Ads

Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran

Seorang ahli pembelajaran kolaborasi, Conner Marcia (2001), menjelaskan bahwa sebagaimana paradigma dominan dari praktek literatur Amerika Utara dan pendidikan berkelanjutan, maka humanisme dapat pula didefinisikan sebagai teori pertumbuhan dan perkembangan individu dalam teknik berpikir baru dengan menggunakan cara-cara kreatif. 

Diambil dari karya psikolog humanistik terdahulu dan studi andragogi, teori humanistik kemudian meliputi asumsi pengajaran dan pembelajaran yang sangat mempengaruhi bidang kegiatan (field),  dimana teori ini memfasilitasi pembelajaran kolaboratif dengan penekanannya yang kuat pada diri “peserta didik” dan negoisasi tujuan instruktur, serta metode dan kriteria evaluatif.

Teori Humanistik dimulai dengan dasar pemahaman bahwa pembelajaran terjadi terutama dengan merefleksikan pengalaman pribadi. Peran instruksi tidak untuk menempatkan sesuatu dalam pikiran atau repertoar dari para peserta didik, tetapi untuk mengekstrak pelajaran dari pelajar dalam wawasan dan pengalaman seperti mengambil air dari sumur. Seseorang bisa mendapatkan wawasan baru dari dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya, jika ia memiliki kesempatan dan alat untuk melakukannya (Busthan Abdy, 2017:23).

Peran guru adalah sebagai instruktur dalam membantu siswa/i untuk melengkapi pengalaman dengan peluang-peluang baru. Instruksi harus bertanya dengan pertanyaan yang merangsang dalam membantu siswa membuat koneksi baru, dan mengungkapkan apa yang sudah diketahui.

Dasar Pandangan Teori Humanistik
Dasar pandangan teori humanistik bahwa pembelajaran sebenarnya adalah apa yang ditemukan dalam masing-masing pribadi dari setiap individu, dan bukan sesuatu yang diberitahukan atau dipimpin oleh orang lain. Teknik ini berakar dalam metode Socrates dan Plato, yang berkeyakinan bahwa semua pengetahuan melekat dalam setiap individu.

Kemudian, dikembangkan dibawah prinsip-prinsip pengembangan Carl Rogers dengan terapi self-directed-nya. Teori humanistik menekankan bahwa individu harus merasa nyaman dengan lingkungan belajarnya sekaligus merasa senang dengan aliran topik yang disajikan. Cara individu merasa nyaman dan tenang inilah yang menjadi acuan utama untuk mempengaruhi komitmen dalam belajar. Jika saja individu merasa aman, dihormati, terhormat dan diberdayakan, maka akan berdampak dalam upayanya yang besar untuk melakukan proses belajar. Jika sebaliknya, individu merasa terancam, cemas, bermusuhan atau direndahkan, maka individu tersebut akan semakin menolak pembelajaran.

Prinsip-Prinsip Dasar Teori Humanistik
Humanistik juga melibatkan peserta didik dengan cara-cara intens dan personal, dimana program dimulai dengan membantu peserta didik dengan prinsip-prinsip dasar berikut ini:

(1) Mengidentifikasi tujuan yang berpusat pada peserta didik, dan yang ditarik dari pengalaman individu .

(2) Tujuan memberitahu individu apa yang harus diketahui seperti yang didefinisikan oleh orang lain. Sehingga mereka bertanggung jawab untuk pembelajaran masing-masing

(3) Instruksi melibatkan peserta didik dalam tahap perencanaan untuk memastikan topik yang relevan dan tepat.

(4) Program mengandalkan analisis diri, membangun tim dan rekan belajar yang menggunakan berbagai alat dan pendekatan-pendekatan

(5) Belajar yang signifikan mengarah ke wawasan dan pemahaman tentang diri sendiri dan orang lain.

(6) Menjadi manusia yang lebih baik dianggap sebagai tujuan belajar yang valid

(7) Segala sesuatu yang dapat diajarkan kepada orang lain relatif tidak penting. Sebaliknya, keinginan untuk belajar harus datang dari motivasi intrinsik, yang diciptakan oleh kebutuhan untuk pertumbuhan dan pemenuhan pribadi.

(8) Humanisme memiliki struktur yang kecil, dapat digunakan dengan tingkat konseptual yang tinggi, mempekerjakan evaluasi diri, dan menghormati perbedaan individu

(9) Humanisme memiliki struktur yang kecil, dapat digunakan dengan tingkat konseptual yang tinggi, mempekerjakan evaluasi diri dan menghormati perbedaan individu .

(10) Ketika seorang individu (siswa) bergerak sepanjang perilaku—yang kognitif, kontinum humanis—fokusnya akan bergeser dari mengajar untuk belajar. Strategi dalam hal tersebut akan bergerak dari transfer fakta pasif dan rutinitas untuk aplikasi yang aktif dengan ide-ide dan masalah.

Isu-isu yang menuntut pengolahan high-level memang sering dipelajari terbaik dengan strategi humanis. Namun pertanyaan kritisnya adalah: bukan “mana teori yang terbaik", melainkan, "teori mana yang paling efektif dalam mendorong penguasaan tugas-tugas tertentu oleh peserta didik?".

Sebab, ketika pengajar pemula menimalisir dengan kompleks informasi untuk pertama kalinya, namun itu terlihat tidak efektif, efisien, atau tidak merangsang peserta didik lebih akrab dengan konten, maka saat itu, pendidikan humanistik dapat mencampur strateginya dengan fokus baru pada kajian yang humanis dan andragogik, di mana dalam prakteknya dapat membantu siswa berfungsi dengan baik, yaitu ketika mereka mengalami hal-hal seperti: 1) Kondisi optimal tidak ada; 2) Situasi tidak bisa ditebak; dan 3) Siswa harus berpikir di atas kakinya. 

Karena itu, maka inti pendidikan humanisme adalah usaha untuk mengubah, lalu memberikan solusi dengan permintaan lingkungan organik berdasarkan cipta, improvisasi, dialog dan negosiasi sosial dalam lingkungan setiap pelaku belajar.

Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Habermas (dalam Budiningsih Asri 2012:73-74), bahwa belajar baru akan tercipta, jika terjadi sebuah interaksi antara individu dan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

Pada titik ini, sebagaimana menurut Habermas dalam Busthan Abdy (2017:57) terdapat 3 tipe belajar dalam implementasi teori belajar humanistik ini, yaitu sebagai berikut:

Technical Learning (Belajar Teknis), tentang bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan yang perlu dipelajari agar siswa dapat menguasai dan mengelola lingkungan sekitarnya dengan baik.

Practical Learning (Belajar Praktis), yaitu bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu orang-orang yang berada di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antara sesama manusia. Pemahaman dan keterampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.

Emancipatory Learning (Belajar Emansipatoris), yaitu proses belajar dengan menekankan pada upaya seseorang untuk mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Dan pemahaman akan kesadaran transformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tingkat tahapan belajar yang paling tinggi. Sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan paling tinggi.

Jadi untuk implikasinya, teori humanistik menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. 

Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa, yang dalam hal ini guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.

Pustaka:
Busthan Abdy (2017). Teori Belajar Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang; Desna Life Ministry

Posting Komentar

[facebook][disqus]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget