Ads

Pdt.Dr. A.A Yewangoe: Apakah Covid -19 Membuat Kita Terasing Satu Sama Lain?


Sudah sekian lama sejak awal 2020 kita tinggal di rumah. "Jaga jarak", adalah salah satu pokok protokol kesehatan penting. Akibatnya kita jarang ketemu muka dengan muka. Untunglah teknologi memungkinkan kita "bertemu" secara virtual. Semua kegiatan dilakukan dengan cara itu.

Pada mulanya memang terasa enak. Tidak perlu ke mana-mana. Bagi anak sekolah cukuplah membuka komputer atau tablet saja. Segala sesuatu sudah ada di situ.

Seminar-seminar pun sudah sangat lazim dilakukan secara virtual. Bahkan ibadah-ibadah juga. Namun lama-kelamaan orang juga merasa bosan. Mulailah orang bertanya-tanya "kapan serangan virus ini berakhir".

Kehidupan kita ternyata sangat ditentukan oleh virus, bukan oleh siapa-siapa termasuk pemerintah. Memang pemerintah telah menetapkan status neo-normal. Tetapi itupun tidak serta-merta bisa dilaksanakan. Masih lihat-lihat dulu sampai berapa jauh curve penularan menurun dan akhirnya merata. Sekali lagi, virus menentukan.

Maka pertanyaan tentang bilakah virus ini berakhir sesungguhnya adalah ungkapan kerinduan di antara homo sapiens untuk kembali bertemu muka dengan muka tanpa hambatan apapun. Manusia adalah makhluk sosial yang secara hakiki memang hidup di dalam komunitas. Maka makhluk beradab ini akan sangat gelisah kalau ia mendapati dirinya terperangkap dalam kesepian (loneliness).

Konon, ketika Robinson Cruse berada seorang diri di sebuah pulau terpencil, ia selalu dilanda oleh rasa kesepian. Rasa kesepian itu sesungguhnya merupakan indikator jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak mau terasing dari kelompoknya. Ia tidak rela terjebak dalam Ferfremdung/vervremding/alienation.

Alhasil, segala tembok dirubuhkan. Teknologi telah memperbesar kemungkinan homo sapiens ini merobohkan tembok-tembok yang menghalangi komunikasi antar-manusia.

Otto Kroesen dalam bukunya berjudul, "Tegenwoordigheid van geest in de tijdperk van de techniek", menuliskan kalimat-kalimat berikut: "...elke techniek vergroot de ruimte, verkort de tjid en doet de menselijke gemeenschap teniet" (setiap teknik memperluas ruang, memperpendek waktu dan meniadakan persekutuan manusia...).

Kemajuan teknik itu, katanya telah memperkuat ekonomi yang tadinya hanya ekonomi rumah tangga sekarang menjadi ekonomi dunia. Jadi ruang diperbesar dan diperluas. Pada saat yang sama waktupun diperpendek berkat temuan-temuan teknologi yang sistimatis dan tidak secara kebetulan saja.

Alhasil, berkat ruang yang makin luas dan waktu yang diperpendek orang "terlepas" dari persekutuan lokal, namun terhisab dalam persekutuan yang lebih besar yang suka atau tidak suka saling merindukan. "Als het levensruimte sneller wordt, worden de contacten vluchtiger" (Kalau ruang untuk hidup lebih cepat, maka kontak-kontak satu sama lain juga semakin cepat).

Komunitas lokal yang tradisionalistik memang telah digantikan oleh komunitas yang jauh lebih luas. Teknologi memungkinkan itu semua. Inilah "roh" (geest) yang hadir di dalam temuan-temuan teknologi ini. Namun semuanya ini tidak menghilangkan kerinduan akan adanya pertemuan-pertemuan antar-manusia muka dengan muka yang terdiri dari darah dan daging.

Covid-19 memang memaksa kita untuk sementara membatasi diri. Social distancing, masker, dan seterusnya. Tetapi kerinduan itu tetap ada. Itulah hakekat manusia. Maka kita mendoakan agar virus ini cepat lenyap dari tengah-tengah kita agar relasi-relasi kita menjadi lebih bebas tanpa "tembok-tembok".

Oleh: Pdt. Dr. A.A Yewangoe

Posting Komentar

[facebook][disqus]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget