Secara umum, landasan pendidikan terdiri dari landasan Filosofis, landasan Hukum, Sosiologis, dan Kultural. Semuanya itu berperan penting dalam menentukan tujuan dan arah pendidikan. Adapun landasan ilmiah dan teknologi juga merupakan sesuatu yang mendorong pendidikan itu menuju masa depan yang lebih proporsional.
Dalam landasan-landasan pendidikan tersebut, terdapat dua landasan yang erat kaitannya dengan setiap usaha dan upaya pendidikan, terutamanya dalam pengajaran, yaitu landasan Psikologis dan landasan Iptek.
Landasan Psikologis berfungsi untuk membekali tenaga kependidikan dengan pemahaman akan perkembangan peserta didik dan cara-cara belajarnya. Sedangkan landasan Iptek akan membekali tenaga kependidikan, khususnya guru sebagai pendidik, terkait dengan sumber bahan ajarannya.
Tetapi lebih dari pada itu, bahwa pengkajian landasan Pikologis dan landasan Iptek, akan membekali tenaga kependidikan dengan suatu pegangan dalam mewujudkan keseimbangan dan keselarasan yang lebih proporsional dan dinamis antara pengembangan jati diri peserta didik dan penguasaan iptek tersebut.
Kemudian, dari berbagai macam landasan pendidikan yang ada, terbentuklah wawasan yang tepat tentang pendidikan. Sehingga dengan wawasan pendidikan dan penerapan asas-asas yang tepat, maka akan dapat memberikan peluang yang lebih besar dalam merancang dan menyelenggarakan program pendidikan yang tepat pula, dimana wawasan itu akan memberikan pandangan yang lebih luas terhadap pendidikan.
(1) Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan filosofis adalah asumsi filosofis yang dijadikan ukuran dalam wilayah studi dan praktek pendidikan. Sebab pada dasarnya, karakteristik berfikir filsafat yang utama adalah sifat ‘menyeluruh’, yang menurut Jujun Suriasumantri (2010:20), seorang ilmuwan tidak akan puas mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri, karena hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya juga menjadi sesuatu yang sangat penting. Seperti kaitan ilmu dengan moral, ilmu dengan agama dan lain sebagainya.
Sebagaimana filsafat mulai dikenal sejak zaman Yunani kuno, dengan tiga tokoh yang terkenal pada saat itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Saat itu Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari kebenaran dan kebijakan dengan menggunakan cara berpikir (pemikiran) dialektis. Plato sendiri menyatakan kebenaran hanya ada di alam ide yang bisa diselami dengan akal. Sedangkan Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui panca indra. (Pidarta 2009:76).
Berdasarkan pemikiran tiga tokoh utama dalam filsafat ini, maka hal yang pertama harus di pahami, bahwa filsafat tidak akan mampu berdiri tegak tanpa sistem keyakinan yang terstruktur. Karena itu, langkah awal filsafat akan selalu ditandai dengan pertanyaan: Apakah hakikat dari realitas? Selanjutnya, maka serpihan-serpihan logika dan penalaran akan menjadi bagian terpenting untuk dapat meletakkan term kebenaran, kebajikan, pengetahuan, belajar, dan lain sebagainya. Dan syaratnya adalah realitas harus mendapatkan tempat yang kongkrit dan proporsional dalam mendefinisikan segala sesuatunya.
Menarik untuk dipahami lebih dulu, bahwa salah satu masalah dalam menggunakan pengetahuan filsafat, menurut Dewey (1929/1988); dalam Gredler (2011:7), adalah fokusnya yang seperti menatap pada kaca spion. Padahal, faktor-faktor yang memberikan nilai pada pikiran atau ide bukanlah asal muasal pengetahuan, melainkan hanya hasil yang diproduksi oleh gagasan. Fenomena ini juga di perkuat ketika pertengahan abad ke-16, Galileo memperkenalkan percobaan dengan objek sebagai metode untuk mengembangkan pengetahuan tentang dunia fisik, dan lahirlah ilmu fisika. Pada saat itu prinsip dan hukum alam yang reliabel, kemudian perlahan namun pasti menggantikan keyakinan mistis dan pepatah yang belum teruji. Dimana ilmu kimia menjadi praktek alkemis, dan metode astrologi digantikan oleh ilmu astronomi. Tetapi disitu, riset tentang ‘pikiran’ belum dibahas. Sebagaimana pada saat itu masyarakat menganggap pikiran adalah anugerah Tuhan sendiri, dan melakukan riset terhadap pikiran, maka sama artinya dengan mempertanyakan anugerah sakral itu.
Di sini peran utama pikiran lebih diarahkan pada realitas dasar dan filsafat—yang kemudian dianggap memadai untuk menjalankan tugas pemikiran realitas dasar—tetapi yang sebenarnya, justru mengesampingkan unsur-unsur lainnya, seperti ide dan perasaan. Jelas sekali bahwa upaya-upaya awal untuk memahami belajar adalah melalui kebijakan tradisional, yang di dasarkan pada realitas—pengalaman melalui pintu filsafat. Persoalannya, kebijaksanaan tradisional ini adalah merupakan informasi yang kemudian ditafsirkan dengan cara berbeda-beda.
Filsuf matematikawan Perancis yang juga dikenal sebagai bapak filsafat modern, Rene Decartes (2012:26-27), menjelaskan dalam bukunya “Discourse on Method”, bahwa secara merata dan alami, semua orang memiliki “akal sehat” atau nalar yang dapat digunakan untuk membedakan antara yang benar dan salah. Bahwa keanekaragaman pendapat, timbul bukan karena seseorang lebih memiliki kemampuan untuk bernalar dari orang yang lainnya, melainkan semata-mata karena cara penalaran manusia berlainan, dan hal-hal yang menjadi pertimbangan juga tidak sama. Karena itu, memiliki nalar yang baik tidaklah cukup jika tidak di tunjang pula dengan penggunaan nalar secara baik.
..“Cogito ergo sum”, bahwa “aku berpikir karena itu aku ada”. Descartes secara tegas membedakan antara subjek (kepala—cogito—pikiran) dan dunia (hidup—sum—ada). Dimana antara kepala dan dunia, di hubungkan oleh ilmu pengetahuan (sebagai ergo), yaitu melalui aktivitas berfikir. Sehingga jika tidak di pikirkan (“olehku”) maka dunia pun tidak ada. Dalam hal ini, penalaran Descartes adalah bahwa sementara ‘saya’ berpikir bahwa semuanya tidak benar, maka saya sebagai yang memikirkannya adalah sesuatu. Sehingga saya berpikir, karena itu saya ada. Jadi kenyataannya, bahwa ‘saya’ meragukan sesuatu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa saya ada. Sebaliknya, seandainya saya berhenti berpikir, walaupun hal lain yang saya bayangkan memang ada, maka saya tidak mempunyai alasan apapun untuk menyatakan bahwa saya ada. Berdasarkan hal ini, saya adalah substansi yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah “berpikir”, dan untuk keberadaannya, tidak membutuhkan ruang sedikitpun dan tidak bergantung pada benda materi apa pun.
Dengan demikian, (“saya”) ini adalah jiwa—yang membuat saya sebagaimana adanya—sama sekali berlainan dengan badan, dan bahkan lebih mudah dikenali daripada badan. Dan sekalipun badan tidak ada, jiwa akan tetap sebagaimana adanya.
Dalam wilayah religi, hal ini tentu dapat di mulai dengan kalimat “berpikir” (cogito) dan disandingkan dengan “meragu” (dubito), yang tentunya berpikir adalah meragukan, yang dapat berdampak pada pemahaman sosial yang berbeda. Sehingga jika didasarkan pada persoalan kepercayaan religius: “aku berpikir (tentang) Tuhan maka Tuhan ada” jelas berbeda dengan “aku meragukan Tuhan maka Tuhan ada”. Dengan pengetahuan jenis ini maka Decartes menawarkan “le maitres et possesseurs de la nature”, yaitu pangeran yang gilang-gemilang dengan cahaya ilmu dan menjadi penguasa dunia Decartes, (2012:72-73).
Descartes memang sosok pendobrak gaya justifikasi model Aristotelian. Dia tidak bertolak dari objek, melainkan dari subjek. Apa artinya bertolak dari subjek? Artinya bertolak dari apa yang paling melukiskan subjektivitasnya, yaitu rasio, akal budi, kesadaran diri. Filsafat Descartes seringkali disebut sebagai filsafat kesadaran, semata-mata karena ia melucuti pengetahuan dari dimensi objektifnya.
Menurut Decartes, pengetahuan itu urusan kesadaran, yaitu sebuah urusan yang paling menentukan subjektivitas seseorang. Misalnya, seseorang dapat mengetahui sebuah meja, tentu saja hal itu berarti akal budi orang itu sedang ‘menyadari’ tentang meja. Descartes berkata dengan benar, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Kesadaran mendahului ada. Atau, cogito (saya menyadari, berpikir) mendahului sum (realitas ada saya). Karena itu, tidak berlebihan kiranya jika disebutkan bahwa filsafat Descartes adalah filsafat Cogito, yaitu filsafat ‘saya berpikir’, atau dengan kata lain filsafat kesadaran. Ergo Sum (maka saya ada) lantas mengalir dari kesadaran seseorang. Pada level ini, saya berpikir atau menyadari, akan mendahului realitas ada saya. Sehingga, ketika saya berpikir, suanggi (baca: setan) pun tidak dapat menyangkalnya atau bahkan ketika saya bertanya, apakah saya sedang berpikir, justru itu menunjukkan bahwa saya sedang berpikir atau menyadari. Dengan demikian, dalam pemikiran Descartes, seluruh elaborasi mengenai ada saya berangkat dari kesadaran. Karena kesadaran memiliki karakter subjektif, maka juga soal pengetahun benar atau salah sangat berurusan dengan subjektivitas.
Dengan artian bahwa dalam cara berpikir demikian, objektivitas (kebenaran yang berkaitan dengan objeknya) akan mulai ditinggalkan. Sehingga pada akhirnya, Descartes menegaskan bahwa apa yang disebut dengan pengetahuan adalah ingatan sejauh manusia menyadarinya.
Pengetahuan manusia adalah ‘bawaan’ sejak lahir. Mengenal atau mengetahui berarti mengingat kembali ide bawaan sejak lahir tersebut, seperti gagasan Plato, but let’s go on.
Descartes telah mendobrak filsafat Aristotelian, dimana sejak masa Descartes, tampak bahwa peran rasio makin mengemuka dan menguasai berbagai kajian ilmu pada saat itu. Sehingga, akal budi manusia benar-benar hampir menjadi segalanya dalam tataran filsafat. Rasionalisme, dalam konteks epistemologis, praktis menunjuk pada filsafat Descartes.
Kepastian ilmu pengetahuan bukan lagi perkara relasi atau kaitan rasio dengan realitas, melainkan perkara kesadaran rasional manusia. Kerja tentang perkara sesuai atau tidaknya antara akal budi dengan objek realnya ditinggalkan. Ide tentang subjektivitas atau subjektivisme (kalau itu berurusan dengan paham) berangkat dari filsafat Cartesius (Rene Descartes).
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa “filsafat pendidikan” berbeda dengan “pendidikan filsafat”, demikian juga sangat berbeda dengan teori pendidikan. Sehingga dalam pengertiannya tidak mudah untuk di definisikan. Sebab filsafat Pendidikan tidak sama dengan teori pendidikan, dan tidak di definisikan secar khusus dalam penerapa filsafat untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan praktik pendidikan. (Kuswana Sunaryo W, 2013:27).
Dengan demikian, maka filsafat pendidikan merupakan bidang filsafat terapan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari transformasi filsafat tradisional (terdiri dari ontologi, etika, epistemologi), serta pendekatan kelembagaan (filsafat spekulatif, perspektif dan atau analitik), yang sangat diperlukan untuk merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, teori kurikulum dan pembelajaran serta aspek-aspek pendidikan lainnya.
Sementara ilmu (termasuk ilmu pendidikan) lahir dari filsafat umum, melalui perantaranya yaitu filsafat ilmu berdasarkan kajian ilmunya masing-masing. Dalam hal ini kelahiran ilmu pendidikan dibantu dengan filsafat pendidikan. Sehingga pemahaman akan filsafat pendidikan adalah hasil dari pemikiran dan perenungan secara mendalam hingga ke akar-akarnya, untuk mengenal pendidikan. Dalam hal ini, akan menjawab tiga pertanyaan pokoknya (Ateng Sutisna, 1990 ; dalam Pidarta, 2009:83-85), yaitu: (1) Apa itu pendidikan? (2) Apa yang hendak ia capai? Dan (3) Bagaimana cara terbaik merealisasi tujuan-tujuannya?
Sedangkan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sendiri, Pancasila adalah filsafat pendidikannya. Karena Pancasila merupakan dasar dari segala dasar tata hidup, sehingga yang menjadi dasar tata hidup di bidang pendidikan adalah Pancasila.
(2) Landasan Hukum/ Yuridis
Landasan Hukum dapat dipahami sebagai peraturan baku sebagai tempat terpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini adalah kegiatan pendidikan yang asumsi-asumsinya bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dijadikan tolak ukur dalam mengkaji bidang pendidikan.
Sebagaimana dalam UU RI NO. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa: “Setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun, wajib mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 6); “Setiap warga Negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34). Implikasinya, Kepala Sekolah Dasar atau panitia penerimaan siswa baru di SD harus memprioritaskan anak-anak (pendaftar) berusia tujuh tahun untuk diterima sebagai siswa daripada anak-anak yang baru mencapai usia enam tahun. Karena itu, panitia penerimaan siswa baru perlu menyusun daftar urut anak (pendaftar) berdasarkan usianya, baru menetapkan batas nomor urut pendaftar yang akan diterima sesuai kapasitas yang dimiliki sekolah.
Upaya mengidentifikasi dan mengelompokkan jenis-jenis landasan pendidikan, di samping dapat dilakukan berdasarkan sumbernya, dapat pula dilakukan berdasarkan sifat isi dari asumsi-asumsinya. Berdasarkan sifat isi asumsi-asumsinya, landasan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu 1) landasan deskriptif pendidikan, dan 2) landasan preskriptif pendidikan.
(3) Landasan Deskriptif Pendidikan
Landasan deskriptif adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia sebagai sasaran pendidikan apa adanya (dasein) yang di jadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan umumnya bersumber dari hasil riset ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, sebab itu landasan deskriptif pendidikan disebut juga landasan ilmiah pendidikan atau landasan faktual pendidikan.
(4) Landasan Preskriptif Pendidikan
Landasan deskriptif pendidikan antara lain meliputi: landasan psikologis pendidikan, landasan biologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, dsb. Adapun landasan preskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia yang ideal/diharapkan/dicita-citakan (das sollen) yang disarankan menjadi titik tolak studi pendidikan dan/atau praktek pendidikan. Landasan preskriptif pendidikan antara lain meliputi: landasan filosofis pendidikan, landasan religius pendidikan, dan landasan yuridis pendidikan.
Oleh: Abdy Buthan
Posting Komentar