Satu hal yang membuat manusia jauh berbeda dengan binatang adalah, bahwa manusia memiliki rasio dan akal budi sedangkan binatang tidak. Namun yang sering terjadi, justru kedudukan manusia selalu berada satu tingkat dibawah binatang. Hal ini bukanlah tidak beralasan, sebab manusia seringkali membinatangkan dirinya, mulai dari terbitnya matahari hingga terbenamnya, sehingga terciptalah kebun binatang yang sangat sempurna dalam kehidupan manusia, yang dimulai dari hati (afektif), perbuatan (psikomotorik) dan pikirannya (kognitif).
Dalam dunia pendidikan formal di republik ini, fenomena "membinatangkan diri" ini sepertinya 'sedang' dan 'sementara' berlangsung dengan indahnya. Sehingga secara aksiomatis, lahirlah suatu kondisi yang disebut "destroying with perfectely", yaitu penghancuran yang sangat sempurna—dalam kondisi ini, anjing sudah tidak lagi memakan tulang, tapi memakan anaknya sendiri, bahkan anjing pun tidak lagi berkaki empat, tetapi sudah berkaki dua.
Dalam cerita Harry Potter, terdapat satu momen yang berlangsung di stasiun kereta. Di situ tampak sebuah pintu rahasia pada peron 3/4, yang merupakan jalan menuju Hogwarth, yaitu sebuah sekolah para penyihir tempat dimana Harry Potter belajar. Pintu itu ada, tetapi abstrak. Persoalannya bukan soal abstrak, tetapi pintu tersebut hanya dapat dilalui oleh orang tertentu yang sudah mengetahui dan belajar bagaimana melalui pintu tersebut.
Demikian pula "peserta didik". Mereka adalah pribadi yang abstrak, yang sangat tidak mungkin dipahami hanya menggunakan satu pemahaman saja. Ada banyak hal yang harus dipahami dalam memahami dunia peserta didik. Dan salah satu diantaranya adalah dengan memahami bagaimana proses perkembangan dan pertumbuhan peserta didik.
Perkembangan peserta didik harus dimulai dengan satu pemahaman awal, bahwa peserta didik adalah "homo educandum", yaitu makhluk yang dapat dididik. Dan dalam komplesitasnya sebagai makhluk yang dapat dididik ini, masing-masing peserta didik adalah anak didik yang membawa 'heredity' yang berbeda antara satu peserta didik dengan peserta didik lainnya.
Inilah yang terpenting! Harus dipahami oleh pendidik dalam memahami "perkembangan peserta didik".
Memaknai Konsep Perkembangan Peserta Didik
Ada satu hal yang teramat indah dalam alam realitas, yang keindahannya melebihi indahnya senyuman sang Madona dan Agnes Monica, yaitu membimbing seorang anak berdasarkan hukum-hukum pertumbuhan dan perkembangan, sehingga anak itu dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesungguhnya—mencapai kematangan.
Dalam proses 'menjadi' manusia yang sesungguhnya ini, manusia adalah "peserta didik"—yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebagaimana mestinya (kodrati). Pada titik ini, manusia yang 'sedang menjadi' manusia sesungguhnya, akan mengalami perkembangan peserta didik.
Karena itu, istilah "perkembangan peserta didik", merupakan sesuatu yang ditujukan kepada kelompok manusia yang memiliki potensi dasar, dan yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis; baik melalui pendidikan dalam lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat di mana ia berada. Ketika ini terjadi, maka benarlah apa yang pernah diungkapkan seorang psikolog anak terkemuka di dunia, Fitzhhug Dodson (1978)—yang menyatakan bahwa, jika kita mendidik anak, kita sebetulnya sedang mengajarkan 2 (dua) hal: pertama, mengajar mereka melakukan perbuatan baik; dan kedua, menghindari perbuatan yang tidak baik.
Namun persoalannya memang tidak semudah apa yang diungkapkan Dodson tersebut di atas. Mengingat dari waktu ke waktu, dalam alam realitas ini terjadi konflik berkepanjangan antara apa yang diinginkan oleh orang tua dan guru, dengan apa yang diinginkan oleh anak atau peserta didik. Apa sebab? Jawabannya hanya satu, bahwa peserta didik adalah 'unik'. Lalu, mengapa pula unik? Karena setiap peserta didik, memiliki keitimewaan masing-masing berdasarkan sifat, temperamen, latar belakang keluarga, lingkungan pergaulan, bahkan berdasarkan usianya, dll.
Itulah sebabnya maka Jean Jascques Rousseau (1762b;1) menyatakan bahwa masa kanak-kanak sangat istimewa dalam rangkaian hidup manusia. Melalui karyanya berjudul "Emile, or Education", Rosseau menulis,..
Dalam dunia pendidikan formal di republik ini, fenomena "membinatangkan diri" ini sepertinya 'sedang' dan 'sementara' berlangsung dengan indahnya. Sehingga secara aksiomatis, lahirlah suatu kondisi yang disebut "destroying with perfectely", yaitu penghancuran yang sangat sempurna—dalam kondisi ini, anjing sudah tidak lagi memakan tulang, tapi memakan anaknya sendiri, bahkan anjing pun tidak lagi berkaki empat, tetapi sudah berkaki dua.
Dalam cerita Harry Potter, terdapat satu momen yang berlangsung di stasiun kereta. Di situ tampak sebuah pintu rahasia pada peron 3/4, yang merupakan jalan menuju Hogwarth, yaitu sebuah sekolah para penyihir tempat dimana Harry Potter belajar. Pintu itu ada, tetapi abstrak. Persoalannya bukan soal abstrak, tetapi pintu tersebut hanya dapat dilalui oleh orang tertentu yang sudah mengetahui dan belajar bagaimana melalui pintu tersebut.
Demikian pula "peserta didik". Mereka adalah pribadi yang abstrak, yang sangat tidak mungkin dipahami hanya menggunakan satu pemahaman saja. Ada banyak hal yang harus dipahami dalam memahami dunia peserta didik. Dan salah satu diantaranya adalah dengan memahami bagaimana proses perkembangan dan pertumbuhan peserta didik.
Perkembangan peserta didik harus dimulai dengan satu pemahaman awal, bahwa peserta didik adalah "homo educandum", yaitu makhluk yang dapat dididik. Dan dalam komplesitasnya sebagai makhluk yang dapat dididik ini, masing-masing peserta didik adalah anak didik yang membawa 'heredity' yang berbeda antara satu peserta didik dengan peserta didik lainnya.
Inilah yang terpenting! Harus dipahami oleh pendidik dalam memahami "perkembangan peserta didik".
Memaknai Konsep Perkembangan Peserta Didik
Ada satu hal yang teramat indah dalam alam realitas, yang keindahannya melebihi indahnya senyuman sang Madona dan Agnes Monica, yaitu membimbing seorang anak berdasarkan hukum-hukum pertumbuhan dan perkembangan, sehingga anak itu dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesungguhnya—mencapai kematangan.
Dalam proses 'menjadi' manusia yang sesungguhnya ini, manusia adalah "peserta didik"—yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebagaimana mestinya (kodrati). Pada titik ini, manusia yang 'sedang menjadi' manusia sesungguhnya, akan mengalami perkembangan peserta didik.
Karena itu, istilah "perkembangan peserta didik", merupakan sesuatu yang ditujukan kepada kelompok manusia yang memiliki potensi dasar, dan yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis; baik melalui pendidikan dalam lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat di mana ia berada. Ketika ini terjadi, maka benarlah apa yang pernah diungkapkan seorang psikolog anak terkemuka di dunia, Fitzhhug Dodson (1978)—yang menyatakan bahwa, jika kita mendidik anak, kita sebetulnya sedang mengajarkan 2 (dua) hal: pertama, mengajar mereka melakukan perbuatan baik; dan kedua, menghindari perbuatan yang tidak baik.
Namun persoalannya memang tidak semudah apa yang diungkapkan Dodson tersebut di atas. Mengingat dari waktu ke waktu, dalam alam realitas ini terjadi konflik berkepanjangan antara apa yang diinginkan oleh orang tua dan guru, dengan apa yang diinginkan oleh anak atau peserta didik. Apa sebab? Jawabannya hanya satu, bahwa peserta didik adalah 'unik'. Lalu, mengapa pula unik? Karena setiap peserta didik, memiliki keitimewaan masing-masing berdasarkan sifat, temperamen, latar belakang keluarga, lingkungan pergaulan, bahkan berdasarkan usianya, dll.
Itulah sebabnya maka Jean Jascques Rousseau (1762b;1) menyatakan bahwa masa kanak-kanak sangat istimewa dalam rangkaian hidup manusia. Melalui karyanya berjudul "Emile, or Education", Rosseau menulis,..
.. The wisest writers devote themselves to what a man ought to know, without asking themselves what a child is capable of learning. They are always looking for the man in the child, without considering what he is before he becomes a man. (Rousseau, 1762b:1).
Dalam hal ini Rousseau menegaskan bahwa, "para penulis paling bijak sekalipun, selalu memfokuskan diri kepada apa yang mestinya diketahui orang dewasa, tanpa menanyakan kepada diri mereka apa yang sanggup dipelajari anak-anak. Mereka selalu mencari manusia dewasa dalam diri anak-anak, tanpa menyadari siapakah dia sebelum dewasa".
Selanjutnya, Rousseau menyatakan lagi, .. "childhood has its own ways of seiing, thinking and feeling ... (1762b:54). Artinya bahwa, "anak-anak memiliki cara-caranya sendiri untuk melihat, berpikir dan merasa...".
Jadi, jika seseorang memiliki sedikit waktu untuk mengamati anak-anak, maka ia pasti akan menemukan bahwa anak-anak itu unik! Sebab mereka sangat berbeda dari orang dewasa, bahkan mereka sendiripun berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan apa yang diungkapkan Rousseau di atas, untuk memahami peserta didik, kita tidak harus melakukan 'hanya' dengan menggunakan satu pendekatan tunggal saja. Misalnya, seorang guru yang menggunakan pendekatan metode berceramah pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di kelas IV Sekolah Dasar. Dalam kelas tersebut ada 43 peserta didik yang tentunya memiliki masing-masing kemampuan yang berbeda-beda.
Nah, dengan kemampuan peserta didik yang berbeda-beda ini, apakah guru tersebut akan berhasil membuat 43 peserta didik ini lulus dengan nilai kelulusan yang sama semuanya? Misalnya, semua (tanpa terkecuali) lulus dengan mendapatkan nilai rata-rata 8,5? Lalu, apakah dengan hanya melalui metode ceramah saja, guru itu dapat dikatakan berhasil membuat ke-43 peserta didik menjadi paham dengan materi pelajaran yang di ajarkannya? Tentu saja tidak! Sekali lagi, sebab peserta didik adalah unik.
Perdebatan Para Developmentalis
Dalam perkembangan lebih lanjut, perdebatan sengit seakan tak dapat dihindari lagi—dimana ketika para pakar psikologi perkembangan (developmentalis) muncul dan membicarakan tentang "hakikat perkembangan" individu manusia. Salah satu persoalannya adalah bahwa kebanyakan dari para developmentalis, orang tua, serta guru dan pendidik, menganggap bahwa perkembangan yang terjadi pada diri anak dapat terjadi semata-mata karena tingkah laku dan pikiran anak yang muncul, sebelumnya sudah diajarkan oleh orang dewasa lain.
Misalnya, ketika melihat seorang anak menunjukkan tingkah laku baru, dugaan pertama mereka adalah tingkah laku yang ditunjukkan anak tersebut sebelumnya sudah diajarkan oleh pihak tertentu. Sebagai contoh, seorang anak perempuan berusia 2 tahun yang menunjukkan perilaku baru seperti mengatur dan mengembalikan mainan ke tempatnya semula. Perilaku ini justru diasumsikan bahwa seseorang sudah terlebih dahulu mengajari anak putri tersebut untuk melakukannya. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa perkembangan anak merupakan produk dari lingkungannya (Crain William, 2014).
Hal lainnya lagi, bahwa berdasarkan kajian teori psikologi perkembangan yang di gagas oleh Rosseau, seperti yang sudah diungkapkan di atas—Rosseau lebih melihat hakikat perkembangan yang sangat berbeda. Rosseau dan penganutnya, tertarik untuk mempelajari bagaimana anak-anak tumbuh dan belajar berdasarkan perspektif dari dalam diri mereka sendiri.
Dalam menanggapi kasus seperti di atas—yaitu anak perempuan usia 2 tahun yang menunjukkan perilaku barunya dengan mengatur dan mengembalikan mainan ke tempatnya semula—justru dianggap oleh Rosseau dan penganutnya, bahwa anak tersebut sedang bertindak secara spontan—sesuatu yang dia ciptakan dari dalam dirinya sendiri—seluruhnya.
Dalam hal ini, kalangan developmentalis seperti Rousseau, Montessori, Gesell, dan Piaget, juga Werner, memang mempelajari aspek-aspek perkembangan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka menjadi sepakat dengan satu orientasi fundamental, yaitu pada pertumbuhan batin dan pembelajaran spontan.
Perhatian developmentalis ini, mungkin saja bersifat praktis, tetapi juga bersifat teoritis. Misalnya, salah seorang psikolog wanita yang cukup terkenal di dunia, Montessori (1870-1952)—ia menyatakan rasa belum puasnya dengan melihat metode-metode pendidikan yang diberikan kepada para peserta didik pada umumnya. Sebab menurutnya, kebanyakan dari guru selalu berusaha mengarahkan pembelajaran anak-anak dengan memberikan penghargaan terhadap jawaban yang benar dan mengkritik atau mengecam jawaban salah. Praktek semacam ini, menurut Montessori, akan menggerogoti independensi anak-anak, karena anak-anak sebentar-sebentar akan lari kepada gurunya sebagai otoritas di luar dirinya, yaitu sebagai upaya melihat kembali kepada dirinya, apakah perbuatan mereka sudah benar atau belum.
Seharusnya, hakikat perkembangan dapatlah ditinjau dari aspek ketertarikan spontan anak-anak. Sebab dengan demikian, mereka (anak-anak) dapat terbantu dalam menyediakan tugas-tugas yang mampu membuat anak-anak bekerja independen dan penuh konsenterasi, dengan tanpa pengarahan atau motivasi dari luar yang memaksa. Intinya, terdapat kekuatan batin yang akan mendorong anak-anak untuk menyempurnakan kapasitas mereka di setiap tahapan perkembangan.
Psikologi Humanistik
Terlepas dari semua perdebatan di atas, terdapat satu tempat di mana perhatian developmentalis ini diterima dengan serius. Tempat ini adalah "psikologi humanistik" (modern humanistic psycohology).
Seorang humanis yang paling populer hingga saat ini, Abraham Maslow (1908-1970)—yang juga merupakan pencetus psikologi pembelajaran humanistik—selanjutnya menyerukan gagasannya secara implisit yang seolah ia tidak memiliki hubungan dengan kontribusi-kontribusi dari developmentalis sebelumnya. Sehingga terjadilah tumpang tindih diantara ide-ide humanis dan para developmentalis.
Pada titik ini kemudian muncullah seorang ilmuan besar keturunan Yahudi, yaitu Vygotsky (1896-1934) yang berupaya untuk mengintegrasikan dua perspektif raksasa dalam hakikat perkembangan anak, yaitu ‘developmentalis’ dan ‘enviromentalis’. Dalam upayanya itu, Vygotsky mengintegerasikan ke-duanya di dalam tradisi humanistik pada kurun waktu tertentu.
Inilah keunikan dari perkembangan peserta didik. Untuk alasan keunikan yang dimiliki masing-masing peserta didik inilah maka dalam proses pembelajaran, sudah seharusnyalah hak-hak dari setiap peserta didik lebih dikedepankan atau diutamakan—seperti hak mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan kemampuan, keinginan dan karakter mereka masing-masing dalam mengembangkan potenti-potensi yang ada pada diri mereka masing-masing, yaitu sebagai upaya untuk menjadikannya sebagai 'manusia dewasa' yang seutuhnya
Oleh. Abdy Busthan
Selanjutnya, Rousseau menyatakan lagi, .. "childhood has its own ways of seiing, thinking and feeling ... (1762b:54). Artinya bahwa, "anak-anak memiliki cara-caranya sendiri untuk melihat, berpikir dan merasa...".
Jadi, jika seseorang memiliki sedikit waktu untuk mengamati anak-anak, maka ia pasti akan menemukan bahwa anak-anak itu unik! Sebab mereka sangat berbeda dari orang dewasa, bahkan mereka sendiripun berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan apa yang diungkapkan Rousseau di atas, untuk memahami peserta didik, kita tidak harus melakukan 'hanya' dengan menggunakan satu pendekatan tunggal saja. Misalnya, seorang guru yang menggunakan pendekatan metode berceramah pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di kelas IV Sekolah Dasar. Dalam kelas tersebut ada 43 peserta didik yang tentunya memiliki masing-masing kemampuan yang berbeda-beda.
Nah, dengan kemampuan peserta didik yang berbeda-beda ini, apakah guru tersebut akan berhasil membuat 43 peserta didik ini lulus dengan nilai kelulusan yang sama semuanya? Misalnya, semua (tanpa terkecuali) lulus dengan mendapatkan nilai rata-rata 8,5? Lalu, apakah dengan hanya melalui metode ceramah saja, guru itu dapat dikatakan berhasil membuat ke-43 peserta didik menjadi paham dengan materi pelajaran yang di ajarkannya? Tentu saja tidak! Sekali lagi, sebab peserta didik adalah unik.
Perdebatan Para Developmentalis
Dalam perkembangan lebih lanjut, perdebatan sengit seakan tak dapat dihindari lagi—dimana ketika para pakar psikologi perkembangan (developmentalis) muncul dan membicarakan tentang "hakikat perkembangan" individu manusia. Salah satu persoalannya adalah bahwa kebanyakan dari para developmentalis, orang tua, serta guru dan pendidik, menganggap bahwa perkembangan yang terjadi pada diri anak dapat terjadi semata-mata karena tingkah laku dan pikiran anak yang muncul, sebelumnya sudah diajarkan oleh orang dewasa lain.
Misalnya, ketika melihat seorang anak menunjukkan tingkah laku baru, dugaan pertama mereka adalah tingkah laku yang ditunjukkan anak tersebut sebelumnya sudah diajarkan oleh pihak tertentu. Sebagai contoh, seorang anak perempuan berusia 2 tahun yang menunjukkan perilaku baru seperti mengatur dan mengembalikan mainan ke tempatnya semula. Perilaku ini justru diasumsikan bahwa seseorang sudah terlebih dahulu mengajari anak putri tersebut untuk melakukannya. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa perkembangan anak merupakan produk dari lingkungannya (Crain William, 2014).
Hal lainnya lagi, bahwa berdasarkan kajian teori psikologi perkembangan yang di gagas oleh Rosseau, seperti yang sudah diungkapkan di atas—Rosseau lebih melihat hakikat perkembangan yang sangat berbeda. Rosseau dan penganutnya, tertarik untuk mempelajari bagaimana anak-anak tumbuh dan belajar berdasarkan perspektif dari dalam diri mereka sendiri.
Dalam menanggapi kasus seperti di atas—yaitu anak perempuan usia 2 tahun yang menunjukkan perilaku barunya dengan mengatur dan mengembalikan mainan ke tempatnya semula—justru dianggap oleh Rosseau dan penganutnya, bahwa anak tersebut sedang bertindak secara spontan—sesuatu yang dia ciptakan dari dalam dirinya sendiri—seluruhnya.
Dalam hal ini, kalangan developmentalis seperti Rousseau, Montessori, Gesell, dan Piaget, juga Werner, memang mempelajari aspek-aspek perkembangan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka menjadi sepakat dengan satu orientasi fundamental, yaitu pada pertumbuhan batin dan pembelajaran spontan.
Perhatian developmentalis ini, mungkin saja bersifat praktis, tetapi juga bersifat teoritis. Misalnya, salah seorang psikolog wanita yang cukup terkenal di dunia, Montessori (1870-1952)—ia menyatakan rasa belum puasnya dengan melihat metode-metode pendidikan yang diberikan kepada para peserta didik pada umumnya. Sebab menurutnya, kebanyakan dari guru selalu berusaha mengarahkan pembelajaran anak-anak dengan memberikan penghargaan terhadap jawaban yang benar dan mengkritik atau mengecam jawaban salah. Praktek semacam ini, menurut Montessori, akan menggerogoti independensi anak-anak, karena anak-anak sebentar-sebentar akan lari kepada gurunya sebagai otoritas di luar dirinya, yaitu sebagai upaya melihat kembali kepada dirinya, apakah perbuatan mereka sudah benar atau belum.
Seharusnya, hakikat perkembangan dapatlah ditinjau dari aspek ketertarikan spontan anak-anak. Sebab dengan demikian, mereka (anak-anak) dapat terbantu dalam menyediakan tugas-tugas yang mampu membuat anak-anak bekerja independen dan penuh konsenterasi, dengan tanpa pengarahan atau motivasi dari luar yang memaksa. Intinya, terdapat kekuatan batin yang akan mendorong anak-anak untuk menyempurnakan kapasitas mereka di setiap tahapan perkembangan.
Psikologi Humanistik
Terlepas dari semua perdebatan di atas, terdapat satu tempat di mana perhatian developmentalis ini diterima dengan serius. Tempat ini adalah "psikologi humanistik" (modern humanistic psycohology).
Seorang humanis yang paling populer hingga saat ini, Abraham Maslow (1908-1970)—yang juga merupakan pencetus psikologi pembelajaran humanistik—selanjutnya menyerukan gagasannya secara implisit yang seolah ia tidak memiliki hubungan dengan kontribusi-kontribusi dari developmentalis sebelumnya. Sehingga terjadilah tumpang tindih diantara ide-ide humanis dan para developmentalis.
Pada titik ini kemudian muncullah seorang ilmuan besar keturunan Yahudi, yaitu Vygotsky (1896-1934) yang berupaya untuk mengintegrasikan dua perspektif raksasa dalam hakikat perkembangan anak, yaitu ‘developmentalis’ dan ‘enviromentalis’. Dalam upayanya itu, Vygotsky mengintegerasikan ke-duanya di dalam tradisi humanistik pada kurun waktu tertentu.
Inilah keunikan dari perkembangan peserta didik. Untuk alasan keunikan yang dimiliki masing-masing peserta didik inilah maka dalam proses pembelajaran, sudah seharusnyalah hak-hak dari setiap peserta didik lebih dikedepankan atau diutamakan—seperti hak mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan kemampuan, keinginan dan karakter mereka masing-masing dalam mengembangkan potenti-potensi yang ada pada diri mereka masing-masing, yaitu sebagai upaya untuk menjadikannya sebagai 'manusia dewasa' yang seutuhnya
Oleh. Abdy Busthan
Posting Komentar