Ads

Pembebasan Dalam Dunia Pendidikan

Apabila pendidikan di ibaratkan dengan sebuah mesin, maka makna apakah yang hendak dikandung oleh sebuah kebebasan? Jika, dunia pendidikan merupakan tempat bagi para pelaku-pelaku kebebasan, akankah ada suatu perubahan perilaku bagi seluruh oknum yang terlibat di dalamnya? 

Satu hal yang pasti, bahwa jika pendidikan itu merupakan sebuah hasil dari kumpulan kekuatan-kekuatan kapitalisme, atau sebuah hasil produksi industri modern sebagaimana yang dikatakan oleh para penganut marxisme, maka kebebasan dalam dunia pendidikan itu akan kehilangan arti pentingnya.

Francis Fukuyama dalam sebuah ramalannya, yang di tuangkan ke dalam buku yang sangat kontroversial, “The End Of History and The Las Man” (2004), menyatakan bahwa kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai sebuah ideologi dunia, semakin mengkokohkan kapitalisme atas dominasinya, termasuk dalam dunia pendidikan yang terjadi dewasa ini. 


Dan menjadi sesuatu yang ironis, bahwa negara Indonesia sebagai bagian dunia ketiga pun tak luput dalam praktek kegilaan ideologi ini. Ya, dalam banyak hal pendidikan di republik saat ini masih sering di desain ke dalam model pendidikan yang lebih pada penekanan dimensi pengetahuan atau knowledge saja. Khususnya lagi pada aspek pengetahuan teoretik atau konseptual semata. 

Sehingga nampak bahwa dimensi praksis yang membuat pendidikan dapat menjadi out put yang memiliki seperangkat keterampilan praksis, masih jauh dari harapan. Ibarat pepatah klasik “Jauhlah panggang dari apinya”.

Jika dalam suatu negara, para penguasa dan sekumpulan pengusaha bersatu dalam kekuatan yang liar, maka faktanya adalah, terjadi dominasi ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang akan berdampak pada sistem pendidikan. Dan hal ini akan menjadi seperti gurita yang menggerogoti hakikat utama dari tujuan pendidikan itu sendiri. Kondisi seperti ini juga dapat menimbulkan pemasungan terhadap adanya integritas manusia, seperti ‘siswa’ sebagai manusia yang memiliki fitrah (pikiran, budi, kehendak, emosi, bakat talenta, kreatifitas dan bebas mengembangkan diri).

Dan akhirnya, lembaga pendidikan tempat belajar, semakin mengabdi dan menghambakan dirinya pada arus materialistik kapitalisme. Pemasungan terhadap adanya keutuhan manusia sebagai dampak industrialisasi dan nilai yang dijual-belikan melalui proses modernism dewasa ini, dapat dilihat dengan adanya pendidikan yang diarahkan hanya untuk memenuhi lapangan kerja (manusia dipandang hanya dari dimensi kerja, sehingga hubungan dengan sesamanya hanya ditentukan oleh relasi ini).

Pada akhirnya, terjadi pemasungan yang menghilangkan dimensi lain yang di miliki, serta merampas kebebasan memilih dan hal ini cenderung memasung imajinasi sebagai potensi daya kreasi manusia.

Pendidikan kaum tertindas, demikian filsafat pendidikan seorang Paolo Freire (2011), yang merupakan teori filsafat sekaligus praktek yang menuntut komitmen dan motivasi untuk mencoba memberikan asas-asas atau jawaban atas permasalahan sosial. Penindasan baginya, adalah sebuah perilaku tidak manusiawi dalam alasan apapun, yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Mungkin saja, bagi mayoritas kaum tertindas, akan menjadi tidak manusiawi. Karena hak-hak asasi mereka dinistakan. Mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam ‘kebudayaan bisu’ (submerged in the culture of silence). Seharusnya, struktur dan mekanisme sistem dari lembaga-lembaga penindasan di tolak, demi untuk melawan ‘pembungkaman’ yang semakin menghujam sistim pendidikan yang ada.

Dari filsafat pendidikan yang di usung Freire di atas, dipahami bahwa pendidikan yang berguna adalah pendidikan yang menyadarkan sikap kritis terhadap dunia, dan mengarahkannya pada perubahan yang sifatnya aktif dan produktif.

Karena yang dibutuhkan pada konsepsi pembebasan dalam dunia pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang menjadikan manusia sebagai sentral bagi perubahan dalam keseluruhan aspek kehidupan, guna bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Sebab pendidikan bukan hanya persoalan-persoalan tentang kemampuan retorika yang bersifat verbal dan sejenisnya. Akan tetapi lebih mengarah kepada keseluruhan aspek kelakuan yang bertumpu pada kemampuan profesional dari para pelaku-pelakunya. Oleh sebab itu, kemampuan-kemampuan ini harus pula di rangsang melalui sikap kritis terhadap kenyataan-kenyataan sekeliling yang di hadapinya. Sehingga sikap kritis itu mampu untuk mengubah self empowerment menjadi social empowerment.

Mungkin benar apa yang ditegaskan oleh Ivan Illich melalui konsepnya “deschooling society” (1974) yang timbul sebagai reaksi atas model pendidikan kapitalistik—dimana saat itu terjadi kecenderungan untuk mengedepankan kekayaan wawasan pengetahuan daripada menyentuh dimensi keterampilan atau kemampuan praktis—bahwa pendidikan yang lebih mengedepankan wawasan pengetahuan saja, tanpa perilaku atau keterampilan, hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang siap menjadi obyek perubahan sosial dari pada subyek perubahan sosial.

Karena itu, pendidikan seharusnya menjadi instrumen bagi self empoverment, yang bertujuan membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan pengibirian manusia atas manusia lainnya secara berkesinambungan. Dalam artian bahwa manusia yang memiliki ‘kebebasan’ seharusnya juga memiliki kemampuan dalam dirinya untuk memaksimalkan potensi diri terhadap kehidupan yang akan di jalaninya. Sehingga out come dari dunia pendidikan tidak lagi menghasilkan generasi dan re-generasi yang memiliki sikap ketergantungan yang tidak mandiri. Sebagaimana ketergantungan itu, salah satunya dijembatani oleh pendidikan model kapitalistik yang sangat merugikan proses pemberdayaan diri dalam diri siswa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.

Tujuan Pendidikan Yang Membebaskan

Menurut Illich, sistem pendidikan yang baik dan yang membebaskan, seharusnya mempunyai tujuan yang membebaskan pula, sebagaimana 3 (tiga) tujuan yang di rumuskannya berikut ini :
1) Pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat; 2) Pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.; 3) Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.

Dari tiga tujuan yang di gagas Illich di atas, dapat di tarik pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk terjaminnya kebebasan seseorang dalam hal ‘memberikan’ dan ‘mendapatkan’ Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan mendapatkan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara kapan saja dan dimana saja.

Dalam kesempatan lainnya, Erich From juga mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah bagaimana membebaskan semua anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari anggapannya yang sudah mapan. 

Sebagaimana yang diungkapkannya:..
“The importance of his thoughts... lies in the fact that they have a liberating effect on the mind by showing new possibilities; they make the reader more alive because they open the door that leads out of the prison of routinized, sterile, preconceived notions”.(lihat: http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm/last updated: Januari 15, 2014)

Menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang ide-ide ‘pembebasan’ dari Illich yang ditujukan pada sasaran-sasarannya sebagai berikut:

1) Untuk membebaskan akses pada barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang atau lembaga atas nilai-nilai pendidikan mereka.

2) Untuk membebaskan usaha membagikan keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan ketrampilan itu menurut permintaan.

3) Untuk membebaskan sumber-sumber daya yang kritis, dan kreatif yang dimiliki rakyat dengan mengembalikan kepada masing-masing orang, kemampuannya dalam mengumpulkan orang dan mengadakan pertemuan. Suatu kemampuan yang kini makin dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang menganggap diri berbicara atas nama rakyat.

4) Untuk membebaskan individu dari kewajiban menggantungkan harapan-harapan pada jasa-jasa yang diberikan oleh profesi mapan manapun seperti sekolah, dengan memberikan kesempatan belajar dari pengalaman teman sebayanya dan mempercayakannya kepada guru, pembimbing, penasehat yang dipilihnya sendiri. Upaya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang ini

Dari beberapa poin di atas, dapat dipahami bahwa dalam konsepnya tentang pendidikan untuk pembebesan, Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapan tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Sebab ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh hanya dari sekolah saja, akan tetapi dapat di peroleh juga dari dunia luar sekolah, seperti lingkungan sekitar dan alam. Sebab jika tidak, maka pada akhirnya nanti seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah di jajakan oleh sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa ia harus tahu dari mana dan bagimana ilmu pengetahuan tersebut.

Sebab dengan bersikap ‘menuruti’ apa kata orang lain tanpa di dasari akan pemahaman yang mendalam dari apa kata orang tersebut—pengetahuan yang memadai—sesungguhnya akan menempatkan seseorang pada wilayah yang terbelenggu oleh batas-batas pikiran orang lain, dan akan melahirkan suatu fenomena sikap hidup yang kurang, dan jauh dari sikap hidup kreatif dan inovatif tetapi juga produktif dalam segala bidang kehidupan yang nantinya akan di jalaninya sebagai insan pendidikan yang bebas—membebaskannya.

Konteks Indonesia
Demikian halnya dalam konteks pendidikan di Indonesia, bahwa ‘mental pesuruh’, setidaknya dapat menggambarkan sosok manusia Indonesia yang telah di kondisikan oleh sistem pendidikan nasionalnya sendiri, dengan hanya bekerja apabila terdapat ‘juklak’ dan ‘juknis’.

Sehingga tak bisa di pungkiri lagi, bahwa sistem pendidikan nasional hanya mampu melahirkan robot-robot yang bekerja hanya jika terdapat undang-undang yang memayunginya. Sehingga realitas yang ada, menunjukkan fenomena dimana orang menjadi segan dan tidak mau berbuat sesuatu, jika tidak ada petunjuk dari atas (Tilaar, H, A, R, 2012:334-335).

Bahwa dalam sistem pendidikan nasional, tidak dikembangkan sebuah sikap ‘entrepreneur’ yang mampu untuk menembus hingga kawasan status quo. Sehingga tidak mengherankan lagi jika isi pendidikan nasional yang ada, hanyalah terfokus pada pengembangan otak kiri semata-mata dan tidak mengembangkan otak kanan, seperti misalnya dalam bidang bisnis dan bidang-bidang kehidupan lainnya.

Dengan melihat kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa intelektualisme sistem pendidikan nasional sudah semakin jauh dari dunianya yang riil—realitas yang nyata. Padahal seharusnya kreativitas dan inovasi di dalam berbagai sektor kehidupan haruslah menjadi agenda yang tidak bisa di tunda lagi untuk dihadirkan kembali ke panggung pendidikan sebagai suatu upaya untuk membebaskan siswa dalam keseluruhan kegiatan dan perilaku belajar. Sebab dunia pendidikan bukanlah kegiatan tour dalam hal belajar—mengajar, dan bukan pula pembahasan dalam persoalan tapal batas, yang selalu dibatasi oleh dinding atau tembok pemisah, serta bangunan-bangunan megah dan lain sebagainya.

Renungan Bersama

Memang tidak selamanya kondisi kehidupan manusia berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dan mungkin saja insan kehidupan—manusia, tidak mengetahui alasan mengapa ia akan berbuat sesuatu.

Namun seharusnya hal yang berkaitan dengan tingkat kesadaran seseorang, seyogyanya memampukan dan menjadikan para pengajar seperti guru atau dosen, sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik untuk memformat pola pendidikan dalam belajar dan pembelajaran, sebagai upaya untuk membawa kesadaran insan pendidikan pada tingkatan yang lebih proporsional.

Sebab pendidikan dalam perjalanannya, selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia seutuh-utuhnya. Sebagaimana dalam perjalanannya, banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahamannya masing-masing mengenai pendidikan, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.

Singkatnya, pendidikan dalam dunianya adalah suatu proses “pembebasan” dimana manusia itu secara sadar bisa menangkap kemudian menyerap, sehingga menghayati dan mengimplementasikannya dalam hidup dan kehidupannya, yang merupakan peristiwa-peristiwa belajar sepanjang kehidupannya, hingga pada hari Maranatha.

Oleh Abdy Busthan

Posting Komentar

[facebook][disqus]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget