Articles by "Pendidikan dan Teknologi"

Secara sederhana, ranah pendidikan adalah berbagai perilaku pendidikan dalam diri manusia sebagai gambaran insan pendidikan. Sebagai perilaku manusia, maka ranah pendidikan ini dapat dikelompokkan menjadi 3 ranah, yakni: Afektif, Psikomotorik dan Kognitif.

Ranah Afektif, adalah suatu ranah perilaku manusia yang berhubungan dengan hati dan perasaan. Ranah ini biasanya terwujud dalam karakter dan moral seseorang.

Hati dan perasaan, merupakan pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik, yang berwujud suatu tingkah laku yang tampak.

Karenanya, emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku manusia. Dalam diri manusia, semua aktifitas bermuara di sini. Mungkinkah kita melakukan dan mengambil sesuatu, jika hati dan perasaan kita tidak menginginkannya?

Ranah Psikomotorik, adalah ranah perilaku manusia yang berhubungan dengan ‘kerja otot’ yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang sederhana seperti gerakan-gerakan halus, sampai gerakan-gerakan yang kompleks.

Ranah psikomotorik menyangkut dengan gerakan tubuh, misalnya gerakan tangan, seperti jenis genggaman, gerakan menjepit (pincer); serta koordinasi antara gerakan berbagai anggota tubuh pada olahragawan, penari atau pemain alat musik, pengendalian gerakan motorik.

Ranah Kognitif, merupakan ranah perilaku manusia yang berhubungan dengan pikiran (kognisi), intelektual atau proses berpikir. Biasanya ranah ini identik dengan kecerdasan berpikir, yang ukurannya adalah tingkat IQ seseorang.

Semakin tinggi IQ, maka akan semakin cerdas seseorang berpikir. Menurut Eggen Paul & Kauchak Don (2012:8), istilah kognitif lebih merujuk pada aktivitas berpikir dalam berbagai bentuk. Pemikiran ini bisa dimulai dengan hal sederhana hingga hal yang kompleks, seperti mengingat nomor telepon, hingga hal yang kompleks seperti pemecahan masalah rumit dalam bidang apapun.

Ranah Afektif Paling Utama
Ketiga ranah di atas, masing-masing memiliki peranan yang sangat penting dalam perilaku pendidikan setiap individu. Namun, ada pertanyaan penting yang perlu di bahas lebih dalam lagi tentang ketiga ranah ini.

Pertanyaannya, manakah dari antara ketiga ranah ini (afektif, psikomotorik dan kognitif) yang paling di utama dan pertama dalam kehidupan?

Jawabannya adalah ranah afektif! Mengapa? Sebab tidak ada satu penemuan apapun di dalam bidang ilmu apapun, yang tidak didasarkan pada pra anggapan dari keyakinan hati dan “perasaan” yang terdalam (afektif).

Ranah afektif dalam hal ini lebih utama dan pertama dari kognitif. Ketika seseorang menyelidiki sesuatu hal misalnya, maka terlebih dahulu ia yakin dalam hatinya dan memiliki kepercayaan dalam hatinya bahwa nantinya ia dapat mengetahui, sehingga dengan dorongan keyakinan itu, maka ia mulai menyelediki sesuatu. Maka pada titik ini, keyakinan dalam hati dan perasaan pun mendahului pengetahuannya.

Ada banyak pendapat ahli yang mengatakan bahwa yang paling utama dan utama adalah kognitif. Pendapat semacam ini sangat keliru, sebab sudah banyak bukti orang yang hanya cerdas intelektualnya saja, justru seringkali menemukan kegagalan dalam hidup karena melakukan hal-hal yang jauh dari prinsip-prinsip pedagogik (didikan).

Memang secara intelektual, mereka bisa dikatakan pintar dan jenius, namun jika kepintaran yang mereka miliki hanya digunakan untuk hal-hal yang merusak sesama manusia dan diri sendiri, maka sudah dapat dipastikan mereka pasti akan menemukan kegagalan dalam hidup.

Jadi, hal terpenting dan utama dalam setiap aspek kehidupan apa saja adalah “ranah afektif”. Semua pendidikan, akan dimulai dari tingkatan hati dan perasaan. Sementara perasaan seseorang tidak terletak di dalam otaknya, melainkan dalam hatinya.

Setiap orang akan menerima apa yang mereka rasa harus diterima, dan menolak apa yang mereka rasa untuk di tolak. Jika sikap mereka positif, mereka cenderung menerima yang mereka dengar. Jika sikap mereka negatif, maka mereka cenderung menolak.

Jika saya memiliki perasaan negatif terhadap Anda, saya pasti akan menolak apa yang Anda katakan, karena saya menolak Anda (Hedricks G Howard 1987). Itulah sebabnya, tangan seseorang tidak mungkin meraih sesuatu, jika hatinya tidak menginginkan. Bahkan kemampuan berpikir dalam berpikir tidak akan mungkin dapat dilakukan, jika hati tidak menggerakkannya.

Karena itu, anggapan bahwa jika perilaku kognitif bekerja, maka perilaku afektif seseorang tidak diperlukan, adalah anggapan yang sangat konyol! Bahkan dalam kajian bidang ilmu apapun, anggapan seperti ini sangat antagonistik dengan kebenaran alias tidak benar dan tidak mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sebab semua penelitian dan pengajuan ilmiah dalam bentuk apapun, akan selalu didasarkan pada satu set "keyakinan". Sebelum para ilmuwan menyelediki ilmu apapun yang ada di alam ini, maka ia akan selalu memiliki satu set praanggapan yang didasarkan pada keyakinan di dalam hati dan perasaannya.

Setiap siapa saja yang melakukan studi dan kajian ilmu—baik itu para ilmuwan, peneliti, filsuf, dan semua kaum terpelajar, tanpa terkecuali—baik ia menggunakan metode ilmiah apa saja seperti metode induksi maupun deduksi, maka tanpa sadar, ia akan masuk pada hakikat dasar dan terdalam yaitu 'keyakinan' hatinya.

Artinya bahwa di dalam melakukan penyelidikan, seseorang pasti akan menginginkan bukti. Tetapi ingat bahwa, sebelum bukti itu muncul, orang tersebut telah memulainya dengan suatu praanggapan yang bersifat imaniah melalui hati dan perasaannya.

Untuk itu, maka apapun bentuknya, semua ilmu pengetahuan dan rasio, tidak akan bisa terlepas dari keyakinan dalam hati dan jiwa (ranah afektif).

Misalnya kalimat yang mengatakan “Buktikan baru saya percaya”, adalah kalimat yang menunjukkan keyakinan itu sendiri. Jika terbukti baru dapat dipercaya, adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu, maka ini adalah keyakinan dalam hati.

Bayangkan saja, jika terdapat seseorang yang memiliki IQ (intelektual) yang tinggi, tetapi tidak didasarkan dengan EQ (hati) yang bagus? Maka orang tersebut dapat disejajarkan dengan setan yang paling jenius.

Sebagai bukti nyata adalah kehidupan William James Sidis yaitu manusia yang memiliki tingkatan IQ tertinggi di dunia. Dengan pencapaian IQ lebih dari 250, Sidis merupakan orang yang paling cerdas di dunia. Namun kecerdasan yang dimilikinya itu tidak seimbang dengan penderitaan kehidupan yang dialaminya, dimana akhir kehidupannya, ia justru hidup ditempat pengasingan, bahkan kehidupannya berakhir dengan tragis (Busthan Abdy, 2016:27).

Karena itu, seseorang dapat dikatakan cerdas dan bijaksana, ketika ranah afektifnya terbentuk dengan baik.

Coba kita lihat dasar ranah pendidikan yang diajarkan oleh Yesus Kristus dalam kutipan pada Injil Lukas 10: 27:

" Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri".
Kutipan ayat di atas tidak dapat kita bolak-balik. Jelas susunan yang utama dan pertama adalah "segenap hati" dan "segenap jiwa" yang merupakan wilayah afektif. Kemudian yang kedua adalah "segenap kekuatan" yang merupakan ranah psikomotorik, dan diakhiri oleh ranah kognitif, yaitu "segenap akal budi".

Dasar hierarki pendidikan yang sesungguhnya haruslah berpatokan pada ayat di atas! Sebab ingat bahwa: “Pembelajaran yang paling berdampak adalah bukan dari tangan ke tangan, bukan dari kepala ke kepala, dan bukan pula dari kaki ke kaki, tapi dari hati ke hati”.

Ya, ungkapan di atas haruslah menjadi acuan untuk mendidik anak-anak kita. Dengan hati, kita mampu memaafkan kesalahan terbesar orang lain terhadap kita. Rasio, bahkan kekuatan Anda tidak akan pernah mampu untuk memaafkan! Hanya hati yang mengasihilah yang mampu melakukan itu!

Dalam pendidikan, kita akan mampu mengasihi siswa/i hanya dengan segenap hati. Dan dengan hati kita pun bisa mengerti kekurangan bahkan kelebihan dari siswa/i kita. Dengan hati kita juga mampu membimbing dan menyatu dengan dunia anak-anak!

Ingat bahwa kebijaksanaan sejati hanya berlandaskan pada "segenap hati" dan "segenap jiwa". Kita tidak mungkin mampu memecahkan persoalan-persoalan seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Salomo, tanpa kita menggunakan hikmat yang bertumpu dari hati nurani kita.

Oleh: Abdy Busthan

*****
Tulisan di atas di kutip dari buku:
"Pengantar Pendidikan: Konsep & Dasar Pelaksanaan Pendidikan" (Hal 42-45)
Penulis: Abdy Busthan
Penerbit: Desna Life Ministry
Tahun Terbit: 2016
Alamat Penerbit: Kupang

Satu hal yang membuat manusia jauh berbeda dengan binatang adalah, bahwa manusia memiliki rasio dan akal budi sedangkan binatang tidak. Namun yang sering terjadi, justru kedudukan manusia selalu berada satu tingkat dibawah binatang. Hal ini bukanlah tidak beralasan, sebab manusia seringkali membinatangkan dirinya, mulai dari terbitnya matahari hingga terbenamnya, sehingga terciptalah kebun binatang yang sangat sempurna dalam kehidupan manusia, yang dimulai dari hati (afektif), perbuatan (psikomotorik) dan pikirannya (kognitif).

Dalam dunia pendidikan formal di republik ini, fenomena "membinatangkan diri" ini sepertinya 'sedang' dan 'sementara' berlangsung dengan indahnya. Sehingga secara aksiomatis, lahirlah suatu kondisi yang disebut "destroying with perfectely", yaitu penghancuran yang sangat sempurna—dalam kondisi ini, anjing sudah tidak lagi memakan tulang, tapi memakan anaknya sendiri, bahkan anjing pun tidak lagi berkaki empat, tetapi sudah berkaki dua.

Dalam cerita Harry Potter, terdapat satu momen yang berlangsung di stasiun kereta. Di situ tampak sebuah pintu rahasia pada peron 3/4, yang merupakan jalan menuju Hogwarth, yaitu sebuah sekolah para penyihir tempat dimana Harry Potter belajar. Pintu itu ada, tetapi abstrak. Persoalannya bukan soal abstrak, tetapi pintu tersebut hanya dapat dilalui oleh orang tertentu yang sudah mengetahui dan belajar bagaimana melalui pintu tersebut.

Demikian pula "peserta didik". Mereka adalah pribadi yang abstrak, yang sangat tidak mungkin dipahami hanya menggunakan satu pemahaman saja. Ada banyak hal yang harus dipahami dalam memahami dunia peserta didik. Dan salah satu diantaranya adalah dengan memahami bagaimana proses perkembangan dan pertumbuhan peserta didik.

Perkembangan peserta didik harus dimulai dengan satu pemahaman awal, bahwa peserta didik adalah "homo educandum", yaitu makhluk yang dapat dididik. Dan dalam komplesitasnya sebagai makhluk yang dapat dididik ini, masing-masing peserta didik adalah anak didik yang membawa 'heredity' yang berbeda antara satu peserta didik dengan peserta didik lainnya.

Inilah yang terpenting! Harus dipahami oleh pendidik dalam memahami "perkembangan peserta didik".

Memaknai Konsep Perkembangan Peserta Didik
Ada satu hal yang teramat indah dalam alam realitas, yang keindahannya melebihi indahnya senyuman sang Madona dan Agnes Monica, yaitu membimbing seorang anak berdasarkan hukum-hukum pertumbuhan dan perkembangan, sehingga anak itu dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesungguhnya—mencapai kematangan.

Dalam proses 'menjadi' manusia yang sesungguhnya ini, manusia adalah "peserta didik"—yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebagaimana mestinya (kodrati). Pada titik ini, manusia yang 'sedang menjadi' manusia sesungguhnya, akan mengalami perkembangan peserta didik.

Karena itu, istilah "perkembangan peserta didik", merupakan sesuatu yang ditujukan kepada kelompok manusia yang memiliki potensi dasar, dan yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis; baik melalui pendidikan dalam lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat di mana ia berada. Ketika ini terjadi, maka benarlah apa yang pernah diungkapkan seorang psikolog anak terkemuka di dunia, Fitzhhug Dodson (1978)—yang menyatakan bahwa, jika kita mendidik anak, kita sebetulnya sedang mengajarkan 2 (dua) hal: pertama, mengajar mereka melakukan perbuatan baik; dan kedua, menghindari perbuatan yang tidak baik.

Namun persoalannya memang tidak semudah apa yang diungkapkan Dodson tersebut di atas. Mengingat dari waktu ke waktu, dalam alam realitas ini terjadi konflik berkepanjangan antara apa yang diinginkan oleh orang tua dan guru, dengan apa yang diinginkan oleh anak atau peserta didik. Apa sebab? Jawabannya hanya satu, bahwa peserta didik adalah 'unik'. Lalu, mengapa pula unik? Karena setiap peserta didik, memiliki keitimewaan masing-masing berdasarkan sifat, temperamen, latar belakang keluarga, lingkungan pergaulan, bahkan berdasarkan usianya, dll.

Itulah sebabnya maka Jean Jascques Rousseau (1762b;1) menyatakan bahwa masa kanak-kanak sangat istimewa dalam rangkaian hidup manusia. Melalui karyanya berjudul "Emile, or Education", Rosseau menulis,..

.. The wisest writers devote themselves to what a man ought to know, without asking themselves what a child is capable of learning. They are always looking for the man in the child, without considering what he is before he becomes a man. (Rousseau, 1762b:1).
Dalam hal ini Rousseau menegaskan bahwa, "para penulis paling bijak sekalipun, selalu memfokuskan diri kepada apa yang mestinya diketahui orang dewasa, tanpa menanyakan kepada diri mereka apa yang sanggup dipelajari anak-anak. Mereka selalu mencari manusia dewasa dalam diri anak-anak, tanpa menyadari siapakah dia sebelum dewasa".

Selanjutnya, Rousseau menyatakan lagi, .. "childhood has its own ways of seiing, thinking and feeling ... (1762b:54). Artinya bahwa, "anak-anak memiliki cara-caranya sendiri untuk melihat, berpikir dan merasa...".

Jadi, jika seseorang memiliki sedikit waktu untuk mengamati anak-anak, maka ia pasti akan menemukan bahwa anak-anak itu unik! Sebab mereka sangat berbeda dari orang dewasa, bahkan mereka sendiripun berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan apa yang diungkapkan Rousseau di atas, untuk memahami peserta didik, kita tidak harus melakukan 'hanya' dengan menggunakan satu pendekatan tunggal saja. Misalnya, seorang guru yang menggunakan pendekatan metode berceramah pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di kelas IV Sekolah Dasar. Dalam kelas tersebut ada 43 peserta didik yang tentunya memiliki masing-masing kemampuan yang berbeda-beda.

Nah, dengan kemampuan peserta didik yang berbeda-beda ini, apakah guru tersebut akan berhasil membuat 43 peserta didik ini lulus dengan nilai kelulusan yang sama semuanya? Misalnya, semua (tanpa terkecuali) lulus dengan mendapatkan nilai rata-rata 8,5? Lalu, apakah dengan hanya melalui metode ceramah saja, guru itu dapat dikatakan berhasil membuat ke-43 peserta didik menjadi paham dengan materi pelajaran yang di ajarkannya? Tentu saja tidak! Sekali lagi, sebab peserta didik adalah unik.

Perdebatan Para Developmentalis
Dalam perkembangan lebih lanjut, perdebatan sengit seakan tak dapat dihindari lagi—dimana ketika para pakar psikologi perkembangan (developmentalis) muncul dan membicarakan tentang "hakikat perkembangan" individu manusia. Salah satu persoalannya adalah bahwa kebanyakan dari para developmentalis, orang tua, serta guru dan pendidik, menganggap bahwa perkembangan yang terjadi pada diri anak dapat terjadi semata-mata karena tingkah laku dan pikiran anak yang muncul, sebelumnya sudah diajarkan oleh orang dewasa lain.

Misalnya, ketika melihat seorang anak menunjukkan tingkah laku baru, dugaan pertama mereka adalah tingkah laku yang ditunjukkan anak tersebut sebelumnya sudah diajarkan oleh pihak tertentu. Sebagai contoh, seorang anak perempuan berusia 2 tahun yang menunjukkan perilaku baru seperti mengatur dan mengembalikan mainan ke tempatnya semula. Perilaku ini justru diasumsikan bahwa seseorang sudah terlebih dahulu mengajari anak putri tersebut untuk melakukannya. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa perkembangan anak merupakan produk dari lingkungannya (Crain William, 2014).

Hal lainnya lagi, bahwa berdasarkan kajian teori psikologi perkembangan yang di gagas oleh Rosseau, seperti yang sudah diungkapkan di atas—Rosseau lebih melihat hakikat perkembangan yang sangat berbeda. Rosseau dan penganutnya, tertarik untuk mempelajari bagaimana anak-anak tumbuh dan belajar berdasarkan perspektif dari dalam diri mereka sendiri.

Dalam menanggapi kasus seperti di atas—yaitu anak perempuan usia 2 tahun yang menunjukkan perilaku barunya dengan mengatur dan mengembalikan mainan ke tempatnya semula—justru dianggap oleh Rosseau dan penganutnya, bahwa anak tersebut sedang bertindak secara spontan—sesuatu yang dia ciptakan dari dalam dirinya sendiri—seluruhnya.

Dalam hal ini, kalangan developmentalis seperti Rousseau, Montessori, Gesell, dan Piaget, juga Werner, memang mempelajari aspek-aspek perkembangan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka menjadi sepakat dengan satu orientasi fundamental, yaitu pada pertumbuhan batin dan pembelajaran spontan.

Perhatian developmentalis ini, mungkin saja bersifat praktis, tetapi juga bersifat teoritis. Misalnya, salah seorang psikolog wanita yang cukup terkenal di dunia, Montessori (1870-1952)—ia menyatakan rasa belum puasnya dengan melihat metode-metode pendidikan yang diberikan kepada para peserta didik pada umumnya. Sebab menurutnya, kebanyakan dari guru selalu berusaha mengarahkan pembelajaran anak-anak dengan memberikan penghargaan terhadap jawaban yang benar dan mengkritik atau mengecam jawaban salah. Praktek semacam ini, menurut Montessori, akan menggerogoti independensi anak-anak, karena anak-anak sebentar-sebentar akan lari kepada gurunya sebagai otoritas di luar dirinya, yaitu sebagai upaya melihat kembali kepada dirinya, apakah perbuatan mereka sudah benar atau belum.

Seharusnya, hakikat perkembangan dapatlah ditinjau dari aspek ketertarikan spontan anak-anak. Sebab dengan demikian, mereka (anak-anak) dapat terbantu dalam menyediakan tugas-tugas yang mampu membuat anak-anak bekerja independen dan penuh konsenterasi, dengan tanpa pengarahan atau motivasi dari luar yang memaksa. Intinya, terdapat kekuatan batin yang akan mendorong anak-anak untuk menyempurnakan kapasitas mereka di setiap tahapan perkembangan.

Psikologi Humanistik

Terlepas dari semua perdebatan di atas, terdapat satu tempat di mana perhatian developmentalis ini diterima dengan serius. Tempat ini adalah "psikologi humanistik" (modern humanistic psycohology).

Seorang humanis yang paling populer hingga saat ini, Abraham Maslow (1908-1970)—yang juga merupakan pencetus psikologi pembelajaran humanistik—selanjutnya menyerukan gagasannya secara implisit yang seolah ia tidak memiliki hubungan dengan kontribusi-kontribusi dari developmentalis sebelumnya. Sehingga terjadilah tumpang tindih diantara ide-ide humanis dan para developmentalis.

Pada titik ini kemudian muncullah seorang ilmuan besar keturunan Yahudi, yaitu Vygotsky (1896-1934) yang berupaya untuk mengintegrasikan dua perspektif raksasa dalam hakikat perkembangan anak, yaitu ‘developmentalis’ dan ‘enviromentalis’. Dalam upayanya itu, Vygotsky mengintegerasikan ke-duanya di dalam tradisi humanistik pada kurun waktu tertentu.

Inilah keunikan dari perkembangan peserta didik. Untuk alasan keunikan yang dimiliki masing-masing peserta didik inilah maka dalam proses pembelajaran, sudah seharusnyalah hak-hak dari setiap peserta didik lebih dikedepankan atau diutamakan—seperti hak mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan kemampuan, keinginan dan karakter mereka masing-masing dalam mengembangkan potenti-potensi yang ada pada diri mereka masing-masing, yaitu sebagai upaya untuk menjadikannya sebagai 'manusia dewasa' yang seutuhnya

Oleh. Abdy Busthan

Mungkin saja benar, jika dikatakan bahwa dalam dunia pendidikan di negara ini, pemerintah selalu membuat kebijakan-kebijakan yang konon katanya “berguna” untuk perbaikan tatanan sistem pendidikan yang ada. Benar juga, jika dikatakan pula bahwa, pemerintah selalu menemukan hal-hal baru yang konon katanya untuk memperbaiki seluruh sistem pendidikan kita dari Sabang sampai Merauke.

Namun rasanya tidak benar, jika dikatakan bahwa dunia pendidikan di republik ini menjadi maju dan semakin baik. Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, sebab pada kenyataannya, justru yang terjadi menunjukkan dengan pasti bahwa dunia pendidikan kita semakin jauh dari ruh konstruktifnya, bahkan selalu saja terkungkung dalam singgasana kehancuran yang tidak seorang pun tahu kapan akan berakhir.

Bayangkan saja, ada begitu banyak jumlah lulusan dari sekolah-sekolah saat sekarang ini yang tersebar di seluruh pelosok nusantara tercinta, yang hanya bisa menjadi "pencari kerja" dari pada pencipta lapangan kerja sendiri.

Banyak pula para alumnus dunia pendidikan kita yang bekerja justru tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang telah di pelajarinya. Sehingga mereka pun tidak tahu akan dunia kerja yang dimasukinya. Jangankan kemampuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan.

Pada kenyataannya, hampir setiap siswa lanjutan atas dari perguruan tinggi yang ada, justru tidak memahami bidang keahlian yang dipelajarinya bertahun-tahun. Sehingga ketika mereka berhasil mendapatkan pekerjaan, beberapa banyak dari mereka yang tidak mampu memberikan unjuk kerja yang terbaik serta tidak merasa nyaman dengan pekerjaannya. Alhasil, maka hal ini semakin berdampak pula pada etos kerja dalam skala yang lebih buram (baca: tidak jelas).

Jika dilakukan analisis mendalam tentang realitas dunia pendidikan kita seperti yang digambarkan di atas, maka akan tampak bagaimana suatu dampak pedagogis dalam pelaksanaan proses pendidikan yang lebih menitikberatkan pemberian materi dan penentuan hasil belajar, yang justru hanya berkutat pada aspek kognitif saja.

Dalam hal ini, kebanyakan pendidik hanya terfokus bagaimana menuntaskan materi, tanpa memperhatikan keadaan peserta didik dalam menyerap materi yang mereka berikan. Dengan begitu, dampak negatif dari segi psikologis dan pedagogis akan terus bersemayam abadi dalam kultur sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga hal ini akan secara terus menerus terulang kembali hingga tidak pernah menemui akar persoalan yang sebenarnya.

Seharusnya, para pengambil kebijakan pendidikan di negara ini lebih banyak lagi belajar pada negara Finlandia yang menjadi salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia saat ini. Dimana peraih penilaian internasional yang dilakukan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan tes PISA oleh siswa Finlandia menempatkan negara Finlandia pada urutan negara terbaik di dunia oleh sistem pendidikannya.

Sederhana saja, bahwa negara Finlandia dapat sukses dalam sistem pendidikannya, dikarenakan mereka selalu membatasi tes siswa seminim mungkin, mengutamakan tanggung jawab sebelum akuntabilitas, meningkatkan pengajaran, serta mendukung kepemimpinan sekolah dan dinas pendidikan level daerah untuk menjadi profesional di bidang pendidikan.

Tentu terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih bersikukuh dalam memaksimalkan tes untuk menentukan mutu pendidikan. Negara Finlandia justru sebaliknya, mereka cenderung meminimumkan tes dalam sistem pendidikannya. Dalam sistem yang dibangunnya, Finlandia mempercayakan potensi siswa kepada guru yang mendidik mereka, sehingga terdapat sistem kepercayaan dan tanggung jawab dalam pelaksanaan sistem pendidikan untuk mencetak generasi yang unggul menurut masing-masing kecerdasan yang dimiliki oleh siswa. Dengan itu, maka atmosfer belajar yang terbangun dalam sistem pendidikan Finlandia nampak sangat rileks dan jauh dari rasa takut dan beban untuk para siswa.

Titik Nadir
Jika sebuah ukuran digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan sekolah-sekolah formal yang berada di republik ini, maka ukuran itu akan berada pada sebuah titik ‘noun’, yang sering dikenal dengan sebutan titik nadir, yaitu titik paling terendah. Istilah ini biasa digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan ketidakberdayaan dan keterpurukan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup. ”Sudah jatuh tertimpa tangga”, demikian cemerlangnya sebuah peribahasa klasik yang kurang lebih bisa menggambarkan arti dari titik nadir itu.

Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, sebab fenomena lahan bisnis nan endemik tetapi juga non sistemik, sering muncul dan tampil sebagai sebuah arena konsesus yang semakin membudaya dalam sistem pendidikan kita, sehingga menghadirkan hegemoni dan resistensi yang bukan saja ranah dimana sosialisme sebuah kultur terbentuk sepenuhnya, tetapi ia juga adalah suatu tempat dimana sosialisme menjadi legalitas semata, sebagaimana yang konon pernah dipaparkan Stuart Hall tentang sebuah ambiguitas budaya pop (dalam Busthan Abdy 2016:9-10)

Akhirnya, jargon-jargon politik pencitraan semakin liar dan beringas memperkokoh ‘kolaborasi cantik dan manis’ yang di lakoni sang penguasa dengan si pengusaha, dalam usahanya menggiring dunia pendidikan kepada kehancuran (mungkin saja, kehancuran kekal) yang entah kapan akan berakhir?

Alhasil, hanya sekelompok habitat elit-sosial saja yang bisa mengakses pendidikan yang cukup baik; tetapi juga tidak menjadi lebih baik. Sedangkan kaum miskin akan mempertahankan kemiskinan untuk tetap pada posisinya—bahkan mungkin bisa lebih turun satu tingkat lagi ke bawah, menjadi kaum marjinal yang secara terus-menerus merana dalam sebuah kondisi yang di sebut “proses kemelaratan yang sangat sempurna”.

Dalam kondisi seperti ini, bibir pun seakan berucap...“hanya Tuhan yang tahu, sebab memang hanya Tuhan saja tahu”, setidaknya demikian adanya sebuah kalimat klasik yang sering digunakan ketika seseorang mengalami kondisi pasrah sempurna. Sehingga sang Paulo Freire (2008) tampil pada masanya dengan menyebutkan ihwal ini sebagai “victims of oppression” alias ‘korban penindasan, juga penistaan’.

Ibarat sebuah pertempuran sengit di medan laga, korban-korban pun mulai berjatuhan, lalu bergentayangan untuk melengkapi struktur kabinet dehumanisasi yang mengakar abadi dalam sistem Pendidikan Nasional. Sehingga semakin hari, semakin membuat kebebasan berpikir, berkreasi dan bertindak menjadi sesuatu yang unik dan langkah untuk didapatkan. Bahkan lebih dari pada itu, dunianya para pelajar yang seharusnya terpelajar, justru semakin tampak primitif dan jauh dari keberadaban yang sebenarnya harus beradab.

Meminjam sepengggal kalimat Oliver Gary (2013), bahwa pada masa ini banyak sekali anaconda filosofis, relasional, sosial serta spiritual yang berkeliaran dan siap untuk menelan siapa saja yang ingin ditelannya. Sebagaimana ditekankan lebih lanjut oleh Oliver, bahwa hanya satu saja langkah awal yang harus di ambil ketika menghadapi seekor anaconda, yaitu “jangan lari”! Mengapa? Karena anaconda ini dapat bergerak sepuluh kali lebih cepat dari mangsanya.

Menarik untuk menjadikan bahan komparatif dengan meletakkan apa yang di ungkapkan Oliver ini ke dalam realiatas nyata dunia pendidikan kita. Bahwa ketika menghadapi kesulitan, tantangan dan persoalan, banyak pihak kemudian lari dan menghindari persoalan tersebut. Bahkan ironisnya, justru pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya semakin berlindung di balik sesuatu yang terkadang sangat “keramat’ untuk di dengar, bahkan di ucapkan, yaitu “kebijakan”.

Akhirnya, kebijakan pada titik ini tampil menjadi sosok ‘figur popular’ dari hikayat heroik—seperti sang ‘moschuach’ yang biasanya dilukiskan bangsa Yahudi sebagai sang penyelamat sejati.

Kontras
Jika kenyataan kontras dengan pemahaman, maka pemahaman akan kontras dengan harapan. Dan jika pun harapan menjadi pelengkap sistem kontras dari keduanya (kenyataan dan pemahaman), maka selayaknyalah sebuah ‘kebijakan’ muncul sebagai aturan yang memihak pada realitas dimana ‘kontras’ itu terjadi, bukan membuat kontras itu semakin menjadi-jadi.

Kontras adalah pertemuan 2D, yaitu bertemunya “diskriminasi” dan “demokrasi”. Kontras hadir ketika diskriminasi tampil sebagai figur kuat dalam alam demokrasi. Dalam lingkup pendidikan, kontras merupakan saudara kembarnya diskriminasi, yang kedua-duanya dilahirkan secara sempurna dari kawin-mawinnya perkawinan silang antara sistem yang ditetapkan dan sistem yang dilaksanakan.

Dalam hal ini, “kontras” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “dilaksanakan”. Sementara “diskriminasi” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “ditetapkan”. Artinya bahwa, wujud dari “diskriminasi” dalam dunia pendidikan, sebenarnya merupakan sesuatu yang terjadi di luar jalur, sebagaimana dalam tataran praksisnya, justru dengan sendirinya, terjadi pemisahan antara kebijakan pendidikan dan peraturan yang berlaku di beberapa sekolah-sekolah formal sebagai lembaga kependidikan.

Padahal, secara tegas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sudah menjamin hak atas pendidikan bagi semua anak, tanpa terkecuali. Bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama, serta jauh dari tindakan diskriminatif, termasuk juga didalamnya perlakuan yang mendeskritkan pelajar penyandang disabilitas dan penyandang cacat. Berlandaskan undang-undang tersebut, seharusnya segala bentuk praktik eksklusivitas di dunia pendidikan harus dihapuskan dari semua jenjang pendidikan sejak pendidikan usia dini hingga jenjang perguruan tinggi.

Sesuatu yang kontras memang sering bersinar menerangi dunia pendidikan di republik ini. Salah satu fakta diskriminatif yang pernah terjadi dan berdampak hingga saat ini, yaitu peristiwa di awal tahun ajaran 2013/2014, dimana salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) menolak pelajar yang dalam kondisi difabel.

Menurut sumber berita, alasan pihak sekolah melakukan penolakan adalah semata-mata dengan sebuah alasan, bahwa belum tersedianya fasilitas belajar mengajar (lihat http://jateng.tribunnews.com/2013/06/25/siswa-difabel-di-klaten-ditolak..).

Menurut informasi yang diperoleh, konon katanya sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas yang cukup, mulai dari tempat hingga Guru Pendamping Khusus (GPK) yang dapat melayani kebutuhan pelajar difabel. Jika saja orang tua dari pelajar difabel berani mengemukakan serta melaporkan kejadian diskriminatif yang menimpa anak mereka tersebut, maka kejadian di Klaten ini, bukanlah kejadian satu-satunya yang terjadi di negeri ini.

Pada titik ini, maka sesungguhnya karakter lembaga pendidikan yang menjalankan UUD 1945 menjadi sangat “kontras” dan tidak berjalan semestinya. Sehingga hal ini hanya menghasilkan semacam proyek “diskriminatif” dan melahirkan sekolah-sekolah yang bertaraf ekslusif dari pada inklusif saja.

Sebenarnya, jika seorang siswa memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan memiliki kesehatan mental yang normal—tidak di diagnosa sama sekali mengalami gangguan jiwa—dan mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun dilarang melanjutkan dengan alasan mengalami kekurangan fisik seperti tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, maka artinya, pemerintah sebagai penyelenggara dari kebijakan pendidikan yang telah ditentukan, telah dengan sengaja menghianati amanat kebijakannya sendiri dengan sepenggal titah “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yaitu dengan menutup akses dan pemerataan pendidikan bagi siswa disabilitas atau difabel.

Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, seharusnya bisa dijadikan dasar hukum yang tegas untuk ‘memaksa’ lembaga pendidikan tidak bersikap apatis terhadap anak didik yang masuk dalam golongan difabel misalnya.

Penghapusan rintisan sekolah berstandar internasional merupakan langkah awal meminimalisasi adanya sekolah eksklusif yang bertentangan terhadap UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga negera berhak memperoleh pendidikan yang sama. Seharusnya, langkah awal itu semestinya dilanjutkan agar praktik ke-ekslusifan di dunia pendidikan segera musnah dan tidak berkepanjangan, sehinggga mengorbankan kurang lebih 184.000 pelajar difabel usia sekolah yang berada di Indonesia.

Semua persoalan-persoalan pendidikan yang ada, jika di telaah secara mendalam, maka akhirnya akan bermuara pada satu bagian mendasar, yaitu “kebijakan” pendidikan. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu negara. Dalam pemahaman bahwa, penyelenggaraan pendidikan di setiap lembaga pendidikan, tidak akan pernah lepas dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan dalam negera tempat lembaga pendidikan itu berada.

Karenanya maka perbaikan kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial, harus dijadikan hal yang urgen untuk ditinjau kembali. Dan agar perbaikan-perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan efektif, maka dibutuhkanlah pisau analis yang tajam dalam memangkas setiap ranting kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial tersebut.

(Oleh: Abdy Busthan)

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Analisis Kebijakan Pendidikan (hal. 7-16). Kupang: Desna Life Ministry

Erich Fromm dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1900, di daerah Frankfurt am Main, Jerman. Fromm adalah anak satu-satunya dari orang tua Yahudi Ortodoks, yang memulai studi akademisnya pada tahun 1918 di University of Frankfurt, am Main, dengan 2 semester yurisprudensi.

Pandangan Fromm tentang manusia adalah optimistik. Fromm melihat kepribadian sebagai suatu produk kebudayaan. Dia percaya bahwa kesehatan jiwa harus didefinisikan menurut bagaimana baiknya masyarakat menyesuaikan diri dengan kebutuhan dasar semua individu dan bukan menurut bagaimana baiknya individu–individu menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Karakter seseorang memang banyak dipengaruhi karakter-karakter sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, namun itu tidaklah menentukan karakter seseorang, karena setiap individu memiliki kemampuan untuk membentuk karakter kepribadian dan sosialnya sendiri.

Fromm menyatakan bahwa masyarakat yang ideal merupakan keadaan manusia yang tergantung pada manusia lainnya. Hal itu ditandai dengan adanya cinta, persaudaraan, serta solidaritas setiap manusia dalam lingkungan sosial. Apakah suatu kepribadian itu sehat atau tidak sehat, akan tergantung pada kebudayaan yang membantunya atau yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan manusia yang positif.

Ironi dalam Kebebasan Manusia
Pandangan Fromm tentang kehidupan manusia adalah sebuah ironi. Kekejian, materialisme, serta beragam manifestasi dari seperangkat sifat-sifat vulgar manusia lainnya, menurut Fromm, tak lain merupakan bentuk pelarian seseorang dari kebebasan.

Pandangan ini sebenarnya merupakan bekas jejak memori pemikiran Fromm yang banyak dipengaruhi berbagai kejadian dan pengalamannya di masa muda. Ketika Fromm berumur 12 tahun, dia pernah menyaksikan secara langsung seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, melakukan bunuh diri. Akibat kejadian ini, jiwa Fromm terguncang. Fromm melihat realitas ini sebagai sesuatu yang menakutkan, karena kejadian itu tidak ada seorang pun memahami mengapa wanita tersebut memilih mati bunuh diri.

Fromm juga dilahirkan sebagai anak dari kedua orangtua yang neurotis. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Hidup dalam satu keluarga yang penuh ketegangan, akibatnya Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat.

Ketika berumur 14 tahun, Fromm sempat melihat irasionalitas melanda negara Jerman. Tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman menjadi ultranasionalis, terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit, histeris dan tergila-gila. Orang-orang dekatnya menjadi terpengaruh; saudaranya, teman-teman dan kenalannya, sampai seorang guru yang sangat Fromm kagumi. Akhirnya banyak dari mereka meninggal di parit-parit perlindungan. Fromm heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Karena berbagai peristiwa inilah, kehidupan muda Fromm merupakan lapangan hidup untuk observasinya terhadap tingkah laku jenis neurotis.

Dari pengalaman yang membingungkan dan mencengangkan, Fromm memahami kodrat manusia dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga, hal itu adalah akibat kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis, yang secara masif mempengaruhi kodrat kepribadian insan manusia.

Dalam pandangan Fromm, individu adalah entitas yang terisolasi karena dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Hal ini terangkum dalam karyanya yang pertama: Escape from Freedom (1941). Dalam buku ini Fromm mengajukan tesisnya bahwa manusia seiring dengan perkembangan peradaban, akan menjadi semakin bebas. Namun, kebebasan manusia ini justru membuat mereka makin merasa kesepian (being lonely).

Kebebasan menjadi keadaan negatif yang membuat manusia melarikan diri. Manusia gamang dan takut dengan kebebasan yang sebenarnya tak memberi jaminan dan kepastian. Jawaban dari ketakutan akan kebebasan tersebut terwujud dalam dua pilihan. Pertama, semangat akan cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Kedua, manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa, yang kemudian mereka pun bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Dalam buku-buku Fromm diantara tahun 1947, 1955, 1964, mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat suatu ‘kontradiksi dasar’. Kontradiksi ini mengandung maksud bahwa manusia merupakan bagian tetapi sekaligus terpisahkan dari alam, yang merupakan binatang yang sekaligus manusia. Sebagai binatang, individu memiliki kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, individu memiliki kesadaran diri, pikiran, perasaan, dan khayalan.

Pengalaman khas manusia meliputi: perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma.

Karena itu, setiap kelompok masyarakat yang diciptakan manusia, entah yang termanifestasikan dalam bentuk-bentuk feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya itu semata-mata hanya menunjukkan usaha manusia untuk menciptakan jalan tengah atas kontradiksi tersebut.

Necrophilous atau Biophilous?
From melalui bukunya berjudul “The Heart of Man” (1964) memperkenalkan dua bentuk karakter manusia, yaitu: karakter necrophilous dan biophilous.

Tipe karakter necrophilous merupakan karakter yang destruktif. Nekrophilia memperlihatkan perilaku destruktif dengan mengekspolitasi dan merusak orang lain atau benda–benda, serta alam lingkungan. Mereka adalah tipe yang tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian.

Mereka yang memiliki karakter tipe ini umumnya adalah rasialis, teroris, penghasut, pembunuh, dan penyiksa orang berdosa. Nekrophilia juga sangat dekat dan sangat mengagungkan teknologi. Mereka ini biasanya menggunakan teknologi untuk menciptakan kekerasan seperti: membuat nuklir atau instrumen–instrumen yang menyebabkan kematian makluk hidup lainnya. Contoh orang yang memiliki tipe karakter ini sangat banyak di muka bumi ini, diantaranya adalah: Adolf Hitler dan Sadam Husein, Osama bin Laden.

Tipe karakter biophilous memiliki kemiripan dengan orientasi produktif. Orang-orang dengan tipe ini tertarik untuk bertumbuh, berkarya, dan membangun. Mereka mencoba untuk mempengaruhi orang lain dengan cinta dan syarat, bukan dengan kekuasaan dan kekuatan. Mereka peduli dengan perkembangan dirinya dan orang lain, dan pandangan mereka jauh ke depan. Pada prinsipnya orang yang memiliki tipe ini bisa kita katakan sebagai pejuang kemanusiaan (mereka yang menutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi). Salah satu contoh orang tipe ini adalah Martin Luther King Jr.adalah seorang pendeta dan aktivis Amerika yang menjadi juru bicara dan pemimpin dalam gerakan hak-hak sipil pada tahun 1955.

Oleh Abdy Busthan

Para ahli kerapkali menggunakan istilah “teknologi pembelajaran” dengan “teknologi pendidikan” secara bergantian. Mereka yang setuju dengan istilah teknologi pembelajaran, memiliki dua pendapat. Pertama, karena kata “pembelajaran” lebih sesuai dengan fungsi teknologi. Kedua, karena kata “pendidikan” lebih pas untuk hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan (Busthan Abdy, 2017:39),

Berdasarkan pada pengertian kata, maka bisa dilihat bahwa kata ‘pendidikan’ dan kata ‘pembelajaran’ yang telah membentuk kedua istilah ini memang memiliki perbedaan.

Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, kata “pendidikan” adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar para peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Sedangkan untuk kata “pembelajaran”, adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Jika pun diartikan menurut istilahnya secara umum, maka secara konseptual, istilah teknologi pendidikan didefinisikan sebagai teori dan praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian proses, sumber, dan sistem untuk belajar.

Definisi tersebut dapat mengandung pengertian adanya komponen dalam pembelajaran, yaitu teori dan praktik; desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian; proses, sumber, dan sistem; dan untuk belajar.

Jadi, untuk istilah “teknologi pendidikan” lebih luas cakupannya jika dibandingkan dengan istilah “teknologi pembelajaran”. Teknologi pendidikan mencakup sistem lain yang digunakan dalam proses mengembangkan kemampuan manusia.

Sedangkan teknologi pembelajaran merupakan suatu bidang kajian khusus ilmu pendidikan dengan objek formal “belajar” pada manusia secara individu maupun kelompok. Hal ini karena belajar tidak hanya berlangsung dalam lingkup sekolah saja, melainkan juga pada organisasi lainnya, seperti keluarga, masyarakat, dunia usaha, bahkan pemerintahan.

Belajar dapat di mana saja, kapan saja dan siapa saja, mengenai apa saja, dengan cara dan sumber apa saja yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.

Dalam karya berjudul “Instructional Technology a Systematic Approach to Education”, Knirk dan Gustafon (1986) menyatakan bahwa kata “pembelajaran”, khusus berkenaan dengan permasalahan belajar dan mengajar, sedangkan kata “pendidikan” terlalu luas lingkupannya karena mencakup segala aspek pendidikan.

Teknologi Pendidikan
Dijelaskan oleh Dewi Salma Prawiradilaga (2012) dalam Busthan Abdy (2017:41) bahwa rumusan kawasan teknologi pendidikan lebih luas jika dibandingkan dengan teknologi pembelajaran.

Kawasan jenis ini menyangkut penyelenggaraan seluruh aspek belajar manusia termasuk di dalam dan di luar sistem persekolahan. Untuk kawasan manajemen kependidikan, dapatlah mengelola dan mengatur seluruh fungsi yang terdapat dalam kawasan pengembangan, serta memanfaatkan kedua kategori besar dari sumber belajar, yaitu sumber belajar yang dirancang dan dan dimanfaatkan.

Perhatian terbesar dari kawasan teknologi pendidikan, lebih menekankan peran seluruh kategori sumber belajar dalam rentang yang luas. Sumber belajar dalam hal ini bukan hanya tersedia di dalam kelas atau sekolah saja, tetapi mencakup pula lokasi khusus yang juga tersedia dimasyarakat, seperti museum dan observatiorium.

Teknologi Pembelajaran
Lebih lanjut dijelaskan Dewi Salma Prawiradilaga dalam Busthan Abdy (2017:42) bahwa kawasan teknologi pembelajaran memiliki ruang yang lebih sempit dalam dunia pendidikan.

Domain atau kawasan teknologi pembelajaran\ merujuk pada learning is porposive and controlled, yang mana pernyataan ini menegaskan kedudukan kawasan teknologi pembelajaran adalah di kelas. Untuk itu, maka sumber belajarnya berperan langsung sebagai komponen sistem pembelajaran.

Menurut Busthan Abdy (2017:ibid), dalam konteks ini ada dua istilah yang bisa menggambarkan substansi sumber belajar, yakni istilah prestructured dan utilized. Istilah prestructured mengungkapkan sumber belajar yang sengaja dirancang (by design), disiapkan sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan belajar. Sedangkan istilah utilized diartikan sebagai dimanfaatkan.

Artinya bahwa kriteria yang harus dipenuhi untuk pengadaan sumber belajar adalah: (1) dirancang-dimanfaatkan, yaitu sumber belajar yang disiapkan khusus untuk suatu proses belajar tertentu berlandaskan kompetensi dan materi ajar; (2) dipilih-dimanfaatkan, yaitu pemilihan sumber belajar yang sesuai dengan kompetensi dan materi ajar dari koleksi yang sudah tersedia di sekolah.

Dari uraian di atas, bisa tarik pemahaman sederhana bahwa teknologi pendidikan bersifat umum, yaitu teknologi untuk belajar. Sedangkan teknologi pembelajaran bersifat khusus, yaitu teknologi dalam pendidikan.

Tentu pertanyaannya adalah: bagaimana menggunakan dan menempatkan kedua istilah ini secara tepat?

Menurut Busthan Abdy (2017:43), bahwa sampai sejauh ini tidak ada larangan atau sebuah aturan baku yang berlaku secara universal, yang melarang dan membatasi penggunaan kedua istilah ini secara bergantian. Artinya bahwa bisa menggunakan teknologi pembelajaran dan bisa pula menggunakan teknologi pendidikan. Tergantung bagaimana penggunanya merasa nyaman memakai salah satu diantara kedua istilah ini.

Tulisan ini dikutip dari Buku:
"Media & Multimedia dalam Teknologi Pembelajaran: Konsep, Prinsip dan Aplikasi"
Tahun terbitan: 2017
Penulis: Abdy Busthan
Penerbit: Desna Life Ministry
Tempat Penerbit: Kupang

Meskipun dalam berbagai pendekatan psikologi teori kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, namun tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behavioristik. Hanya saja, menurut kebanyakan para ahli psikologi kognitif, aliran behavioristik itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan pada dimensi ranah cipta, seperti: berpikir, mempertimbangkan pilihan, dan mengambil keputusan.

Sebagaimana pandangan belajar dalam teori behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik, yaitu hubungan antara stimulus dan respon, maka aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik saja, tetapi lebih daripada itu, merupakan suatu kegiatan belajar yang melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri setiap individu yang sedang belajar.

Selain itu, aliran behavioristik juga sangat mengesampingkan ranah tentang “rasa”, sementara menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral yang bersifat jasmaniah—meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata di dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.

Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, tentu bisa menggunakan perangkat jasmaniahnya (misalnya dengan mulut dan tangan, dll) untuk mengucapkan kata dan menuliskan sesuatu dengan pena. Akan tetapi, perilaku untuk mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak, bukanlah semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan lebih dari pada itu, karena dorongan mental yang di atur oleh otak anak itu sendiri.

Meskipun aliran kognitif ini dipandang sebagai golongan teori sintesis, namun dalam perkembangannya, teori ini justru mampu menunjukkan substansi kajian yang sama sekali berbeda dengan paham behavioristik.

Bahkan dalam derajad tertentu, justru teori belajar kognitif dipandang sebagai anti tesis dari paham belajar behavioristik yang cenderung mekanistik dan tidak mampu digunakan sebagai teori yang representatif dalam menjelaskan fenomena belajar.

Dalam perspektif teori belajar kognitif, stimulus bukanlah variabel tunggal yang menyebabkan dapat terjadinya respons, karena terdapat variabel moderator tertentu yang juga dapat mempengaruhi kemunculan respons dan tindakan.

Dan variabel moderator inilah yang kemudian disebutkan sebagai faktor internal—seperti: emosi, mental, persepsi, motivasi dan sebagainya. Tentu hal ini didasarkan pada pemahaman awal, dimana para penganut teori kognitif lebih membangun argumentasinya dengan menempatkan rumusan mendasar bahwa antara stimulus dan respons terdapat suatu dimensi psikologis yang bisa menyebabkan terjadinya perubahan mental, sekaligus juga menyebabkan seseorang merespons suatu stimulus yang diberikan.

Mengacu pada penjelasan singkat di atas, maka teori belajar kognitif rupanya memandang bahwa belajar merupakan proses pembentukan dan perubahan persepsi sebagai akibat dari interaksi yang “sustainable” antara individu dengan lingkungannya (Busthan Abdy, 2016:125).

(Oleh: Abdy busthan)
**********
Daftar Pustaka:
Busthan Abdy (2016). Teori Belajar dan Pembelajaran: Behavioristik, Kognitivistik, Konstruktivistik, Humanistik. Kupang: Desna Live Ministry

Dalam keberadaannya, semua yang dihasilkan oleh teknologi akan memiliki sifat dan prinsip-prinsip dasar yang menggambarkan bagaimana esensi teknologi itu sendiri. Berikut pembahasannya.

Sifat Teknologi
Menurut Don Ihde (1990), dalam karya: “Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth”, bahwa teknologi bersifat netral dan tidak netral.

Tidak netral. Hasil teknologi menjadi tidak netral ketika teknologi sebagai mediator antara manusia dan dunianya, yang kemudian mengubah pengalaman hidup manusia mengenai dunia tersebut. Budaya dalam hal ini pun ikut berubah dengan penerapan teknologi.

Jadi, teknologi menjadi tidak netral akibat kekuasaan manusia sebagai penggunanya. Manusia dapat menggunakan teknologi sebagai sarana kekuasaan untuk mencapai tujuan dan kepentingan tertentu. Pada titik ini, teknologi mempunyai kecenderungan tertentu (latent telic). Alat teknologi tidak netral karena cenderung mengarahkan manusia sehingga ia tidak bebas nilai. Singkatnya, teknologi pada kondisi tidak netral, memberi kesan bahwa teknologi menentukan jalan hidup manusia.

Netral. Pada sisi lain, hasil teknologi dipandang sebagai sesuatu yang netral, karena alat teknologi sesungguhnya hanya bersifat positif dan negatif apabila dipakai oleh manusia untuk tujuan tertentu. Artinya, manusialah yang menentukan arah teknologi ini (bisa negatif, juga bisa positif).

Jadi, teknologi pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang netral adanya. Sebab tergantung pada manusia yang menggunakannya. Di sini, teknologi bisa bersifat destroy (menghancurkan) dan bisa pula bersifat profitable (menguntungkan).

Bisa digambarkan di sini bahwa teknologi ibarat sebuah pistol di tangan polisi dan pasien di tangan dokter. Pistol bisa membunuh orang yang tidak bersalah jika digunakan dengan sembarangan, dan pistol bisa pula membawa keuntungan untuk menembak mati penjahat jika digunakan Polisi secara tepat.

Begitupun dengan pasien di tangan dokter. Pasien akan mendapat kesembuhan jika dokter mengobatinya secara jujur dengan memberikan pengobatan yang tepat, dan bisa pula penyakit pasien bertambah parah jika dokter tidak jujur dan asal-asalan mengobatinya.

Prinsip Teknologi
Menurut Busthan Abdy (2017:25), prinsip teknologi dapat dijelaskan dengan kedua kalimat berikut: “The more complete, it will destroy” dan “The more not complete, will bring profits”. Artinya bahwa semakin lengkap suatu teknologi, maka ia akan semakin menghancurkan penggunanya. Sedangkan semakin tidak lengkap suatu teknologi, maka ia akan membawa keuntungan tersendiri bagi penggunanya. 
Hasil teknologi yang di buat secara lengkap untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu, akan menggeser peran manusia dalam berpikir dan bekerja, karena semuanya sudah dikerjakan oleh alat-alat teknologi tersebut. Tentu pada kondisi seperti itu, manusia tidak lagi bisa berpikir dan mengembangkan idenya sendiri, dan akhirnya akan mengubur dan memasung kreatifitas yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Inilah ancaman teknologi yang nyaris sempurna.

Sebaliknya, semakin tidak lengkap suatu alat teknologi, maka manusia akan semakin berperan di situ. Dan tentu dengan semakin banyak peran manusia ini, maka akan memunculkan ide-ide kreatif baru yang belum ada sebelumnya. Kondisi inilah yang akan membawa keuntungan tersendiri bagi manusia.

Oleh: Abdy Busthan
********
Referensi Buku:
Busthan Abdy (2017). Media & Multimedia dalam Teknologi Pembelajaran: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Kupang: Desna Life Ministry

Secara umum, Busthan Abdy (2017:101) menyatakan bahwa multimedia pembelajaran dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu: 1) Multimedia content production; dan 2) Multimedia communication.

Bentuk Multimedia Content Production. Pada bagian bentuk ini, multimedia adalah penggunaan beberapa media (misalnya media: teks, audio, grafik, animation, video, dan interactivity) yang berbeda untuk menyampaikan informasi dan pesan pembelajaran, serta menghasilkan produk multimedia pembelajaran (musik, video, film, game, entertaiment, dll). Atau dapat pula dikatakan sebagai penggunaan sejumlah teknologi yang berbeda, untuk bisa menggabungkan media (teks, audio, grafik, animation, video, dan interactivity) dengan cara yang baru untuk tujuan komunikasi dalan pembelajaran. Dalam kategori ini media yang digunakan adalah: media teks, media audio, media video, media animasi, media grafik atau image.

Bentuk Multimedia Communication. Pada bentuk ini, multimedia adalah menggunakan media (masa), seperti siaran TV, siaran radio, handphone, Internet, dll, untuk publikasi, menyiarkan, atau mengkomunikasikan pesan-pesan dan informasi dalam pembelajaran. Media yang digunakan dalam bentuk ini, adalah media: TV; radio; film; cetak; musik; game; entertaiment; tutorial; handpone; ICT (internet)

Sementara komponen multimedia dalam pembelajaran, biasanya terdiri atas beberapa komponen-komponen yang dipadukan untuk kepentingan pembelajaran, demi mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Busthan Abdy (2017:102-104) beberapa diantaranya sebagai berikut:

Teks. Hampir semua kalangan mengenal apa itu teks. Apalagi bagi mereka yang dapat menggunakan komputer, sudah terbiasa dengan teks. Teks merupakan dasar dari pengelohan kata dan informasi yang berbasis multimedia. Dalam kenyataannya, multimedia menyajikan informasi kepada audiens dengan cepat, karena tidak diperlukan lagi membaca secara rinci dan teliti.

Grafik. Grafik adalah gambar atau garis (line drawing). Pembelajarran saat ini, juga sangat berorientasi pada visual (visual oriented) dan gambar merupakan sarana yang sangat baik untuk menyajikan informasi, sehingga grafik merupakan komponen penting dalam multimedia

Image. Secara umum, image berarti gambar atau raster (halfone drawing), seperti foto. Basis data siswa dengan atribut seperti nama, alamat dan lainnya, lebih efektif bila foto siswa bersangkutan dapat ditampilkan. Demikian juga foto‑foto seperti jenis-jenis tanaman dalam pelajaran pertanian atau bidang biologi, atau foto-foto pahlawan dalam pelajaran sejarah, atau foto gedung dan museum, dll, sangat memerlukan penyimpanan yang besar. Hal inilah yang menyebabkan penyimpanan aplikasi multimedia cukup besar kapasitasnya, seperti misalnya dalam Hardis, CD‑Room, Flesdis, dll.

Animasi. Inti dari animasi adalah gambar. Yakni gambar yang bergerak. Atau animasi berarti gerakan image atau video, contohnya gerakan orang yang melakukan suatu kegiatan. Alasan utama penggunaan animasi pembelajaran adalah sulitnya menggambarkan informasi dengan satu gambar saja, atau sekumpulan gambar, juga tidak dapat menggunakan teks untuk menerangkan informasi dalam suatu bahasan materi tertentu. Arsip animasi ini juga memerlukan kapasitas penyimpanan yang lebih besar daripada satu gambar.

Suara. Adapun suara, akan dapat lebih memperjelas pengertian dan maksud yang ditampilkan dalam teks atau video. Contohnya, narasi merupakan kelengkapan dari penjelasan yang dilihat melalui video. Suara juga dapat memberikan kejelasan karakteristik dari suatu gambar, misalnya dengan musik dan suara efek (sound effect). Bayangkan saja jika takk ada suara dalaam pembelajaran

Interaktive Link. Sebagian dari multimedia adalah interaktif, dimana pengguna dapat menekan mouse atau objek pada screen seperti button atau teks, dan menyebabkan program melakukan perintah tertentu. Interaktif link dengan informasi yang dihubungkannya, kerapkali dihubungkan secara keseluruhan, sebagai hypermedia. Secara spesifik, dalam hal ini termasuk hyper-teks (hotword), hyper-grafik, dan hyper-sound yang menjelaskan jenis informasi yang dihubungkan.

Interaktif link diperlukan jika pengguna, menunjuk pada suatu objek atau button agar dapat mengakses program tertentu. Interaktif link diperlukan untuk menggabungkan beberapa elemen multimedia sehingga menjadi informasi yang bulat dan terpadu.

Menurut Busthan Abdy (2017:ibid), cara pengaksesan informasi pada multimedia terdapat dua macam yaitu linier dan non‑linier. Informasi linier adalah informasi yang ditampilkan secara sekuensial, yaitu dari atas ke bawah atau halaman demi halaman. Sedangkan pada informasi non‑linier informasi dapat ditampilkan langsung sesuai dengan kehendak pengguna meski tidak berurutan.

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Media & Multimedia dalam Teknologi Pembelajaran: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Kupang: Desna Life Ministry

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget