Articles by "Filsafat"

Mempelajari aliran-aliran filsafat berarti merujuk pada bagaimana mengembangkan filsafat ilmu pengetahuan. Secara universal, cabang ilmu filsafat itu terdiri dari enam bagian, yaitu: epistemologi, estetika, etika, filsafat politik, logika dan metafisika.

(1) Epistemologi
Epistemologi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu kata: epistime yang artinya pengetahuan, dan akhiran -logi yang berarti "wacana" (berasal dari bahasa yunani "logos" yang berarti "wacana").

Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan? bagaimana karakteristik dari pengetahuan? Bagaimana macam-macam pengetahuan? Bagaimanakah hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan?

Kajian tentang ilmu pengetahuan disebutkan dengan epistemologi. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman data-data indra, benda-benda memori, keadaan internal, diri kita sendiri, orang lain atau benda-benda fisik. Pada titik ini, filsafat ilmu merupakan alat untuk melakukan tela'haan tentang struktur ilmu.

Ilmiah adalah ilmu. Jadi, berpikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia untuk menemukan atau mendapatkan ilmu yang bercirikan dengan adanya kausalitas, analisis, dan sintesis. Dalam epistemologi atau perkembangan untuk mendapatkan ilmu, diperlukan adanya sarana berpikir ilmiah.

Sarana berpikir ilmiah ini adalah alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Jadi, fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah untuk mendapat ilmu atau teori yang lain (Daito Apollo, 2011).

Jelaslah bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang lebih banyaknya berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya, serta bagaimana pertanggungjawaban segala pernyataan-pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki manusia.

Pengetahuan tersebut diperoleh melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode seperti berikut ini:

Empirisme, adalah suatu metode dalam filsafat yang mendasarkan cara-cara memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan, akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi manusia dengan dunianya. Akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti, semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian, itu bukan pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

Rasionalisme, menegaskan bahwa setiap sumber pengetahuan, terletak pada akal budi. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman setidaknya dapat dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam barang atau diri sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran manusia dan hanya diperoleh dengan akal budi saja.

Fenomenalisme, Raja Fenomenalisme atau Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant yang membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri, merangsang alat inderawi manusia dan diterima oleh akal, dalam bentuk-bentuk pengalaman yang disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karenanya, manusia tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang nampak kepada kita. Artinya, pengetahuan adalah tentang sebuah gejala (Phenomenon). Menurut Kant, penganut empirisme bisa benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pengalaman—meskipun benarnya hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga bisa benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri, terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

Intusionisme, merupakan sarana mengetahui secara langsung. Analisa, atau suatu pengetahuan yang diperoleh dengan pelukisan, tidak dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme ialah, paham ini memungkinkan adanya bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati indera. Data yang dihasilkannya merupakan tambahan bagi pengetahuan, di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian, pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif. Intusionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme—setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk—hanya mengatakan bahwa, pengetahuan yang lengkap adalah yang di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan pengetahuan yang nisbi—yang meliputi sebagian saja—yang diberikan oleh analisis. Apa yang diberikan oleh indera, hanyalah apa yang tampak saja, sebagai lawan dari yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang tampak pada manusia, karena hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan keadaannya secara nyata.

Dialektis, merupakan tahapan logika yang banyak mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari, dialektika adalah kecakapan dalam melakukan perdebatan. Teori pengetahuannya lebih berbentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran saja, tetapi pemikiran seperti sebuah percakapan yang bertolak dari dua kutub.

(2) Estetika
Estetika berasal dari bahasa Yunani aisthetikos, yang artinya "keindahan” atau sensitivitas kesadaran yang berkaitan dengan persepsi sensorik, dan merupakan turunan dari kata aisthanomai, yang berarti saya melihat, meraba, dan merasakan.

Pertama kali istilah ini digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada tahun 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan. Itu sebabnya estetika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang keindahan.

Estetika merupakan ilmu membahas bagaimana keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.

Keindahan seharusnya sudah dinilai saat karya seni pertama kali dibuat, namun rumusan keindahan pertama kali didokumentasi oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan.

Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan.

Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa-masa populernya “de Stijl” di negara Belanda, ‘keindahan’ berarti kemampuan memadukan warna dan ruang serta kemampuan mengabstraksi benda.

Pada perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya.

Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan, dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya di nilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan tertentu.

(3) Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ethikos", yang berarti "timbul dari kebiasaan". Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dari dalam pendapat-pendapat spontannya. Kebutuhan akan refleksi itu akan dirasakan, antara lain karena pendapat etis seseorang tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap perbedaan itu.

Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Sebab itu, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu.

Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi, berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

(4) Filsafat Politik
Filsafat Politik adalah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari tema-tema seperti: politik, kebebasan, keadilan, hak milik, hak, hukum, pemerintahan, dan penegakan hukum oleh otoritas.

Beberapa pertanyaan utama dalam ilmu filsafat politik antara lain adalah: apa yang melegitimasi otoritas suatu pemerintahan? Hak-hak dan kebebasan apa saja yang dimiliki warga negara dan harus dilindungi oleh pemerintah? Dan apa saja tugas warga negara dalam pemerintahan?

Beberapa filsuf dalam bidang filsafat politik yang penting pada era modern adalah Thomas Hobbes, Machiavelli, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, John Rawls, dan Jurgen Habermas.

(5) Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno: “logos”, yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Karena itu, logika adalah salah satu cabang filsafat.

Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (bahasa Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional seseorang untuk mengetahui; dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan “masuk akal”.

Logika adalah ilmu pengetahuan dengan objek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan objek formal logika adalah berpikir atau suatu penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.

Itu sebabnya logika merupakan sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk menaruh pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran orang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.

Dalam hal ini logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran.

Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah contoh-contoh dari logika formal.

Dasar penalaran dalam logika yakni deduktif dan induktif.

Penalaran deduktif. Kadang disebutkan logika deduktif, yaitu suatu penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya.

Contoh argumen deduktif:
Setiap mamalia punya sebuah jantung
Semua kuda adalah mamalia
∴ Setiap kuda punya sebuah jantung

Penalaran induktif. Kadang disebutkan dengan logika induktif, yaitu penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk dapat mencapai kesimpulan umum.

Contoh argumen induktif:
1. Babi Soe punya sebuah jantung
2. Babi Rote punya sebuah jantung
3. Babi Flores punya sebuah jantung
4. Babi Alor punya sebuah jantung
5. ∴ Setiap Babi punya sebuah jantung

(6) Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis terhadap hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat, meliputi realitas yang di kaji.

Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi, dan setiap masa dan filsuf, tentu memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum topik analisis metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktual dan karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antar keberadaan seperti pembahasan mengenai kausalitas, posibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya (Wikipedia, 2017).

Mengingat jangkauan kajian yang dipusatkannya, maka metafisika menjadi disiplin ilmu yang fundamental dalam kajian filsafat. Sepanjang sejarah kefilsafatan, metafisika banyak menjangkau problem-problem klasik dalam filsafat teoretis. Umumnya, kajian metafisika menjadi "batu pijakan" atas struktur gagasan kefilsafatan dan prinsip lebih kompleks untuk menjelaskan problem lainnya.

Sehingga, dalam pemahaman metafisika klasik, metafisika membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang jawaban-jawaban atasnya dapat digunakan menjadi dasar bagi pertanyaan yang lebih kompleks.

Misalnya, adakah maksud utama dalam beradanya dunia ini? Apakah keberadaannya sebatas keberadaan yang "mengada" atau dependen terhadap keberadaan lainnya? Apakah tuhan itu? Apakah tuhan-tuhan ada? Lalu, jika ada, apa saja hal-hal yang bisa manusia tahu atau tidak tahu tentangnya? Benarkah terdapat hal semacam intellectus, terutama dalam pembahasan mengenai pembedaan antara problem pemisahan entitas jiwa–badan? Apakah jiwa sesuatu yang nyata, dan apakah ia berkehendak bebas? Apakah segalanya tetap atau berubah? Apakah terdapat hal atau relasi yang selalu bersifat tetap, yang bekerja dalam berbagai fenomena?, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Objek bahasan metafisika bukan semata-mata hal-hal empiris atau hal-hal yang dapat dijangkau oleh pengamatan individual, melainkan hal-hal atau aspek-aspek yang menjadi dasar atas realitas itu sendiri. Klaim-klaim atas metode dan objek kajian metafisika telah menjadi problem perenial kefilsafatan.

Itu sebabnya, pembahasan mengenai metafisika memiliki berbagai sub bahasan. Misalnya pembahasan sentral metafisika adalah ontologi, yaitu proses analitis dan klasifikasi berdasarkan prinsip-prinsip kategori keberadaan dan relasi di antaranya. Bahasan sentral lainnya seperti tentang kosmologi metafisik, yaitu kajian mendalam atas prinsip keberadaan dunia, realitas, asal mula, dan makna keberadaan atasnya.

Oleh: Abdy Busthan

Pada perkembangan awal, perspektif psikologi humanistik dapat di ringkas ke dalam 5 (lima) prinsip utama atau biasa disebutkan dengan “dalil-dalil psikologi humanistik pertama” yang diartikulasikan dalam sebuah artikel James Bugental tahun 1964, dan selanjutnya diadaptasi oleh Tom Greening, seorang psikolog dan editor lama dari Journal of Humanistic Psychology, dengan menyatakan kelima prinsip dasar psikologi humanistik sebagai berikut:
  1. Manusia, sebagai manusia, mewakili jumlah bagian mereka—manusia. Dimana mereka tidak bisa direduksi menjadi komponen.
  2. Manusia memiliki eksistensi mereka dalam konteks unik manusia, serta dalam ekologi kosmik.
  3. Manusia sadar dan sadar menjadi sadar—yaitu, mereka sadar. Kesadaran manusia selalu mencakup kesadaran diri sendiri dalam konteks orang lain.
  4. Manusia memiliki beberapa pilihan dan dengan itu, bertanggung jawab.
  5. Manusia adalah disengaja, memiliki tujuan, sadar bahwa mereka menyebabkan peristiwa masa depan, dan mencari makna, nilai, dan kreativitas.

Berdasarkan pada dalil-dalil di atas, kemudian di adopsi pendekatan holistik demi eksistensi manusia dan memberikan perhatian khusus terhadap fenomena seperti: kreativitas, kehendak bebas, dan potensi dalam diri manusia. Hal ini di dorong dengan melihat pribadi manusia sebagai “manusia seutuhnya" yang juga lebih besar daripada jumlah bagiannya, dan mendorong eksplorasi diri dari pada studi perilaku pada orang lain.

Maka, kajian bidang psikologi humanistik kemudian mengakui aspirasi spiritual sebagai bagian integral dari jiwa manusia, yang tentunya berhubungan dengan bidang yang muncul dari psikologi transpersonal.

Karena itu, humanisme merupakan paradigma pendekatan pedagogis, yang percaya bahwa proses kegiatan belajar dipandang sebagai “tindakan pribadi” untuk memenuhi “potensi” seseorang. Sebab sebagai paradigma berlajar, humanisme muncul pada tahun 1960, yang berfokus pada kebebasan, martabat, dan potensi yang terdapat dalam diri insan manusia, dengan asumsi sentralnya bahwa manusia bertindak dengan intensionalitas dan nilai-nilai (Huitt, 2001).

Term atau istilah pendidikan humanistik umumnya digunakan untuk menunjuk berbagai teori pendidikan dan praktek yang berkomitmen untuk pandangan dunia dan kode etik humanisme, yaitu positing peningkatan pembangunan manusia, kesejahteraan dan martabat sebagai tujuan akhir dari semua pemikiran dan tindakan manusia—di luar agama, ideologi, atau cita-cita nasional dan nilai-nilai.

Pokok Ajaran Humanisme
Berdasarkan kajian panjang filosofis dan moral yang merupakan tradisi dari Nabi-Nabi Alkitab, dan untuk filsuf Yunani, selanjutnya Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Anak, merumuskan komitmen humanisme lebih lanjut, yang menyiratkan pembinaan 3 (tiga) pokok ajaran fundamentalnya, yaitu sebagai berikut:

Filosofis, yang terdiri dari konsepsi manusia—pria dan wanita—sebagai makhluk otonom dan rasional dan rasa hormat yang mendasar bagi semua individu manusia berdasarkan yang diberkahi dengan kebebasan kehendak, berpikir rasional, kesadaran moral, imajinatif dan kekuatan kreatif.

Sosial-politik, yang terdiri dari etika universal kesetaraan manusia, timbal balik, solidaritas dan tatanan politik yang pluralistik, adil dan demokrasi manusiawi.

Pedagogis, yang terdiri dalam komitmen untuk membantu semua individu untuk mewujudkan dan menyempurnakan potensi mereka dan "menikmati". Di mana dalam kata-kata Mortimer Adler (2015), berbunyi.. "As fully as possible all the goods that make a human life as good as it can be” (semua barang semaksimal mungkin akan membuat kehidupan manusia menjadi baik).

Oleh: Abdy Busthan

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry

Humanisme sebagai sebuah gerakan kemanusiaan telah banyak mengalami proses penafsiran dan penuntunan kata yang relatif panjang. Makna kata tersebut perlu ditelusuri dalam perspektif etimologis dan historis.

Menurut Busthan Abdy (2017:20), secara etimologis, istilah humanisme sangat erat kaitannya dengan kata latin klasik, yakni humus, yang berarti ‘tanah’ atau ‘bumi’. Dari istilah ini muncul kata homo yang berarti 'manusia' serta humanus yang menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi”. Istilah yang senada dengannya adalah kata Latin “humilis”, yaitu kesederhanaan dan kerendahan hati.

Pada abad pertengahan, kaum terpelajar dan Klerikus yang terpengaruh dari pandangan filosofis dan teologis Agustinus serta Thomas Aquinas, sepaham juga dengan St. Agustinus yang memandang manusia tidak sekedar hanya makhluk kodrati saja, tapi juga makhluk Ilahi, yaitu dengan mengembangkan pembedaan antara divinitas dan humanitas yang dipahami sebagai suatu praksis kehidupan manusia dalam dunianya yang khas.

Bisa disimpulkan bahwa perspektif humanisme pada masa Yunani klasik berangkat dari pertimbangan-pertimbangan yang kodrati tentang manusia. Sedangkan perspektif humanisme pada abad pertengahan, berawal dari keyakinan dasar tentang manusia sebagai makhluk kodrati dan adikodrati.

Namun, gerakan humanisme yang dipahami secara spesifik dan secara murni sebagai gerakan kemanusiaan, sebetulnya baru berkembang pada zaman “renaissance”, terutama berkaitan dengan menurunnya minat kaum terpelajar (umanisti) untuk mempelajari tulisan-tulisan klasik (Yunani-Romawi)—bahkan karya-karya klasik pada saat itu justru dimodifikasi dengan gerakan kesadaran intelektual untuk bisa menghidupkan kembali literatur-literatur Yunani-Romawi.

Dalam bukunya yang berjudul “Humanisme dan Sesudahnya”, seorang Doktor lulusan Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman, Hardiman Budi (2012), menghadirkan pemahaman baru tentang humanisme melalui penjelasannya yang mendalam dan mendetail, bahwa ketika humanisme dibicarakan kembali saat-saat sekarang ini (sesudah masa humanisme), bukan dalam arti bahwa kemanusiaan itu memang telah usang dan tidak perlu diperjuangkan lagi.

Dalam memahami makna "humanisme" sesudah masa humanisme, maka perlu dipahami ke-13 poin humanisme berikut:

Pertama. Paham yang mengatakan bahwa gagasan besar tentang manusia perlu untuk ditinjau lagi dan dibebaskan dari metafisika kemanusiaan yang bercokol didalamnya, adalah semata-mata merupakan sebuah jeda kecil dalam gelombang perbincangan yang selama ini telah menjadi hegemonial. Alasan peninjauan kembali paham ini adalah pada kejadian-kejadian di Auschwitz, Hiroshima, Gulag, Killing Fields, Sebrenica, dan puluhan tempat pembunuhan massal lain pada abad ke-20. Sebab tragedi kemanusiaan yang telah terjadi pada tempat-tempat ini, sesungguhnya menyingkapkan bagaimana kemanusiaan tanpa Tuhan, yaitu suatu kondisi dimana manusia bermain sebagai Tuhan, dan berakhir pada kemanusiaan tanpa manusia—suatu keadaan dimana manusia konret dianggap berlebihan dihadapan konsep abstrak kemanusiaan.

Kedua. Ketika manusia menjadi ukuran bagi segala sesuatu, oleh pikiran manusia sendiri, maka kemanusiaan manusia berubah menjadi instansi abstrak yang tidak tertanggungkan oleh manusia kongkrit. Kondisi seperti ini ditandai dengan pudarnya rasa “takut akan Tuhan” yang di dalam tradisi kuno masih dianggap sebagai sumber kebijaksanaan—keadaan berubah menjadi takut akan manusia lain yang merupakan pangkal segala perversi (kelainan seksual).

Ketiga. Alasan lain di abad-21 ini, dalam mendesak untuk memikirkan kembali humanisme sekuler adalah serangan terorisme internasional atas menara kembar World Trade Center di Manhattan USA pada tanggal 11 September 2001 atau yang dikenal dengan kode 9/11. Dalam kaitannya dengan tragedi ini, topik hubungan antara Iman dan Nalar, perlu diperdalam lagi untuk memahami tentang kemanusiaan yang sesungguhnya. Artinya bahwa, membela manusia tidak lagi dapat dilakukan dengan menyingkirkan dan mengabaikan agama, seperti yang telah dilakukan oleh humanisme sekuler modern pada tragedi 9/11 tersebut. Karena pada tragedi 9/11 sudah menyingkapkan bahwa “fideisme” yang merupakan doktrin bahwa kepercayaan (fides) religius adalah satu-satunya sumber kebenaran, tidak pernah sungguh-sungguh diatasi. Sementara peradaban sekuler hanyalah membungkam aspirasi-aspirasi religius ke dalam tembok-tembok ruang privat saja. Karena masyarakat tidak pernah sungguh-sungguh untuk saling mengerti.

Keempat. Toleransi biasanya dibangun hanyalah bersifat semu, yang juga dilakukan hanya dengan sebatas gencatan senjata saja, yaitu dengan pengalihan perhatian berlebihan ke arah pertumbuhan pasar kapitalistis.

Kelima. Antroposentris (berpusat pada manusia) dalam humanisme Barat, sebenarnya sudah ditantang secara teoritis oleh postmodernisme, yaitu dalam tatanan praksisnya tampak pada krisis ekologis dalam bentuk pemanasan global dan berbagai bencana lingkungan, seperti Tsunami di Aceh dan Jepang. Sehingga dengan tragedi 9/11, antroposentris ditantang oleh kebangkitan kembali fideisme dan cara-cara berpikir teosentris.

Keenam. Relativisme dan Nihilisme yang dibawa dalam rasio sekular—dengan tanpa dimaksudkannya sendiri/tanpa di sengaja, justru telah menyediakan ruang bagi fundamentalisme agama. Karena di tengah-tengah krisis dan disorientasi nilai, sikap-sikap fundamentalistis memiliki daya tarik tersendiri dalam jiwa yang mencari kepastian dan koherensi.

Ketujuh. Dasar “intelektual” bagi paham deisme dan ateisme adalah hukum naturalisme yang merupakan suatu keyakinan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan naluri-naluri alamiah yang bersifat non-spiritual dan material belaka. Sehingga dalam perkembangannya, naturalisme dan evolusionisme Darwin banyak mendominasi sains modern dan juga dalam praksis mengusir berbagai segi-segi misterius dan sakral dalam diri manusia

Kedelapan. Berangkat dari tragedi berdarah 9/11, maka sesudah 9/11 adalah era yang menyadari berbagai patologi akal dan kepercayaan manusia, sehingga humanisme pada era ini harus dimaknai dengan melihat kembali aspek ganda di dalamnya—yaitu aspek negatif-kritis dan positif-konstruktifnya. Maka dari kedua aspek ini, humanisme tetap merupakan sebuah jawaban yang diperlukan dewasa ini.

Kesembilan. Agama, khususnya otoritas-otoritas di dalamnya, menuntut sikap percaya sambil—jika perlu—bisa memadamkan nalar yang “berlebihan’, karena bisa menjadi godaan bagi seseorang untuk tidak percaya. Karena tak ada pihak yang lebih diuntungkan daripada mereka yang berhasil mengusir akal demi meraih loyalitas dari sesamanya.

Kesepuluh. Sebenarnya sejak awal, bukanlah iman kepada Tuhan yang dipersoalkan dalam humanisme, melainkan perversi (penyimpangan paham) kepercayaan religius. Hal ini timbul dikarenakan agama menyediakan rasa takut berlebihan yang dapat mencapai ciri-ciri patologis; agama membuat manusia justru lari dari nasibnya sendiri; agama memasung kebebasan berpikir dan banyak mengklaim kekuasaan total yang membuat perwujudan diri pribadi manusia menjadi tidak mungkin, dan seterusnya.

Keseblas. Dibutuhkan kejernihan dan keteguhan dalam menggunakan nalar, tanpa harus tergelincir masuk ke dalam para penghujat iman. Dimana “hermeneutuc of suspicion” tetap dipraktikkan ketika kebenaran agama sedang didekati. Karena cahaya nalar menjangkau sumber-sumber inspirasi yang paling profetis dalam iman religius untuk dibiarkan bicara bagi kemanusiaan. Sebab sesungguhnya kemanusiaan yang otentik berkembang dalam kesadaran akan batas-batasnya, yaitu dalam kontras dengan Yang tak Terbatas. Siapakah Yang Tak Terbatas? Dialah sang pemilik nalar dan kemanusiaan autentik

Keduabelas. Belajar dari kebenaran agama tidak harus sama dengan menganut agama itu. Sebagaimana nampak pada pernyataan sang ‘humanis lentur’, Driyarkara, bahwa: ..“menerima adanya orang-orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi tidak ikut agama tertentu”, karena pengenalan akan ketuhanan tidak dapat dikerangkeng dalam terali-terali institusional dan sangkar-sangkar konseptual.

Ketigabelas. Nilai intrinsik yang dimiliki manusia, tidaklah diasalkan dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan dari segala sesuatu yang sama sekali lain daripada dirinya, kepada—mengutip kembali Anselmus—aliquid quo maius nihil cogitari (sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak bisa dipikirkan), dan di dalam sekularitas, Yang Selalu Lebih Akbar daripada Segalanya ini, tetap akan tinggal tidak bernama (Hardiman, 2012).

Oleh: Abdy Busthan
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget