Articles by "Artikel Anda"

Mungkin saja benar, jika dikatakan bahwa dalam dunia pendidikan di negara ini, pemerintah selalu membuat kebijakan-kebijakan yang konon katanya “berguna” untuk perbaikan tatanan sistem pendidikan yang ada. Benar juga, jika dikatakan pula bahwa, pemerintah selalu menemukan hal-hal baru yang konon katanya untuk memperbaiki seluruh sistem pendidikan kita dari Sabang sampai Merauke.

Namun rasanya tidak benar, jika dikatakan bahwa dunia pendidikan di republik ini menjadi maju dan semakin baik. Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, sebab pada kenyataannya, justru yang terjadi menunjukkan dengan pasti bahwa dunia pendidikan kita semakin jauh dari ruh konstruktifnya, bahkan selalu saja terkungkung dalam singgasana kehancuran yang tidak seorang pun tahu kapan akan berakhir.

Bayangkan saja, ada begitu banyak jumlah lulusan dari sekolah-sekolah saat sekarang ini yang tersebar di seluruh pelosok nusantara tercinta, yang hanya bisa menjadi "pencari kerja" dari pada pencipta lapangan kerja sendiri.

Banyak pula para alumnus dunia pendidikan kita yang bekerja justru tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang telah di pelajarinya. Sehingga mereka pun tidak tahu akan dunia kerja yang dimasukinya. Jangankan kemampuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan.

Pada kenyataannya, hampir setiap siswa lanjutan atas dari perguruan tinggi yang ada, justru tidak memahami bidang keahlian yang dipelajarinya bertahun-tahun. Sehingga ketika mereka berhasil mendapatkan pekerjaan, beberapa banyak dari mereka yang tidak mampu memberikan unjuk kerja yang terbaik serta tidak merasa nyaman dengan pekerjaannya. Alhasil, maka hal ini semakin berdampak pula pada etos kerja dalam skala yang lebih buram (baca: tidak jelas).

Jika dilakukan analisis mendalam tentang realitas dunia pendidikan kita seperti yang digambarkan di atas, maka akan tampak bagaimana suatu dampak pedagogis dalam pelaksanaan proses pendidikan yang lebih menitikberatkan pemberian materi dan penentuan hasil belajar, yang justru hanya berkutat pada aspek kognitif saja.

Dalam hal ini, kebanyakan pendidik hanya terfokus bagaimana menuntaskan materi, tanpa memperhatikan keadaan peserta didik dalam menyerap materi yang mereka berikan. Dengan begitu, dampak negatif dari segi psikologis dan pedagogis akan terus bersemayam abadi dalam kultur sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga hal ini akan secara terus menerus terulang kembali hingga tidak pernah menemui akar persoalan yang sebenarnya.

Seharusnya, para pengambil kebijakan pendidikan di negara ini lebih banyak lagi belajar pada negara Finlandia yang menjadi salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia saat ini. Dimana peraih penilaian internasional yang dilakukan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan tes PISA oleh siswa Finlandia menempatkan negara Finlandia pada urutan negara terbaik di dunia oleh sistem pendidikannya.

Sederhana saja, bahwa negara Finlandia dapat sukses dalam sistem pendidikannya, dikarenakan mereka selalu membatasi tes siswa seminim mungkin, mengutamakan tanggung jawab sebelum akuntabilitas, meningkatkan pengajaran, serta mendukung kepemimpinan sekolah dan dinas pendidikan level daerah untuk menjadi profesional di bidang pendidikan.

Tentu terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih bersikukuh dalam memaksimalkan tes untuk menentukan mutu pendidikan. Negara Finlandia justru sebaliknya, mereka cenderung meminimumkan tes dalam sistem pendidikannya. Dalam sistem yang dibangunnya, Finlandia mempercayakan potensi siswa kepada guru yang mendidik mereka, sehingga terdapat sistem kepercayaan dan tanggung jawab dalam pelaksanaan sistem pendidikan untuk mencetak generasi yang unggul menurut masing-masing kecerdasan yang dimiliki oleh siswa. Dengan itu, maka atmosfer belajar yang terbangun dalam sistem pendidikan Finlandia nampak sangat rileks dan jauh dari rasa takut dan beban untuk para siswa.

Titik Nadir
Jika sebuah ukuran digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan sekolah-sekolah formal yang berada di republik ini, maka ukuran itu akan berada pada sebuah titik ‘noun’, yang sering dikenal dengan sebutan titik nadir, yaitu titik paling terendah. Istilah ini biasa digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan ketidakberdayaan dan keterpurukan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup. ”Sudah jatuh tertimpa tangga”, demikian cemerlangnya sebuah peribahasa klasik yang kurang lebih bisa menggambarkan arti dari titik nadir itu.

Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, sebab fenomena lahan bisnis nan endemik tetapi juga non sistemik, sering muncul dan tampil sebagai sebuah arena konsesus yang semakin membudaya dalam sistem pendidikan kita, sehingga menghadirkan hegemoni dan resistensi yang bukan saja ranah dimana sosialisme sebuah kultur terbentuk sepenuhnya, tetapi ia juga adalah suatu tempat dimana sosialisme menjadi legalitas semata, sebagaimana yang konon pernah dipaparkan Stuart Hall tentang sebuah ambiguitas budaya pop (dalam Busthan Abdy 2016:9-10)

Akhirnya, jargon-jargon politik pencitraan semakin liar dan beringas memperkokoh ‘kolaborasi cantik dan manis’ yang di lakoni sang penguasa dengan si pengusaha, dalam usahanya menggiring dunia pendidikan kepada kehancuran (mungkin saja, kehancuran kekal) yang entah kapan akan berakhir?

Alhasil, hanya sekelompok habitat elit-sosial saja yang bisa mengakses pendidikan yang cukup baik; tetapi juga tidak menjadi lebih baik. Sedangkan kaum miskin akan mempertahankan kemiskinan untuk tetap pada posisinya—bahkan mungkin bisa lebih turun satu tingkat lagi ke bawah, menjadi kaum marjinal yang secara terus-menerus merana dalam sebuah kondisi yang di sebut “proses kemelaratan yang sangat sempurna”.

Dalam kondisi seperti ini, bibir pun seakan berucap...“hanya Tuhan yang tahu, sebab memang hanya Tuhan saja tahu”, setidaknya demikian adanya sebuah kalimat klasik yang sering digunakan ketika seseorang mengalami kondisi pasrah sempurna. Sehingga sang Paulo Freire (2008) tampil pada masanya dengan menyebutkan ihwal ini sebagai “victims of oppression” alias ‘korban penindasan, juga penistaan’.

Ibarat sebuah pertempuran sengit di medan laga, korban-korban pun mulai berjatuhan, lalu bergentayangan untuk melengkapi struktur kabinet dehumanisasi yang mengakar abadi dalam sistem Pendidikan Nasional. Sehingga semakin hari, semakin membuat kebebasan berpikir, berkreasi dan bertindak menjadi sesuatu yang unik dan langkah untuk didapatkan. Bahkan lebih dari pada itu, dunianya para pelajar yang seharusnya terpelajar, justru semakin tampak primitif dan jauh dari keberadaban yang sebenarnya harus beradab.

Meminjam sepengggal kalimat Oliver Gary (2013), bahwa pada masa ini banyak sekali anaconda filosofis, relasional, sosial serta spiritual yang berkeliaran dan siap untuk menelan siapa saja yang ingin ditelannya. Sebagaimana ditekankan lebih lanjut oleh Oliver, bahwa hanya satu saja langkah awal yang harus di ambil ketika menghadapi seekor anaconda, yaitu “jangan lari”! Mengapa? Karena anaconda ini dapat bergerak sepuluh kali lebih cepat dari mangsanya.

Menarik untuk menjadikan bahan komparatif dengan meletakkan apa yang di ungkapkan Oliver ini ke dalam realiatas nyata dunia pendidikan kita. Bahwa ketika menghadapi kesulitan, tantangan dan persoalan, banyak pihak kemudian lari dan menghindari persoalan tersebut. Bahkan ironisnya, justru pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya semakin berlindung di balik sesuatu yang terkadang sangat “keramat’ untuk di dengar, bahkan di ucapkan, yaitu “kebijakan”.

Akhirnya, kebijakan pada titik ini tampil menjadi sosok ‘figur popular’ dari hikayat heroik—seperti sang ‘moschuach’ yang biasanya dilukiskan bangsa Yahudi sebagai sang penyelamat sejati.

Kontras
Jika kenyataan kontras dengan pemahaman, maka pemahaman akan kontras dengan harapan. Dan jika pun harapan menjadi pelengkap sistem kontras dari keduanya (kenyataan dan pemahaman), maka selayaknyalah sebuah ‘kebijakan’ muncul sebagai aturan yang memihak pada realitas dimana ‘kontras’ itu terjadi, bukan membuat kontras itu semakin menjadi-jadi.

Kontras adalah pertemuan 2D, yaitu bertemunya “diskriminasi” dan “demokrasi”. Kontras hadir ketika diskriminasi tampil sebagai figur kuat dalam alam demokrasi. Dalam lingkup pendidikan, kontras merupakan saudara kembarnya diskriminasi, yang kedua-duanya dilahirkan secara sempurna dari kawin-mawinnya perkawinan silang antara sistem yang ditetapkan dan sistem yang dilaksanakan.

Dalam hal ini, “kontras” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “dilaksanakan”. Sementara “diskriminasi” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “ditetapkan”. Artinya bahwa, wujud dari “diskriminasi” dalam dunia pendidikan, sebenarnya merupakan sesuatu yang terjadi di luar jalur, sebagaimana dalam tataran praksisnya, justru dengan sendirinya, terjadi pemisahan antara kebijakan pendidikan dan peraturan yang berlaku di beberapa sekolah-sekolah formal sebagai lembaga kependidikan.

Padahal, secara tegas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sudah menjamin hak atas pendidikan bagi semua anak, tanpa terkecuali. Bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama, serta jauh dari tindakan diskriminatif, termasuk juga didalamnya perlakuan yang mendeskritkan pelajar penyandang disabilitas dan penyandang cacat. Berlandaskan undang-undang tersebut, seharusnya segala bentuk praktik eksklusivitas di dunia pendidikan harus dihapuskan dari semua jenjang pendidikan sejak pendidikan usia dini hingga jenjang perguruan tinggi.

Sesuatu yang kontras memang sering bersinar menerangi dunia pendidikan di republik ini. Salah satu fakta diskriminatif yang pernah terjadi dan berdampak hingga saat ini, yaitu peristiwa di awal tahun ajaran 2013/2014, dimana salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) menolak pelajar yang dalam kondisi difabel.

Menurut sumber berita, alasan pihak sekolah melakukan penolakan adalah semata-mata dengan sebuah alasan, bahwa belum tersedianya fasilitas belajar mengajar (lihat http://jateng.tribunnews.com/2013/06/25/siswa-difabel-di-klaten-ditolak..).

Menurut informasi yang diperoleh, konon katanya sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas yang cukup, mulai dari tempat hingga Guru Pendamping Khusus (GPK) yang dapat melayani kebutuhan pelajar difabel. Jika saja orang tua dari pelajar difabel berani mengemukakan serta melaporkan kejadian diskriminatif yang menimpa anak mereka tersebut, maka kejadian di Klaten ini, bukanlah kejadian satu-satunya yang terjadi di negeri ini.

Pada titik ini, maka sesungguhnya karakter lembaga pendidikan yang menjalankan UUD 1945 menjadi sangat “kontras” dan tidak berjalan semestinya. Sehingga hal ini hanya menghasilkan semacam proyek “diskriminatif” dan melahirkan sekolah-sekolah yang bertaraf ekslusif dari pada inklusif saja.

Sebenarnya, jika seorang siswa memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan memiliki kesehatan mental yang normal—tidak di diagnosa sama sekali mengalami gangguan jiwa—dan mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun dilarang melanjutkan dengan alasan mengalami kekurangan fisik seperti tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, maka artinya, pemerintah sebagai penyelenggara dari kebijakan pendidikan yang telah ditentukan, telah dengan sengaja menghianati amanat kebijakannya sendiri dengan sepenggal titah “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yaitu dengan menutup akses dan pemerataan pendidikan bagi siswa disabilitas atau difabel.

Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, seharusnya bisa dijadikan dasar hukum yang tegas untuk ‘memaksa’ lembaga pendidikan tidak bersikap apatis terhadap anak didik yang masuk dalam golongan difabel misalnya.

Penghapusan rintisan sekolah berstandar internasional merupakan langkah awal meminimalisasi adanya sekolah eksklusif yang bertentangan terhadap UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga negera berhak memperoleh pendidikan yang sama. Seharusnya, langkah awal itu semestinya dilanjutkan agar praktik ke-ekslusifan di dunia pendidikan segera musnah dan tidak berkepanjangan, sehinggga mengorbankan kurang lebih 184.000 pelajar difabel usia sekolah yang berada di Indonesia.

Semua persoalan-persoalan pendidikan yang ada, jika di telaah secara mendalam, maka akhirnya akan bermuara pada satu bagian mendasar, yaitu “kebijakan” pendidikan. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu negara. Dalam pemahaman bahwa, penyelenggaraan pendidikan di setiap lembaga pendidikan, tidak akan pernah lepas dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan dalam negera tempat lembaga pendidikan itu berada.

Karenanya maka perbaikan kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial, harus dijadikan hal yang urgen untuk ditinjau kembali. Dan agar perbaikan-perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan efektif, maka dibutuhkanlah pisau analis yang tajam dalam memangkas setiap ranting kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial tersebut.

(Oleh: Abdy Busthan)

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Analisis Kebijakan Pendidikan (hal. 7-16). Kupang: Desna Life Ministry

Humanisme merupakan suatu istilah umum dari berbagai perbedaan pemikiran yang diletakkan sebagai “center for a way out” (pusat solusi atau jalan keluar), yaitu dalam menanggapi isu-isu yang banyak berhubungan dengan “manusia”. Dalam hal ini humanisme menyatakan bahwa alasan untuk segala keberadaan, adalah kebahagiaan manusia. Dalam artian bahwa manusia dalam kemanusiaannya, akan memanusiakan dirinya secara lebih manusiawi

Titik Awal Humanisme
Semula humanisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mempromosikan harkat dan martabat manusia. Sebagai pemikiran etis yang menjunjung tinggi keberadaan insan manusia, humanisme menekankan hal-hal tentang harkat, peran, dan tanggungjawab, seturut keberadaan manusia itu sendiri. Singkatnya manusia mempunyai kedudukan yang istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk lainnya.

Menurut Busthan Abdy (2017:7), istilah humanisme berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Latin, yaitu kata “humanis” dan “isme”. Humanis adalah manusia dan isme berarti paham atau aliran. Pandangan lainnya menyatakan istilah humanisme berasal dari kata “humanitas”, yang berarti pendidikan manusia. Dalam bahasa Yunani disebutkan sebagai “paideia”. Dimana kata ini populer pada masa Cicero dan Varro pada abad ke-14.

Ungkapan gerakan humanisme ini lahir di Italia dan menyebar ke seluruh Eropa. Kebetulan sistem pendidikan pada waktu itu menggunakan mata pelajaran “kesenian-kesenian bebas” yang terdiri dari seni kata (pramasastra, logika, retorika) dan seni benda (ilmu ukur, ilmu falak, dan musik).

Namun, jika ditelusuri kembali ke belakang, latar belakang munculnya humanisme sebenarnya disebabkan oleh tekanan-tekanan atas kebebasan manusia yang dilakukan oleh para penguasa dan pemuka agama pada abad-abad pertengahan di Eropa.

Humanisme sudah dikenal dan meluas sejak zaman perkembangan falsafah Yunani, yaitu dalam pemikiran Socrates dan para Sophis. Karena adanya dominasi dan sikap otoriter dari gereja pada saat itu, maka timbullah kondisi dimana aspirasi manusia sebagai individu diredam dan dibungkam.

Ketertutupan agama yang terorganisasi dengan konsekuensi pemberangusan manusia telah meletus dalam gerakan Renaissance. Menyusul kemunculan dua gerakan reformasi hasil Renaissance, yaitu reformasi Luther dan reformasi dalam betuk Humanisme, yang kemudian di susul dengan gerakan Renaissance dan Pencerahan.

Pada titik ini, maka Humanisme merupakan usaha untuk menekan kembali bagaimana peran manusia dan kemanusiaannya dalam dunia dan alam semesta.

Pengertian Humanisme

Mangun Harjana (1997) mengatakan bahwa pengertian humanisme adalah pandangan yang lebih menekankan martabat manusia dan kemampuannya. Menurut pandangan ini manusia bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan dengan kekuatan sendiri, maka ia (manusia) juga mampu mengembangkan diri sendiri dan memenuhi kepatuhan sendiri demi mengembangkan diri dengan memenuhi kepenuhan eksistensinya menjadi lebih paripurna (lengkap).

Seorang Teolog Protestan, Yohanes Verkuyl (2008), menjelaskan bahwa, humanisme sebenarnya merupakan “suatu sifat yang hanya berorientasi pada dunia ini (saeculum) dan menolak serta mengabaikan dunia kekekalan (aeternum)”. Pendapat ini nampak jelas dalam humanisme sekuler yang merupakan paham budaya dan pemikiran mengenai hidup yang didasarkan pada sikap “menolak Tuhan dan hal-hal yang bersifat adikodrati”, dan menggantikannya dengan “diri sendiri (self), ilmu pengetahuan (science), dan kemajuan (progress)”.

Petrarca (1304-1374), seorang pujangga Italia yang sangat terkenal, pernah menuliskan sepenggal kalimat dalam kumpulan syair-syairnya yang berbunyi, ..“Sebenarnya manusia tak usah mengakui kuasa apapun diatasnya; kaidah dan pusat hidup manusia, ialah pribadinya sendiri”.

Dari apa yang dikatakan Petrarca, nampak penonjolan “kekuasaan manusia” dan yang berdampak negatif dengan penolakan akan hal-hal adikodrat, dan yang dengan sendirinya penolakan ini adalah merupakan pemberontakan manusia terhadap otoritas Tuhan sehingga berdampak terus pada perkembangan selanjutnya—dimana banyak kalangan kemudian berbeda penafsiran dengan kalimat tersebut di atas.

Dalam penggunaan oleh F.C.S Schiller (2008) dan William James (1958, 1965), humanisme diangkat sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme filosofis. Ini tidak kembali ke pandangan protagoras. Alasannya, pandangan Schiller dan James dipandang melawan hal-hal absolut metafisis dan bukan yang epistemologis, yaitu dengan melawan dunia tertutup dari idealisme absolut. Karena itu, maka penekanannya pada alam atau dunia yang terbuka, serta pluralisme dan kebebasan manusia.

Beberapa kalangan justru membawa pemahaman akan humanisme ini pada lapangan humanisme sekuler yang memahami berdasarkan perspektif budaya dan pemikiran mengenai hidup yang didasarkan pada sikap “menolak Tuhan" dan "hal-hal yang bersifat adikodrati”, lalu menggunakan konsep Verkuyl di atas dengan menegaskan 3 hal: yaitu—1) “diri sendiri” (self), 2) ilmu pengetahuan (science) dan 3) kemajuan (progress), untuk membenarkan pandangan humanis yang menjurus kepada abortus, kumpul kebo, membunuh, ketidakadilan, kejahatan serta berbagai peyimpangan etis lainnya yang kemudian dianggap sebagai urusan manusia yang tidak perlu didasarkan pada ukuran “kemutlakkan Tuhan”.

Namun sebenarnya, jika di kaji lagi secara positif tentang kalimat Petrarca di atas, maka sebenarnya ia ingin menjelaskan dengan pasti bahwa humanisme telah mengangkat kembali manusia dari kebodohan jamannya dan membuka jalan bagi manusia, sehingga manusia mampu untuk mengembangkan segenap kemampuan-kemampuan intelektual yang sudah dimilikinya dalam mengamati gejala alam.

Dalam hal ini, konsep humanisme sebenarnya hanya pada perihal untuk mengembalikan manusia pada rasa peri-kemanusiaannya, tetapi yang substansialnya berbeda dengan peri-kemanusiaan yang terdapat dalam agama.

Dalam humanisme, peri-kemanusiaan adalah usaha mencari nilai-nilai yang ditempuh dengan cara-cara dan potensi dari dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai peri-kemanusiaan adalah hasil dari kebebasan dan usaha baik manusia itu sendiri.

Jadi, bisa dipahami bahwa humanisme merupakan pandangan yang banyak menyatakan bahwa manusia dapat memahami dunia serta seluruh realitanya dengan pengalaman dan nilai kemanusiaan bersama. Manusia dipandang akan bisa hidup baik tanpa agama sekalipun. Di sini para Humanis berusaha menciptakan yang terbaik bagi kehidupan dengan menciptakan makna dan tujuan bagi diri sendiri (Busthan Abdy, 2017: 11)

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry

Agama dan negara sudah lama berselingkuh di republik ini. Keduanya getol menjalin perselingkuhan secara diam-diam. Bahkan mendalam! Keduanya memang saling terpikat satu dengan lainnya. Negara selalu menggoda agama untuk menyetubuhinya dengan beragam fantasi brutal dalam bentuk-bentuk penindasan terstruktur seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dll, demi melanggengkan status quo. Begitupun sebaliknya. Akhirnya, tak ada kata yang pantas lagi selain mengatakan bahwa:

Agama adalah sebuah tirani! Ya, agama adalah tirani dalam negara!

Benar, apa yang dikatakan Yewangoe (2011:239) bahwa, agama adalah sebuah gejala kemanusiaan. Artinya, hanya manusialah yang mampu menyatakan perasaan dan praksis keberagamannya. Karena itu, agama sangat melekat pada manusia dan intensitas manusia menjalani praksis keberagamannya itu sendiri. Sehingga agama dengan segala atributnya jika tidak dipahami dengan arif, maka ia akan menjadi tempat yang paling mengasikkan untuk bercokolnya tirani-tirani kekuasaan. Kekokohan tirani ini yang kemudian dengan gagahnya berdiri dengan mengatasnamakan Tuhan.

Akhirnya, muncullah kolaborasi liar dan brutal antara agama dan kekuasaan, demi melenyapkan kebebasan dari mereka yang berbeda paham religius, bahkan yang bersinggungan paham politik dengannya. Bahkan, seakan mendewakan pahala, mereka lalu menghalalkan ambisi demi merindukan surga kehidupan yang semu. Pertanyaannya, inikah keagungan religius? Apakah penindasan sesama selalu di atas segalanya? Inikah titah Sang Semesta? Jika sebuah kekuasaan memang bagian dari dakwah, alangkah indah seandainya dunia tanpa agama.

Lembaga Keagamaan dalam Tirani
Max Weber (2012), dalam pembahasan panjang lebar tentang sosiologi agama, pernah menyatakan bahwa, kecenderungan teknologi dan birokrasi akan muncul dan melenyapkan agama sehingga ia pun dapat menguasai masyarakat modern, yang akhirnya muncullah hegemoni dan pemikiran sekuler.

Lebih lanjut dijelaskan Weber bahwa, hilangnya peran agama ditengah masyarakat dunia terutama diakibatkan oleh ciri religiusitas yang paling mendasar, yaitu hubungan sosial dan meyakini “hari depan”. Pada titik ini, korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi dalam bentuk apapun akan merugikan kepentingan orang lain dengan skala yang luas.

Dengan demikian, koruptor dan mafia birokrasi telah menunjukkan diri mereka sebagai bukan ciri mahluk yang sekuler apalagi religius. Alhasil, koruptor dan mafia birokrasi tidak akan lagi mempertimbangkan “hari depan” sebab mereka tidak memandang masa depan generasi berikutnya.

Merujuk pengertian korupsi yang dikemukakan oleh Hogwood & Peters (1985) dalam bukunya The Pathology of Public Policy, bahwa, korupsi merupakan perilaku yang termanifes dalam penggelapan dana atau materi yang seharusnya untuk kesejahteraan publik, tetapi digunakan memperkaya diri sendiri sehingga menimbulkan kerugian di pihak yang lebih luas.

Karenanya, maka kedua penulis buku tersebut menggolongkan korupsi sebagai pathologies of budgeting. Sedangkan manipulasi adalah publikasi terhadap kebijakan publik. Mari kita sinkronkan pemahaman ini ke dalam fakta realitas Lembaga Keagamaan di bumi Pertiwi ini.

Dalam perkembangan realitas bangsa Indonesia, tidak jarang lembaga-lembaga negara terjerumus dalam aneka tirani birokrasi dengan korupsi dalam skala besar-besaran. Selain kasus suap impor daging yang melibatkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Patrialis Akbar baru-baru ini, tentu masih banyak lagi rentetan kasus-kasus korupsi yang banyak sekali menggandeng lembaga-lembaga negara lainnya, seperti penyimpangan Lembaga Keagamaan Republik Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini.

Sebut saja beberapa kasus korupsi yang beberapa diantaranya belum tuntas keputusannys sampai detik ini, seperti: kasus korupsi Departemen Agama di kota Jayapura-Papua di tahun 2009, terkait dengan dana bantuan Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI yang diperuntukkan untuk 22 pondok pesantren yang ada di Papua.

Begitupun korupsi pengadaan perlengkapan laboratorium IPA Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah senilai Rp 77 milyar di tahun 2010. Tidak kalah pentingnya juga dengan korupsi pengadaan Kitab Suci Al-Quran di tahun 2011-2012, yang disinyalir merugikan negara hingga Rp 27 miliar, di mana kasus ini banyak sekali menyeret pejabat tertinggi di Kementerian Agama.

Tak luput pula kasus korupsi pada Koperasi Pegawai Republik Indonesia Departemen Agama Sidoarjo di tahun 2013, yang dilakukan oleh Lilik Handayani, mantan Kepala Tata Usaha (KTU) di Departemen Agama daerah Sidoarjo Surabaya.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan Lembaga Kementerian Agama ini, tidak hanya sampai di situ saja. Pada tahun 2012 misalnya, ditengah segala upaya pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus proyek IT Laboratorium komputer dan pengadaan Alquran di Kementerian Agama, akhirnya dari hasil penelusuran PPATK, terbongkarlah kepemilikan Rekening Gajah oleh Pejabat Kemenag.

Dan berbuntut penepatapan KPK atas bekas Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji periode 2012-2013 pada tanggal 22 Mei 2014, yang melakukan penyelewengan akomodasi haji dengan anggaran totalnya lebih dari Rp 1 triliun, di mana kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,8 triliun.

Di saat yang sama, Suryadharma Ali juga diduga menyalahgunakan wewenang karena membawa rombongan haji gratis yang terdiri atas keluarga dan koleganya serta anggota DPR.

Korupsi merupakan salah satu bentuk patologi sosial yang selalu ada dalam setiap peradaban. Tidak peduli peradaban kuno, modern atau pasca modern sekalipun, korupsi selalu hadir dan terkait dengan kepentingan banyak orang.

Korupsi juga tidak mengenal status sosial maupun latar belakang keagamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sekarang ini korupsi sudah menjadi semacam agama baru. Hal lain yang juga menarik adalah korupsi bukan saja terjadi dalam institusi-institusi sekuler, melainkan juga dalam institusi keagaman, seperti kasus yang dijabarkan di atas.

Ternyata korupsi benar-benar tidak mengenal aliran keagamaan dan iman apapun. Kapanpun, siapapun, dan di mana saja, hantu korupsi selalu siap mengerogoti martabat orang-orang yang konon disebut ‘beriman’. Di dunia politik apalagi. Ada tendensi, korupsi sudah menjadi ‘program utama’ partai, maupun pelaku politik. Praktek korupsi juga sudah menjadi semacam pekerjaan pokok para pejabat mulai dari pusat sampai desa-desa di seluruh wilayah negeri tercinta ini.

Fenomena penyimpangan masif birokrasi dari Kementerian Agama (Kemenag) seperti kasus-kasus di atas, sesungguhnya memberi sinyal yang sangat akurat bahwa peranan Kementerian Agama telah melenyapkan eksistensi agama, seperti pendekatan Weber yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ya, kasus seperti ini memberikan sinyalemen bahwa lembaga agama di republik tercinta ini memang sudah tidak dapat lagi dipercaya sebagai agen pembawa dakwah dan muara serta mata air kesejukan bagi umat.

Harus dipahami, bahwa mafia birokrasi berlebel Kementerian Agama adalah merupakan masalah krusil, sebab mengingat peran Kementerian Agama sendiri adalah bagian dari penyelenggaraan perlindungan hak asasi manusia yang pengamalannya melalui negara, dan yang dibatasi pula oleh Konstitusi dengan seperangkat alat perundang-undangan, demi untuk tercapainya tujuan negara.

Di Indonesia misalnya, lahirnya UU No. 1/PnPs/1965 dimaksudkan mengatur untuk pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama jo. UU No. 5 Tahun 1969 yang mengatur segala bentuk pernyataan berbagai penetapan dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, yang lebih banyaknya dimaksudkan melindungi segala penodaan dan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran suatu agama.

Berbagai perilaku korup mafia birokrasi Kementerian Agama tentu saja akan berbeda dampaknya dibandingkan birokrasi lain, karena institusi ini bersinggungan langsung dengan teritori yang sangat sensitif. Korupsi Kemenag juga berimplikasi pada pelanggaran HAM, yang secara sengaja dan terbuka menyatakan penodaan dan penistaan ajaran agama.

Alhasil, mafia birokrasi di Kementerian Agama tidak hanya menempatkan umat beragama sebagai korbannya, tetapi juga telah menyandera Pancasila dan Konstitusi sebagai rujukan Kemenag untuk mengintervensi teritorial Agama. Kementerian Agama bersifat khusus karena teritorial agama mengatur ritual dalam beribadah (Syariat) semua umat agama.

Di era otonomi saat sekarang ini, korupsi justru telah berpindah situs, dari Jakarta ke daerah-daerah. Walaupun, Jakarta masih menjadi top scorer terbesar di negeri ini. Pertanyaan yang sangat menggelitik untuk dicermati adalah, mengapa korupsi tidak bisa lenyap, bahkan semakin menggila? Mengapa Persepsi Indeks Korupsi Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan?

Sebagai bahan refleksi menghadapi beragam tirani kekuasaan, mafia birokrasi, korupsi, kekerasan, dll, yang getol menggandeng lembaga keagamaan, pemerintah harus konsisten dan tegas kepada siapa saja yang mau merusak moralitas negara dan agama. Sehingga tirani-tirani ngaur ngidul tidak lagi menjamur dalam wilayah religius. Sebab jika tidak, niscaya agama akan berganti nama menjadi tirani. Ya, tirani itu bernama lembaga agama!

(Oleh: Abdy Busthan
)

Ketika vonis 2 tahun dijatuhkan kepada Ahok, sebagian kalangan yang kontra (menolak) Ahok, mungkin menilai bahwa vonis yang diberikan hakim kepada Ahok adalah cermin sebuah keadilan. Artinya Ahok memang pantas di hukum karena positif bersalah, dan sebagai akibatnya maka Ahok harus di tahan selama 2 tahun, atau mungkin—menurut mereka—bisa saja 5 tahun.

Benarkah demikian? Jika benar, lantas bagaimana persisnya gambaran hubungan keadilan dan hukum atas dakwaan kepada Ahok tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, serta demi meluruskan anggapan sebagian kalangan di atas, maka kita harus bisa membedakan secara akurat, perbedaan hukum dengan keadilan.

Hukum bukanlah keadilan. Pada prinsipnya, hukum dan keadilan itu dua hal yang sangat berbeda. Hukum hanya bagian usaha untuk meraih keadilan dalam masyarakat saja, tetapi dia tidak sama persis dengan keadilan. Sedangkan keadilan memang mencakup hukum, namun hukum bukan satu-satunya cara menciptakan keadilan. Inilah yang mestinya dipahami terlebih dahulu.

Seharusnya, konstitusi negara Indonesia ini lebih berdasarkan pada keadilan, dan bukan berdasarkan pada hukumnya. Sederhananya, keadilan untuk hukum, bukan hukum untuk keadilan. Mengapa? Sebab hukum itu sangat rentan digunakan sebagai justifikasi atau apologi untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu serta segelintir orang. Dan memang, fakta yg sesungguhnya terjadi di negara ini adalah, bahwa hukum hanya dijadikan sebagai produk politik semata.

Terkait dengan tuntutan hukum kepada Ahok, jika saja kita berdiri dalam posisi yang netral, maka tentu kita tidak dengan serta-mertanya membenarkan tuntutan tersebut. Mengapa? Sebab, ada banyak fakta kebenaran yang tidak dimunculkan sebagai bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Berikut beberapa fakta kebenaran yang tidak diperhatikan Hakim dalam mengambil keputusannya.

a. Hukum Kausalitas (Sebab-Akibat)
Kasus Ahok bisa kita kaji berdasarkan substansi hukum kausalitas, yang menegaskan: apa yang mengakibatkan apa, adalah juga sebab dari yang mengakibatkan. Dalam filsafat, kausalitas (boleh dibaca: sebab-akibat) merupakan kenyataan di mana setiap fakta peristiwa adalah yang disebabkan oleh asal, penyebab, dan prinsip. Penyebab dari suatu peristiwa B misalnya, maka ia harus memenuhi 3 kondisi berikut:

Bahwa A terjadi sebelum B.
Yang selalu terjadi adalah B.
A dan B dekat dalam ruang dan waktu.

Demikian juga dalam kajian fisika, istilah kausalitas menggambarkan hubungan antara sebab dan akibat. Khusus fisika klasik, diasumsikan bahwa semua peristiwa hanya disebabkan oleh entitas (orang) sebelumnya. Klaim ini pada tingkat tertinggi, dapat ditemukan dalam laporan seorang ahli matematika dan astronom Perancis, Pierre Simon Laplace (1749-1827), yang mengatakan bahwa, jika Anda mengetahui keadaan dunia dengan presisi, seseorang dapat memprediksi setiap peristiwa di masa depan (ke depan). Pandangan ini disebut determinisme, atau tepatnya determinisme kausal. Jadi, prinsip kausalitas mendalilkan bahwa setiap efek—semua event—datangnya dari penyebab yang mengakibatkan.

Nah, jika hukum kausalitas seperti yang dijelaskan di atas, kemudian digunakan dalam kasus Ahok, maka Buni Yani adalah sebab yang menyebabkan akibat. Penggalan video editan Yani adalah fakta kebenaran yang tidak terbantahkan untuk menyatakan bahwa Yani adalah pelaku perbuatan tidak menyenangkan tersebut.

Berdasarkan hukum kausalitas atau sebab-akibat, Yani memiliki andil besar sebagai ‘penyebab’ yang mengakibatkan. Dapat dianalogikan bahwa, Yani adalah sebab B, yang membawa akibat A menjadi B. Artinya, dialah yang menyebabkan ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dengan mengutip dan mengurangi kata-kata Ahok dalam pidato di Kepulauan Seribu pada tahun 2016 secara tidak tepat. Sebagaimana terungkap bahwa Yani mengunggah editan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, disertai dengan transkipsi yang tidak sesuai dengan kata-kata Ahok. Sehingga muncul reaksi keras masyarakat yang sangat beragam kepada Ahok.

Jadi, sumber persoalannya adalah penggalan video yang mulanya berdurasi 40 menit, lalu di edit Yani menjadi potongan video berdurasi 13 detik. Video editan dengan durasi singkat inilah, yang membuat persoalan kemudian menjadi kian membesar. Bahkan menimbulkan reaksi keras masyarakat terhadap Ahok, yang pada akhirnya Ahok pun harus menerima kegagalan dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Seharusnya, perbuatan Yani yang dapat dijadikan dasar dalam membebaskan Ahok dari perkara ini. Sebab Yani adalah sebab yang mengakibatkan, seperti ditegaskan hukum kausalitas di atas.

b. Ketentuan ‘a quo’
Jika kita harus menempatkan diri pada posisi netral, kita akan menyadari bahwa ada proses yang terlewatkan ketika Ahok menjadi tersangka dan di vonis bersalah oleh hakim di pengadilan.

Secara subtantif, kasus ini seharusnya mengacu pada Penetapan Presiden No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pada Pasal 2 ayat (1) peraturan a quo, disebutkan bahwa barang siapa yang melakukan penodaan agama maka diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu, dalam satu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya pada Pasal 3 ditegaskan bahwa jika ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) tidak diindahkan maka otomatis pelaku akan dipidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

Nah, merujuk pada peraturan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa jika ada orang yang melakukan penodaan agama maka hal yang paling utama adalah diberikan “peringatan” terlebih dahulu oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, yaitu dalam bentuk surat keputusan bersama. Jika orang tersebut kemudian tidak mengindahkannya, maka orang itu harus dipidanakan dengan ancaman hukuman 5 tahun.

Artinya bahwa, ketentuan a quo sesungguhnya lebih mengutamakan tindakan preventif atau pencegahan, ketimbang tindakan represif. Hal ini tentu sejalan dengan filsafat pemidanaan, yang tercantum dalam kalimat.. nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur, yang artinya seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa.

Jadi, jelaslah bahwa dalam kasus Ahok, kita tidak melihat sama sekali “peringatan” yang diberikan terlebih dahulu. Ahok tidak diberi peringatan keras oleh negara melalui Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Karena itu, proses hukum terhadap Ahok sesungguhnya merupakan contradictio interminis dengan peraturan a quo. Sehingga tidak memenuhi prinsip rule of law. Dengan tidak adanya peringatan keras, maka menunjukkan bahwa negara telah dengan sengaja membiarkan pelanggaran proses hukum secara objektif kepada seorang Ahok. Adilkah ini?

c. Prinsip Normatif
Harus dipahami bahwa secara normatif, karakter penodaan agama berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Tidak akan mungkin terdapat kerugian individu secara langsung atas penodaan agama, kecuali terganggunya ketertiban dalam beribadah dan bermasyarakat. Atas dasar inilah maka seharusnya negara mesti memberi teguran terlebih dahulu sebelum memproses seseorang terpidana dengan hukum yang berlaku.

d. Kontradiktif Putusan Hakim
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah, kita harus mengajukan pertanyaan mendasar, apakah vonis Hakim sesuai dengan dakwaan Jaksa? Sebab terdapat setidaknya tiga pertimbangan majelis Hakim yang sangat kontradiktif di sini. Berikut ulasan singkatnya.

Pertama. Majelis hakim memberikan vonis kepada Ahok 2 tahun penjara dan langsung di tahan, yaitu dengan berpedoman pada Pasal 156a KUHP.

Sebelum diputuskan, Ahok telah dituntut oleh Jaksa dengan Pasal 156 KUHP, yang berupa pidana penjara 1 tahun, masa percobaan 2 tahun. Dan tidak ditahan. Meskipun dalam dakwaannya, Jaksa menggunakan dakwaan alternatif dengan menempatkan Pasal 156a KUHP sebagai dakwaan utama dan Pasal 156 sebagai dakwaan alternatif pertama, namun dalam tuntutannya, Jaksa justru menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP.

Apa artinya? Artinya Jaksa sangat menyadari, bahwa mereka tidak memiliki bukti yang akurat untuk menuntut Ahok dengan pasal penodaan agama. Tegas bahwa, dakwaan penodaan agama dalam perspektif Jaksa tidak dapat terbukti, sehingga dialihkan pada dakwaan alternatif pertama, yakni Pasal 156 KUHP.

Nah pertanyaannya, mengapa majelis hakim justru memberikan vonis kepada Ahok dengan menggunakan Pasal 156a KUHP? Sepertinya majelis Hakim berpatokan pada bukti pidato Ahok yang menyinggung Surat Al Maidah di Kepulauan Seribu sebagai alat bukti utama, yang kemudian dikuatkan dengan alat bukti keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Padahal jika Hakim ini objektif, seharusnya mereka menyadari bahwa ada friksi yang sangat tajam antara pendapat ahli JPU dengan ahli dari terdakwa.

Hal lainnya lagi, terkesan bahwa majelis Hakim ini justru secara diam-diam berusaha mengkonstruksi alat bukti sendiri, yang mana sebelumnya JPU sendiri justru sudah tidak yakin dengan alat bukti yang diajukannya. Nah, inilah bukti nyata bahwa kita memang sulit melihat hukum berjalan tegak berdiri dalam kasus Ahok. Sebab sesungguhnya hukum akan berkelindan dengan intervensi politik dan kekuasaan.

Kedua. Perintah penahanan Ahok murni pelanggaran kebebasan terhadap individu. Ahok tidak bisa ditahan karena kuasa hukumnya sudah menyatakan banding. Artinya, putusan hakim belum bersifat tetap atau berkekuatan hukum tetap, sehingga Ahok belum saatnya untuk di tahan.

Hal lainnya bahwa, Majelis hakim memerintahkan agar terdakwa segera di tahan. Secara kasat mata, kita dapat melihat bahwa sejak awal Ahok sangat kooperatif dan sopan saat menghadiri persidangannya. Maka seharusnya, pada tahap penyidikan dan penuntutan, Ahok tidak harus ditahan. Lalu mengapa putusan Hakim menegaskan Ahok harus ditahan? Sekali lagi, Ahok tidak perlu ditahan! Sebab ia pejabat publik yang sulit untuk melarikan diri, serta tidak mungkin ia merusak atau menghilangkan barang bukti, apalagi mengulangi tindak pidana sebagaimana disebutkan Pasal 21 ayat (1) KUHP.

Ketiga. Kasus ini berjalan dengan irama politis. Pertimbangan yang memberatkan Ahok justru di luar akal sehat, di mana katanya, ia sebagai gubernur seharusnya tidak melakukan penodaan agama. Pertimbangan ini kelihatannya sangat kontradiktif dalam konteks tindak pidana penodaan agama. Karena justru seharusnya yang menjadi pertimbangan hakim adalah, karena Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sudah banyak diakui keberhasilannya dengan segudang prestasi yang di raihnya dan jelas berprestasi membangun Ibu Kota NKRI yakni Jakarta. Hal inilah yang seharus menjadi alasan untuk meringankan Ahok, dan bukan justru membuat putusan yang sangat memberatkan.

Tentu saja, pertimbangan majelis Hakim seperti di atas memang sangat rancu, sebab pertimbangan seperti itu hanya tepat jika digunakan dalam memutus tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes. Dalam artian bahwa, pejabat publiknya tidak bermoral dan tidak amanah–merampok uang negara–sehingga menjadi alasan kuat untuk memberikan hukuman yang berat.

Tulisan ini di kutip dari Buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"

Penulis:
Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd.
Dr. phil. Reza A. A. Wattimena
Pdt. Dr. Mesakh A. P. Dethan., M.Th., MA.
Fransiskus Ransus, S.S., M.Hum
Suhendra, M.A.

Nomor ISBN: 978-602-6487-08-7
Tahun terbit: 2017
Nama Penerbit: Desna Life Ministry
Kota tempat Penerbit: Kupang

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget