Ads

Cabang Filsafat (Oleh: Abdy Busthan)

Mempelajari aliran-aliran filsafat berarti merujuk pada bagaimana mengembangkan filsafat ilmu pengetahuan. Secara universal, cabang ilmu filsafat itu terdiri dari enam bagian, yaitu: epistemologi, estetika, etika, filsafat politik, logika dan metafisika.

(1) Epistemologi
Epistemologi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu kata: epistime yang artinya pengetahuan, dan akhiran -logi yang berarti "wacana" (berasal dari bahasa yunani "logos" yang berarti "wacana").

Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan? bagaimana karakteristik dari pengetahuan? Bagaimana macam-macam pengetahuan? Bagaimanakah hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan?

Kajian tentang ilmu pengetahuan disebutkan dengan epistemologi. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman data-data indra, benda-benda memori, keadaan internal, diri kita sendiri, orang lain atau benda-benda fisik. Pada titik ini, filsafat ilmu merupakan alat untuk melakukan tela'haan tentang struktur ilmu.

Ilmiah adalah ilmu. Jadi, berpikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia untuk menemukan atau mendapatkan ilmu yang bercirikan dengan adanya kausalitas, analisis, dan sintesis. Dalam epistemologi atau perkembangan untuk mendapatkan ilmu, diperlukan adanya sarana berpikir ilmiah.

Sarana berpikir ilmiah ini adalah alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Jadi, fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah untuk mendapat ilmu atau teori yang lain (Daito Apollo, 2011).

Jelaslah bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang lebih banyaknya berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya, serta bagaimana pertanggungjawaban segala pernyataan-pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki manusia.

Pengetahuan tersebut diperoleh melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode seperti berikut ini:

Empirisme, adalah suatu metode dalam filsafat yang mendasarkan cara-cara memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan, akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi manusia dengan dunianya. Akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti, semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian, itu bukan pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

Rasionalisme, menegaskan bahwa setiap sumber pengetahuan, terletak pada akal budi. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman setidaknya dapat dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam barang atau diri sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran manusia dan hanya diperoleh dengan akal budi saja.

Fenomenalisme, Raja Fenomenalisme atau Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant yang membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri, merangsang alat inderawi manusia dan diterima oleh akal, dalam bentuk-bentuk pengalaman yang disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karenanya, manusia tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang nampak kepada kita. Artinya, pengetahuan adalah tentang sebuah gejala (Phenomenon). Menurut Kant, penganut empirisme bisa benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pengalaman—meskipun benarnya hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga bisa benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri, terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

Intusionisme, merupakan sarana mengetahui secara langsung. Analisa, atau suatu pengetahuan yang diperoleh dengan pelukisan, tidak dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme ialah, paham ini memungkinkan adanya bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati indera. Data yang dihasilkannya merupakan tambahan bagi pengetahuan, di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian, pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif. Intusionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme—setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk—hanya mengatakan bahwa, pengetahuan yang lengkap adalah yang di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan pengetahuan yang nisbi—yang meliputi sebagian saja—yang diberikan oleh analisis. Apa yang diberikan oleh indera, hanyalah apa yang tampak saja, sebagai lawan dari yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang tampak pada manusia, karena hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan keadaannya secara nyata.

Dialektis, merupakan tahapan logika yang banyak mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari, dialektika adalah kecakapan dalam melakukan perdebatan. Teori pengetahuannya lebih berbentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran saja, tetapi pemikiran seperti sebuah percakapan yang bertolak dari dua kutub.

(2) Estetika
Estetika berasal dari bahasa Yunani aisthetikos, yang artinya "keindahan” atau sensitivitas kesadaran yang berkaitan dengan persepsi sensorik, dan merupakan turunan dari kata aisthanomai, yang berarti saya melihat, meraba, dan merasakan.

Pertama kali istilah ini digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada tahun 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan. Itu sebabnya estetika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang keindahan.

Estetika merupakan ilmu membahas bagaimana keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.

Keindahan seharusnya sudah dinilai saat karya seni pertama kali dibuat, namun rumusan keindahan pertama kali didokumentasi oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan.

Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan.

Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa-masa populernya “de Stijl” di negara Belanda, ‘keindahan’ berarti kemampuan memadukan warna dan ruang serta kemampuan mengabstraksi benda.

Pada perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya.

Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan, dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya di nilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan tertentu.

(3) Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ethikos", yang berarti "timbul dari kebiasaan". Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dari dalam pendapat-pendapat spontannya. Kebutuhan akan refleksi itu akan dirasakan, antara lain karena pendapat etis seseorang tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap perbedaan itu.

Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Sebab itu, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu.

Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi, berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

(4) Filsafat Politik
Filsafat Politik adalah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari tema-tema seperti: politik, kebebasan, keadilan, hak milik, hak, hukum, pemerintahan, dan penegakan hukum oleh otoritas.

Beberapa pertanyaan utama dalam ilmu filsafat politik antara lain adalah: apa yang melegitimasi otoritas suatu pemerintahan? Hak-hak dan kebebasan apa saja yang dimiliki warga negara dan harus dilindungi oleh pemerintah? Dan apa saja tugas warga negara dalam pemerintahan?

Beberapa filsuf dalam bidang filsafat politik yang penting pada era modern adalah Thomas Hobbes, Machiavelli, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, John Rawls, dan Jurgen Habermas.

(5) Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno: “logos”, yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Karena itu, logika adalah salah satu cabang filsafat.

Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (bahasa Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional seseorang untuk mengetahui; dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan “masuk akal”.

Logika adalah ilmu pengetahuan dengan objek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan objek formal logika adalah berpikir atau suatu penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.

Itu sebabnya logika merupakan sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk menaruh pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran orang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.

Dalam hal ini logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran.

Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah contoh-contoh dari logika formal.

Dasar penalaran dalam logika yakni deduktif dan induktif.

Penalaran deduktif. Kadang disebutkan logika deduktif, yaitu suatu penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya.

Contoh argumen deduktif:
Setiap mamalia punya sebuah jantung
Semua kuda adalah mamalia
∴ Setiap kuda punya sebuah jantung

Penalaran induktif. Kadang disebutkan dengan logika induktif, yaitu penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk dapat mencapai kesimpulan umum.

Contoh argumen induktif:
1. Babi Soe punya sebuah jantung
2. Babi Rote punya sebuah jantung
3. Babi Flores punya sebuah jantung
4. Babi Alor punya sebuah jantung
5. ∴ Setiap Babi punya sebuah jantung

(6) Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis terhadap hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat, meliputi realitas yang di kaji.

Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi, dan setiap masa dan filsuf, tentu memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum topik analisis metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktual dan karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antar keberadaan seperti pembahasan mengenai kausalitas, posibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya (Wikipedia, 2017).

Mengingat jangkauan kajian yang dipusatkannya, maka metafisika menjadi disiplin ilmu yang fundamental dalam kajian filsafat. Sepanjang sejarah kefilsafatan, metafisika banyak menjangkau problem-problem klasik dalam filsafat teoretis. Umumnya, kajian metafisika menjadi "batu pijakan" atas struktur gagasan kefilsafatan dan prinsip lebih kompleks untuk menjelaskan problem lainnya.

Sehingga, dalam pemahaman metafisika klasik, metafisika membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang jawaban-jawaban atasnya dapat digunakan menjadi dasar bagi pertanyaan yang lebih kompleks.

Misalnya, adakah maksud utama dalam beradanya dunia ini? Apakah keberadaannya sebatas keberadaan yang "mengada" atau dependen terhadap keberadaan lainnya? Apakah tuhan itu? Apakah tuhan-tuhan ada? Lalu, jika ada, apa saja hal-hal yang bisa manusia tahu atau tidak tahu tentangnya? Benarkah terdapat hal semacam intellectus, terutama dalam pembahasan mengenai pembedaan antara problem pemisahan entitas jiwa–badan? Apakah jiwa sesuatu yang nyata, dan apakah ia berkehendak bebas? Apakah segalanya tetap atau berubah? Apakah terdapat hal atau relasi yang selalu bersifat tetap, yang bekerja dalam berbagai fenomena?, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Objek bahasan metafisika bukan semata-mata hal-hal empiris atau hal-hal yang dapat dijangkau oleh pengamatan individual, melainkan hal-hal atau aspek-aspek yang menjadi dasar atas realitas itu sendiri. Klaim-klaim atas metode dan objek kajian metafisika telah menjadi problem perenial kefilsafatan.

Itu sebabnya, pembahasan mengenai metafisika memiliki berbagai sub bahasan. Misalnya pembahasan sentral metafisika adalah ontologi, yaitu proses analitis dan klasifikasi berdasarkan prinsip-prinsip kategori keberadaan dan relasi di antaranya. Bahasan sentral lainnya seperti tentang kosmologi metafisik, yaitu kajian mendalam atas prinsip keberadaan dunia, realitas, asal mula, dan makna keberadaan atasnya.

Oleh: Abdy Busthan

Posting Komentar

[facebook][disqus]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget