Diskusi tentang kebebasan tidak bisa terlepas dari dua aliran besar yang sangat berpengaruh dalam bidang sosial dan politik, yaitu Liberalisme dan Kolektivisme.
Kebebasan Liberalisme, menekankan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam arti bebas dari halangan-halangan luar yang membatasi ekspresinya yang personal. Dalam hal ini, John Stuart Mill (dalam Dua Mikhael, 2011:38), memberikan gambaran jelas tentang kebebasan ini, yaitu seseorang dapat bebas dari aturan yang mengekang kebebasannya dalam berpakaian, bergaul, berpendapat, dan menentukan pilihan-pilihan lainnya.
Namun jenis kebebasan ini tidak bisa dikatakan absolut. Sebab kebebasan ini mengakui pembatasan yang rasional; yaitu pertimbangan kebebasan seseorang untuk menjadi ‘manfaat’ bagi orang lain—kebebasan yang bermanfaat bagi kebebasan orang lain—atau kebebasan untuk hidup bersama tanpa mengganggu hak personal dari orang lain.
Misalnya, seseorang bebas untuk tidur lebih awal dari biasanya tanpa dipengaruhi orang lain, atau sebaliknya orang tersebut tidak mempengaruhi orang lain untuk melakukan alternatif-alternatif dalam hal yang sama. Contoh lainnya, ketika seseorang mendengarkan musik ditengah malam, maka orang tersebut tidak bisa membatasi orang lain untuk alternatif-alternatif yang sama dengannya, sehingga dengan pertimbangan tersebut maka ia dapat mengecilkan volume musik yang sedang di dengarnya agar tidak mengganggu ketentraman orang lain.
Sehingga dapat ditarik pemahaman bahwa setiap orang harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyatakan pendapatnya dan mengembangkan dirinya agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Karena menurut Mill, tanpa kebebasan tiap-tiap warga masyarakat tidak dapat berkembang dengan baik. Tentu hal ini menjadi penting mengingat bahwa masyarakat akan mendapatkan manfaat yang besar karena kebebasan individual. Karena kebebasan adalah fondasi masyarakat yang baik, sebab pada prinsipnya memberikan manfaat besar bagi kebaikan banyak orang.
Kebebasan Kolektivism, yang dikenal juga dengan Liberalisme-Utilitaristis, memandang kebebasan sebagai sebuah kehendak untuk ‘tunduk’ pada prinsip masyarakat. Dalam artian bahwa kebebasan disini melihat bahwa masyarakat adalah penentu dari kehidupan individual.
Di sini pengakuan akan masyarakat menjadi sesuatu yang penting dibandingkan dengan sosialisme klasik ala kebebasan Mill di atas. Dipahami lebih dalam lagi bahwa masyarakat adalah kenyataan yang tidak dapat di tolak. Sehingga kenyataan inilah yang menjadi kebebasan bagi manusia.
Artinya bahwa seseorang dengan keadaan yang tahu, harus mau tunduk pada otoritas yang lebih tinggi. Jadi, inti dari kebebasan koletivitas bahwa kebebasan dan hak individu hanya bisa berlaku bagi sebuah otoritas tertinggi saja, seperti negara, agama dan profesi. Misalnya dalam agama, kebebasan ini bisa muncul dalam sikap penyerahan diri seseorang pada otoritas maha tinggi yaitu Tuhan.
Mungkin dalam konteks spiritual seperti ini, sepenggal kalimat Martin Luther sebagai tokoh terkenal dalam perkembangan Kekristenan dapat dijadikan tolak ukur. Dimana Luther menyatakan bahwa: “Disini saya berdiri, dan saya tidak dapat berubah”. Tentu dalam tradisi spiritualitas seperti ini, ketaatan pada otoritas adalah bentuk dari kebebasan. Dalam artian bahwa kebebasan adalah pilihan eksistensial yang di dasari dengan akal sehat. Bahwa demi perkembangan eksistensial, maka seseorang dapat mengabdikan diri pada sebuah otoritas yang berwibawa untuk kepentingannya, juga kepentingan yang lebih luas pula (Dua Mikhael, 2011:39)
Dari pemahaman kedua aliran kebebasan seperti diuraikan di atas, setidaknya dapat disimpulkan bahwa dalam kebebasan manusia dalam makna eksistensial maupun substansial, maka setiap manusia (individu) akan selalu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan, putusan-putusan, keyakinan-keyakinan dan tekad dalam pikiran yang menghasilkan keteguhan hati dan komitmen berdasarkan ‘moralitas’ yang tercermin dalam perilakunya.
Sehingga melalui pencarian kebebasan, manusia sedapatnya mampu untuk menjadikan dirinya menjadi tetap terikat dan di batasi dengan apa yang telah di hasilkannya pula. Untuk itu, kebebasan dalam moral akan berujung pada ketidak-bebasan dalam diri seorang insan yang bermoral dan bermartabat.
Oleh: Abdy Busthan
Posting Komentar