-definisi lainnya yang juga muncul merumuskan kekhasan manusia di tengah makhluk lainnya di dunia ini. Misalnya, manusia dirumuskan sebagai an ethical being, sebagai an aesthetical being, dan a metaphysical being, serta a religious being, dsb.

Namun sesungguhnya definisi-definisi yang telah dilontarkan banyak filsuf ini, masih saja membawa berbagai keambiguan dan kesulitannya sendiri-sendiri.

Misalnya Aristoteles yang mengatakan bahwa ciri khas manusia adalah sebagai animal rationale atau dikuasai oleh kekuatan rasionya dan bukan oleh nafsu atau naluri, maka sulit dimengerti untuk bisa menjelaskan terjadinya suatu keserakahan kapitalisme, peperangan dunia, terorisme yang selalu memakan banyak korban dan membunuh ibu dan anak-anak dalam peradaban kita sekarang.

Mungkin saja, seseorang bisa mengatakan bahwa itu semuanya terjadi justru karena penggunaan sebuah rasio yang semakin canggih, yang disalahgunakan dan diselewengkan.

a. Manusia & Kemampuan Refleksi Diri
Teilhard de Chardin dalam “The Phenomenon of Man” (Anthony Pattipo's, 2012), menjawab kesulitan definisi dari ciri khas manusia ini. Ia mengatakan bahwa “Hewan mengetahui, tetapi hanya manusia mengetahui bahwa ia mengetahui.”

Manusia memiliki kemampuan refleksi diri atau kesadaran reflektif. Hewan di sisi lain, tidak mampu untuk berefleksi tentang dirinya. Mereka tidak memiliki kemampuan refleksi mengenai tindakan berpikir itu sendiri.

Kesadaran diri atau refleksi diri itu merupakan ciri khas manusia yang menentukan. Refleksi diri juga merupakan aktivitas manusia yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan menjadikan dirinya sebagai pusat refleksi, manusia menarik diri dari lingkungan dan dari orang lain yang berada dalam lingkungannya.

Kemampuan refleksi diri yang menjadi kekhasan manusia ini, juga menjadi sumber dari berbagai ciri lainnya: rasionalitas, ingatan kembali, kesadaran akan kematian, kemampuan bunuh diri, aspirasi religius dan lain-lain. Refleksi-diri juga merupakan aktivitas yang membedakan diri manusia sendiri dengan orang lain.

Dengan kemampuan refleksi-nya, maka manusia memiliki keterbukaan terhadap dunia (openness to the world), dan tidak dibatasi oleh naluri dan stimulus spesifiknya. Sehingga manusia menjadi mampu untuk mengimbangi kelemahan nalurinya dengan kebebasan dan rasionalitas.

Kemampuan reflektif membuat manusia mampu menghadapi dirinya dan realitas lainnya sebagai objek. Manusia akan dapat mengambil atau mengatur jarak terhadap lingkungannya. Dengan demikian kemampuan refleksi diri manusia merupakan dasar dari perbedaan-perbedaan yang lain dengan binatang.

b. Manusia dalam Teori Evolusi
Tradisi Kristiani dan metafisik, menempatkan kekhasan manusia pada jiwa yang tidak dapat mati, yang membuat martabat manusia mengatasi seluruh kosmos.

Dalam perkembangannya, filsafat modern tidak lagi mencari kekhasan manusia menurut tradisi Kristiani yaitu dalam kerangka hubungan manusia dengan kosmos atau Allah.

Pada abad ke-19 diusahakan untuk mengatasi dualisme badan-jiwa dengan melihat keunikan manusia dalam kejasmaniannya. Kekhasan manusia itu di cari melalui refleksi mengenai tempat manusia di dalam alam semesta dan terutama dalam perbandingan manusia dengan binatang. Pendekatan ini seolah-olah kembali pada pendekatan kaum Stoa yang memahami manusia dalam kerangka tertib kosmik sebagai mikrokosmos.

Selaras dengan teori evolusi Darwin, antropologi mengandaikan kontinuitas hewan dan manusia, yang kemudian mencoba menentukan tempat khas manusia dalam kontinuitas ini dan bukannya memasukkan prinsip asing ke dalam alam.

Pendekatan ini dipelopori oleh J.G. Herder dan Friederich Nietzsche serta pendekatan psikologi yang tidak lagi mempelajari psyche melalui introspeksi tetapi melalui observasi perilaku ekstrim. Cara pandang seperti ini disebut perspektif “antropo-biologi”.

Secara sederhana, dapatlah dikatakan bahwa, pendekatan ini merupakan cara pandang fenomenologis yang mencari kekhasan manusia sebagaimana terlihat dalam perilaku dan kejasmaniannya. Pendekatan ini lebih-lebih dilakukan oleh behaviourisme Amerika di satu sisi, dan sisi lain oleh penelitian “antropologi filsafat” yang bertolak dari penelitian biologis atas prilaku manusia.

c. Manusia & Teori Behavioristik

Pendekatan behaviouristik yang digagas oleh para ahlinya seperti: J. B. Watson, B. F. Skinner, dan Ivan P. Pavlov, dalam menggambarkan perilaku sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang didasarkan pada hukum stimulus-respons, sebenarnya mereduksi kegiatan manusia hanya sebatas pada perilaku terobservasi yang dirangsang dari luar (eksternal).

Pendekatan behavioristik Pavlov misalnya, dengan melakukan pengujian terhadap seekor anjing, kemudian ia mendapatkan banyak kritik sebab menyamakan kedudukan manusia dan hewan dalam belajar. Diantaranya adalah kritik dari Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa “stimulus yang sama dapat menghasilkan respons yang berbeda bila di interpretasikan secara berbeda oleh yang memberi respons.” Hal ini membawa pergeseran dari pendekatan yang melului empiristik kepada suatu interpretasi perilaku yang didasarkan pada adanya apriori atau skema perilaku bawaan yang disebut ”apriori”, karena skema itu telah ada sebelum suatu pengalaman terjadi.

Interpretasi ini berkembang dalam tradisi filsafat Jerman yang dipengaruhi oleh Imanuel Kant, di mana ia berpendapat bahwa semua pengalaman tergantung pada forma apriori. Pandangan Kant ini mempengaruhi Lorenz yang berusaha menunjukkan bahwa forma atau kategori apriori yang memungkinkan semua pengalaman manusia terkait dengan forma organ tubuh kita (internal).

d. Manusia & Humanisme
Filsuf Heidegger, memandang konsepsi manusia dalam kerangka paham humanisme. Humanisme menolak suatu asumsi mengenai manusia yang naturalistik dalam artian, bahwa “esensi manusia merupakan organisme binatang”.

Humanisme memandang manusia terutama sebagai suatu entitas yang berada di dalam dunia bersamaan dengan entitas yang lain, dan kemudian dari situ dicarikan ciri-cirinya yang khas. Humanisme mencari definisi mengenai manusia yang tidak memadai itu dengan merangkaikan “jiwa” dengan “badan”, dan akal budi dengan jiwa.

Heidegger berpendapat bahwa selama filsafat modern menjadikan kesadaran sebagai titik tolak, maka konsepsi manusia akan tetap didasari oleh humanisme.

Di dalam semua bentuk humanisme, manusia ditempatkan di antara berbagai realitas dunia lainnya; manusia sebagai animal rationale juga dipandang dalam hubungannya dengan entitas dan justru bukan di dalam hubungannya dengan “kebenaran Ada”.

Inilah maksudnya jika dikatakan bahwa esensi manusia terletak pada eksistensinya. Tubuh manusia secara esensial berbeda dari organisme hewan. Menurut Heidegger apa yang kita anggap sebagai animalitas pada manusia tidak dapat diperbandingkan dengan hewan, tetapi harus didasarkan pada esensi dari eksistensinya.

Manusia tidak seperti entitas lainnya. Entitas lain hanyalah ada. Entitas itu hadir, tetapi tidak “mencapai” dirinya, artinya “tidak memiliki kesadaran-diri”; entitas lain tidak “hadir pada dirinya”. Hanya atas dasar “kehadiran-pada-dirinya-sendiri” dari eksistensi, maka entitas lainnya dapat hadir. Inilah yang bagi kaum eksistensialis, menjadi semacam pengalaman asasi yang menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain.

Oleh: Abdy Busthan

Ada pertanyaan sederhana, apakah keyakinan kita terhadap sesuatu bisa menjawab segala hal yg tidak kita ketahui terlebih dahulu?

Pengetahuan kita akan sesuatu dimulai dengan keyakinan kita terhadap sesuatu itu sendiri. Jika kita tidak meyakini sesuatu, maka kita tdk mungkin mengetahui sesuatu.

Semua penelitian dan pengajuan ilmiah dalam bentuk apapun, akan selalu didasarkan pada "keyakinan". Sebelum ilmuwan menyelediki ilmu apapun yang ada di alam ini, maka ia akan memiliki satu set praanggapan yang didasarkan pada keyakinan terdalam.

Ketika seseorang menyelidiki suatu hal, maka terlebih dahulu ia yakin dan memiliki kepercayaan bahwa nantinya ia pun dapat mengetahui. Sehingga dengan dorongan itu, maka ia mulai menyelediki sesuatu. Pada titik ini, maka keyakinan mendahului pengetahuan.

Setiap siapa saja yang melakukan studi dan kajian ilmu (baik itu para ilmuwan, peneliti, filsuf, dan kaum terpelajar, tanpa terkecuali), entah ia menggunakan metode ilmiah apa saja, seperti metode induksi maupun deduksi, maka tanpa ia sadari, ia pun akan masuk pada hakikat dasar (yang terdalam) yaitu "keyakinan-nya" terhadap sesuatu. Artinya bahwa di dalam melakukan penyelidikan, seseorang pasti akan menginginkan bukti.

Tetapi ingat bahwa sebelum bukti itu muncul, orang tersebut telah memulainya dengan suatu praanggapan yaitu keyakinan (meyakini).

Misalnya metode deduksi dan silogisme dari filsuf Aristoteles yang menggunakan 3 (tiga) tahap silogisme dalam hal menemukan kebenaran dengan rasio: yang pertama, disebutkan sebagai "premis mayor", kedua "premis minor" dan ketiga adalah "kesimpulan".

Sebagai contohnya:
Semua manusia bisa mati (premis mayor)
Budi adalah manusia (premis minor)
Maka Budi bisa mati (kesimpulan)

Premis minor dalam silogisme seperti kalimat di atas, sebenarnya telah dimulai dengan suatu keyakinan. Kalimat yang menyatakan "semua manusia bisa mati", adalah keyakinan yang belum pernah dibuktikan.

Ketika seseorang mengatakan bahwa, "Saya melihat memang semua manusia akhirnya mati", maka kalimat ini bukanlah suatu kebenaran, karena yang melihat sendiri belum mati. Berarti, belum "semua" manusia mati. Jika diri yang melihat sudah mati, maka sebenarnya ia sendiri tidak akan dapat membuktikan apa-apa, sebab ia sudah mati.

Jadi, jika seseorang melihat semua orang yang sudah mati, tetapi ia belum pernah melihat kematian orang yang sesudah ia mati, maka teori ini belum dapat terbukti dengan benar!

Maka dalam hal ini premis mayor (semua manusia bisa mati) yang dijadikan dasar untuk rasio berpijak untuk dapat mencari suatu pembenaran, belum dapat dibuktikan sama sekali, maka hal ini bukan bukti, tetapi sebuah "keyakinan". Maka dapatlah dipahami bahwa apapun bentuk ilmu pengetahuan dan rasio, maka ia tidak akan bisa terlepas dari "keyakinan".

Misalnya kalimat yang mengatakan: "Buktikan baru saya percaya", adalah kalimat yang juga sebenarnya menunjukkan "keyakinan" itu sendiri. Jika terbukti baru dapat dipercaya, adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu, maka ini adalah Keyakinan.

Jadi, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah, bahwa keyakinan kita terhadap sesuatu tentu akan menjawab segala hal yg tidak perlu kita ketahui terlebih dahulu....

Salam Wassalam.. Hormat di bri.
(Ditulis oleh: Abdy Busthan)

Berdasarkan sudut pandang yang filosofis, filsafat ilmu pengetahuan dapat dipahami berdasarkan empat pendekatan dengan menggunakan empat pertanyaan ilmiah berikut ini:

Pertama
. Apakah pengetahuan itu? Pertanyaan jenis ini membutuhkan jawaban berupa “hakikat” (isi arti hakiki) yaitu sebuah bentuk “pengetahuan subtansial” tentang apa dan bagaimana itu ilmu pengetahuan.

Kedua. Mengapa ilmu pengetahuan itu ada? Bahwa pertanyaan ini membutuhkan jawaban tentang sebab-akibat dari keberadaan atau “pengetahuan kausal” ilmu pengetahuan.

Ketiga. Bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa ada? Pertanyaan seperti ini memerlukan jawaban mengenai “metode” untuk dapat mengetahui objek yang berupa “pengetahuan metodis” ilmu pengetahuan.

Keempat. Untuk apa ilmu pengetahuan itu ada? Bahwa pertanyaan ini membutuhkan jawaban berupa “manfaat” ilmu pengetahuan untuk kehidupan manusia sebagai makhluk yang berpikir, yaitu berbentuk “pengetahuan normatif” ilmu pengetahuan.

Dari keempat pertanyaan di atas, jika dirunut berdasarkan susunan kata, maka dapat dipahami bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi filsafat yang objek materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis, bentuk, dan sifatnya. Dapatlah meliputi pluralitas ilmu pengetahuan (ragam ilmu pengetahuan). Sedangkan objek formanya adalah “hakikat” (intisari) ilmu pengetahuan.

Sebagaimana menurut Suparlan Suhartono (2011) bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi filsafat yang mempelajari segala macam jenis, bentuk, dan sifat dari ilmu pengetahuan.

Senada dengan hal di atas, Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013) juga menyatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Dalam hal ini, tema yang dipersoalkan adalah apa itu kebenaran? Apa metode ilmu pengetahuan? Manakah metode yang paling bisa diandalkan? Apa kelemahan metode yang yang ada? Apa itu teori? Apa itu hipotesis? Apa itu hukum ilmiah?

Pengertian Pengetahuan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).

Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013) menyatakan bahwa, pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya.

Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu. Juga mencakup praktik atau kemampuan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara sistematis dan metodis.

Karena itu, filsafat pengetahuan berkaitan dengan upaya mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia pada umumnya, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan segala sumber pengetahuan manusia.

Sehingga timbul beberapa pertanyaan tentang bagaimana manusia bisa tahu? Apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti? Apakah pengetahuan yang pasti itu mungkin? Apa artinya mengetahui sesuatu? Bagaimana manusia bisa tahu bahwa ia tahu? Dari mana asal dan sumber pengetahuan manusia itu? Apakah pengetahuan sama dengan keyakinan? Dimana letak perbedaannya?

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui dan yang diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.

Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia bersikap dan bertindak. Jadi, pengetahuan lebih dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui oleh manusia berkaitan dengan proses mempelajari sesuatu.

Pengertian Ilmu pengetahuan
Ilmu Pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia, dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.

Segi-segi yang dimaksudkan di atas, dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan pasti. Ilmu dalam hal ini memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu yang ditelusuri, diperoleh dari keterbatasan yang ada.

Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih dalam dan lebih jauh tentang pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.

Menurut Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013), bahwa ilmu pengetahuan adalah merupakan keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis.

Ilmu pengetahuan dalam hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menjelaskan hubungan antara berbagai hal dan peristiwa dalam alam semesta ini secara sistematis dan rasional (masuk akal).

Misalnya ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari.

Demikan dengan halnya dengan ilmu psikologi yang hanya bisa meramalkan perilaku setiap manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.

Oleh: Abdy Busthan


Jika kita ingin mendefinisikan "Filsafat" secara tepat, ada dua hal yang perlu kita pahami terlebih dahulu, yaitu: pengetahuan dan kepastian. Setiap pengetahuan, dimulai dengan rasa ingin tahu. Sedangkan sebuah kepastian, akan diawali dengan keraguan.

Filsafat dimulai dengan keduanya: pengetahuan dan kepastian. Filsafat mendorong siapa saja yang ingin mempelajarinya untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Dengan masuk ke dalam kondisi yang meragukan sesuatu, demi mencari sebuah kepastian.

Pengertian Filsafat
Apa itu filsafat? Pertanyaan ini sama persis dengan pertanyaan, apa itu cinta? Kedua pertanyaan ini akan sulit dijawab, apabila kita tidak mengkajinya secara lebih "mendalam". Sebab kedua pertanyaan membutuhkan jawaban yang tidak saja abstrak, tetapi konkreet.

Cinta adalah sebuah perasaan yang mendalam terhadap seseorang atau sesama manusia. Konteks mendalam di sini merujuk pada konsep "dengan segenap", seperti: dengan usaha maksimal, dengan seluruh eksistensi, dengan semampu-mampunya, dengan sekuat-kuatnya, dengan seluruhnya, dll. Artinya bahwa pencinta sejati, akan mencintai dengan segenap cintanya yang mencintai.

Demikan halnya dengan filsafat. Filsafat adalah berpikir dengan mendalam. Dalam pemahaman bahwa, ketika seseorang berfilsafat, maka ia akan melakukannya secara mendalam, yaitu dengan segenap usaha yang maksimal, segenap eksistensi, segenap kemampuan, segenap kekuatan, dan dengan seluruh apa yang dipikirkannya. Sehingga ketika seseorang itu berfilsafat, maka ia akan berfilsafat dengan segenap pikiran yang berpikir.

Sejarah Filsafat
Para pemikir filsafati yang pertama, mereka hidup di Miletos, sekitar abad ke-6 SM. Bagaimana persisnya ajaran mereka, memang sulit ditetapkan. Sebab sebelum Plato, tidak ada hasil karya para filsuf itu yang telah sepenuhnya dibukukan, demikian dijelaskan oleh Harun Hadiwijono (2012:15).

Beberapa kalangan berpendapat bahwa filsafat, khususnya filsafat barat, juga muncul di Yunani semenjak abad ke 7 S.M. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan, dan berdiskusi tentang keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka berada, dan tidak menggantungkan dirinya kepada doktrin agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkan oleh penalaran yang mendalam.

Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta yang sekarang daerahnya di pesisir barat Turki. Tapi, filsuf-filsuf Yunani yang terbesar adalah Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato.

Bahkan, banyak kalangan yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah "komentar-komentar karya Plato belaka". Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Buku karangan Plato yg terkenal diantaranya berjudul: etika, republik, apologi, phaedo, dan krito.

Mungkin saja banyak kalangan yang bertanya-tanya mengapa filsafat itu muncul di negara Yunani, dan tidak di daerah beradab lainnya saat itu, seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana, sebab di Yunani manusia saling mengkritik dengan menuntut pertanggungjawaban rasional atas sebuah spekulasi-spekulasi pemikiran yang mendalam.

Di samping itu, di Yunani tidak seperti di daerah lain-lainnya, bahwa di sana memang tidak ada kasta pendeta yang mempengaruhi pemikiran seseorang dengan seperangkat doktrin-doktrin keagamaannya, sehingga secara intelektual orang lebih bebas untuk berpikir.

Filsafat secara Etimologis
Secara etimologis, kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia, merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Arab, yang semula diambil dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, dimana kata ini diturunkan dari sebuah kata kerja, yakni "filosofein".

Kata philosophia adalah kata yang majemuk, dan merupakan gabungan dari dua kata: philia (persahabatan, cinta) dan sophia ("kebijaksanaan"). Sehingga pengertian harafiahnya adalah seorang "pencinta kebijaksanaan".

Pada masa Yunani Kuno, filsafat dan ilmu jalin menjalin, dijadikan menjadi satu dan tidak terpisahkan sebagai dua hal yang berlainan, sehingga keduanya termasuk dalam pengertian "episteme". Kata philosophia, merupakan kata padanan dari istilah episteme ini.

Filsuf besar Yunani Kuno, Aristoteles, menyatakan bahwa episteme adalah: 'an organized body of rational knowledge with its proper object (suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat).

Jadi dalam hal ini filsafat dan ilmu, dapatlah tergolong sebagai suatu pengetahuan rasional, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia (The Liang Gie, 2010).

Filsafat Menurut Ahli
Menurut Frans Magnis Suseno (2012) ciri khas bagi filsafat yang lahir di Yunani adalah cirinya yang argumentatif. Inilah yang membedakannya dari ajaran kebijaksanaan yang lahir di India, Cina atau di daerah Jawa. Di ketiga tempat ini, manusia juga berpikir dalam-dalam, tetapi bahwa manusia saling mengkritik, bahwa filsafat menuntut pertanggungjawaban rasional atas sebuah spekulasi, itu hanya muncul di Yunani.

Karenanya, hanya filsafat argumentatif-lah yang memiliki potensialitas untuk melahirkan ilmu-ilmu, karena filsafat argumentatif sanggup mendobrak mitos, sehingga memungkinkan pendekatan spesialistik hingga menjangkau sesuatu yang eksperimental.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, orang mungkin mengatakan bahwa filsafat 'tidak membuat roti'. Ucapan ini sepenuhnya benar, sebab filsafat tidak memberikan petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi, juga tidak melukiskan teknik-teknik baru untuk membuat bom atom. Demikian dikatakan Louis Kattsoff (2004), dalam sebuah karya fenomenalnya yang berjudul "Elements of Philosophy".

Meskipun filsafat tidak membuat roti, lanjut Kattsoff (2004), namun filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa, tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, sehingga dapat menerbitkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak.

Jadi, filsafat berbeda sama sekali dengan membuat roti, sebab filsafat merupakan analisis secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran tentang sesuatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan. Dan hendaknya di ingat bahwa kegiatan yang dinamakan kegiatan kefilsafatan adalah perenungan atau pemikiran. Inilah definisi filsafat yang dikatakan Kattsoff (2004), bahwa kefilsafatan adalah pemikiran secara ketat. Unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah:
  1. Meragukan segala sesuatu.
  2. Mengajukan pertanyaan.
  3. Menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya.
  4. Menanyakan mengapa.
  5. Mencari jawaban yang lebih baik dibandingkan dengan jawaban sebelumnya atau yang tersedia pada pandangan pertama.

Senada dengan unsur-unsur dan pemahaman di atas, Stephen Palmquis (2007), menyatakan bahwa, filsafat adalah berpikir. Filsuf (baca:pemikir) yang baik, tidak puas sampai mereka menggali sedalam-dalamnya persoalan yang mereka ajukan sendiri.Kadang-kadang gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, tetapi justru karena teramat konkret.

Itu sebabnya, Jujun Suriasumantri (2010) menegaskan, karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin mengetahui kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dan dia ingin meyakini apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.

Namun, filsafat berbeda dengan ideologi dan dogma yang cenderung tertutup dan menganggap kebenaran tertentu sebagai sesuatu yang tidak bisa dipersoalkan dan yang diterima begitu saja. Sebaliknya, filsafat---dan ilmu pengetahuan pada umumnya---tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang telah selesai.

Memang betul, bahwa secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebenaran---suatu dorongan terus-menerus, suatu dambaan untuk mencari dan mengejar kebenaran. Tetapi, dalam pengertian ini, yang pertama-tama mau diungkapkan bahwa filsafat adalah upaya, sebuah proses, sebuah pencarian, sebuah quest, sebuah perburuan tanpa henti akan kebenaran.

Karena itu, cinta (philo) dalam philosophia, tidak dipahami pertama-tama sebagai kata benda yang statis dan yang given, melainkan sebagai sebuah kata kerja yang menunjukkan sebuah proses. Dalam arti ini maka filsafat adalah sebuah sikap yang dihidupi, yang dihayati dalam pencarian, dalam quest, dan dalam pertanyaan terus-menerus (Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2013)

Oleh: Abdy Busthan

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget