Teologi pembebasan (Liberation Theology) muncul pertama kalinya pada pertengahan abad ke-20, di negara Amerika Latin, ketika lahir realitas penindasan sosial dan politik yang dilakukan oleh para kolonialisme. Saat itu kekristenan masuk melalui bangsa Spanyol ke Amerika Latin, dengan tujuan utamanya untuk menaklukkan dunia bagi Allah dan bangsa Spanyol.

Diketahui bahwa selama empat abad lamanya, gereja Roma Katolik memiliki peranan yang cukup dominan dalam sejarah Amerika Latin. Saat itu masyarakat terbagi dalam berbagai macam kelas. Alasan mendasarnya adalah bahwa pada pertengahan tahun 1960-an, para teolog Amerika Latin telah banyak di kecewakan dengan kegagalan negara Barat mengurangi angka kemiskinan dan penderitaan penduduk pada saat itu.

Salah satu tokoh yang saat itu ikut menjadi korbannya adalah Gustavo Gutiérrez asal Peru, yang dalam hal ini dia percaya bahwa Marxisme memberikan respons kepada perlawanan kelas sosial, sehingga Gutiérrez merasa perlu menghapuskan penindasan yang dilakukan kapitalis itu, sebagai upaya untuk membebaskan masyarakat pada saat itu.

Sejak tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, Gutiérrez menjadi semakin populer sejalan dengan bermunculannya para teolog seperti Jose Miguez-Bonino (1924) dari Argentina, dan Leonardo Boff dari Brazil (1972).

Disamping itu, muncul pula sosok Martin Luther King, Jr, yang merupakan teologi pembebasan dari kaum kulit hitam Amerika (Black Theology), dengan mempelopori gerakan teologi pembebasan Amerika Latin di sekitar tahun 1960-an, yang dengan semangat memperjuangkan hak-hak sipil.

Sehingga secara umum, dapat diketahui bahwa Teologi Pembebasan muncul akibat dari ketidakadilan sosial, penindasan, rasisme dan pembedaan kelas, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh pihak penguasa atau penjajah.

Pergerakan ini bertujuan untuk membela hak-hak orang tertindas baik dari segi sosial, ekonomi dan politik. Pergerakan ini khususnya berdiri di negara-negara miskin misalnya Afrika, maupun yang tertindas secara politik yang berimbas ke ekonomi, seperti halnya di Korea.

Sedangkan secara teologis, dapat di pahami bahwa Teologi Pembebasan merupakan perkembangan lebih lanjut dari teologi sekuler yang penekanannya lebih kepada ‘proses’ dalam berteologi menurut keadaan yang di alami ‘secara nyata’ dalam konteks kehidupan sosial dan politik dalam masyarakat tertindas.

Leonardo Boff dalam Budiman Kalvin (2013) kemudian menjelaskan dengan ringkas tentang hakikat dari pola berteologi dalam Teologi Pembebasan, yaitu sebagai berikut:

“Singkat kata, teologi pembebasan, seperti teologi lainnya, juga berbicara tentang Allah, Tritunggal, Kristus, Roh Kudus, anugerah, dan gereja—yaitu semua topik dalam teologi; tetapi hal itu bukanlah kekhasan dan titik berangkatnya, Teologi Pembebasan berbicara tentang semua topik tersebut dari sudut pandang seseorang yang tertindas yang merindukan pembebasan”.

Dari penjelasan yang dikemukakan Boff di atas, maka Teologi Pembebasan bukanlah konsep teologi dalam lingkup kajian yang hanya berlandaskan pada pengertian ‘sistematika’ dan ‘dogmatika’ semata saja. Tetapi lebih merupakan sebuah gerakan yang di kenal dengan istilah ‘movement’ teologis, yang juga akan selalu mengakar pada realitas—kehidupan nyata seseorang, dalam bentuk metode atau strategi sebagai upaya untuk berteologi secara dinamis dan kontekstual, dengan tujuannya untuk menanggapi isu-isu sosial-nyata yang berkembang di dalam lingkungan masyarakat yang sedang dihadapi (Budiman Kalvin, 2013:195-196)

Sehingga Teologi Pembebasan dapat di definisikan sebagai teologi yang berusaha untuk melihat kelangsungan karya Allah di dunia ini dari sudut pandang orang-orang tertindas dan memahami pekerjaan itu dengan melibatkan diri pada rekonstruksi orang-orang dan masyarakat menurut karakter Tuhan Yesus.

Meskipun masih ditemukan banyak kelemahan dalam Teologi Pembebasan ini, antara lain menempatkan posisi Allah Tritunggal berdasarkan pengalaman pahit yang mereka rasakan, namun sejatinya pergerakan ini dapat membuka mata dunia khususnya gereja masa kini untuk tidak meninggalkan fungsinya sebagai pembawa misi kebenaran Firman Tuhan dalam memberitakan damai sejahtera dan keadilan berdasarkan karakter Tuhan Yesus, bagi semua orang tanpa terkecuali.

Terlepas dari alasan dan asumsi-asumsi dasar pada konteks awal kemunculan teologi pembebasan ini, perlu dipahami lebih kongkrit, bahwa dalam konteks Injil di Perjanjian Baru (PB), peristiwa keluarnya bangsa Israel dari perbudakan di tanah Mesir adalah sesuatu yang ‘mutlak’ memperlihatkan suatu gambaran tentang ‘penebusan—pembebasan’ bahwa manusia sudah terbebas dari dosa melalui pengorbanan Kristus di kayu salib, dan bukan lagi di pahami hanya sebagai suatu janji pembebasan bagi kaum minoritas yang tertindas secara politis. Inilah yang seharusnya menjadi tolak ukur dalam memahami Teologi pembebasan tersebut.

Sehingga ungkapan seorang Gutiérrez (dalam Stott John, 2013:123-124) yang menyatakan bahwa..”karena Allah menjadi manusia, maka kemanusiaan, setiap manusia dan sejarah adalah merupakan bait Allah yang hidup”, sehingga pembebasan dari Kristus “menciptakan sebuah umat pilihan yang baru, yang kali ini memasukkan semua manusia”, perlu untuk dipahami lagi ke dalam ranah teologis yang lebih mendalam, dengan melihat konteks masa lampau dan masa kini.

Oleh: Abdy Busthan
*****************