Ads

Pemikiran Jhon Dewey dan Gagasan Pragmatismenya

Jhon Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont, dari keluarga sederhana. Seperti kakaknya, Davis Kaya Dewey, dia pun kuliah di University of Vermont dan lulus pada tahun 1879. Seorang profesor yang paling di idolakan Dewey di University of Vermont adalah Henry AP Torrey, anak mertua dan keponakan dari mantan presiden University of Vermont, Joseph Torrey. Saat itu Dewey belajar kepribadian dengan Torrey sambil menunggu kelulusannya di Vermont, sebagai bekal pendaftarannya masuk di Johns Hopkins University.

John Dewey adalah filsuf, psikolog, dan pembaharu dalam dunia pendidikan yang berasal dari negara Amerika. Gagasan dan pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan dan reformasi sosial hingga saat ini. Disamping sebagai pemikir dalam bidang pendidikan, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial.

Dewey sebenarnya salah satu penggagas teori konstruktivistik yang muncul dengan menganjurkan teori dan metode learning by doing (belajar sambil melakukan). Namun karena dia sering menyatakan bahwa pendidikan sebagai penataan ulang atau rekonstruksi ragam pengalaman dan peristiwa yang dialami sendiri oleh manusia dalam kehidupan humanisnya, maka Dewey menjadi sulit untuk dipisahkan dari teori belajar humanistik.

Dalam teori dan metodenya, Dewey berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu, kita tidak perlu terlalu banyak mempelajarinya. Dalam melakukan apa yang dipelajari itu, maka dengan sendirinya seseorang akan menguasai gerakan-gerakan atau perbuatan-perbuatan yang tepat, sehingga ia bisa menguasai hal yang dipelajari itu dengan sempurna. Dewey mengambil contoh tentang seorang yang akan belajar berenang. Menurutnya, seorang itu tidak perlu diajari macam-macam teori, tetapi cukup ia langsung di suruh masuk ke kolam renang dan mulai berenang, dengan cepat seorang itu akan menguasai kemampuan berenang (Sarlito Sarwono, 2002).

Dewey dan Pragmatisme
Dewey adalah salah satu tokoh utama yang berhubungan dengan filsafat pragmatisme, dia dianggap sebagai salah satu pendiri psikologi fungsional yang paling handal dan penggagas utama dalam pendidikan progresif dan liberalisme. 

Disamping  beberapa publikasi pendidikannya yang sangat terkenal, Dewey juga banyak menulis tentang topik filsafat lainnya—termasuk epistemologi, metafisika, estetika, seni, logika, teori sosial dan etika. 

Meskipun Dewey banyak sekali menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme dalam setiap gagasannya, namun filosofi pragmatismenya tetap saja diarahkan sebagai suatu filosofi yang konsekuensinya menggunakan hasil atau konsekuensinya sebagai kriteria dalam setiap keputusannya dalam teori yang digagasnya. 

Dewey adalah seorang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur aktivitas kehidupan manusia memenuhi kebutuhan manusiawinya. Dewey menjelaskan hal ini dengan istilah instrumentalisme, yaitu dengan merumuskan esensi instrumentalisme pragmatisnya sebagai: “to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence” (C.F. Delaney, 1999; Dewey John, 1964).

Dewey banyak menyebutkan pragmatisme ke dalam beberapa konsep seperti: instrumentalisme, operationalisme, functionalisme, serta experimentalisme. Disebut demikian karena menurut aliran ini, bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligensi, merupakan alat atau instrumen dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi manusia dalam lingkungannya.

Instrumentalisme adalah usaha menyusun teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuk yang beragam, dengan cara menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi di dalam penemuan yang berdasarkan pengalaman mengenai konsekuensi di masa depan. 

Sedangkan experience (pengalaman) merupakan salah satu kunci dalam filsafat instumentalisme. Karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai yang ada.

Sehingga intisari dari kebebasan Dewey adalah kebebasan inteligensi, di mana kebebasan observasi dan justifikasi dilakukan dasar keinginan yang selalu memiliki arti secara intrinsik—yaitu bagian yang dimainkan oleh pikiran dalam belajar. Konsepsi pendidikan sebagai suatu proses sosial diterapkan tidak hanya ke anak di sekolah melainkan juga sekolah dan masyarakat. 

Neo-empirisme
Mulanya Dewey menaruh perhatian pada teori pengalaman yang dikembangkan kaum Hegelian. Tetapi melalui proses, kemudian Dewey mengembangkan teori neo-empirisme, yang terdiri dari tiga (3) pemikiran pokok mengenai pengalaman manusia yang diamatinya, yang menurut Dewey diabaikan oleh para pemikir idealis, yaitu: (1) Pengabaian terhadap pengalaman bertindak; (2) Penolakannya terhadap gagasan mengenai suatu hal yang merupakan kesatuan yang menyeluruh; (3) Anggapannya bahwa kaum Hegelian dan idealis selalu menyimpulkan kodrat alam yang terlalu menggeneralisasikan sehingga menuntun kepada proyeksi kosmis yang keliru.

Pemahaman Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia merupakan makhluk sosial. Segala perbuatan manusia, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk, akan selalu diberi penilaian oleh lingkungan dan masyarakat.

Akan tetapi, di lain pihak, secara alamiah manusia pencipta nilai bagi dirinya sendiri. Sementara masyarakat di sekitar manusia dengan segala organisasi dan lembaganya, bisa dikondisikan dalam hubungan sedemikian rupa, sehingga memberikan pengaruh positif dalam kehidupan masing-masing individu semaksimal mungkin. Dalam artian, bahwa pribadi seorang yang berkembang, selain ia berkembang dengan adanya kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga akan turut dipengaruhi masyarakat yang ada disekitar lingkungan.

Menurut Dewey setiap pribadi manusia selalu memiliki struktur-struktur kodrati tertentu yang ditandai dengan kepemilikan insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia sejak lahir. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, tetapi ia fleksibel. Dalam hal fleksibelitasnya, tampak ketika insting bereaksi terhadap kondisi serta lingkungan yang dihadapi. Pokok pandangan Dewey di sini, bahwa secara kodrati, struktur psikologi manusia atau kodrat manusia terdapat kelebihan tertentu.

Kelebihan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial disekitarnya—manusia. Bila seseorang bereaksi yang sama terhadap kondisi disekitarnya, itu disebabkan karena “kebiasaan” dan cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Sehingga kebiasaan ini dapat berubah sesuai tuntutan di sekelilingnya. 

Berpikir Mendalam, Pengalaman, dan Kebenaran
Bagi Dewey, tak ada sesuatu yang akan tetap dan tinggal diam (statis). Manusia selalu bergerak dalam perubahannya yang berlangsung terus menerus—berkesinambungan. Jika ketika dijumpai kesulitan, maka manusia akan berpikir bagaimana mengatasi kesulitan itu. Sehingga apa yang disebut “berpikir”, adalah alat yang digunakan untuk “bertindak”. Sebab pengalaman menjadi bagian utama yang akan membentuknya.

Untuk menganalisis teori kebenaran Dewey, ada baiknya mengutip penjelasan Dewey sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Hadiwijono (2004), dalam buku yang berjudul “Sari Sejarah Filsafat Barat II”, bahwa .. 
“Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”. (C.F. Delaney, 1999; Dewey John, 1964).

Dari sedikit penyataan di atas, setidaknya bisa dipahami beberapa hal yang terbentuk dari pemikiran mendalam Dewey, yaitu sebagai berikut:

Pertama. Kebenaran akan berubah-ubah, bersifat progresif, dan bukan sesuatu yang dapat disimpulkan sebagai hal yang final—terbatas. Hal inilahlah yang membuat Dewey berkesimpulan bahwa untuk mengatur kehidupan di dunia ini adalah rumit. Sebab apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap, maka insan manusia akan menjalani kehidupan pada landasan yang tidak kuat, bahkan penuh kebimbangan.

Kedua. Banyak kebenaran yang sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi tidak berlaku pada semuanya. Misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini: “Gajah adalah hewan yang lebih besar dari semut”, “Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci seseorang”, bagaimana Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut (Dewey John, 1964)

Ketiga. Berdasarkan pada asas pragmatisme, pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya.

Keempat. Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari zaman ke zaman.

Kelima. Tujuan hidup yang berhubungan dengan kaidah, wajib selalu berubah dan berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap”. Disamping itu juga, istilah bahwa “segala sesuatu itu baik” dan “apabila berguna” juga perlu di kritisi. Apabila itu dipergunakan secara umum, maka akan dapat membahayakan.

Keenam. Secara umum, pragmatisme merupakan ide yang dapat dipraktekkan dengan benar, dan berguna. Ide-ide hanya ada dalam ide tanpa diimplementasikan, hanyalah suatu kebimbangan terhadap realitas objek indra, yang semuanya itu non-sense bagi pragmatisme.

Filsafat Dewey
Pemikiran Dewey adalah tentang berpikir “reflektif”—yaitu cara berpikir yang dimulai dari adanya “masalah” yang dihadapkan pada pebelajar (siswa) untuk dipecahkan. Prinsipnya, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional.

Namun, kenyataan juga dapat merupakan suatu persoalan yang dipandang sebagai problem yang besar pula. Karena itu pemecahannya adalah: 1) Menganalisis situasi secara seksama (hati-hati) dan dapat mengumpulkan semua fakta yang diperoleh; 2) Dalam mengobservasi fakta-fakta, dibutuhkan sikap adil, berimbang dan tidak memihak, serta tanpa prejudice (prasangka); 3) Pemecahan apa yang diusulkan, dan ditetapkan. 

Konsep penting dari pandangan Dewey dalam kajian filsafatnya dapat dirangkum sebagai berikut. 

Pertama. Banyak kalangan menilai pemikiran Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, yang dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. “All is in the making”, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya melalui pendidikan

Kedua. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu selalu berubah, bertumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan hukum moral juga berubah, berkembang menuju arah yang sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.

Ketiga. Pengalaman (experience) merupakan kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan selalu berpangkal dari setiap pengalaman-pengalaman, dan bergerak kembali menuju pengalaman itu sendiri.

Keempat. Untuk dapat menyusun pengalaman-pengalaman seperti dijelaskan di atas, diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi tertuntun (ter-awasi) dari keadaan tidak menentu kepada kondisi atau keadaan tertentu dan menentu—pandangan Dewey mengenai pendidikan timbul  ketika ia bekerja
 di laboratorium sekolah anak-anak di University of Chicago, di situ Dewey banyak mencoba mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai landasan pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya. 

Kelima. Sebagai seorang tokoh pragmatisme, Dewey juga memberikan kebenarannya berdasarkan manfaat kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai (Busthan Abdy, 2017: 112-117).

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Belajar Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang; Desna Life Ministry

Posting Komentar

[facebook][disqus]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget