Yang pertama, "kekuasaan politik" mengacu kepada kemungkinan untuk mempergunakan kekuasaan membangun “polis” (boleh dibaca: negara, masyarakat). Itu berarti membangun dan menciptakan kesejahteraan bersama sebagai wujud keadilan, yang mestinya dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat. Di sini kekuasaan tidak dipahami sebagai yang punya tujuan di dalam dirinya, tetapi demi pelayanan. Kekuasaan, dengan demikian hanyalah sebuah medium guna mewujudkan hal yang lebih besar yaitu kesejahteraan sebagai refleksi dari keadilan sosial. Mereka yang menerapkan prinsip ini akan sangat rendah hati, bersedia mendengar kritik yang membangun.
Lain halnya dengan konsep "politik kekuasaan". Kekuasaan di sini dipergunakan sebagai instrumen untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya baik bagi diri sendiri, maupun bagi kroni-kroninya. Maka sekali kekuasaan dikangkangi, ia tidak akan mau melepaskannya lagi. Ia akan mempertahankannya mati-matian.
Dalam sebuah sistem demokrasi, yang bersangkutan akan main akal-akalan dengan menurunkan (boleh dibaca, "mewariskan") kekuasaan itu, entah kepada istri, anak dan saudara. Itulah yang disebut politik dinasti yang sangat marak di negeri kita akhir-akhir ini. Biasanya mereka yang menerapkan politik kekuasaan tidak akan sepi dari pencitraan. Ya, pencitraan memang dibutuhkan oleh si penguasa guna menutupi kelemahan-kelemahannya.
Dalam minggu-minggu ini, dalam rangka pilkada, serentak di seluruh Indonesia akan diselenggarakan debat publik oleh para kandidat gubernur dan kepala daerah lainnya. Marilah kita semua sungguh-sungguh mencermati mana paslon yang cenderung menerapkan "kekuasaan politik" dan mana yang "politik kekuasaan".
Selamat berefleksi
Oleh: Pdt. Dr. Andreas. A. Yewangoe
Posting Komentar