Ads

Apakah Tuhan Dapat Terlihat? (Oleh.Abdy Busthan)

Judul diatas adalah sebuah pertanyaan yang masih menjadi perdebatan hingga detik ini. Jika di tela'ah dalam relung-relung filosofi , pertanyaan ini sebenarnya merupakan kekeliruan. Sebab, dalam hal penglihatan manusia—yaitu penglihatan optik secara fisik—hanya mensyaratkan dua hal mendasar, yaitu: (1) Adanya alat yang digunakan untuk melihat (jika di dunia ini berarti mata); dan (2) Adanya alat bantu untuk menerangi obyek yang dilihat, yaitu cahaya. 

Manusia tidak dapat melihat suatu obyek jika ia berada dalam kegelapan. Kedua syarat di atas haruslah terpenuhi. Sehingga, jika Tuhan dapat dilihat, maka berarti Dia terikat terhadap obyek lain—yaitu mata dan cahaya—dalam menampakkan diri-Nya. Tuhan tidak mungkin terikat oleh apapun. Jika Tuhan terikat oleh sesuatu di luar diri-Nya, maka sudah pasti dia bukan Tuhan. 

Sesuai dengan hukum akal, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah. Akan tetapi, Tuhan dapat disaksikan dan dilihat dengan mata hati (perasaan). Jadi, hati seukuran kapasitas eksistensialnya, dapat menyaksikan serta dapat melihat Tuhan. 

Namun, apabila yang dimaksudkan dengan melihat itu adalah melihat secara lahiriah dan kasat mata, maka tidak seorang pun yang dapat menyaksikan dan melihat Tuhan. Hal ini sesuai dengan hukum akal juga dengan penjelasan syariat.

Berkenaan mustahilnya Tuhan dapat dilihat dengan hukum akal, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: Aktivitas melihat dan menyaksikan itu dilakukan atau didapatkan melalui berhadap-hadapannya seseorang dengan sesuatu yang ada di luar dengan mata dan getaran cahaya yang merupakan kiriman dan refleksi gelombang cahaya. 

Artinya bahwa, pertama, yang disaksikan itu adalah sesuatu bendawi yang ada di dunia luar, kedua, mata berhadapan dengan benda yang ada di hadapannya. Karena itu, mata manusia tidak akan dapat melihat sesuatu yang berada di balik itu, sementara Tuhan bukan benda (jism) juga tidak memiliki tipologi dan karakteristik benda (seperti yang dihadapan mata).

Karena itu, Tuhan sekali-kali tidak dapat dilihat dengan menggunakan mata lahiriah. Harus dipahami bahwa, hakikat Tuhan (Allah) adalah Roh, dan manusia di bumi ini berada dalam tubuh fana. Inilah yang membuat manusia secara kasat mata tidak bisa melihat-Nya. Konsep ini melanjutkan konsep yang sudah diajarkan Musa dalam kitab Perjanjian Lama, bahwa ia tidak mampu memandang wajah Allah, dan itulah sebabnya, Allah memberikan pengalaman iman kepada Musa bahwa ia hanya bisa memandang dari belakang, sementara kemuliaan Allah itu menerangi tempat dimana dia ada dan menyebabkan wajah Musa bercahaya (Keluaran 34:29, 30, 35)—hal ini kembali menegaskan apa yang diuraikan dalam kitab Keluaran 33:20 bahwa: "T
idak ada seorangpun dapat melihat Allah dan terus hidup" (Keluaran 33:20).

Dalam Kitab Perjanjian Lama (PL), Tuhan Allah saat menampakkan diri-Nya, adalah dalam perwujutan tertentu. Misalkan dalam kitab Keluaran pasal 3 dengan perwujuan api dalam semak duri, demikian juga dalam kitab Ulangan 31:15, dimana penampakkan Tuhan dalam bentuk tiang awan & tiang api, ataupun dalam kitab Kejadian 32:30 yang berwujud manusia, dan lain-lainnya. Penampakkan inilah yang dapat dilihat oleh manusia. Tetapi wujud Allah yang sesungguhnya adalah dalam Roh, yang tidak pernah bisa di lihat manusia.

Sebagai perbandingannya, bahwa dalam Al-Qur’an pun mencatat tentang penampakkan Tuhan dalam perwujudan kayu, seperti dalam QS 28: 30: Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, "di serulah" Dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari "Sebatang Pohon kayu", yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam”.

Dalam kitab Penjanjian Lama (PL), sering diungkapkan bahwa orang penah melihat Allah (seperti kisah Musa dalam Keluaran 33:18-23), yaitu dengan pengertian bahwa Allah bisa menampakkan wujudnya dengan berbagai cara dan kadar penglihatan menurut keperluan-Nya. Bisa ditampakkan melalui semak duri yang terbakar, atau seperti dalam awan, dan menampakkan bagian-bagian tubuh-Nya, atau wujud diri yang dikenakan-Nya sementara waktu dalam penampakan itu, atau lewat mimpi, vision, dll. 

Namun tidak satupun yang betul-betul melihat sebagaimana hakekat atau Zat diri Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada orang yang tahan memandang wajah Allah (dalam hakekatNya) dan tetap hidup, kecuali Yesus (Keluaran 33:20; Yohanes 6:46). 

Untuk konteks kini, Yesus sendiri telah menyatakan "rupa" Allah kepada setiap manusia. Walau demikian, banyak orang tetap tidak mampu melihat "rupa" yang satu ini, yaitu "Yang ada dipangkuan Bapa", yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kalimat: "in the bosom of the Father". Maksudnya adalah "yang ada bersama-sama Bapa". Hal ini merupakan penggambaran atau ilustrasi dalam menyatakan kedekatan, keintiman pribadi yang tak terpisahkan dalam kesamaan hakikat Bapa, seperti yang dinyatakan dalam Injil Yohanes 1:1. 

Dalam Alkitab Ibrani, wajah Allah adalah ungkapan khusus untuk kehadiran atau hadirat Allah sendiri. Melihat Allah hanya dimungkinkan melalui penyingkapan oleh diri-Nya sendiri. Di sini kehadiran Allah tidak pernah merupakan perasaan belaka akan sesuatu yang menakutkan, melainkan selalu merupakan kehadiran Allah yang dikenal, yang pribadi, dan yang tersendiri. 

Dalam konteks Musa, diketahui bahwa ia mendapat kesempatan memandang belakang Allah yang merupakan bukti keterbatasan dan sekaligus bukti keakraban Musa dengan Allah. 

Namun dengan jelas Allah menyatakan bahwa Musa tidak akan tahan melihat wajah-Nya, sebab Musa akan mati jika melihat wajah-Nya (ayat 20). 

Selanjutnya, jika kita kaji kalimat yang tertulis pada Keluaran 24:10, dimana dikatakan: "Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah”, maka hal ini dikenal dengan istilah Theofani, yaitu kehadiran kemuliaan Allah, yang artinya pernyataan secara kelihatan dan secara supra alamiah dari keagungan Allah yang tertinggi dan yang tiada taranya.

Penampakan Allah atau Theofani yang terjadi di era Perjanjian Lama, senantiasa terjadi dalam bentuk manusiawi atau malaikat, atau juga dalam wujud gejala-gejala kosmis. Seperti dalam kitab Yesaya 6:1 versi LAI TB, dikatakan bahwa: "Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci”. 

Dalam versi KJV berbunyi: "In the year that king Uzziah died I saw also the Lord sitting upon a throne, high and lifted up, and his train filled the temple". 

Nah, pada konteks ayat yang dipaparkan di atas, Nabi Yesaya mendapatkan penglihatan; bandingkan dengan penglihatan Yohanes di pulau Patmos yang ditulis di dalam kitab Wahyu. 

Demikian juga pada Yeremia 31:3 yang menyatakan: "Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu" (Sarapan Pagi Biblika, 2006).

Oleh. Abdy Busthan

Posting Komentar

[facebook][disqus]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget